Andraina 1
Diteruskan
[Dik, Mas pinjam uang 200.000. Mas ada keperluan mendadak yang sangat penting.]
Pesan yang kukirimkan lima menit yang lalu, kini sudah masuk ke grup keluarga.
Batinku mencelos. Kenapa Dani tega berbuat demikian? Padahal, ini kali pertama aku beranikan diri meminjam uang darinya.
[Mas Andra itu kebangetan. Masa uang segitu aja dipinjam?] Pesan yang tersemat di bawah pesanku yang diteruskan semakin menambah pilu hati ini.
Bukannya membalas pesan dariku, dia malah membuat seisi grup heboh.
Meskipun anggotanya keluarga kami, tak lantas membuatku luput menjadi bahan ejekan.
[Apa nggak punya tabungan sama sekali? Bukannya dia kerja?] Balasan dari Adel juga sama.
[Susah dibilangin, ya, begitu. Sama Mas aja nggak nurut kalau dikasih tahu. Giliran susah larinya ke siapa? Kita-kita juga, kan?] Mas Gani ikut menimpali.
Dengan asyiknya mereka berbalas pesan, seolah aku tidak ada disana dan membaca pesan mereka.
Di dalam keluarga besar ini, memang hanya aku yang belum berhasil dan masih berjuang bersama keluarga kecilku. Sedangkan adik dan kakakku, mereka telah sukses dengan jabatan dan profesinya masing-masing.
Adel, adikku, menikah dengan seorang manager. Sedangkan Dani, yang lahir dua tahun setelah Adel, juga sukses menjadi karyawan salah satu bank swasta.
Sementara Mas Gani dan istrinya, mereka mengelola konveksi baju peninggalan mertuanya yang telah meninggal dunia.
***
Aku masih diam, menunggu respon dari Bapak. Satu-satunya orangtua yang kumiliki dan kuhormati saat ini, karena Ibu telah meninggal dunia beberapa tahun silam.
Sampai satu jam lebih, Bapak tidak merespon apapun. Padahal, yang ku tahu, Bapak online sejak tadi.
Dengan hati terluka, kukirimkan pesan balasan.
[Maaf jika Mas merepotkan kamu, Dik. Mas tidak menyangka akan seheboh ini. Padahal, uang belum Mas terima, tapi malah dicemooh oleh kalian. Terima kasih, InsyaaAllah Mas tidak akan merepotkan kalian lagi]
Setelah mengirimkan pesan itu, aku memilih keluar dari grup. Percuma berada disana, kalau aku juga tak dianggap oleh mereka. Bahkan Bapak, satu-satunya orang yang kuharapkan memihakku, pun, sama saja. Untung saja Aina tidak pernah kuizinkan masuk grup itu juga.
"Bagaimana, Mas? Dapat uangnya?" Aku menggeleng pelan. Aina pasti kecewa. Karena sejatinya, uang itu akan dia gunakan untuk membuka rekening bank.
Beberapa bulan ini, Aina memang aktif menyalurkan hobinya menulis di salah satu platform kepenulisan. Pesan yang kami terima, bulan ini dia mendapat bayaran lebih dari lima puluh juta rupiah. Karena itulah, dia harus segera membuka rekening atas namanya sendiri hari ini.
Seperti pelangi setelah hujan, keberhasilan Aina memberi harapan baru untuk keluarga kecil kami.
Keluargaku sendiri tidak pernah tahu kalau aku menganggur selama hampir setahun. Selama ini, kami bertahan dengan uang pesangon yang ku dapatkan.
Entah apa jadinya kalau mereka tahu aku tidak bekerja.
"Maaf, Yang ... Mas nggak dapat pinjaman!" ucapku lirih. Ah ... betapa bodohnya aku. Saat ini, aku merasa tidak berguna.
"Jual handphone-ku dulu ya, Mas. Nanti setelah dapat uangnya, kita beli yang baru."
"Kalau begitu jangan handphone kamu, punya Mas saja. Biar kamu masih tetap bisa menggunakannya untuk menulis!"
"Mas yakin?"
"Yakin. InsyaAllah nggak lama lagi uang kamu cair, kan? Kamu ikhlas menggunakannya?"
"Ikhlas, Mas. InsyaAllah, bisa untuk modal usaha yang Mas inginkan."
Aku menatap Aina penuh haru. Wanita yang sudah membersamaiku selama tiga tahun ini, memang selalu terlihat ceria. Bahkan saat Abidzar lahir, bersamaan dengan bangkrutnya perusahaan tempatku bekerja, dia tidak pernah mengeluh.
