Share

Chapt 6. Kecelakaan Kecil

    Hidup tidak akan selalu mulus, dan berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Seperti halnya roda yang berputar, jika kita mengayuh dengan kekuatan penuh akan cepat naik, tapi akan cepat turun pula. Kayuhlah sesuai kemampuanmu tidak usah ngoyo atau berlebihan. Seperti pekerjaan, jika kamu melakukan dengan sungguh-sungguh niat yang baik dan ikhlas inshaallah akan berkah.

      Naima berjalan menyusuri trotoar menuju tempat kerjanya, hari ini pertama kali Naima merasa sangat ceroboh. Dari bangun yang  sedikit lambat dari biasa, hingga tidak sempat sarapan. Juga Naima turun di satu shuttle lebih jauh dari yang seharusnya dia turun. Naima berjalan dengan langkah lebar dan terburu-buru. Rambutnya yang belum sempat dia cepol melambai-lambai seiring dengan langkah kaki yang memburu.

      Sabtu pagi jalanan tidak terlalu padat, IA sedikit berlari saat sudah mendekati tempatnya bekerja. Bulir-bulir keringat sebesar jagung menghiasai dahi. Naima berlari menyebrang, tapi nahas, dari arah yang sama dengan Naima seorang biker melajukan sepedanya dengan kecepatan yang kencang. Naima tertabrak sang pengendara sepeda, hingga membuat keduanya terguling di aspal, teriakan dari orang-orang yang melihat menyadarkan Naima. Mencoba bangkit menahan rasa perih di lengannya. Beberapa orang menolong memapah menuju pinggir jalan. Sang pengendara sepeda terlihat baik-baik saja. 

   "Aduh mbak, kalau mau nyebrang lihat-lihat dong, punya mata ga sih!!" seru sang pengendara memaki Naima, sambil mengecek kondisi sepeda yang sepertinya sedikit ada kerusakan di bagian stang.

    "Maaf kak saya buru-buru, saya panik jadi ga ngeliat kanan kiri dengan benar." Naima sebenarnya kesal, tapi dia mengalah. Punggung terasa sakit di gerakkan dan paha kanan yang tertabrak sepertinya terkena bagian depan sepeda pemuda tadi.

    "Mbaknya ga apa-apa? Mau di antar ke klinik?" seorang ibu dengan baju syar'i mengelus-elus punggung Naima. Naima merasakan nyaman danhangat kasih sayang seorang ibu. Teringat peristiwa yang merenggut nyawa ke dua orang tuanya, matanya memanas. Mendongakkan kepala menghalau rasa nyeri di dada. Ia mencoba berdiri, menahan sakit di lengan, kaki juga badannya.

     "Terima kasih Bu, saya tidak apa-apa. Saya harus ke tempat kerja saya." Naima menunjuk cafe yang hanya beberapa langkah dari tempatnya tertabrak. Si ibu mengagguk dan kerumunan segera teruari.

      "Mbak lain kali hati-hati, bikin rugi aja, sepeda mahal saya jadi rusak!" hardik sang pengemudi. Naima menghela napas.

      "Nanti saya ganti kak, saya bekerja di cafe Kita, kakak bisa mencari saya disana." putusnya, Naima segera berterima kasih kepada ibu yang menolong yang setia menunggunya, dan segera menyeberang. 

Jaka yang baru keluar dari mobilnya melihat kondisi Naima langsung berlari menghampiri.

"Naima kamu kenapa?" tanya Jaka melihat lengan Naima yang terluka dan celana yang sedikit robek juga pipi yang memerah.

"Saya tertabrak sepeda waktu mau nyebrang Pak,shh," ucap Naima menahan ringisan perih dari lukanya.

"Segera masuk ke mobil saya, sebentar." perintah Jaka lalu berlari ke dalam cafe memberi tahu keadaan Naima kepada Ajeng supaya mencatat kalau Naima masu, tapi ijin berobat. Ajeng dan beberapa rekan berhambur keluar melihat keadaan Naima.

"Ya ampun Naima kok bisa ... " ucap Tiara menuntun Naima ke mobil Jaka. Naima merasa tidak enak hati dengan kondisinya. Jaka segera membawa Naima ke klinik terdekat untuk di obati.

"Tahan sebentar ya Nai, aduh ... aku ga tega lihat lukanya, Nai, pasti sakit sekali itu," ringis Jaka melirik ke arah Naima, ia pun menyetir dengan sedikit mengebut. Sabtu pagi jalanan yang lumayan lengang membuat Jaka bisa leluasa melajukan kendaraannya. 

"Pak Jaka, saya tidak di pecat kan?" lirih Naima takut, ia menoleh ke arah Jaka yang terlihat terkejut.

