Hidup tidak akan selalu mulus, dan berjalan sesuai dengan apa yang kita mau. Seperti halnya roda yang berputar, jika kita mengayuh dengan kekuatan penuh akan cepat naik, tapi akan cepat turun pula. Kayuhlah sesuai kemampuanmu tidak usah ngoyo atau berlebihan. Seperti pekerjaan, jika kamu melakukan dengan sungguh-sungguh niat yang baik dan ikhlas inshaallah akan berkah.
Naima berjalan menyusuri trotoar menuju tempat kerjanya, hari ini pertama kali Naima merasa sangat ceroboh. Dari bangun yang sedikit lambat dari biasa, hingga tidak sempat sarapan. Juga Naima turun di satu shuttle lebih jauh dari yang seharusnya dia turun. Naima berjalan dengan langkah lebar dan terburu-buru. Rambutnya yang belum sempat dia cepol melambai-lambai seiring dengan langkah kaki yang memburu.
Sabtu pagi jalanan tidak terlalu padat, IA sedikit berlari saat sudah mendekati tempatnya bekerja. Bulir-bulir keringat sebesar jagung menghiasai dahi. Naima berlari menyebrang, tapi nahas, dari arah yang sama dengan Naima seorang biker melajukan sepedanya dengan kecepatan yang kencang. Naima tertabrak sang pengendara sepeda, hingga membuat keduanya terguling di aspal, teriakan dari orang-orang yang melihat menyadarkan Naima. Mencoba bangkit menahan rasa perih di lengannya. Beberapa orang menolong memapah menuju pinggir jalan. Sang pengendara sepeda terlihat baik-baik saja.
"Aduh mbak, kalau mau nyebrang lihat-lihat dong, punya mata ga sih!!" seru sang pengendara memaki Naima, sambil mengecek kondisi sepeda yang sepertinya sedikit ada kerusakan di bagian stang.
"Maaf kak saya buru-buru, saya panik jadi ga ngeliat kanan kiri dengan benar." Naima sebenarnya kesal, tapi dia mengalah. Punggung terasa sakit di gerakkan dan paha kanan yang tertabrak sepertinya terkena bagian depan sepeda pemuda tadi.
"Mbaknya ga apa-apa? Mau di antar ke klinik?" seorang ibu dengan baju syar'i mengelus-elus punggung Naima. Naima merasakan nyaman danhangat kasih sayang seorang ibu. Teringat peristiwa yang merenggut nyawa ke dua orang tuanya, matanya memanas. Mendongakkan kepala menghalau rasa nyeri di dada. Ia mencoba berdiri, menahan sakit di lengan, kaki juga badannya.
"Terima kasih Bu, saya tidak apa-apa. Saya harus ke tempat kerja saya." Naima menunjuk cafe yang hanya beberapa langkah dari tempatnya tertabrak. Si ibu mengagguk dan kerumunan segera teruari.
"Mbak lain kali hati-hati, bikin rugi aja, sepeda mahal saya jadi rusak!" hardik sang pengemudi. Naima menghela napas.
"Nanti saya ganti kak, saya bekerja di cafe Kita, kakak bisa mencari saya disana." putusnya, Naima segera berterima kasih kepada ibu yang menolong yang setia menunggunya, dan segera menyeberang.
Jaka yang baru keluar dari mobilnya melihat kondisi Naima langsung berlari menghampiri.
"Naima kamu kenapa?" tanya Jaka melihat lengan Naima yang terluka dan celana yang sedikit robek juga pipi yang memerah.
"Saya tertabrak sepeda waktu mau nyebrang Pak,shh," ucap Naima menahan ringisan perih dari lukanya.
"Segera masuk ke mobil saya, sebentar." perintah Jaka lalu berlari ke dalam cafe memberi tahu keadaan Naima kepada Ajeng supaya mencatat kalau Naima masu, tapi ijin berobat. Ajeng dan beberapa rekan berhambur keluar melihat keadaan Naima.
