Share

PESONA DUDA RUPAWAN
PESONA DUDA RUPAWAN
Penulis: Hanin Humayro

MAU BAGAIMANA?

"Gak cocok lagi? Kapan mau nikahnya kalau nolak terus?”

Reynan memberi kesempatan pada paru-paru untuk terisi lebih banyak udara. Bukan sekali ini ucapan sejenis itu terlontar dari wanita yang terlihat menekuk wajahnya. Pria berkacamata itu mengambil cappucino yang asapnya masih mengepul. Disesap perlahan, kehangatan langsung saja memenuhi kerongkongan.

“Sudah lama Aslena kehilangan sosok ibu. Kasian anak sekecil itu harus hidup tanpa belaian mama. Pikirkan itu!”

Wanita berparas hampir sama dengan pria di depannya masih belum puas mencecar putranya. Bukan satu dua gadis yang disodorkan. Semua tak dilirik sama sekali.

Kenyang mendengar pembicaraan itu-itu saja, Pria jangkung itu bangkit. Kaki diayunkan menapaki satu per satu anak tangga, meninggalkan mama yang hatinya diliputi kejengkelan.

Reynan berdiri di balkon kamar. Menempelkan telapak tangan pada besi hitam yang memagari lantai dua ini. Tatapannya jatuh pada rinai bening yang masih setia memandikan bumi. Ingatannya melayang menuju masa lalu. Tiba-tiba rongga dada menyempit, napas tertahan di tenggorokan. Diremas besi pembatas yang tingginya dua pertiga orang dewasa.

Kepergian istri tercinta dua tahun silam telah menjungkirbalikan kebahagiaannya. Betapa langit seakan runtuh saat netra menyaksikan helaan terakhir dari bibir wanitanya.

Kala itu, sudah tak ada lagi airmata yang mampu dicucurkan di sisi pembaringan terakhir. Dengan mendekap putri kecilnya, Reynan mengiringi kepergian sang istri.

“Papa!”

Panggilan gadis kecil dari arah belakang membuyarkan lamunannya. Dibalikkan badan, direngkuh putri cantik pelipur lara. Tak bosan, Pemilik bulu halus disekitar dagu itu menciumi pipi juga kening Aslena.

“Sabtu depan dibagi rapot. Aku mau papa yang ambil,“ rajuk pemilik mata bulat itu.

“Oke, siap, Cantik!” Dikecup kembali pipi cubby kemerah-merahan tersebut.

“Janji?” Aslena mengacungkan satu jarinya.

“Janji.” Keduanya saling menautkan kelingking dan tertawa lepas.

Oma menatap nanar putra dan cucunya dari ambang pintu. Kadang meratapi nasib tragis yang menimpa dua belahan jiwanya. Kehilangan sosok istri juga ibu dalam waktu bersamaan.

Butuh waktu tak sedikit untuk memulihkan hati Reynan juga Aslena. Berbagai motivasi dan hiburan tak henti dilakukan.

Memberikan pendamping untuk putranya, juga mama untuk cucunya adalah target besarnya kini. Beberapa wanita yang dipastikan baik telah disodorkan. Namun, entah untk berapa kali harus kecewa sebab ditolak oleh lelaki muda itu.

Kadang ia tak mengerti. Mau yang bagaimana lagi?

*

“Pengen sama Papa ambil rapotnya!”

Aslena melempar tas sekolah ke atas lantai, lalu mengenyakkan tubuh di sofa coklat muda. Pria berkacamata minus itu jongkok di hadapan putri kecil yang sedang merajuk. Ditempelkan tangan pada kedua pundak putrinya.

“Papa ada meeting, Sayang. Maaf.”

Gadis kecil berkucir dua itu menepis tangan papanya, berlari menuju kamar, menutup pintu keras-keras. Dia mengempaskan tubuh di atas ranjang bersprei motif kartun Frozen. Satu menit kemudian tangisannya meledak.

Satu tangan kekar merengkuh tubuh mungil itu ke pangkuan. Dikecup kepala yang masih bergerak turun naik akibat kerasnya tangisan.

“Okey, papa yang ambil rapot, tapi Aslena harus janji.”

Mendengar ucapan pengabulan dilepas pelukan. Mata yang sudah basah itu mengerjap-ngerjap hingga tetesan bening dibulu lentiknya berjatuhan.

“Janji apa?” tanya Aslena sambil melingkarkan tangan mungil itu pada leher papanya. Binar wajahnya sudah kembali terpancar. Tak redup seperti sebelumnya.

“Minggu depan nginep di rumah Oma.” Telunjuk dan ibu jari besar itu mengusap jejak-jejak airmata di wajah oval milik putrinya. Amak rambut yang berantakkan diselipkan pada telinga berhiaskan anting karakter katun.

“Mmm!”

Demi tercapainya tujuan, Aslena menggerakkan kepala ke bawah dan ke atas berulang-ulang. Gemas, dicubit pipi berisi itu. Ayah dan anak itu menautkan jari kelingking.

“Sekarang, ganti pakaiannya, terus kita makan.”

“Iya, Papaku yang baek.”

*

Di hari pembagian rapot semester ganjil, Reynan datang bersama Aslena ke SD Insan Gemilang. Sekolah ini mayoritas diisi anak dari golongan berada.

Diparkirkan mobil sport merah di tempat yang luasnya bisa menampung dua puluh kendaraan roda empat. Aslena berjingkrak-berjingkrak kala menjejak lantai keramik putih tempat yang menghubungkan ruang-ruang belajar.

Gadis mungil berpita merah itu menautkan jari pada tangan pria berkemeja lengan panjang yang ditarik sesiku. Sepanjang jalan mata bulat itu bersinar sebab untuk pertama kali papa datang ke sekolah setelah sebelumnya diurus tante Ledia.

Suasana sekolah lebih ramai dari biasanya. Kelas-kelas sudah dihadiri orang tua murid yang hendak mengambil rapor putra-putri mereka. Sementara lapangan upacara dipenuhi anak-anak yang ikut serta orangtuanya.

Reynan menebarkan senyum dan menggangguk sopan pada siapa saja yang ditemui di sepanjang koridor menuju kelas Aslena. Ruangannya terdapat di seberang bangunan yang dikhususkan untuk kantor kepala sekolah, guru dan aula serbaguna.

“Assalamualaikum Aslena,” sapa guru wanita berkaca mata tebal yang berjalan berlawanan arah.

“Waalaikumsalam, Bu, Ini Papa aku!”

Aslena dengan bangga memperkenalkan Papanya ke setiap guru yang ditemui. Dia tak memahami bahwa ada beberapa guru wanita sempat terampas kesadarannya akibat bertemu pandang dengan sang duda. Tak mengerti juga setelah itu ada perbincangan hot terkait orang tua murid yang memiliki pesona tingkat dewa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status