Dengan terpaksa, kuserahkan ponsel itu pada Aina agar dia tidak berpikir macam-macam.
Perlahan raut wajahnya mulai berubah ketika dia mulai membaca satu persatu pesan-pesan yang ada di grup. Meski aku sudah keluar dari sana, aku lupa menghapus pesan yang telah dipulihkan.
"Kenapa Mas nggak pernah cerita selama ini?" tanyanya dengan raut wajah menyiratkan kekecewaan.
"Untuk apa? Mas malu sama kamu. Terlebih sama Ibu dan Bang Faiz."
Bang Faiz sendiri adalah satu-satunya kakak kandung Aina. Dia yang masih lajang itu, memilih menetap di Bandung dan bekerja disana. Satu bulan sekali, dia datang untuk menjenguk Ibu yang tinggal bersama kami. Entah sudah berapa banyak kami meminta bantuan darinya setiap kali mengalami kesulitan.
"Kenapa harus malu?" Aina kelihatan penasaran.
"Keluarga Mas sarjana semua, tetapi tidak mengerti adab. Setidaknya, kepada orang yang lebih tua."
"Bapak gimana?"
Haruskah kuceritakan juga tentang Bapak yang selalu pilih kasih itu?
"Bapak selalu saja berlindung di bawah kata tidak tahu. Buat Bapak, mungkin lebih baik tidak memihak siapapun. Padahal, Mas butuh ketegasan buat sesekali menyadarkan kekeliruan mereka," jelasku lirih. Ternyata lega bisa menceritakan semuanya pada Aina tentang apa yang mengganjal selama ini.
"Roda berputar, Mas ... dan Allah tidak pernah tidur. Aku yakin suatu hari nanti cara pandang mereka bisa berubah terhadap kamu. Percaya, deh!"
"Syukurlah ... selama ini Mas menyembunyikan semuanya, supaya kamu nggak sakit hati," terangku.
"Tapi Mas, ada yang mengganggu pikiranku sejak tadi."
"Apa?"
"Maksudnya Mas Gani, kalau Mas nggak nurut ini apa, sih?" Dia menyodorkan ponselku dan menunjukan pesan Mas Gani waktu itu.
Aku menelan ludah. Kenapa Aina bisa memerhatikan percakapan sampai sebegitu detailnya?
Sekarang, apa yang harus kukatakan padanya?
"Oh, itu karena dia minta Mas, buat kerja di konveksi miliknya. Maaf ya, Mas nggak bisa kerja sama saudara sendiri, takut makan hati," jelasku berbohong. Daripada Aina mengetahui apa yang dimaksud Mas Gani sebenarnya dalam pesan itu.
Untuk mengalihkan pertanyaan Aina, ku gendong Abi yang tertatih menghampiriku. Si kecil berusia sebelas bulan itu memang tangah aktif belajar berjalan.
"Jadi sekarang bagaimana? jadi, mau beli motor? atau mau langsung tanya Pak RT tentang mitra usaha yang kita rencanakan waktu itu?" tanya Aina lagi. Syukurlah, dia tidak membahas tentang pesan yang ada di ponselku lagi.
"Terserah kamu, Yang. Zakat sudah kamu tunaikan, saran Mas, bahagiakan Ibu dulu. Insya Allah, doa yang tulus dari Ibu akan membuat usaha kita semakin lancar."
"Kalau begitu, kita ke Pak RT dulu buat mastiin biaya yang dibutuhkan berapa, habis itu ajak Ibu jalan-jalan. Kayaknya, baju Abi udah banyak yang kekecilan. Baju Mas sama Ibu juga udah pada melar karena keseringan dipakai."
"Kamu tuh, lucu, Yang! selalu lebih mikirin orang lain ketimbang kamu sendiri!"
"Aku mah, gampang, Mas. Insya Allah bulan depan dapet transferan lagi. Cuma aku belum tahu nanti dapat berapa." Penjelasan Aina membuatku terperanjat.
"Lho, Mas kira cuma sekali aja?"