"Ya ampun Naima kok bisa ... " ucap Tiara menuntun Naima ke mobil Jaka. Naima merasa tidak enak hati dengan kondisinya. Jaka segera membawa Naima ke klinik terdekat untuk di obati.
"Tahan sebentar ya Nai, aduh ... aku ga tega lihat lukanya, Nai, pasti sakit sekali itu," ringis Jaka melirik ke arah Naima, ia pun menyetir dengan sedikit mengebut. Sabtu pagi jalanan yang lumayan lengang membuat Jaka bisa leluasa melajukan kendaraannya.
"Pak Jaka, saya tidak di pecat kan?" lirih Naima takut, ia menoleh ke arah Jaka yang terlihat terkejut.
"Nai, kamu itu kena musibah, bukan bikin rugi cafe ratusan juta. Kenapa harus di pecat? Ga usah mikir macam-macam deh. Yang penting lukamu segera diobati." decak Jaka tak mengerti dengan pemikiran pegawainya. Tak lama mobil Jaka berbelok menuju sebuah klinik 24 jam. Jaka segera turun setelah memarkirkan mobil dengan benar. Membantu Naima turun, desiran di hati Jaka saat menggenggam tangan lembut Naima membuat wajahnya sedikit menyemu.
"Pak saya bisa sendiri,"Naima melepaskan pegangan tangan Jaka, ia tidak enak hati di pegang oleh atasannya itu. Jaka menghormati, ia juga merasa tak nyaman, karena desiran aneh sampai ujung perutnya. Lagi jaka menyemu. Jaka mendaftarkan Naima dan segera minta pertolongan pertama.
Seorang perawat membawa Naima ke sebuah ruangan tindakan, berbagai macam alat tersusun rapi di nampan membuat Naima bergidik. Celana Naima terpaksa harus di gunting karena terdapat luka di bagian paha Naima, walau tidak terlalu parah, tapi membutuhkan pengobatan supaya tidak infeksi. Jaka berinisiatif mencari butik terdekat, membelikan Naima celana kulot tiga perempat untuk mengganti celana yang sudah koyak. Alasan juga karena Jaka tidak tega melihat luka yang baru di bersihkan.
Setelah selesai, perawat mempersilahkan Naima meminum obat pereda nyeri. Dan beristirahat sejenak. Jaka datang membawakan Naima paper bag, menyerahkan kepada Naima.
"Nai, ini buat ganti celanamu. Habis ini kamu pulang saja, dokter sudah memberikan surat Keterangan Sakit. Kamu istirahat dulu untuk 3 hari kedepan," tutur jaka membuat Naima tertegun, jujur di dalam hatinya ada rasa takut. Dia baru beberapa minggu bekerja, bahkan statusnya pun masih kontrak.
"Tapi pak, saya masih kontrak loh na---" Sebelum menyelesaikan kalimatnya Jaka sudah menyela.
"Ehh Nai, aku yang menerima kamu. Aku juga yang memberikan izin. Ga usah di pikirkan, aku tidak mau nanti kalau kamu memaksakan bekerja sedang kondisimu tidak memungkinkan. Kamu malah akan membuat kesalahan lain yang akan merugikan cafe nantinya. Istirahat saja sampai pulih dan kuat. Jangan membantah," titah Jaka tegas. Naima hanya mengangguk pasrah. Naima segera menuju toilet di sudut ruangan. Mengganti celana dengan yang baru saja Jaka belikan untuknya, walau agak kesulitan akhirnya Naima bisa melepaskan dan memasang kembali celananya. Naima menyimpan celana yang koyak ke dalam paperbag dan segera keluar menemui Jaka.
"Pak nanti saya akan ganti biaya untuk membeli celana ini," ujar Naima. Jaka menghela napas lelah.
"Ga usah Nai, anggap saja aku menolongmu," tolak Jaka dengan halus.
