"Ini kebetulan saja, lho, Mas. Kalau aku masih dendam, untuk apa repot-repot datang kesini?" Kuberikan alasan yang tepat agar Mas Gani tidak curiga.
Bersamaan dengan itu, Adel datang dan langsung bergabung bersama kami.
"Coba sama Adel, Mas!" saranku cepat.
"Apanya?" tanya dia sinis.
"Uangnya, lah!"
"Lho, kata Mas tadi, Mbak Aina sudah menyanggupi? Aku nggak bawa dompet!" kilah Adel.
"ATM-nya Aina ketelen gara-gara Andra, Del! Lagian kamu juga, bisa-bisanya kesini nggak bawa dompet!" jawab Mas Gani kesal.
Adel tak menanggapi. Aina lalu datang dan ikut menyimak perdebatan kami.
"Kamu, tuh, kalau nggak mau bantu, bilang dari awal, Ndra! Jangan bikin Mas berharap begini. Mana Dani dan Bapak juga nggak bisa dihubungi! Kamu masih kesal, kan? Buktinya sampai keluar dari grup!"
Kenapa Mas Gani harus mengatakan semua yang kusembunyikan di depan Aina? Dia jadi melirikku dengan tatapan penuh kebingungan.
"Lho, Mas, kenapa memang?" tanya Aina panik.
"ATM-nya ketelen, Yang. Maaf, ya!" ujarku berbohong.
"Lho, kok, bisa? Terus Mbak Feli gimana?"
Mas Gani bergeming. Aku tahu, dia pasti semakin tidak menyukaiku sekarang.
"Mas, itu di kantong Mas apaan?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal, kalau tadi aku tidak melihat benda itu, mungkin ada sedikit rasa kasihan yang tersisa.
"Ini perhiasannya Feli. Tadi suster minta dilepaskan semuanya karena mau masuk ruang operasi."
"Ya sudah, gunakan itu dulu, Mas!"
"Gimana sih, Ndra? jam segini toko emas pasti sudah tutup! Kan, tadi Mas sudah bilang!" Mas Gani terlihat semakin emosi.
"Masih bisa digadai, Mas. Itu, lho, Klop Gadai! Nggak jauh dari rumah sakit ini ada. Tadi aku lihat." Kuberi saran yang memang telah dipikirkan sejak tadi.
"Kalau masalah begini, Mas Andra pasti paham betul," sindir Adel.
"Tapi bermanfaat dalam kondisi seperti ini, kan?!" sungutku kesal. Ada saja ucapannya yang selalu membuat hatiku sakit.
"Ya sudah, terserah aja. Yang penting, Feli bisa segera dioperasi. Nih!" Mas Gani menyerahkan gelang dan kalung milik Mbak Feli yang biasa dipakainya.
"Saya yang jalan?"
"Siapa lagi?"
Tak ingin memperpanjang, aku mengalah dan pergi ke tempat pegadaian dengan menggunakan jasa ojek. Kalau begini, kan, aku bisa menolak meminjamkan, tanpa membahayakan nyawa Mbak Feli dan anaknya.
Hanya lima belas menit, aku sudah kembali dan menyerahkan uang hasil gadaian pada Mas Gani.
"Kamu temenin Mas jaga malam ini, ya!" pinta Mas Gani dengan mudahnya. Tanpa bertanya lebih dulu apakah aku memiliki kesibukan atau tidak.
"Lho, Aina pulang sama siapa, Mas? Saya antar dia dulu!" Aku sengaja mengeraskan volume suara, agar Adel mendengar. Selama ini, dia dan kedua saudaraku yang lain selalu memandang rendah Aina.
Semua berawal ketika mereka berusaha menjodohkan aku dengan Findri, teman baik Adel yang terang-terangan mengatakan, kalau dia menyukaiku. Latar belakang Findri yang berasal dari keluarga kaya, membuat mereka kesal karena aku lebih memilih menikah dengan Aina dan mengabaikannya.
