"Heh, bocah! Sudah kubilang, kalau mau masuk ruangan ketuk pintu dulu! Apa seniormu tidak mengajarkan SOP, hah?"
Yara Falmira tersenyum memamerkan giginya. Tidak lupa, dua jari kanannya terangkat membentuk huruf v. Kemarahan Andaru, bosnya, tidak dia anggap sesuatu hal yang serius."Tadi sudah, Pak. Dua kali ketuk."Wanita berhijab itu menatap berani pada sang atasan, tetapi kemudian kembali menunduk akibat tatapan tajam yang Andaru layangkan. "Mana ada!”"Bener, Pak.” Meski merasa sedikit takut, tetapi gadis itu tetap berjalan mendekati meja sang pimpinan dengan file-file yang sedari tadi dia genggam. “Tapi tidak ada jawaban, jadi saya masuk aja setelah—” "Jawab terus! Yara, kamu tahu 'kan istilah bos tidak pernah salah?"Pria yang kini duduk di kursi kebesarannya menatap tajam. Tangannya terulur, meminta berkas yang akan dia tanda tangani dari sang sekretaris. "Ehm, keliru itu, Pak. Yang benar itu wanita tidak pernah salah!" Sambil cengengesan, Yara memberikan file yang dia bawa."Kan, jawab lagi! Bisa diam, nggak!""Lah, salah mulu. Bukannya tadi disuruh jawab?" gumam Yara, melirik ke arah sang pimpinan yang mulai fokus membaca dokumen. Andaru mendengar keluhan Yara. Dia hanya menggeleng kepala. Tiap kali bertemu gadis itu, mereka lebih sering berdebat ketimbang berdiskusi.Yara Falmira, lolos seleksi kualifikasi dengan nilai tertinggi dibanding kandidat lain saat Andaru membutuhkan sekretaris tambahan dua bulan silam.HRD memilihnya sebab gadis itu cerdas, meski secara gaya berpakaian jauh dari standar kebanyakan asisten pribadi yang stylish. Gadis bermata bulat jernih dengan bulu mata lentik itu tersenyum samar kala menerima uluran berkas dari Andaru. Lesung pipinya nampak jelas, bentuk wajah oval tanpa ditumbuhi jerawat membuat Yara sangat ayu meski penampilannya sederhana. "Yara!" panggil Andaru saat gadis itu menjauh. Yara berhenti dan membalikkan badannya lagi. "Ya, Pak?""Apa bajumu hanya itu?” Andaru menaikkan sebelah alisnya. “Senin kemeja putih dan kulot abu tua. Selasa, blus krem dan rok hitam. Rabu, kemeja garis dengan celana panjang. Kamis, Jumat balik lagi kayak awal pekan. Bahkan kerudungmu pun aku hafal. Membosankan."Andaru memandang penampilan sang sekretaris dengan wajah datar sambil bersedekap tangan. "Wuah, beneran hafal.” Sesaat, Yara merasa tersanjung. Apakah itu berarti bosnya benar-benar memperhatikan penampilannya? Namun, detik berikutnya gadis itu berdeham. “Maaf Pak, apa hasil pekerjaan saya sama membosankannya dengan penampilan sederhana ini?"Yara menatap serius ke arah Andaru. Dia berani bertaruh, meski mungkin penampilannya membosankan, pekerjaan yang dilakukannya selalu memuaskan. Dan, terbukti benar ketika pria dewasa itu hanya diam dan balik menatap Yara sambil menyeringai tipis. Namun, mau hal itu benar pun, bos tetaplah bos, selalu benar, seperti kata Andaru tadi. Merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Yara kembali berdeham, bersiap menutup pembicaraan. "Ada lagi pujian Anda untuk saya hari ini, Pak?” Tidak lupa, senyuman penuh kemenangan dia layangkan untuk sang atasan."Tidak. Tapi, kamu bisa mengajukan pinjaman ke divisi keuangan. Belilah beberapa setelan kerja yang pantas."Andaru berujar datar sembari memutar kursinya menghadap jendela. "Terima kasih."Yara berbalik badan dan menarik tuas pintu ruangan bosnya. Sesampainya di kubikel, Yara menaruh file yang kembali dia bawa dengan sedikit kasar. Brak! "Ugh, selalu saja! Penampilan, penampilan, penampilan! Apa