Reynan menelungkupkan wajah di meja kerja. Konsentrasinya dibubarkan oleh bayangan wanita yang telah menjeratnya terlalu dalam. Dibiarkan kertas-kertas berserakan, persis seperti situasi hatinya kini. Didongakkan kepala, dagu tetap di atas meja. Nanar, netra memandang dinding-dinding bercat krem. Tak dapat ia menembus apa yang ada di balik sana. Tembok itu menghalangi. Seperti kisah cintanya kini, tak sampai. Seminggu sudah dia menjalani hari-hari menyakitkan. Hidup dalam jeratan rindu terlarang adalah penyiksaan. Entah, ia pun tak tahu mengapa sesakit ini, terlalu mendalamkah rasa ini? “Fa, aku rindu, sangat rindu ....”Tak tahan, diambil kunci mobil. Lepas menginformasikan pada sekretarisnya, dia meluncur menjemput Aslena.Debaran jantung makin mengencang, dentumannya bagai tabuhan genderang perang. Dikuatkan hati untuk dapat bertemu wanita pujaan. Mungkin, dengan melihatnya meski dari kejauhan akan terbasuh rindu ini. Mobil Reynan memasuki gerbang sekolah yang mulai riuh oleh
Fahira melajukan motor tanpa menoleh lagi. Ia ingin cepat pergi, lari dari rasa yang menyiksa. Tak diarahkan kendaraan menuju rumahnya. Dia hanya ingin sendiri, menyepi. Tak mungkin dalam kondisi begini berhadapan dengan orang tua. Bisa-bisa akan ditanyai macam-macam. Leboh baik cari aman. Fahira menepikan motor di parkiran kafe ’T’Lezato’. Mencari tempat paling pojok hingga tak satupun yang tahu keadaan wajahnya kini. Basah. Untunglah tempat makan ini luas dan tak banyak pengunjung hingga tak perlu was-was akan dilihat banyak orang. Ia bisa meluahkan segala sakit yang terpendam. Dialirkan air mata, tapi diupayakan tangisannya tanpa suara. *Reynan tak kalah sakit, pria jangkung itu tak sanggup menanggapi celotehan putrinya. Konsentrasi terkuras pada wanita yang telah membuatnya hampir gila.Menyaksikan kemesraan pasangan itu menorehkan sakit melebihi tusukan ribuan jarum. Sekeping di rongga dadanya merintih, menahan perih tak terperi ini. Lepas mengantar Aslena ke rumah dan memas
“Kok baru pulang?”Mama langsung saja menyambut Fahira dengan pertanyaan yang sudah ia tebak sebelumnya. “Tadi ada perlu dulu sebentar, Ma. “Lepas mencium tangan Mama, Fa cepat-cepat masuk kamar. Ia tak mau ada interogasi lebih. Tak ingin pikiran bertambah kacau dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan. “Fa, kamu gak marahan lagi sama Bayu ‘kan?“Tak puas dengan jawaban putrinya, mama mengikuti hingga masuk kamar. Duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan Fahira yang sibuk menyimpan peralatan mengajar. “Gak, Mah. Kita baik-baik aja.”Embusan kelegaan keluar dari mulut wanita berkulit kuning langsat itu. Melihat Fahira meraih handuk, dia memutuskan keluar kamar. Lepas membersihkan diri, kepenatan sedikit terusir dari raga itu. Tetes demi tetes air meresap memberi sensasi kedamaian tersendiri. Diraih ponsel, berharap ada pesan dari Bayu. Sepertinya dia harus kecewa sebab asa itu tak menemukan muaranya. Diletakkan kembali di atas tumpukan dua bantal. “Fa, makan dulu!”Malas seben
Hanya saja, keputusan ini tak bisa diganggu gugat. Pergi dari sini adalah jalan mengakhiri deritanya mencintai milik orang. Selain itu juga untuk melepaskan keterikatan Aslena dari Fahira. Hari ini juga, lepas Isya, Reynan mengajak putrinya berbincang. Setelah berputar ke sana-sini, masuklah pada inti pembahasan. Dengan hati-hati disampaikan rencana kepindahan ini. “Gak mau, aku gak mau pindah sekolah!”Aslena menepis kasar genggaman tangan. Mata mungil itu membulat. Reynan sudah menyangka akan begini reaksinya. Namun, dia tak boleh menyerah sebab rencana ini sudah matang diputuskan. “Sayang, di sana sekolahnya lebih bagus. Nanti Aslena punya banyak teman lagi.”Dengan segala cara, Reynan membujuk putrinya untuk pindah ke Surabaya. Meski belum luluh juga, rayuan tetap terus dilancarkan. “Bu Fa ikut tidak?”Reynan terdiam, lidahnya kelu untuk sekedar menjawab kata tidak. Keadaan ini sama sulitnya saat dulu Aslena menanyakan kapan mama pulang. Kali kesekian, hatinya menangis. Tak te