Selama kami menikah, aku sengaja menjauhkan diri, agar Aina tidak mengetahui yang sebenarnya terjadi. Sekarang, saat kemampuan Aina dalam menulis tak diragukan, aku ingin membuka celah agar istriku tidak merasa kesepian lagi. Setidaknya, dia bisa berteman dengan ipar-iparnya tanpa merasa minder.
"Aku harus antar Aina dulu, Mas!" Aku kembali mengulanginya, karena mereka tidak merespon sama sekali.
"Nanti kamu malah nggak balik lagi ke sini!"
"Kalau sama Adel, bagaimana?"
"Aku nggak bisa, Mas. Bisa marah Niko kalau dia pulang, terus aku nggak dirumah!" alasannya.
"Maksud Mas, kamu antar Aina, Del! Bisa, kan?"
"Iya, aku anter!"
***
Pagi harinya, aku kembali ke rumah setelah semalaman menemani Mas Gani di rumah sakit. Operasi secar Mbak Feli sendiri berjalan lancar. Hanya saja, karena terlahir prematur, bayinya harus menjalani perawatan di ruang NICU.
"Mau kemana, Yang?" tanyaku ketika melihat Aina tengah bersiap.
"Mau ke bank ngurus kartu ATM yang ketelan," jawabnya santai. Aku melirik Aina, bagaimana ini?
"Mas aja nanti yang urus!"
"Mas, ngurus ATM begitu mana bisa diwakilin? Lagian Mas 'kan capek habis jaga semalaman."
Aku bergeming. Bagaimana harus menjelaskan padanya, kalau aku berbohong?
"Udah nggak usah panik, aku tahu kalau Mas berbohong kemarin. Coba jelasin sama aku, kenapa Mas bisa setega itu?"
Aku masih diam karena kebingungan. Ternyata, istriku tahu semuanya.
"Mas hanya sedang kesal dengan keluarga, Mas."
"Soal grup keluarga?"
"Sebaiknya, kamu nggak usah tahu, sayang ... cuma bikin sakit hati!"
"Eh, mana coba handphonenya? Nggak baik lho, nyimpen masalah sendiri!"
Dengan terpaksa, kuserahkan ponsel itu padanya agar dia tidak berpikir macam-macam.Semoga saja Aina tidak membaca apa yang seharusnya tidak dia ketahui ....
***
Dengan terpaksa, kuserahkan ponsel itu pada Aina agar dia tidak berpikir macam-macam.Perlahan raut wajahnya mulai berubah ketika dia mulai membaca satu persatu pesan-pesan yang ada di grup. Meski aku sudah keluar dari sana, aku lupa menghapus pesan yang telah dipulihkan."Kenapa Mas nggak pernah cerita selama ini?" tanyanya dengan raut wajah menyiratkan kekecewaan."Untuk apa? Mas malu sama kamu. Terlebih sama Ibu dan Bang Faiz."Bang Faiz sendiri adalah satu-satunya kakak kandung Aina. Dia yang masih lajang itu, memilih menetap di Bandung dan bekerja disana. Satu bulan sekali, dia datang untuk menjenguk Ibu yang tinggal bersama kami. Entah sudah berapa banyak kami meminta bantuan darinya setiap kali mengalami kesulitan."Kenapa harus malu?" Aina kelihatan penasaran."Keluarga Mas sarjana semua, tetapi tidak mengerti adab. Setidaknya, kepada orang yang lebih tua.""Bapak gimana?"Haruskah kuceritakan juga tentang Bapak yang selalu pilih kasih itu?"Bapak selalu saja berlindung di baw