***
Dua hari kemudian, kami pun menerima transferan dari platform kepenulisan itu. Rasa bahagia yang tidak terkira, membuat Aina mengambil tangkapan layar dari hasil yang dia terima saat ini dan memasangnya sebagai status WA.
Berbagai pesan masuk ke ponsel Aina dan mengucapkan selamat padanya, termasuk dari iparnya, Feli, istri Mas Gani. Aku yakin, kalau salah satu dari mereka tahu, pasti cepat menyebar ke yang lain.
"Harusnya nggak usah di posting, sayang," ucapku hati-hati agar tidak merusak kebahagiaannya.
"Mas kan, mau beli motor baru pakai uang ini. Nanti kalau tetangga ngira kita pelihara tuyul bagaimana? Kan, selama ini mereka tahu kalau Mas lagi nggak kerja!'
Aku tertawa mendengar ucapan Aina. Benar juga, sih. Selama ini kan, mereka tahunya aku tidak bekerja. Akan tetapi, bagaimana dengan keluargaku?
Ting!
Suara panggilan masuk ke handphone yang baru saja di beli siang tadi, membuyarkan lamunanku.
Telepon masuk dari Mas Gani.
"Ndra, kamu pegang uang cash sepuluh juta?"
"Bukan aku, Mas, tapi Aina."
"Sama saja dong, Ndra. Dia kan istri kamu! Mbak Feli mengalami pendarahan. Mas di rumah sakit sekarang. Harus ada DP dua puluh lima juta."
"Mas sudah telepon yang lain?"
"Sudah, tapi nggak ada yang jawab!"
***
"Harapan pasti ada. Tapi kami semua tahu seberapa besar kesalahan Mas Gani terhadap Mbak Feli. Jadi, nggak mungkin kami memaksa," jawabku jujur, atas pertanyaan Mbak Feli."Sudah makan siang belum, Mbak?" tanya Aina mengalihkan."Belum." Mbak Feli lalu beralih pada Bang Faiz yang masih saja melamun. "Iz, Mbak ingin nagih janji!"Bang Faiz benar-benar tidak mengindahkan panggilan Mbak Feli. Padahal, dia berteriak cukup keras."Bang!" panggil Aina sedikit lebih keras dari Mbak Feli."Eh, iya, kenapa Ai?" Bang Faiz gelagapan seperti orang bingung."Ditagih janji sama Mbak Feli. Janji traktiran waktu itu!""Sekarang, ya? Saya kan waktu itu janjinya mau traktir sekalian sama Mas Gani ....""Jangan bahas yang lalu, deh!" sungutnya kesal. "Maaf ya, Ndra ....""Santai saja, Mbak. Aku nggak apa-apa."Mau bagaimana lagi? Ini semua memang kesalahan Mas Gani sendiri. Dia yang sudah menyia-nyiakan wanita sebaik Mbak Feli."Iz, pacarmu orang mana?"Duh, Mbak Feli, kenapa harus membahas hal itu?"Sa
Setibanya di rumah Adel, aku melihat mobil Niko terparkir di depan pagar. Entah bagaimana caranya dia bisa membawa kendaraan dalam keadaan mabuk.Sementara Niko sendiri, dia duduk bersandar di depan pintu rumahnya saat masih bersama Adel dulu."Niko, ngapain malam-malam di sini?" tanyaku seraya berusaha membangunkannya.Niko bangkit, lalu duduk di bangku teras. Sementara Aina tetap mengekor di belakangku. Dia memang takut setiap kali melihat orang mabuk."Saya ingin bertemu Adel dan Azka, Mas!""Nggak seperti ini, Niko. Sidang perceraian kalian sedang berjalan. Adel bisa saja lapor RT karena merasa terganggu dengan kedatangan kamu dengan keadaan mabuk begini. Tapi dia nggak mau kamu malu, Niko! Pulang dan kembali lagi besok setelah kamu sadar dari pengaruh minuman!" Niko lalu mengusap-usap wajahnya beberapa kali. Saat dia sedang tidak fokus begitu, Aina mengambil kesempatan untuk membuka pintu dengan kunci cadangan yang pernah diberikan Adel."Saya ingin rujuk dengan Adel, Mas ... sa
