Masuk“Aku menemukan sesuatu yang gila,” ujar Arga begitu Abian duduk di hadapannya.
Arga mengeluarkan flashdisk dan meletakkannya di hadapan Abian tanpa banyak bicara. Roy maju membawa laptop, namun tetap berdiri menunggu perintah. Suasana ruangan menegang saat keduanya bersiap membuka apa pun isi perangkat kecil itu.“Buka sendiri saja. Aku tidak tahu mantan tunanganmu bisa segila itu,” kata Arga santai, tapi penuh arti.Mendengar sebutan mantan tunangan, Abian langsung tahu ini mengarah pada Cindy. Ia tak perlu menanyakan apa pun, hanya memberi kode halus pada Roy untuk menyambungkan flashdisk itu ke laptop. Gerakannya tenang, tetapi rahangnya mengeras menahan sesuatu yang mulai menggelegak.Layar menyala begitu flashdisk terhubung, menampilkan deretan file video dan dokumen dengan label yang cukup jelas untuk membuat siapa pun menelan ludah. Abian mencondongkan tubuh, pandangannya menyapu setiap nama file seperti memetakan potongPapa Reina menggenggam tangan itu perlahan, penuh kehati-hatian. Jemarinya gemetar, membawa penyesalan yang akhirnya tak bisa lagi ia sembunyikan. Tatapannya jatuh, sarat rasa bersalah yang terlambat disadari.“Boleh, Sayang,” ucap Papa Reina lirih, suaranya penuh kehati-hatian. “Kita jalani pelan-pelan. Papa akan sabar dan ada untukmu.”Ia menatap putrinya dengan mata basah. “Papa ingin mendengar semuanya, setiap luka yang selama ini kamu pendam sendiri.”Reina mengangguk kecil. Air mata kembali jatuh, namun kali ini tidak disertai ketakutan yang melumpuhkan. Ada gemetar di bahunya, ada luka yang masih terbuka, tetapi juga ada keberanian yang baru saja tumbuh.Mama Reina mendekat dan duduk di sisi ranjang, tangannya menyentuh pundak Reina dengan kehangatan yang menenangkan. “Kita keluarga, Nak,” ucapnya lembut. “Luka lama memang tidak bisa hilang seketika, namun kita bisa berjalan bersama, pelan-pelan, sambil saling menjaga.”
Abian menegang seketika, dadanya seolah berhenti berdetak selama satu detik sebelum melangkah maju tanpa ragu. “Apa dia sudah sadar, Dok?” tanyanya cepat, suaranya tertahan di antara harap dan takut.Dokter menatapnya sejenak, lalu menjawab pelan, “Tadi sempat sadar sebentar dan pasien meminta bertemu dengan Tuan Abian. Kondisinya masih lemah, tetapi pendarahan sudah berhasil dikendalikan. Tanda vitalnya mulai stabil, jadi Anda boleh masuk sebentar, bicara padanya, tapi jangan membuatnya terkejut.”Abian melangkah masuk ke ruang tindakan tanpa menoleh ke belakang. Bau antiseptik langsung menyergap inderanya, menusuk hidung dan tenggorokan. Di tengah ruangan, Reina terbaring lemah, wajah pucat, dengan selang dan alat medis menempel di tubuhnya.Langkah Abian melambat saat mendekat, tangannya gemetar saat menggenggam jemari Reina yang dingin. “Maafkan Mas,” bisiknya lirih, suaranya pecah. “Mas terlambat, tapi Mas di sini sekarang. Mas janji, k
“Pa-papa?” gumam Abian, terkejut melihat Papa Reina berdiri di lorong rumah sakit.“Nak Bian, apa yang terjadi pada anak mama, Sayang?” tanya Mama Reina, suaranya bergetar, penuh kecemasan dan kasih sayang.Abian terdiam sejenak, menahan emosi yang mendidih di dadanya. Menatap lelaki paruh baya itu membuat darahnya bergejolak. Jika saja dia tidak mengingat status mertuanya, sudah pasti ia akan meledak tanpa pikir panjang.“Tuan,” gumam Roy di sampingnya, menyadari wajah Abian memerah menahan amarah.“Aku bisa menahannya,” sahut Abian lirih, menatap kedua orang tua istrinya dengan mata yang menahan bara kemarahan.Bodyguard dan Roy merasakan ketegangan itu dengan jelas. Tangan Abian mengepal erat, rahangnya mengeras, setiap tarikan napasnya terasa berat dan tajam. Udara di sekitarnya seolah ikut menegang, siap pecah kapan saja.“Reina mencoba bunuh diri,” ujar Abian pelan, suaranya nyaris seperti peng