"Mas butuh bantuan kamu, Ndra. Aina juga!" ucapnya dengan bibir bergetar."Kenapa?""Mas ditipu!""Ditipu bagaimana sih, Mas?" Aku semakin penasaran dan tiba-tiba saja teringat soal pemesan kaos yang belum memberikan uang muka padanya."Teman Mas yang pesan nggak bisa dihubungi. Ayo antar Mas ke rumahnya yang di Bogor. Tolong, Ndra, Mas gemetar ini. Bagaimana kalau sampai Feli tahu?" kata Mas Gani memohon, dengan wajah yang tidak bisa menutupi kepanikannya."Memang, kaosnya sudah di ambil?""Belum, Ndra. Masih dalam proses pengerjaan. Kemarin dia janji mau kasih DP, tapi sampai pagi ini nggak ada kabar. Mas hanya butuh kepastian. Masalahnya, jumlahnya nggak main-main. Uang Mas habis untuk bayar bahan kain!""Kenapa Mas bisa percaya begitu saja?""Dia teman baik Mas, lagipula Mas tahu dia orang kaya.""Oalah Mas, giliran sama orang kaya, dengan mudahnya mempercayakan uang ratusan juta. Coba kalau sama orang susah, dua ratus ribu saja susahnya minta ampun! Orang kaya juga belum tentu b
Andraina 6Tiba di rumah sakit, kami langsung menghampiri Aina. Namun, di tengah jalan Mas Gani malah berhenti dan mengurungkan niatnya."Kamu duluan saja!""Kenapa, Mas?""Ada Bapak sama Bu Asti. Males Mas nemuin!""Bu Asti siapa sih, Mas?" Dahiku mengkerut. Baru kali ini nama itu terdengar di telingaku."Calon istrinya Bapak, tapi kita semua nggak setuju. Sudah tua malah mau nikah lagi!"Kita? Apa Mas Gani dan kedua adikku tahu tentang Bu Asti? Kenapa aku tidak tahu apa-apa?Apakah berbagi kebahagiaan dan minta pendapat dari anak yang tidak berhasil ini tidak begitu penting menurut Bapak?Hatiku kembali teriris, apa lagi yang tidak kuketahui selain ini?"Mas!" Aina menepuk punggungku. Tanpa sadar, aku melamun sampai tak tahu Mas Gani kemana."Ada Dani sama Bapak!""Mas tahu."Aku berbalik badan dan mengikuti Mas Gani."Lho, mau kemana?" Aina mencoba menahanku."Cari minuman!""Nggak boleh begitu, Mas. Bukannya sudah lama Mas nggak ketemu Bapak?"Melihat wajah Aina yang tulus, hatiku
Satu minggu berlalu. Kini, hatiku perlahan mulai pulih dan menerima kenyataan, kalau aku memang tidak diterima oleh keluargaku sendiri.Saat ini, kuserahkan seluruh hidupku hanya untuk keluarga kecil kami. Aina, Abi dan juga ibu mertuaku.Karena mulai sibuk berdagang, aku terus berusaha melupakan semua kejadian demi kejadian yang membuatku semakin merasa dikucilkan.Kuminta juga Aina untuk memblokir kontak seluruh keluargaku, seperti yang aku lakukan lebih dahulu.Kios kecil di ujung gang tak jauh dari rumah kami, disewa dengan biaya tiga ratus ribu per bulan. Baru beberapa hari saja, setidaknya, paling sedikit aku bisa menjual seratus potong ayam goreng setiap harinya. Dengan keuntungan dua ribu rupiah per potong, cukup untuk menutup biaya hidup sehari-hari dan sedikit tabungan.Sedangkan Aina, dia lebih sering dirumah dan melanjutkan kegiatan menulisnya sambil mengurus Abi. Hanya saat jam makan siang dia mengantarkan makanan yang dimasak oleh Ibu mertuaku."Mas, kata Bang Faiz, dia
"Anak Mas Gani meninggal, Pak? Inalillahi wa Inna ilaihi raji'un ...."Bayi perempuan yang belum sempat kulihat wajahnya itu akhirnya menyerah. Mungkin dia juga merasakan kalau orangtuanya terbebani dengan kehadirannya."Bapak tahu kamu kesal, Ndra. Bapak menyesal karena tidak bisa menjadi penengah. Akan tetapi seburuk-buruknya saudara, dia tetap keluarga kamu."Aku diam. Terserah Bapak mau bicara apa. Toh, dari arah pembicaraannya Bapak masih terlihat membela mereka. Bahkan terkesan menyudutkan aku.Sepertinya penyesalan hanya terucap di bibir saja, tanpa bisa memaknainya lebih dalam."Kamu berubah semenjak menikah, Ndra. Bapak seperti kehilangan satu orang anak." Aku melirik Aina yang sedang menggantikan aku melayani pembeli. Semoga saja Aina tidak fokus menyimak. Aku tidak ingin dia merasakan sakit mendengar ucapan Bapak."Soal hubungan Bapak dan Bu Asti, sepertinya kamu lebih dewasa untuk mengerti. Bapak butuh orang untuk merawat dan menemani Bapak. Tanpa sepengetahuan mereka, Bap
