Share

RODA BERPUTAR

"Apa Mas sudah telepon yang lain?" tanyaku kembali memastikkan.

"Sudah, tapi nggak ada yang jawab."

"Saya nggak berhak, Mas, itu uang Aina. Nanti saya tanya dulu. Maaf, bukannya tabungan Mas banyak? Lagipula, Mbak Feli, kan, sudah mau lahiran, apa Mas nggak ada persiapan?" sindirku halus, seperti yang dia katakan saat aku meminjam untuk biaya persalinan Aina waktu itu.

"Baru saja Mas bayar ke pemasok kain. Ada pesanan kaos dalam jumlah besar dan mereka belum kasih DP. Lagian, Feli tuh seharusnya lahiran bulan depan. Kalau tahu begini, mana mungkin Mas bayarin kain!" Mas Gani terdengar emosi.

Tapi apa katanya tadi, belum kasih DP? Entah Mas Gani atau pemasok kain yang berbohong, apa itu tidak mencurigakan?

Ah ... ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan semua itu. 

"Saya tanya istri saya dulu, ya, Mas."

"Jangan lama-lama ya, Feli harus segera ditangani."

Dengan berat hati, segera aku beranjak untuk menyampaikan semuanya pada Aina. Jujur saja kalau ingat kejadian beberapa hari yang lalu, hatiku masih terasa sakit. Keluarga sedarah yang seharusnya menjadi orang paling depan memberikan pertolongan, malah menjauh seperti musuh. 

Beruntungnya, aku tidak sempat menceritakan soal kejadian di grup WA keluargaku beberapa hari yang lalu pada Aina. Selama ini juga begitu. Biarlah ... hanya aku yang mengetahui baik dan buruknya keluargaku ini.

Namun, belum sempat aku beranjak, kulihat Aina tengah bersiap. 

"Mau kemana, Yang?"

"Ke rumah sakit, Mas. Abidzar udah tidur di kamar sama Ibu. Mas Gani sudah hubungin Mas, kan?" jelasnya.

Jadi, Mas Gani sudah menghubungi Aina juga? Cepat sekali geraknya!

"Mas Gani? Terus dia bilang apa?" Aku berlagak tidak tahu.

"Pinjam uang sepuluh juta katanya ...."

Terus terang, aku masih sangat kesal dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Meski Dani yang meneruskan pesan dariku di grup keluarga, tapi Mas Gani tak luput juga ikut mencemooh.

Namun, karena Aina sudah mengetahuinya sendiri, aku bisa apa sekarang?

"Kamu yakin mau minjemin uang sebanyak itu?"

"Insya Allah yakin, Mas. Mas Gani bilang, hari ini dia nggak bisa ambil uang lagi karena sudah mencapai limit. Mau jual perhiasan sudah sore, tokonya pasti sudah tutup. Kasihan ...," jawabnya polos.

Kasihan? Masih bisakah dia bilang begitu, kalau saja dia tahu apa yang terjadi selama ini dan di grup dua hari yang lalu?

"Jangan sepuluh juta, sayang ... kalau balikinnya lama gimana? Kita, kan, butuh modal buat usaha?"

"Mas, ini nyawa, lho. Kasihan Mbak Feli. Lagipula, Mas Gani janji balikin cepet sama aku."

"Salah sendiri, sih! Kenapa nggak mau pakai BPJS atau asuransi!"

"Mba Feli mana mau pakai fasilitas dari askes begitu? Udah ah, nggak boleh nyinyir begitu, kan, Mas tahu pas kita lagi susah. Nggak enak kalau nggak ada yang peduli."

"Tapi Yang—"

"Udah, ayo langsung ke rumah sakit. Kata Mas Gani, ambil uangnya di ATM rumah sakit aja."

***

Sepanjang perjalanan, aku masih merasa tidak rela dan memikirkan cara untuk menghentikan Aina. Disaat susah seperti ini, kenapa harus kami yang mereka andalkan?

Teringat kembali perlakuan mereka yang terjadi tak hanya sekali dua kali. Aku sampai sengaja memisahkan diri dari keluarga agar Aina tidak tahu keburukan mereka.

Sampai di rumah sakit swasta ini, kulihat Mas Gani tengah menunggu di kursi tunggu, ruang UGD.

"Bagaimana keadaan Mbak Feli, Mas?" tanya Aina.

"Sudah ditangani, tinggal menunggu jadwal operasi."

"Syukurlah ... padahal tadi siang masih berbalas WA sama aku, lho!" sambung istriku lagi.

"Kejadiannya memang cepat, dia kepleset tadi. Ini juga masih jauh dari HPL. Hanya saja dokter menyarankan untuk segera operasi.  Oya, Ndra, kamu sudah ambil uangnya?"

"Belum, Mas. Kan, Mas yang suruh ambil disini."

Mataku lalu tertuju pada sesuatu di balik kantong celana kain Mas Gani. Aku tahu itu apa, dan tiba-tiba saja terpikirkan ide.

"Sini, Yang ... Mas yang cari mesin ATM-nya, kamu lihat Mbak Feli dulu sana!"

Tanpa banyak bertanya, Aina menyerahkan kartu ATM miliknya dan pergi menemui Mbak Feli. Syukurlah ....

***

"Sudah, Ndra?" tanya Mas Gani saat aku menghampirinya.

"Maaf Mas, ATM-nya tertelan!"

"Ya ampun, Ndra, kamu nggak bisa di andelin banget, sih! Keadaan lagi darurat begini, bisa-bisanya ceroboh!"

"Ya gimana Mas, saya grogi sudah lama nggak pakai ATM."

"Sekarang ada uang berapa? Kamu udah sempat ambil sebelumnya, kan?"

"Udah Mas, tapi cuma buat beli handphone dan susu Abi."

"Masa nggak ada sisanya?"

"Ada juga, tapi cuma sedikit!"

"Berapa?"

"Dua ratus ribu!"

Mata Mas Gani langsung membulat mendengar nominal angka yang kusebutkan.

"Kamu masih dendam, soal kejadian itu?"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jess
gak jadi baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status