"Insya Allah, akan terus gajian kalau aku aktif terus. Mas bantu doa aja biar aku dapet ide terus buat nulis."
"Mas jadi malu sama kamu, seharusnya Mas yang membahagiakan kamu. Bukan sebaliknya."
"Eh, kok melow begini sih? Nulis itu hobi aku dari kecil, Mas. Siapa sangka kalau aku bisa dapat penghasilan dari sini. Insya Allah apa yang kita rencanakan selama ini bisa terwujud."
"Aamiin Ya Allah ...."
"Eh, tapi Mas capek nggak kalau kita ke rumah Pak RT sekarang?" tanya Aina lagi. Melihatnya penuh semangat begitu, mana mungkin aku merasakan lelah?
"Mas nggak capek, ayo, kita kesana!"
Aku dan Aina memang sudah lama punya impian untuk bekerja sama dengan franchise ayam goreng yang digeluti salah satu anak Pak RT. Kata beliau, hasilnya bisa mencapai tiga ratus ribu per hari. Hanya saja, modal yang dikeluarkan pertama kali memang besar.
***
Sampai di rumah Pak RT, kami disambut dengan baik. Katanya, untuk bekerjasama dengan franchise tersebut, modal yang digunakan sebesar dua puluh lima juta rupiah.
Dengan mengucap bismillah, aku dan Aina mantap memulai usaha ini.
Namun, setibanya di rumah, Mas Gani sudah menunggu kami di teras dan ditemani sama Ibu.
"Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran.
Sepanjang usia pernikahanku dengan Aina, dia hanya pernah kesini satu kali, di hari pernikahan kami. Bahkan saat Abidzar lahir, mereka seolah lupa arah jalan ke rumah ini.
Kami hanya bertemu setahun sekali di rumah Bapak saat hari raya tiba.
"Mas butuh bantuan kamu, Ndra. Aina juga!" ucapnya dengan bibir bergetar ....
"Bantuan saya? Bantuan apa???"
***
"Mas butuh bantuan kamu, Ndra. Aina juga!" ucapnya dengan bibir bergetar."Kenapa?""Mas ditipu!""Ditipu bagaimana sih, Mas?" Aku semakin penasaran dan tiba-tiba saja teringat soal pemesan kaos yang belum memberikan uang muka padanya."Teman Mas yang pesan nggak bisa dihubungi. Ayo antar Mas ke rumahnya yang di Bogor. Tolong, Ndra, Mas gemetar ini. Bagaimana kalau sampai Feli tahu?" kata Mas Gani memohon, dengan wajah yang tidak bisa menutupi kepanikannya."Memang, kaosnya sudah di ambil?""Belum, Ndra. Masih dalam proses pengerjaan. Kemarin dia janji mau kasih DP, tapi sampai pagi ini nggak ada kabar. Mas hanya butuh kepastian. Masalahnya, jumlahnya nggak main-main. Uang Mas habis untuk bayar bahan kain!""Kenapa Mas bisa percaya begitu saja?""Dia teman baik Mas, lagipula Mas tahu dia orang kaya.""Oalah Mas, giliran sama orang kaya, dengan mudahnya mempercayakan uang ratusan juta. Coba kalau sama orang susah, dua ratus ribu saja susahnya minta ampun! Orang kaya juga belum tentu b
Andraina 6Tiba di rumah sakit, kami langsung menghampiri Aina. Namun, di tengah jalan Mas Gani malah berhenti dan mengurungkan niatnya."Kamu duluan saja!""Kenapa, Mas?""Ada Bapak sama Bu Asti. Males Mas nemuin!""Bu Asti siapa sih, Mas?" Dahiku mengkerut. Baru kali ini nama itu terdengar di telingaku."Calon istrinya Bapak, tapi kita semua nggak setuju. Sudah tua malah mau nikah lagi!"Kita? Apa Mas Gani dan kedua adikku tahu tentang Bu Asti? Kenapa aku tidak tahu apa-apa?Apakah berbagi kebahagiaan dan minta pendapat dari anak yang tidak berhasil ini tidak begitu penting menurut Bapak?Hatiku kembali teriris, apa lagi yang tidak kuketahui selain ini?"Mas!" Aina menepuk punggungku. Tanpa sadar, aku melamun sampai tak tahu Mas Gani kemana."Ada Dani sama Bapak!""Mas tahu."Aku berbalik badan dan mengikuti Mas Gani."Lho, mau kemana?" Aina mencoba menahanku."Cari minuman!""Nggak boleh begitu, Mas. Bukannya sudah lama Mas nggak ketemu Bapak?"Melihat wajah Aina yang tulus, hatiku