Aku menatap Abidzar yang tengah tertidur pulas. Kasihan sekali putraku itu. Benar kata Aina, Abi sama sekali tidak mengenal anggota keluargaku. Saat hari kelahirannya saja, mereka hanya memberikan ucapan selamat lewat pesan. Aina tidak menaruh curiga, karena saat itu, Adel, Mas Gani dan Dani sedang berlibur ke pulau Bali dengan pasangan mereka masing-masing. Sepulang dari sana, ada saja alasan yang diberikan pada kami, untuk menghindari bertemu dengan Aina dan keponakan baru mereka.Dari keempat bersaudara, Mas Gani, menikah lebih dulu enam tahun yang lalu. Namun, sampai usia pernikahan mereka memasuki tahun keenam, Mbak Feli baru mengandung anak pertama mereka. Sayangnya, bayi perempuan itu harus meninggal dalam waktu kurang dari dua minggu. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mbak Feli saat ini. Bayi yang dinanti sekian lama, meninggal dengan begitu cepat.Setelah Mas Gani, satu tahun kemudian giliran si bungsu Dani yang menikah dengan Zema. Dari pernikahannya, Dani mem
POV AINAAku menatap lekat wajah Mas Andra yang tertidur pulas di pangkuanku. Akhirnya, pertanyaan demi pertanyaan yang selama ini muncul dibenakku terjawab sudah.Semenjak menikah dengan Mas Andra, tiga tahun yang lalu, aku memang sudah merasa ada keanehan. Suamiku seperti terasingkan dan menjauhkan diri dari keluarganya. Setiap kali aku bertanya, dia hanya berkilah kalau keluarganya memang sibuk. Ternyata, dia rela menutupi semuanya demi menjaga perasaan istrinya.Semua berawal saat Mas Andra membeli handphone baru. Pesan-pesan lama yang sudah dicadangkan tetap tersimpan dan dia lupa menghapusnya lagi. Dari deretan chat yang masih ada, aku tahu kalau hubungan Mas Andra dengan keluarganya selama ini tidak baik. Namun, kasih sayang dan perhatian lebih yang dicurahkan Mas Andra, membuatku lupa dengan hal penting yang harus kuselidiki.Selama dua hari tidak memiliki handphone, Mas Andra kerapkali meminjam ponsel milikku setiap kali dia merasa bosan. Entah membuka akun IG atau Facebook,
"Sayang, kamu udah tidur?" tanyaku pada Aina di ujung sambungan telepon. Sehari-harinya kami selalu bersama. Jadi saat terpisah seperti ini, membuatku sangat merindukannya."Udah, Mas. Eh, kalau sekarang belum."Aina terdengar gugup. Mungkin dia merasakan hal yang sama sepertiku. Menahan rindu. Membuatku tertawa mendengar jawabannya yang terdengar menggemaskan itu."Abi sudah tidur?" tanyaku lagi. Karena biasanya, dia hanya akan tidur kalau sudah kugendong."Sudah. Mas, kapan pulang?""Malam ini Mas pulang sayang, sebentar lagi. Oya, tadi Mas dihubungi Bang Faiz dan dia bilang, mau ikut bareng sama Mas malam ini ke Jakarta. Nih, lagi nunggu di depan kontrakannya.""Nanti Adel bagaimana, Mas? Takutnya nggak nyaman kalau Bang Faiz ikut." Suara Aina terdengar cemas."Dia masih ingin menunggu Niko dirumah mertuanya. Jadi nggak ikut pulang.""Oh begitu ... Oya, Mas, tadi Bapak kesini lagi sama Bu Asti," terang Aina. "Bapak? Ngapain?""Dia bilang, dia mau ketemu Abi.""Terus?""Bapak bawa b