Share

PESONA ISTRI RAHASIA CEO
PESONA ISTRI RAHASIA CEO
Penulis: QIEV

BAB 1. DESAKAN

"Heh, bocah! Sudah kubilang, kalau mau masuk ruangan ketuk pintu dulu! Apa seniormu tidak mengajarkan SOP, hah?"

Yara Falmira tersenyum memamerkan giginya. Tidak lupa, dua jari kanannya terangkat membentuk huruf v. Kemarahan Andaru, bosnya, tidak dia anggap sesuatu hal yang serius.

"Tadi sudah, Pak. Dua kali ketuk."

Wanita berhijab itu menatap berani pada sang atasan, tetapi kemudian kembali menunduk akibat tatapan tajam yang Andaru layangkan.

"Mana ada!”

"Bener, Pak.” Meski merasa sedikit takut, tetapi gadis itu tetap berjalan mendekati meja sang pimpinan dengan file-file yang sedari tadi dia genggam. “Tapi tidak ada jawaban, jadi saya masuk aja setelah—”

"Jawab terus! Yara, kamu tahu 'kan istilah bos tidak pernah salah?"

Pria yang kini duduk di kursi kebesarannya menatap tajam. Tangannya terulur, meminta berkas yang akan dia tanda tangani dari sang sekretaris.

"Ehm, keliru itu, Pak. Yang benar itu wanita tidak pernah salah!" Sambil cengengesan, Yara memberikan file yang dia bawa.

"Kan, jawab lagi! Bisa diam, nggak!"

"Lah, salah mulu. Bukannya tadi disuruh jawab?" gumam Yara, melirik ke arah sang pimpinan yang mulai fokus membaca dokumen.

Andaru mendengar keluhan Yara. Dia hanya menggeleng kepala. Tiap kali bertemu gadis itu, mereka lebih sering berdebat ketimbang berdiskusi.

Yara Falmira, lolos seleksi kualifikasi dengan nilai tertinggi dibanding kandidat lain saat Andaru membutuhkan sekretaris tambahan dua bulan silam.

HRD memilihnya sebab gadis itu cerdas, meski secara gaya berpakaian jauh dari standar kebanyakan asisten pribadi yang stylish.

Gadis bermata bulat jernih dengan bulu mata lentik itu tersenyum samar kala menerima uluran berkas dari Andaru. Lesung pipinya nampak jelas, bentuk wajah oval tanpa ditumbuhi jerawat membuat Yara sangat ayu meski penampilannya sederhana.

"Yara!" panggil Andaru saat gadis itu menjauh.

Yara berhenti dan membalikkan badannya lagi. "Ya, Pak?"

"Apa bajumu hanya itu?” Andaru menaikkan sebelah alisnya. “Senin kemeja putih dan kulot abu tua. Selasa, blus krem dan rok hitam. Rabu, kemeja garis dengan celana panjang. Kamis, Jumat balik lagi kayak awal pekan. Bahkan kerudungmu pun aku hafal. Membosankan."

Andaru memandang penampilan sang sekretaris dengan wajah datar sambil bersedekap tangan.

"Wuah, beneran hafal.” Sesaat, Yara merasa tersanjung. Apakah itu berarti bosnya benar-benar memperhatikan penampilannya? Namun, detik berikutnya gadis itu berdeham. “Maaf Pak, apa hasil pekerjaan saya sama membosankannya dengan penampilan sederhana ini?"

Yara menatap serius ke arah Andaru. Dia berani bertaruh, meski mungkin penampilannya membosankan, pekerjaan yang dilakukannya selalu memuaskan.

Dan, terbukti benar ketika pria dewasa itu hanya diam dan balik menatap Yara sambil menyeringai tipis. Namun, mau hal itu benar pun, bos tetaplah bos, selalu benar, seperti kata Andaru tadi.

Merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Yara kembali berdeham, bersiap menutup pembicaraan. "Ada lagi pujian Anda untuk saya hari ini, Pak?” Tidak lupa, senyuman penuh kemenangan dia layangkan untuk sang atasan.

"Tidak. Tapi, kamu bisa mengajukan pinjaman ke divisi keuangan. Belilah beberapa setelan kerja yang pantas."

Andaru berujar datar sembari memutar kursinya menghadap jendela.

"Terima kasih."

Yara berbalik badan dan menarik tuas pintu ruangan bosnya.

Sesampainya di kubikel, Yara menaruh file yang kembali dia bawa dengan sedikit kasar.

Brak!

"Ugh, selalu saja! Penampilan, penampilan, penampilan! Apa gue seculun itu? Kan gue anak baru, gaji belum full karena dalam masa percobaan tiga bulan.”

Yara bersungut-sungut kesal karena ucapan Andaru tadi.

Sejenak, dia menarik napas panjang. Yang dikatakan Andaru ada benarnya, sedikit. Baju-bajunya memang tidak banyak, itulah kenapa Yara sudah punya jadwal untuk pakaian kerjanya sehari-hari.

Masih jadi karyawan kontrak, Yara yang sebatang kara merantau ini jelas harus pandai-pandai berhemat.