Satu minggu berlalu. Kini, hatiku perlahan mulai pulih dan menerima kenyataan, kalau aku memang tidak diterima oleh keluargaku sendiri.Saat ini, kuserahkan seluruh hidupku hanya untuk keluarga kecil kami. Aina, Abi dan juga ibu mertuaku.Karena mulai sibuk berdagang, aku terus berusaha melupakan semua kejadian demi kejadian yang membuatku semakin merasa dikucilkan.Kuminta juga Aina untuk memblokir kontak seluruh keluargaku, seperti yang aku lakukan lebih dahulu.Kios kecil di ujung gang tak jauh dari rumah kami, disewa dengan biaya tiga ratus ribu per bulan. Baru beberapa hari saja, setidaknya, paling sedikit aku bisa menjual seratus potong ayam goreng setiap harinya. Dengan keuntungan dua ribu rupiah per potong, cukup untuk menutup biaya hidup sehari-hari dan sedikit tabungan.Sedangkan Aina, dia lebih sering dirumah dan melanjutkan kegiatan menulisnya sambil mengurus Abi. Hanya saat jam makan siang dia mengantarkan makanan yang dimasak oleh Ibu mertuaku."Mas, kata Bang Faiz, dia
"Anak Mas Gani meninggal, Pak? Inalillahi wa Inna ilaihi raji'un ...."Bayi perempuan yang belum sempat kulihat wajahnya itu akhirnya menyerah. Mungkin dia juga merasakan kalau orangtuanya terbebani dengan kehadirannya."Bapak tahu kamu kesal, Ndra. Bapak menyesal karena tidak bisa menjadi penengah. Akan tetapi seburuk-buruknya saudara, dia tetap keluarga kamu."Aku diam. Terserah Bapak mau bicara apa. Toh, dari arah pembicaraannya Bapak masih terlihat membela mereka. Bahkan terkesan menyudutkan aku.Sepertinya penyesalan hanya terucap di bibir saja, tanpa bisa memaknainya lebih dalam."Kamu berubah semenjak menikah, Ndra. Bapak seperti kehilangan satu orang anak." Aku melirik Aina yang sedang menggantikan aku melayani pembeli. Semoga saja Aina tidak fokus menyimak. Aku tidak ingin dia merasakan sakit mendengar ucapan Bapak."Soal hubungan Bapak dan Bu Asti, sepertinya kamu lebih dewasa untuk mengerti. Bapak butuh orang untuk merawat dan menemani Bapak. Tanpa sepengetahuan mereka, Bap
Aku menatap Abidzar yang tengah tertidur pulas. Kasihan sekali putraku itu. Benar kata Aina, Abi sama sekali tidak mengenal anggota keluargaku. Saat hari kelahirannya saja, mereka hanya memberikan ucapan selamat lewat pesan. Aina tidak menaruh curiga, karena saat itu, Adel, Mas Gani dan Dani sedang berlibur ke pulau Bali dengan pasangan mereka masing-masing. Sepulang dari sana, ada saja alasan yang diberikan pada kami, untuk menghindari bertemu dengan Aina dan keponakan baru mereka.Dari keempat bersaudara, Mas Gani, menikah lebih dulu enam tahun yang lalu. Namun, sampai usia pernikahan mereka memasuki tahun keenam, Mbak Feli baru mengandung anak pertama mereka. Sayangnya, bayi perempuan itu harus meninggal dalam waktu kurang dari dua minggu. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mbak Feli saat ini. Bayi yang dinanti sekian lama, meninggal dengan begitu cepat.Setelah Mas Gani, satu tahun kemudian giliran si bungsu Dani yang menikah dengan Zema. Dari pernikahannya, Dani mem