gue seculun itu? Kan gue anak baru, gaji belum full karena dalam masa percobaan tiga bulan.”Yara bersungut-sungut kesal karena ucapan Andaru tadi.Sejenak, dia menarik napas panjang. Yang dikatakan Andaru ada benarnya, sedikit. Baju-bajunya memang tidak banyak, itulah kenapa Yara sudah punya jadwal untuk pakaian kerjanya sehari-hari.Masih jadi karyawan kontrak, Yara yang sebatang kara merantau ini jelas harus pandai-pandai berhemat. "Sabar-sabar. Sebulan lagi pengangkatan. Nanti kita blanja-blanji.”Uang pemberian Aba—Ayah Yara, saat gadis itu memilih pergi empat tahun lalu sudah habis untuk biaya kuliah. Satu-satunya harta benda yang tersisa hanya gelang warisan milik mama saja. Mau dijual, sayang kenangannya.Seketika, wajah Yara berubah sendu. Dia teringat kedua orang tuanya di ‘kampung halaman. “Ya Allah, jagalah kedua orang tuaku di sana." Sebentar lagi jam istirahat, seperti biasa Yara hanya duduk di kubikelnya sambil memakan bekal. Dia akan turun ke mushala di lantai dasar untuk salat lalu kembali ke meja. Bukan untuk lekas bekerja, tapi memejamkan mata sejenak bila waktu istirahat masih tersisa. Setiap hari Yara bangun jam tiga pagi. Dia membuat puluhan risoles sayur atau sandwich untuk dibagikan pada para anak jalanan sepanjang perjalanan menuju kantor.Meski hidup pas-pasan di kota, dia tidak lupa berbagi. Berharap dari rejeki yang dia bagi, ada kebaikan dan penjagaan dari Tuhannya untuk menjauhkan dia dari keburukan dan orang-orang dari masa lalu. Tok! Tok!"Bangun! Ini kantor, bukan hotel, hoy!" Andaru mengetuk dinding kubikel Yara beberapa kali. Melihat sang sekretaris tidak terusik sedikit pun, kekesalan Andaru terpancing. Dia pun ganti menggebrak dinding kubikel Yara dengan kencang. "YARA!""I-iya, Pak. Maaf." Dengan gelagapan, Yara langsung berdiri sembari membenarkan pashminanya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” "Arin sakit. Kamu temani aku jam tiga nanti ketemu klien di restoran Pacifik." Andaru melempar berkas ke atas meja agar Yara mempelajarinya. Yara menunduk melihat file tadi. Kening gadis itu mengerut. Dia merasa keberatan, sebab belum masanya untuk menemani Andaru kunjungan atau dinas luar. Sekali lagi, Yara masih karyawan probasi. "Maaf, Pak. Biasanya itu tugas Pak Bimo jika Mbak Arin berhalangan. Saya belum diizinkan senior untuk hal tersebut."Yara mengerjapkan mata beberapa kali agar pupilnya sempurna menangkap sosok di hadapan. "Aku nggak tanya! Kalau kamu telat, gajimu taruhannya."Setelahnya, Andaru berlalu pergi meninggalkan Yara yang masih terpaku. Bruk. Yara terduduk lemas sembari menepuk jidatnya. "Ya Allah, ujian lagi. Pulang malam, ongkosnya pasti mahal."Jam kerja nyaris saja berakhir. Para karyawan satu per satu meninggalkan gedung. Namun, berbeda dengan Yara yang harus merelakan waktu istirahatnya sedikit tersita karena menemani sang pimpinan.Pukul tujuh malam, Yara akhirnya bisa bernapas lega. Meeting telah usai, sementara resume meeting dia janjikan akan dikirim setelah gadis itu tiba di kostan.Gadis baru lulus kuliah jurusan bisnis itu berlari kecil menuju halte busway, berharap belum tertinggal kendaraan yang akan membawa ke kostannya. Andaru melihat sekilas Yara masih menunggu di halte saat mobilnya melintas. Dia menangkap ekspresi cemas di wajah sekretaris keduanya itu. Sang pimpinan merenung. Dia lalu mengeluarkan ponsel dari saku jas dalam dan menghubungi orang kepercayaannya. "Carikan informasi tentang seseorang. Aku akan kirimkan datanya. Selesaikan