Abian menoleh pada Roy. “Bawa semua data ini ke ruang aman. Jangan biarkan siapa pun mengaksesnya tanpa izinku. Termasuk keluargaku sendiri.”Roy mengangguk tegas. “Siap, Tuan. Semua akan diamankan.”“Gabungkan dengan semua bukti yang sudah kita punya,” lanjut Abian tanpa jeda. “Mulai sekarang, semuanya masuk ke perintah darurat.”“Baik, Tuan,” jawab Roy cepat, ekspresinya berubah lebih serius.Abian mengembuskan napas berat, lalu menatap mereka berdua. Sorot matanya dingin namun penuh tekad. “Kalau Cindy pikir dia bisa menutup semua jejak dan bermain-main dengan nyawa orang, dia salah besar. Aku akan pastikan semuanya tersingkap dengan caraku.”Tidak ada satu pun yang berani menanggapi. Aura Abian berubah tajam, dingin, seperti badai yang baru saja menemukan arah pasti untuk menghantam. Roy hanya mampu menunduk dalam, memahami bahwa sesuatu yang jauh lebih besar baru saja bergerak.Setelah memberikan perintah terakhir, Abian ber
“Aku menemukan sesuatu yang gila,” ujar Arga begitu Abian duduk di hadapannya.Arga mengeluarkan flashdisk dan meletakkannya di hadapan Abian tanpa banyak bicara. Roy maju membawa laptop, namun tetap berdiri menunggu perintah. Suasana ruangan menegang saat keduanya bersiap membuka apa pun isi perangkat kecil itu.“Buka sendiri saja. Aku tidak tahu mantan tunanganmu bisa segila itu,” kata Arga santai, tapi penuh arti.Mendengar sebutan mantan tunangan, Abian langsung tahu ini mengarah pada Cindy. Ia tak perlu menanyakan apa pun, hanya memberi kode halus pada Roy untuk menyambungkan flashdisk itu ke laptop. Gerakannya tenang, tetapi rahangnya mengeras menahan sesuatu yang mulai menggelegak.Layar menyala begitu flashdisk terhubung, menampilkan deretan file video dan dokumen dengan label yang cukup jelas untuk membuat siapa pun menelan ludah. Abian mencondongkan tubuh, pandangannya menyapu setiap nama file seperti memetakan potong
Salah satu dari mereka langsung bergerak, lututnya menghantam lantai dengan suara cepat, dan tangannya yang dingin serta gemetar menyentuh leher Reina. “Masih ada nadi! Cepat, telepon ambulans!” teriaknya, suara pecah oleh panik.Rekannya segera meraih ponsel, menekan nomor darurat dengan ujung jari yang tak kalah bergetar. “Ini keadaan kritis. Segera kirimkan ambulans ke alamat yang saya kirim. Korban kehilangan banyak darah,” ucapnya, berusaha menjaga suara tetap stabil meski napasnya tersengal.Pria pertama mengangkat tubuh Reina dari bathtub, memeluknya erat agar kepala yang terkulai tidak kembali jatuh. Darah terus merembes dari lukanya, mengalir dan menciptakan pola merah yang cepat melebar di lantai marmer yang dingin. Tubuh Reina terasa semakin ringan, seolah nyawanya mengikis sedikit demi sedikit, membuat pria itu kian kalut saat mencoba menstabilkannya.“Nyonya Reina, tolong bertahan. Bantuan sedang dalam perjalanan,” bisiknya, suaranya serak seo