"Nai, kamu itu kena musibah, bukan bikin rugi cafe ratusan juta. Kenapa harus di pecat? Ga usah mikir macam-macam deh. Yang penting lukamu segera diobati." decak Jaka tak mengerti dengan pemikiran pegawainya. Tak lama mobil Jaka berbelok menuju sebuah klinik 24 jam. Jaka segera turun setelah memarkirkan mobil dengan benar. Membantu Naima turun, desiran di hati Jaka saat menggenggam tangan lembut Naima membuat wajahnya sedikit menyemu.

"Pak saya bisa sendiri,"Naima melepaskan pegangan tangan Jaka, ia tidak enak hati di pegang oleh atasannya itu. Jaka menghormati, ia juga merasa tak nyaman, karena desiran aneh sampai ujung perutnya. Lagi jaka menyemu. Jaka mendaftarkan Naima dan segera minta pertolongan pertama. 

Seorang perawat membawa Naima ke sebuah ruangan tindakan, berbagai macam alat tersusun rapi di nampan membuat Naima bergidik. Celana Naima terpaksa harus di gunting karena terdapat luka di bagian paha Naima, walau tidak terlalu parah, tapi membutuhkan pengobatan supaya tidak infeksi. Jaka berinisiatif mencari butik terdekat, membelikan Naima celana kulot tiga perempat untuk mengganti celana yang sudah koyak. Alasan juga karena Jaka tidak tega melihat luka yang baru di bersihkan.

    Setelah selesai, perawat mempersilahkan Naima meminum obat pereda nyeri. Dan beristirahat sejenak. Jaka datang membawakan Naima paper bag, menyerahkan kepada Naima. 

"Nai, ini buat ganti celanamu. Habis ini kamu pulang saja, dokter sudah memberikan surat Keterangan Sakit. Kamu istirahat dulu untuk 3 hari kedepan," tutur jaka membuat Naima tertegun, jujur di dalam hatinya ada rasa takut. Dia baru beberapa minggu bekerja, bahkan statusnya pun masih kontrak.

"Tapi pak, saya masih kontrak loh na---" Sebelum menyelesaikan kalimatnya Jaka sudah menyela.

"Ehh Nai, aku yang menerima kamu. Aku juga yang memberikan izin. Ga usah di pikirkan, aku tidak mau nanti kalau kamu memaksakan bekerja sedang kondisimu tidak memungkinkan. Kamu malah akan membuat kesalahan lain yang akan merugikan cafe nantinya. Istirahat saja sampai pulih dan kuat. Jangan membantah," titah Jaka tegas. Naima hanya mengangguk pasrah. Naima segera menuju toilet di sudut ruangan. Mengganti celana dengan yang baru saja Jaka belikan untuknya, walau agak kesulitan akhirnya Naima bisa melepaskan dan memasang kembali celananya. Naima menyimpan celana yang koyak ke dalam paperbag dan segera keluar menemui Jaka.

"Pak nanti saya akan ganti biaya untuk membeli celana ini," ujar Naima. Jaka menghela napas lelah.

"Ga usah Nai, anggap saja aku menolongmu," tolak Jaka dengan halus.

"Tapi pak ..." Naima hendak protes.

"Sttt, ayo saya antarkan pulang," sahut Jaka tak mau menerima penolakan gadis cantik itu, lalu berjalan keluar ruangan. Setelah menebus resep obat mereka meninggalkan klinik menuju ke kos. Naima sudah memberitahu alamat tempat ia kost. Dalam perjalanan Naima hanya diam, bingung harus bersikap seperti apa terhadap Jaka. Jaka mengamati wajah Naima yang sedikit pucat, gadis itu tidak seperti pegawai perempuan lainnya yang selalu menggunakan make up tebal. Wajah Naima terlihat alami dan ayu. Jaka masih saja terpesona, walaupun setiap hari melihat Naima.

Tak lama mobil Jaka berhenti di depan kost berpagar tinggi, Naima segera turun. Jaka mengikuti Naima hingga depan gerbang.

"Terima kasih Pak Jaka, maaf sudah merepotkan,"  ucap Naima dengan sopan. Jaka menyerahkan kantong obat, tersenyum penuh arti.

"Jangan lupa minum obat dan vitamin juga ganti perbannya. Semoga lekas sembuh. Istirahat yang banyak ya, Nai," kata Jaka, segera berbalik melambai memasuki mobilnya dan segera berbalik menuju Cafe. Jaka sengaja bersikap sedikit formal dan cuek. Image yang tegas harus dia tunjukan kepada Naima, niatnya membuat Naima terkesan.

    Naima menghela napas, tak menyangka hari ini nasib sial menimpanya. Naima menuju warung nasi terdekat, membeli nasi campur dan teh hangat sebagai sarapan. Dia sadar diri, hidup sendirian tidak boleh mengabaikan kesehatan. Naima berjanji pada dirinya akan menjadikan hari ini sebagai pelajaran, Naima tidak ingin ceroboh dan terlambat lagi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Untung saja luka Naima tak terlalu parah ....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status