dalam dua hari.”Sementara Andaru tengah disibukkan dengan riuhnya pikiran, Yara yang baru saja tiba di kostan justru tengah merengut.Angkutan umum yang ditunggunya tidak kunjung melintas. Mau tidak mau Yara menggunakan ojek online, yang mana menelan kocek yang lebih dalam.Tubuhnya penat, mukanya kucel, badannya bau keringat, ditambah mata yang mulai mengantuk membuat jemari Yara kesulitan saat akan memasukkan kunci ke lubang gembok pagar. Gadis ayu itu berdecak kesal. Pekerjaan ringan jadi terasa lambat akibat kelelahan. Saat gembok pagar baru saja terbuka, tiba-tiba sebuah suara berat yang asing terdengar dan membuat bulu kuduk Yara menegang. "Halo, anak manis. Makin cantik aja."Takut-takut, Yara membalikkan badan. Wajah ayunya itu langsung pucat pasi, takut jika lelaki ini akan berbuat macam-macam.Refleks, dia bergerak mundur. Namun, tubuhnya membentur pagar. Pikiran-pikiran buruk seketika berkeliaran di otaknya.Mungkinkah keberadaannya kini telah terendus oleh orang yang sangat ingin dia lupakan itu? "Si-siapa? Anda salah orang, kah?" Bibir mungil Yara bergetar, jemarinya berusaha menarik slot pagar agar terbuka. "Tidak.” Pria tinggi besar dengan tato bergambar botol pecah di lengan kanan itu berujar kembali. “Saya hanya ingin menyampaikan pesan atas perintah seseorang. Haji Jaedy, pemilik usaha perhiasan perak dan kain batik dari Semarang telah berpulang satu bulan lalu.” “A-aba?” Samar, Yara bergumam. Matanya seketika mengembun. "Nggak! Kamu pasti bohong!""Nggak! Kamu pasti bohong!"Pria sangar bersetelan jins dan kaos tanpa lengan itu menunjukkan beberapa slide foto berupa prosesi memandikan jenazah Jaedy hingga penguburan.“Percuma kabur lagi, ‘dia’ tau di mana kamu," lanjut pria itu dengan seringai tipis di bibirnya.Setelahnya, lelaki tadi menyeringai sinis lalu meninggalkan sang gadis yang terlihat shock. Air mata Yara tumpah. Dia menutup mulut dengan satu telapak tangan agar isakannya tidak terdengar penghuni lain. Gegas, Yara mendorong pagar lalu berlari masuk ke kamarnya. "Aba! Apa di-dia pelakunya?"Malam itu, Yara tidak bisa tidur. Pikirannya penuh, ingin buru-buru pulang ke rumahnya di Semarang. Untuk itu, semalam dia langsung meminta izin cuti pada Andaru.Namun, Yara harus menelan kecewa ketika membaca pesan balasan dari atasannya.["Kerja cuma sehari lagi. Kamu masih punya tanggung jawab yang belum kelar. TITIK!"]Itu artinya, dia tidak bisa cuti dadakan hari ini.Tak lama, gawai pipihnya bergetar kencang. Nama yang mun
“Beliau putri Syarifah Alawiyah, pelanggan usaha almarhum. Maaf tidak memberitahu lebih dulu, kami singgah sejenak mewakili keluarga.”Seolah tahu gestur Yara yang masih terkejut, Santi, sahabatnya mengambil alih menjawab pertanyaan pria tadi.Sebenarnya, Santi-lah putri hubabah yang asli. Bukan Yara. Namun, Santi tahu betul siapa pria di hadapannya ini untuk Yara. Untuk itu, dia cepat-cepat menjalankan sebuah skenario.Pria itu diam, tersenyum dan mengangguk tetapi tatapannya tak lepas dari sosok Yara yang berdiri di belakang Santi.“Maaf, Wan, bukan mahram. Tolong jaga pandangan.” Santi menghalau pandangan pria itu sembari menggandeng Yara menyingkir dari bahaya.Namun, baru beberapa langkah menjauh, pria tadi memanggil dua gadis itu lagi.“Tunggu.” Jantung Yara berdebar hebat kala langkah kaki pria itu kian dekat. Kembali, pria itu tersenyum tipis menatap ke arah Yara. Santi gegas berdiri di hadapan sahabatnya, berusaha melindungi Yara dari pandangan menyelidik pria itu. "Ehm ..