“Bapak bohong! Papa bilang, Bu Fa akan jadi mamaku!” teriak gadis yang wajahnya masih dipenuhi air mata. Mata Aslena menyalang, ditepis tangan bayu yang hendak menyentuhnya lalu berpaling pada wanita di sebelahnya. “Ibu akan jadi mamaku ‘kan?” tanya Aslena untuk meyakinkan diri. Gadis kecil itu meraih tangan Fahira, menggoyang-goyangkannya. Bola mata itu dipenuhi harapan setinggi angkasa. Mendapati guru itu bungkam, Aslena berlari dengan deraian airmata. Tak dipedulikan panggilan dua guru di belakangnya.Gadis kecil itu berlari membawa luka yang sama saat kehilangan mama. Harapan akan pelukan seorang ibu terhempas begitu jauh. Jiwa rapuhnya tak mampu menerima kenyataan pahit ini. Dia tak mengerti mengapa dunia kejam padanya. Aslena berlari keluar gerbang tanpa menoleh kanan kiri. Mata Bayu dan Fahira berkilat saat melihat sebuah mobil melesat dari sisi kanan. Bayu mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambar gadis kecil itu. Namun, takdir lebih berkuasa. Mobil hitam itu tanpa ampu
Ucapan pilu itu merejam hati Fahira. Dibalas tatapan itu untuk memberi kekuatan pada jiwa. “Insya Allah mereka akan selamat. Sekarang makanlah, kalau Anda sakit siapa yang akan mendampingi mereka?” hibur Fahira. Ia kembali membalas tatapan itu lama, mengangguk perlahan untuk meyakinkan.“Temani aku makan.” pinta Reynan. Lelaki itu menggerakkan-gerakkan bola mata, menyampaikan harapan besar pada gadis di depannya. Keduanya makan dalam diam, menikmati kebersamaan untuk saling menguatkan. Sesekali melempar pandangan, kadang melukis senyuman. Perlahan debaran halus itu kembali hadir.Pria itu sangat menikmati makannya kali ini, tersebab ditemani seseorang yang telah mengisi penuh ruang hati. Perbincangan mulai mengalir setelah lama terjeda dalam kesunyian. Aliran hangat mulai menjalar memenuhi ruang-ruang raga. Ada asa tersemat kembali. Jiwa yang merapuh seakan menemukan sandaran. “Terima kasih sudah membersamaiku. Aku lebih tenang sekarang,” ucap Reynan. Fahira melengkungkan dua sud
Reynan masuk ke ruang rawat putrinya. Dibelai rambut legam yang tiga hari ini tak dirawat. Disentuh pipi yang keadaannya makin memucat. Lagi, bulir bening itu jatuh. “Bangun, Sayang. Papa rindu,“ bisik Reynan tepat di telinga Aslena. Rinai bening itu makin deras berjatuhan seiring hati yang terus memerih. Ia menjatuhkan diri di lantai, sesenggukan dengan wajah ditelungkupkan pada sisi ranjang pasein. Bayu memandangi drama pilu itu dari balik kaca. Hati seperti ditusuk ribuan jarum. Sesal itu makin menggila. Dilema pun hadir, dia tahu Aslena sangat membutuhkan Fahira. Namun, untuk melepas itu tak mungkin juga. *Seminggu setelah dirawat, Oma pulih kembali. Meski dibujuk Reynan, wanita itu tetap ngotot ingin menemani cucunya.“Biar saya yang menjaga Aslena. Kesehatan Tante juga penting supaya saat pulih, Aselna bahagia melihat omanya sehat.”Wanita tua itu tersenyum, kata-kata Fahira dengan mudah meluluhkan hatinya. Meski kecewa saat mengetahui gadis itu telah memiliki tunangan, jauh
Setelah basa basi dilakukan, orangtua Bayu menyampaikan maksud undangannya.“Setelah mempertimbangkan banyak hal. Kami berkeinginan untuk mempercepat pernikahan menjadi bulan depan.”Seperti ada guntur menggelegar menghantam telinga Fahira. Gadis itu menoleh pada tunangan yang tengah tersenyum lebar.“Apa kamu tidak suka?”Suara datar wanita di depannya mengembalikan kesadaran Fahira. Cepat-cepat ditebarkan senyuman.“Saya senang sekali, Tante, Om.”“Syukurlah. Besok kami akan menemui orangtuamu.”“Iya, Tante.”“Hai, masa masih manggil Tante.”Fahira kembali ternganga melihat perubahan sikap wanita itu. Kali ini begitu hangat dan bersahabat.Lepas perbincangan bersama, mama Bayu mengajaknya bicara empat mata di teras samping kanan rumah. Keduanya duduk berdampingan di bangku kayu ukir, sedang alasnya dari busa super yang dilapisi kain beludru. “Maafkan mama, ya. Selama ini kurang baik sama kamu. Mama sadar kamu itu benar-benar terbaik untuk Bayu.”Wanita anggun itu memeluk calon mena