Kali kedua, Detakan di dada Fahira kembali mencuat. Ia mulai gelisah atas situasi membingungkan ini. Logikanya dimainkan, dia harus mengakhiri rasa sebelum terlanjur dalam. Harus, dia harus tahu semuanya. Sebelum menceritakan kebenaran, Fahira minta bantuan mama untuk mengajak main Aslena. Mendengar itu, Farhan mengiyakan terlebih dahulu. "Main sama Om Farhan, yuk!" ajak Farhan. Ia menuntun gadis cilik itu ke luar. Mengajaknya menuju mini market yang tak jauh dari rumah. "Aslena udah berapa kali ke rumah Ibu Fa?"Hati-hati pria jangkung itu bertanya. Entah mengapa, meski tak suka dengan papanya, dia malah menyukai anak mungil ini. "Dua kali, Om.""Seneng?" lanjut Farhan. "Seneng banget, Om. Oh, iya, kata Papa, Ibu Fa mau jadi mama aku!" jawab gadis mungil itu dengan mata berkilat-kilat. Farhan menghentikan langkahnya, menatap gadis cilik yang tengah kegirangan. "Mamaku udah lama pergi ke surga., Om. Kata Papa gak akan pulang ke rumah lagi. Bu Fa yang gantiin jadi mama aku!" s
Gadis kecil yang baru saja datang bersama Farhan menghambur ke arah papanya."Papa kenapa?" Suara putri kecil itu bergetar melihat darah di sudut bibir Reynan. Mata Aslena mulai dipenuhi kaca-kaca, lalu dia memeluk papa. "Papa gakpapa. Kita pulang, ya." Aslena melepas pelukan, menatap lekat pada pria berkacamata itu"Kan kita mau maen di sini sama Ibu Fa. Pulangnya sore aja, " rengek Aslena. Mendengar ucapan anak kecil itu, Bayu makin meradang. Farhan yang melihat situasi buruk ini segera membawa temannya ke dalam. "Maennya nanti saja. Sekarang papa sakit. Nih lihat!"Aslena mengusap sudut bibir itu, tetes-tetes bening meluruh perlahan. Kecintaan pada papa membuatnya tak tahan melihat sedikit pun luka pada diri Reynan."Obati papa di rumah, ya. Ayo!" titah Reynan. Setelah berpamitan pada seluruh keluarga, Reynan membawa putrinya pergi dari tempat yang sejatinya telah menorehkan luka. Sedih, kecewa dan tergores harga diri memenuhi rongga dada. Dirinya seolah manusia paling bodoh
Seharian hampir tak ada pembicaraan di antara ketiganya. Meski mulut gatal untuk berkata-kata, mereka saling diam saja. Rumah ini seolah-olah tak berpenghuni. Lepas Isya, Farhan menghampiri gadis yang sedang termenung di taman. Lama keduanya terjeda dalam diam. Hingga salah seorang memecahkan kesunyian.“Aku harus bagaimana?”Fahira bicara hampirbrak tertangkap indera pendengaran. Untunglah Farhan sedang tak melamun jadi konsentrasi pada kata-kata. Jarak di antara mereka pun cukup dekat. Farhan menoleh pada wanita cantik yang sedang memainkan jarinya. Direngkuh tubuh itu ke dalam pelukan.“Harusnya dia tanya baik-baik, bukan marah-marah begitu,” lanjut FahiraTangisan Fahira meledak juga. Didekap erat pamuda yang sewajah dengannya. Belaian lembut Farhan cukup membantunya meredakan emosi yang meluap-luap.“Itu tandanya Bayu sangat mencintai kamu. Dia terlalu takut kehilanganmu,” ungkap Farhan. Kali ini, Fahira membenarkan ucapan itu. Namun, tetap saja kesal pada sikap emosionalnya.