["Ayahmu meninggalkan utang milyaran. Dalam perjanjian kerja menyatakan, bahwa pewaris mempunyai kewajiban untuk melanjutkan piutang tersebut.][Mamamu shock dan jatuh sakit, pulanglah, Sayang, karena menghilang pun percuma. Aku akan tetap menemukanmu."] Yara membaca pesan susulan setelah dirinya tenang. Ingatannya kembali ke masa menjelang kelulusan.Dia pernah mendengar tanpa sengaja, bahwa ayahnya memiliki simpanan khusus, juga sebuah asuransi jaminan hari tua bilamana terjadi satu musibah dengan keluarga Jaedy. Dalam klausa dua polis itu, tersebut nama Yara dan Jazli sebagai penerima dana manfaat. Yara menduga, total uang pertanggungan itu tidak dapat dicairkan sebab dirinya menghilang. "Dia gila, tega sekali. Jangan-jangan, Aba tiada karena dia apa-apakan!" gumam Yara masih menggigit ujung kukunya. "Darimana dia tahu nomerku?" Kepala Yara berdenyut nyeri memikirkan bagaimana cara mencairkan dana itu jika memang kecurigaannya terbukti. Dokumen asli miliknya telah berubah. Pih
"Darimana Anda tahu semua ini?" tatap Yara nanar ke arah Andaru, dia tak percaya dengan data di tangannya. "Nggak mungkin, 'dia' bilang semua aman, tapi ini-" gumam Yara, menggeleng samar.Seringai penuh kemenangan Andaru kian lebar melihat respon sekretarisnya itu. Dia lalu duduk di hadapan Yara seraya menyandarkan punggung serta menopang kaki, seakan mengukuhkan posisinya sebagai pemegang kendali."Deal, kan?" ujarnya.Yara mendongak, meletakkan dokumen tadi di atas meja. Putri Jaedy tidak ingin terlalu kentara bahwa dia terintimidasi oleh Andaru. "Deal apanya?" balas Yara ikut bersedekap disertai tatapan remeh.Cemas, tapi Yara ingin memastikan bahwa dirinya sedang tak melakoni peran dalam pepatah, lepas dari kandang harimau lalu masuk ke mulut buaya darat berdasi bagai sosok di hadapan. "Ekspresi wajahmu itu sudah menjawab semua. Akad akan dilangsungkan besok siang bada duhur. Untuk hal lain, kau baca dulu ini," ucap Andaru dengan muka datar saat menyerahkan satu map ke atas meja.