POV AINAAku menatap lekat wajah Mas Andra yang tertidur pulas di pangkuanku. Akhirnya, pertanyaan demi pertanyaan yang selama ini muncul dibenakku terjawab sudah.Semenjak menikah dengan Mas Andra, tiga tahun yang lalu, aku memang sudah merasa ada keanehan. Suamiku seperti terasingkan dan menjauhkan diri dari keluarganya. Setiap kali aku bertanya, dia hanya berkilah kalau keluarganya memang sibuk. Ternyata, dia rela menutupi semuanya demi menjaga perasaan istrinya.Semua berawal saat Mas Andra membeli handphone baru. Pesan-pesan lama yang sudah dicadangkan tetap tersimpan dan dia lupa menghapusnya lagi. Dari deretan chat yang masih ada, aku tahu kalau hubungan Mas Andra dengan keluarganya selama ini tidak baik. Namun, kasih sayang dan perhatian lebih yang dicurahkan Mas Andra, membuatku lupa dengan hal penting yang harus kuselidiki.Selama dua hari tidak memiliki handphone, Mas Andra kerapkali meminjam ponsel milikku setiap kali dia merasa bosan. Entah membuka akun IG atau Facebook,
"Sayang, kamu udah tidur?" tanyaku pada Aina di ujung sambungan telepon. Sehari-harinya kami selalu bersama. Jadi saat terpisah seperti ini, membuatku sangat merindukannya."Udah, Mas. Eh, kalau sekarang belum."Aina terdengar gugup. Mungkin dia merasakan hal yang sama sepertiku. Menahan rindu. Membuatku tertawa mendengar jawabannya yang terdengar menggemaskan itu."Abi sudah tidur?" tanyaku lagi. Karena biasanya, dia hanya akan tidur kalau sudah kugendong."Sudah. Mas, kapan pulang?""Malam ini Mas pulang sayang, sebentar lagi. Oya, tadi Mas dihubungi Bang Faiz dan dia bilang, mau ikut bareng sama Mas malam ini ke Jakarta. Nih, lagi nunggu di depan kontrakannya.""Nanti Adel bagaimana, Mas? Takutnya nggak nyaman kalau Bang Faiz ikut." Suara Aina terdengar cemas."Dia masih ingin menunggu Niko dirumah mertuanya. Jadi nggak ikut pulang.""Oh begitu ... Oya, Mas, tadi Bapak kesini lagi sama Bu Asti," terang Aina. "Bapak? Ngapain?""Dia bilang, dia mau ketemu Abi.""Terus?""Bapak bawa b
"Saya baru mau jualan, Pak. Kalau nanti sore bagaimana?" kataku beralasan. Mencoba mengetes Bapak. Apakah ini benar-benar darurat atau tidak."Tapi Bapak perlu sekarang, Ndra!" pintanya lagi. Suaranya kini terdengar jauh lebih tenang, tapi kenapa aku malah semakin khawatir?Prang!!!Aku menoleh cepat. Ternyata Aina baru saja menjatuhkan gelas beling."Yang, kamu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir dan sedikit mengabaikan Bapak. Kuletakan ponsel di meja, lalu mengambil pecahan kaca.Kulihat Aina langsung menutup laptopnya dan ikut berjongkok memunguti pecahan beling."Nggak sengaja kesenggol gelasnya tadi." Suara Aina terdengar bergetar."Kamu duduk aja, biar Mas yang beresin!" perintahku setelah melihat tangannya juga gemetar saat memasukan satu persatu pecahannya ke dalam plastik "Aku aja yang beresin. Mas harus nemuin Bapak, kan?""Nggak tahu, Mas bingung. Nanti jualan bagaimana? Mana ayamnya sudah terlanjur Mas kasih bumbu!""Ya ampun, masih mikirin ayam aja. Kan ada Bang Faiz!""Ngg