Reynan menelungkupkan wajah di meja kerja. Konsentrasinya dibubarkan oleh bayangan wanita yang telah menjeratnya terlalu dalam. Dibiarkan kertas-kertas berserakan, persis seperti situasi hatinya kini. Didongakkan kepala, dagu tetap di atas meja. Nanar, netra memandang dinding-dinding bercat krem. Tak dapat ia menembus apa yang ada di balik sana. Tembok itu menghalangi. Seperti kisah cintanya kini, tak sampai. Seminggu sudah dia menjalani hari-hari menyakitkan. Hidup dalam jeratan rindu terlarang adalah penyiksaan. Entah, ia pun tak tahu mengapa sesakit ini, terlalu mendalamkah rasa ini? “Fa, aku rindu, sangat rindu ....”Tak tahan, diambil kunci mobil. Lepas menginformasikan pada sekretarisnya, dia meluncur menjemput Aslena.Debaran jantung makin mengencang, dentumannya bagai tabuhan genderang perang. Dikuatkan hati untuk dapat bertemu wanita pujaan. Mungkin, dengan melihatnya meski dari kejauhan akan terbasuh rindu ini. Mobil Reynan memasuki gerbang sekolah yang mulai riuh oleh
Fahira melajukan motor tanpa menoleh lagi. Ia ingin cepat pergi, lari dari rasa yang menyiksa. Tak diarahkan kendaraan menuju rumahnya. Dia hanya ingin sendiri, menyepi. Tak mungkin dalam kondisi begini berhadapan dengan orang tua. Bisa-bisa akan ditanyai macam-macam. Leboh baik cari aman. Fahira menepikan motor di parkiran kafe ’T’Lezato’. Mencari tempat paling pojok hingga tak satupun yang tahu keadaan wajahnya kini. Basah. Untunglah tempat makan ini luas dan tak banyak pengunjung hingga tak perlu was-was akan dilihat banyak orang. Ia bisa meluahkan segala sakit yang terpendam. Dialirkan air mata, tapi diupayakan tangisannya tanpa suara. *Reynan tak kalah sakit, pria jangkung itu tak sanggup menanggapi celotehan putrinya. Konsentrasi terkuras pada wanita yang telah membuatnya hampir gila.Menyaksikan kemesraan pasangan itu menorehkan sakit melebihi tusukan ribuan jarum. Sekeping di rongga dadanya merintih, menahan perih tak terperi ini. Lepas mengantar Aslena ke rumah dan memas
“Kok baru pulang?”Mama langsung saja menyambut Fahira dengan pertanyaan yang sudah ia tebak sebelumnya. “Tadi ada perlu dulu sebentar, Ma. “Lepas mencium tangan Mama, Fa cepat-cepat masuk kamar. Ia tak mau ada interogasi lebih. Tak ingin pikiran bertambah kacau dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan. “Fa, kamu gak marahan lagi sama Bayu ‘kan?“Tak puas dengan jawaban putrinya, mama mengikuti hingga masuk kamar. Duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan Fahira yang sibuk menyimpan peralatan mengajar. “Gak, Mah. Kita baik-baik aja.”Embusan kelegaan keluar dari mulut wanita berkulit kuning langsat itu. Melihat Fahira meraih handuk, dia memutuskan keluar kamar. Lepas membersihkan diri, kepenatan sedikit terusir dari raga itu. Tetes demi tetes air meresap memberi sensasi kedamaian tersendiri. Diraih ponsel, berharap ada pesan dari Bayu. Sepertinya dia harus kecewa sebab asa itu tak menemukan muaranya. Diletakkan kembali di atas tumpukan dua bantal. “Fa, makan dulu!”Malas seben
Hanya saja, keputusan ini tak bisa diganggu gugat. Pergi dari sini adalah jalan mengakhiri deritanya mencintai milik orang. Selain itu juga untuk melepaskan keterikatan Aslena dari Fahira. Hari ini juga, lepas Isya, Reynan mengajak putrinya berbincang. Setelah berputar ke sana-sini, masuklah pada inti pembahasan. Dengan hati-hati disampaikan rencana kepindahan ini. “Gak mau, aku gak mau pindah sekolah!”Aslena menepis kasar genggaman tangan. Mata mungil itu membulat. Reynan sudah menyangka akan begini reaksinya. Namun, dia tak boleh menyerah sebab rencana ini sudah matang diputuskan. “Sayang, di sana sekolahnya lebih bagus. Nanti Aslena punya banyak teman lagi.”Dengan segala cara, Reynan membujuk putrinya untuk pindah ke Surabaya. Meski belum luluh juga, rayuan tetap terus dilancarkan. “Bu Fa ikut tidak?”Reynan terdiam, lidahnya kelu untuk sekedar menjawab kata tidak. Keadaan ini sama sulitnya saat dulu Aslena menanyakan kapan mama pulang. Kali kesekian, hatinya menangis. Tak te
“Bapak bohong! Papa bilang, Bu Fa akan jadi mamaku!” teriak gadis yang wajahnya masih dipenuhi air mata. Mata Aslena menyalang, ditepis tangan bayu yang hendak menyentuhnya lalu berpaling pada wanita di sebelahnya. “Ibu akan jadi mamaku ‘kan?” tanya Aslena untuk meyakinkan diri. Gadis kecil itu meraih tangan Fahira, menggoyang-goyangkannya. Bola mata itu dipenuhi harapan setinggi angkasa. Mendapati guru itu bungkam, Aslena berlari dengan deraian airmata. Tak dipedulikan panggilan dua guru di belakangnya.Gadis kecil itu berlari membawa luka yang sama saat kehilangan mama. Harapan akan pelukan seorang ibu terhempas begitu jauh. Jiwa rapuhnya tak mampu menerima kenyataan pahit ini. Dia tak mengerti mengapa dunia kejam padanya. Aslena berlari keluar gerbang tanpa menoleh kanan kiri. Mata Bayu dan Fahira berkilat saat melihat sebuah mobil melesat dari sisi kanan. Bayu mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambar gadis kecil itu. Namun, takdir lebih berkuasa. Mobil hitam itu tanpa ampu