Hari ini, aku dan Bang Faiz kembali membuka kios. Sedangkan Dani tidak bisa berjualan hari ini. Kabar bahagia yang kami terima, Zema kini tengah berbadan dua. Ngidam yang cukup parah membuat Dani memutuskan untuk libur berdagang untuk sementara waktu. Ketika sedang sibuk-sibuknya kami menyiapkan dagangan, seorang pelanggan yang pernah memesan banyak waktu itu, kembali datang. "Mas, saya pesan minuman sama paket nasi ayam untuk besok, bisa?" tanya wanita itu. "Berapa porsi, Mbak?" "Seratus lima puluh porsi. Bisa, kan?" "Insya Allah bisa, Mbak ... kalau boleh tahu, untuk acara apa, ya?" tanyaku penasaran. Jujur saja, aku merasa heran. Melihat penampilannya, kalau untuk acara resmi, bisa saja dia memesan makanan di tempat lain yang lebih mewah. Bukan makanan kaki lima pinggir jalan seperti ini. "Maaf, tapi saya nggak bisa bilang, Mas. Oya, toko rotinya nggak buka hari ini, ya?" Wanita itu melirik kios Dani. "Libur hari ini, Mbak. Memang mau pesan juga? Bisa saya sampaikan nanti. K
"Karena Azka sudah lahir, aku mau minta dukungan kalian untuk mengajukan gugatan perceraian di pengadilan," ungkap Adel hari itu, saat kami semua berkumpul di rumah Bapak yang kini dihuni Mas Gani bersama Siska. Sejak dia kehilangan salah satu kakinya, rumah ini memang menjadi tempat berkumpul kami. Selain karena kondisi Mas Gani, Siska juga sedang mengandung."Pikirkan lagi baik-baik, Del. Kasihan Azka. Bukankah bayi ini adalah bayi yang kalian nantikan selama ini?" kata Bu Asti sambil menimang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu."Iya, Del. Nggak mudah menjalani hidup sendiri. Lagipula, bukannya Niko sudah berjanji akan menceraikan Findri?" sambungku.Niko memang berjanji akan menceraikan Findri. Setelah Azka lahir, barulah timbul perasaan bersalah yang begitu dalam. Niko menyesal dan ingin kembali pada Adel."Nggak semudah itu untuk aku bisa menerima dia lagi, Mas. Coba lihat Mbak Feli, dia juga melakukan hal yang sama saat tahu Mas Gani selingkuh." Ucapan Adel sangat lanca
"Mas sendiri yang bermain api, kenapa harus menyalahkan kami?" protes Dani yang gemas. Dia mau buka suara juga ternyata."Istri baru Mas sedang hamil sekarang. Kalau Mbak Feli menarik semua asetnya bagaimana? Kalian mau bertanggung jawab?" katanya tanpa rasa malu. Sudah tahu bergantung sama Mbak Feli, kenapa malah banyak tingkah?"Mas nggak malu, menafkahi dia dengan uang hasil dari usaha milik Mbak Feli? Aku saja dengarnya malu, Mas!" kataku mengingatkan."Mas kerja di sana, Ndra. Selama ini Mas yang jatuh bangun mengurus pabrik. Jadi memang sudah semestinya Mas berhak mendapatkan bagian. Orang lain saja kerja dibayar! Kalau begini, Mas bisa nggak dapat apa-apa!"Aku semakin tak habis pikir dengan cara berpikir Mas Gani yang terbilang kuno. Pikiranku berkecamuk.Gemas rasanya punya kakak seperti Mas Gani."Bahkan, uang hasil jual kontrakan, Mas serahkan sama Feli supaya dia nggak curiga. Kenapa kamu sama yang lain malah menusuk Mas dari belakang? Kalian sengaja, lihat saudara kalian
Hari ini, aku datang bersama Aina dan Abidzar berkunjung ke rumah Adel. Di sana, nantinya akan ada Dani dan Zema juga. Sengaja kami berkumpul untuk membahas perihal pernikahan kedua Mas Gani yang belum diketahui Mbak Feli."Memang seharusnya diberitahukan sejak awal. Mas-nya aja yang ngotot ingin menyembunyikan semuanya dari Mbak Feli!" kata Adel menyalahkanku. "Alih-alih mau melindungi perasaannya, kita itu malah semakin menyakiti dia!"Meski Adel bicara dengan gaya khasnya yang frontal, aku terima. Aku memng salah karena telah membiarkan masalah ini terus berlarut-larut. Walau awalnya hnya niat baik, ternyata pilihanku untuk merahasiakannya dari Mbak Feli adalah keputusan yang salah."Aku sendiri ngerasain, Mas. Waktu keluarganya Niko ada di acara pernikahannya dengan Findri, itu rasanya sakit sekali! Mereka yang kuanggap berpihak padaku, malah mendukung pernikahan itu. Jangan sampai nih, ya, Mbak Feli justru tahu lebih dulu dari orang lain." tambahnya lagi."Iya, Mas menyesal ...,