"Wa alaikumussalaam, Maa-maaa," balas Yara terbata. "Aku nggak mimpi, kan?" Anggukan samar serta senyum Jamila-ibu kandungnya, yang membentangkan kedua lengan, langsung Yara sambut. "Ma-maa!" Dia memeluk erat disertai isakan. "Mama!" sebut Yara berkali-kali."Anakku sayang," balas Jamila. Mendekap sang putri bungsu teriring tetes bening membasuh pipi. "Mama rindu." Jemari yang mulai mengeriput lalu mengusap lembut mulai dari kepala hingga punggung Yara. "Alhamdulillah, kita masih bisa bertemu." Wajah senja itu kemudian terbenam di pundak anak gadisnya.Kedua wanita melebur tangis serta kerinduan. Para pria yang berdiri di sana hanya mengulas senyum samar menyaksikan adegan tersebut. Andaru tahu sebagian kisah masa lalu istrinya itu. Tempo hari, dia meminta Bimo diam-diam menjemput keluarga Yara.Pelukan itupun perlahan terurai. Jamila merangkum wajah ayu putrinya dengan kedua telapak tangan. Memeta setiap inci rupa yang dirindukan. "Cantiknya anak mama." Dia lalu membubuhkan kecupan d
Bimo buru-buru menjawab panggilan yang menggantung tadi. "Tolong minta nomer ponselnya," ucap sang asisten.Sedetik kemudian, senyum mengembang menghias wajah Bimo ketika panggilan berakhir. Otaknya tanggap menyusun sebuah rencana untuk mengetahui motif pria itu."Saatnya misi pengalihan." Seringai tipis sang asisten masih terukir saat memasuki mobilnya.Suasana di ruang privat perlahan terasa akrab. Ekspresi Andaru pun berubah-ubah. Kadang tertawa, tersenyum bahkan mengejek Yara saat Jamila dan Jazli menceritakan masa kecil sang istri yang tidak diperoleh dari informannya."Oh, ternyata nyandu sama risoles?" Bibirnya membentuk huruf O seiring mata yang melebar melihat ke arah Jamila. "Pantas bekalnya sama setiap hari," kekeh Andaru.Risoles, kudapan favorit Yara sejak kecil. Jamila kerap mengajak putrinya belajar membuat kulit serta varian isi agar hasil masakan cantik dan nikmat. Karena hal itulah, Yara sangat ahli dalam membuat camilan satu ini.Kangen masakan mama, alasan yang mela
"Shiitt!" umpatnya.Dia menatap tajam ke arah dua orang satpam seraya menunjuk wajah mereka satu per satu. "Awas kalian!" ancamnya, sebelum berbalik badan menjauh.Langkahnya panjang dan tergesa menuju mobil. Dering ponsel yang membuatnya stres, sejenak berhenti tepat saat dia menarik gagang pintu. Namun, beberapa detik kemudian, benda itu berbunyi lagi.Sang pemilik netra sekelam malam, duduk dibalik kemudi mengatur napas agar terdengar wajar saat bicara. Dia perlahan menggeser tombol hijau setelah menghembus panjang. "Ya?" "Dimana?" suara berat terdengar di ujung sana, bersiap-siap melampiaskan emosi. "Jakarta." Dia menunggu respon lawan bicaranya sebelum melanjutkan. Tidak terdengar jawaban apapun, membuatnya bicara lagi, "Aku sedang berusaha, sabarlah," timpalnya mencoba mengulur waktu. "Satu pekan atau pesanan ditarik, sekaligus uang ganti rugi dan wanprestasi." Matanya membelalak. Dia buru-buru bicara, "Tunggu-" Tut. Terlambat, panggilan itu diputus sepihak. Pria di telepo
"Yakin, Bos!" tegasnya lagi. "Dia sudah masuk dalam pengawasan saya baik di sini dan ketika kembali nanti," imbuh sang informanAndaru mengangguk-angguk puas meski hatinya tidak yakin sampai kapan rencana ini akan bertahan. "Oke lanjutkan."Sebagai menantu almarhum, sudah menjadi kewajiban Andaru untuk berbakti dengan membantu urusan keluarga Yara. Terlebih dia mampu melakukan itu. Meskipun niatan sebelum menikah, sang CEO mengatakan sebaliknya.Pandangannya tertuju ke sekeliling sebelum bangkit. Dia melihat jam tangannya lalu meraih rokok dari atas meja dan keluar meninggalkan resto masih dengan ponsel yang menempel di telinga."Jam berapa eksekusi?" tanya Andaru lagi. Jemarinya menekan remote sambil terus melangkah mendekati mobil."Setelah makan siang," sahutnya cepat. "Tapi, saya sudah minta dia bekerja mulai malam ini, Bos," sambung sang informan.Pimpinan Garvi Corp telah duduk di belakang kemudi dan menutup pintu mobilnya, tanda harus mengakhiri sambungan udara dengan si pria di