"Tapi pak ..." Naima hendak protes.
"Sttt, ayo saya antarkan pulang," sahut Jaka tak mau menerima penolakan gadis cantik itu, lalu berjalan keluar ruangan. Setelah menebus resep obat mereka meninggalkan klinik menuju ke kos. Naima sudah memberitahu alamat tempat ia kost. Dalam perjalanan Naima hanya diam, bingung harus bersikap seperti apa terhadap Jaka. Jaka mengamati wajah Naima yang sedikit pucat, gadis itu tidak seperti pegawai perempuan lainnya yang selalu menggunakan make up tebal. Wajah Naima terlihat alami dan ayu. Jaka masih saja terpesona, walaupun setiap hari melihat Naima.
Tak lama mobil Jaka berhenti di depan kost berpagar tinggi, Naima segera turun. Jaka mengikuti Naima hingga depan gerbang."Terima kasih Pak Jaka, maaf sudah merepotkan," ucap Naima dengan sopan. Jaka menyerahkan kantong obat, tersenyum penuh arti.
"Jangan lupa minum obat dan vitamin juga ganti perbannya. Semoga lekas sembuh. Istirahat yang banyak ya, Nai," kata Jaka, segera berbalik melambai memasuki mobilnya dan segera berbalik menuju Cafe. Jaka sengaja bersikap sedikit formal dan cuek. Image yang tegas harus dia tunjukan kepada Naima, niatnya membuat Naima terkesan.
Naima menghela napas, tak menyangka hari ini nasib sial menimpanya. Naima menuju warung nasi terdekat, membeli nasi campur dan teh hangat sebagai sarapan. Dia sadar diri, hidup sendirian tidak boleh mengabaikan kesehatan. Naima berjanji pada dirinya akan menjadikan hari ini sebagai pelajaran, Naima tidak ingin ceroboh dan terlambat lagi.
Membosankan, satu kata yang Naima rasakan karena seharian ini hanya merebahkan diri di kasur mungilnya. Naima melongokkan kepalanya ke tralis jendela, melihat aktivitas jalan yang sedikit ramai dengan anak kecil yang bermain dan ibu ibu yang berkumpul, bersenda gurau, sambil menikmati jajanan. Ponsel Naima bergetar, tanda video tertera disana. Naima merapikan rambut, membersihkan matanya memastikan tidak ada kotoran di kedua sudut mata hitamnya. "Hai," Naima menyapa, wajah Albe yang sepertinya sedang di dalam mobil terlihat kaca di sampingnya. Rambut lelaki itu sudah tidak sepanjang saat Albe kecelakaan, semakin terlihat tampan, eh. "Hai Nai, kamu tadi tidak kerja? Bukankah hari ini kamu masuk pagi?" sapa Albe, ia memberondong gadis itu dengan pertanyaan. "Tidak Al, aku di kostanku. Hari ini aku ijin, ada apa?" tanya Naima membenarkan posisi duduknya dengan sedikit meringis. Hal itu tidak luput dari perhatian Albe, Albe sedang berada di depan Cafe Kita sengaja tid
Perlakuan Albe terhadap Naima sore tadi membuat malam Naima menjadi tidak tenang, tidak dapat memejamkan mata dan selalu terbayang wajah pria bule yang tampan itu. Aduh, norak banget 'kan. Naima ingin menepis rasa suka pada Albe, tapi hatinya tidak dapat berbohong. Naima meraih ponselnya, mencari ikon aplikasi perpesanan melihat profil Albe yang sedang memegang barble dan memamerkan otot lengannya yang liat, darah Naima berdesir, kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, menimbulkan rasa asing yang nyaman. Naima melemparkan ponselnya ke ujung kasur. Mencoba menetralkan degup jatung yang menggila. 'Dasar perawan gak laku!' sungut Naima dalam hati. Hanya memandang fotonya saja membuat ia salah tingkah, sungguh murahan sekali bukan. Bunyi pesan masuk membuat Naima meraih kembali ponsel yang sempat ia lempar dan membuka kuncinya, nama orang yang sedang dia pikirkan terpampang di depan layar. Niat hati ingin meredakan jantung yang berdisko ria, kini degupannya bertambah cepat d
Naima memandangi dua orang pria yang sedang mencari kata-kata yang tepat. Albe maju mendekati Jaka, dengan refleks Jaka memundurkan kakinya. Albe bisa sangat kejam, Jaka tidak mau menjadi sasarannya kali ini. "Hai bro, lama gak jumpa kemana saja?"Albe memeluk jaka sekilas, ketegangan di muka Jaka memudar. "Biasalah bro, lo tau cafe gue yang baru belum lama beroperasi jadi masih sibuk. Maklum patner gue lagi sibuk sama mainan barunya." Jaka melepaskan kaca mata gayanya dan menyimpan di saku kemeja. "Eh maaf, berarti gak usah Naima kenalkan lagi kan ya?" Naima menginterupsi, segera mengambil ke dapur dan membuatkan minuman untuk Jaka. "Jangan bilang kalau aku salah satu pemilik Cafe kita bro, aku ingin tahu Naima seperti apa." Albe berbisik di telingan jaka. "Lo mencurigai Naima?" Jaka membulatkan matanya tidak percaya. "Ck, kamu tahu sendiri kan. Wanita yang aku kenal mereka hanya menginginkan uangku saja, apalagi setelah tahu aku mempunyai usaha. Aku belum terlalu mengenal Naima,
Bukan hanya Naima, Albe pun terkejut dengan perlakuan DokterNindy. Dengan spontan Albe mendorong teman lamanya itu menjauh. Dokter Nindy terperanga dengan gerakan seduktif mantan teman kencannya itu, melihat ke belakang Albe. Ternyata Albe tidak sendir,i membuatnya sedikit gugup. Dia pikir pria itu sengaja ingin mengunjunginya setelah malam-malam panas mereka beberapa waktu lalu. "Silakan masuk!" ucap Dokter Nindy mempersilakan Naima yang masih mematung di depan pintu, sementara Albe mengusap tengkuknya merasa tidak nyaman. "Terimakasih, Dok," sahut Naima, lalu duduk di kursi yang disediakan. Albe menyusul duduk di samping Naima. "Apa kabar, Al? Dan?" sapa Dr. Nindy menggantungkan kalimatnya, ingin tahu gadis yang Albe ajak menemuinya. "Naima Dok." Naima menjawab dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya, Dr. Nindy menilai penampilan Naima yang sederhana dan tanpa make up. Bukan selera Albe, Dr. Nindy sedikit merasa lega. "Baik Nin. Aku kesini membawa Naima. Dia baru saja mengala
Naima menggambar tanda perboden dan menuliskan dengan huruf besar dan merah di buku hariannya. ALBERICO. Naima berharap dia bisa konsisten dengan niatan hati untuk mengurangi intensitas pertemuan atau komunikasi dengan pria asing tersebut. Karena itu tidak sehat untuk hati, tubuh bahkan jiwanya. Naima tidak memungkiri, Albe memberikan warna tersediri pada hari-harinya. Menimbulkan rasa yang belum pernah dia inginkan hadir untuk menghiasi hidup di usia muda. Naima selalu berfokus pada pendidikan juga orangtua sewaktu mereka masih hidup, percintaan dan hal sentimentil dengan lawan jenis bukan sebagai prioritas. Namun, entah mengapa sejak bertemu Albe, jiwa wanitanya seakan mendamba. Berawal dari kecupan singkat yang Albe berikan, Naima sering membayangkan hal erotis yang tiba-tiba muncul dalam benak perawan itu. Duh, jadi ternoda bukan? Naima menggeleng pelan, membayangkan fisik pria asing itu saja membuat darah berdesir tak nyaman. 'Sungguh murahn' batinnya. Tapi pesona Albe me
Naima memasuki Cafe dengan ringan dan ceria, tiga hari izin membuatnya merindukan rekan kerja juga suasana Cafe yang selalu ramai. "Nai!" teriak Ajeng berhambur memeluk Naima, mereka menjadi Akrab sejak pertama Naima di terima di Cafe itu. "Gimana lukanya? Udah sembuh? Parah gak sih?" seloroh Ajeng menggandeng lengan Naima menuju loker. Naima terkikik mendengar pertanyaan Ajeng. "Sudah mulai mengering, cuma masih belum sembuh. Oh ya, kayaknya seragamku beda deh Jeng, kata pak Jaka aku di dapur aja bantuin Chef Adi," kata Naima sambil membuka loker menyimpan tas juga jaketnya. Ajeng mengangguk. "Nanti aku carikan yang seragam dapur, Pak Jaka kemarin sudah ngasih tau aku. Oh ya, gimana sih kejadiannya. Aku penasaran banget. Untung ya muka cantik kamu gak kena aspal ... hehehe," canda Ajeng, Naima hanya tersenyum dan ikut tertawa. "Iya pokoknya mah masih aja untung Jeng, walaupun sakit," jawab Naima dengan tawa berderai. Bekerja memang lebih menyenangkan, tidak merasa bosan dan mati
Albe merasa frustasi, Naima benar-benar mengujinya. Panggilan teleponnya selalu berakhir di kotak suara, Jaka juga sudah tidak di ruangan, rekannya itu sering absen ke Cafe beberapa hari datang mereka meeting dan keperluan pekerjaan. Sisanya, nyaris tak pernah berbenturan. Pria itu seperti menghindar, tentu saja berbagai pikiran negatif bersarang di kepalanya. Albe mengambil kunci mobil berniat mengunjungi Naima, tapi belum sempat membuka pintu, Viran masuk dengan tergesa-gesa. "Al, kayaknya preman yang kemarin belum jera. Dia tetap meminta uang keamanan!" lapor Viran. Albe menyandarkan badannya di bufet file di belakangnya menatap Viran yang terlihat kelelahan. "Bukankah kamu sudah menghubungi petinggi di Polda? Pak Wito?" tanya Albe. Viran menggeleng pelan. "Sudah, Pak Wito sudah mengatakan semua akan dia urus masalah preman ini. Bahkan cek yang kita kasih sudah dia terima." jawab Viran dengan malas. Albe menghela napas. "Berarti Pak Wito belum bergerak, kamu telepon lah! sangat
"Nai!" Bu Siti memanggil Naima yang baru saja memasuki pagar. "Iya bu?" Naima mendekat ke ruangaan keamaan yang berada tepat disamping pagar. "Kamu dari mana? Aduh kasian Mas bule nungguin kamu berjam-jam lho." Bu Siti berekspresi sedih, Naima hanya bisa meringis. "Albe kesini bu?" Naima pura-pura tidak tahu. "Iya dari sore tadi sampai maghrib baru pergi, Ibu malah tadi sempet curiga kok gak ada suara. Takut kamu ngapa-ngapain sama mas bule hihihihi" ujar Bu Siti lalu tertawa. "Nai tadi makan lalu beli sabun ke mini market ,Bu, Nai gak tahu kalau Albe mau datang. Paket data Nai habis." Naima memberi alasan sejujurnya. "Lha kamu gak aktifin wifi kost apa?Cck kamu ini. Pantesan sampai lumutan pacarmu nungguin." Bu Siti masuk ke dalam ruangan, lalu keluar lagi memberikan kertas yang bertuliskan password wifi. Naima tersenyum geli, padahal memang sengaja dia matikan. "Bukan pacar Bu, Albe hanya teman saja kok." Naima menerima kertas yang di sodorkan Bu Siti. "Iya juga gak apa-apa N