"Sabar-sabar. Sebulan lagi pengangkatan. Nanti kita blanja-blanji.”

Uang pemberian Aba—Ayah Yara, saat gadis itu memilih pergi empat tahun lalu sudah habis untuk biaya kuliah. Satu-satunya harta benda yang tersisa hanya gelang warisan milik mama saja. Mau dijual, sayang kenangannya.

Seketika, wajah Yara berubah sendu. Dia teringat kedua orang tuanya di ‘kampung halaman. “Ya Allah, jagalah kedua orang tuaku di sana."

Sebentar lagi jam istirahat, seperti biasa Yara hanya duduk di kubikelnya sambil memakan bekal. Dia akan turun ke mushala di lantai dasar untuk salat lalu kembali ke meja. Bukan untuk lekas bekerja, tapi memejamkan mata sejenak bila waktu istirahat masih tersisa.

Setiap hari Yara bangun jam tiga pagi. Dia membuat puluhan risoles sayur atau sandwich untuk dibagikan pada para anak jalanan sepanjang perjalanan menuju kantor.

Meski hidup pas-pasan di kota, dia tidak lupa berbagi. Berharap dari rejeki yang dia bagi, ada kebaikan dan penjagaan dari Tuhannya untuk menjauhkan dia dari keburukan dan orang-orang dari masa lalu.

Tok! Tok!

"Bangun! Ini kantor, bukan hotel, hoy!" Andaru mengetuk dinding kubikel Yara beberapa kali. Melihat sang sekretaris tidak terusik sedikit pun, kekesalan Andaru terpancing. Dia pun ganti menggebrak dinding kubikel Yara dengan kencang. "YARA!"

"I-iya, Pak. Maaf." Dengan gelagapan, Yara langsung berdiri sembari membenarkan pashminanya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

"Arin sakit. Kamu temani aku jam tiga nanti ketemu klien di restoran Pacifik." Andaru melempar berkas ke atas meja agar Yara mempelajarinya.

Yara menunduk melihat file tadi. Kening gadis itu mengerut. Dia merasa keberatan, sebab belum masanya untuk menemani Andaru kunjungan atau dinas luar. Sekali lagi, Yara masih karyawan probasi.

"Maaf, Pak. Biasanya itu tugas Pak Bimo jika Mbak Arin berhalangan. Saya belum diizinkan senior untuk hal tersebut."

Yara mengerjapkan mata beberapa kali agar pupilnya sempurna menangkap sosok di hadapan.

"Aku nggak tanya! Kalau kamu telat, gajimu taruhannya."

Setelahnya, Andaru berlalu pergi meninggalkan Yara yang masih terpaku.

Bruk.

Yara terduduk lemas sembari menepuk jidatnya. "Ya Allah, ujian lagi. Pulang malam, ongkosnya pasti mahal."

Jam kerja nyaris saja berakhir. Para karyawan satu per satu meninggalkan gedung. Namun, berbeda dengan Yara yang harus merelakan waktu istirahatnya sedikit tersita karena menemani sang pimpinan.

Pukul tujuh malam, Yara akhirnya bisa bernapas lega. Meeting telah usai, sementara resume meeting dia janjikan akan dikirim setelah gadis itu tiba di kostan.

Gadis baru lulus kuliah jurusan bisnis itu berlari kecil menuju halte busway, berharap belum tertinggal kendaraan yang akan membawa ke kostannya.

Andaru melihat sekilas Yara masih menunggu di halte saat mobilnya melintas. Dia menangkap ekspresi cemas di wajah sekretaris keduanya itu.

Sang pimpinan merenung. Dia lalu mengeluarkan ponsel dari saku jas dalam dan menghubungi orang kepercayaannya.

"Carikan informasi tentang seseorang. Aku akan kirimkan datanya. Selesaikan dalam dua hari.”

Sementara Andaru tengah disibukkan dengan riuhnya pikiran, Yara yang baru saja tiba di kostan justru tengah merengut.

Angkutan umum yang ditunggunya tidak kunjung melintas. Mau tidak mau Yara menggunakan ojek online, yang mana menelan kocek yang lebih dalam.

Tubuhnya penat, mukanya kucel, badannya bau keringat, ditambah mata yang mulai mengantuk membuat jemari Yara kesulitan saat akan memasukkan kunci ke lubang gembok pagar.

Gadis ayu itu berdecak kesal. Pekerjaan ringan jadi terasa lambat akibat kelelahan. Saat gembok pagar baru saja terbuka, tiba-tiba sebuah suara berat yang asing terdengar dan membuat bulu kuduk Yara menegang.

"Halo, anak manis. Makin cantik aja."

Takut-takut, Yara membalikkan badan. Wajah ayunya itu langsung pucat pasi, takut jika lelaki ini akan berbuat macam-macam.

Refleks, dia bergerak mundur. Namun, tubuhnya membentur pagar. Pikiran-pikiran buruk seketika berkeliaran di otaknya.

Mungkinkah keberadaannya kini telah terendus oleh orang yang sangat ingin dia lupakan itu?

"Si-siapa? Anda salah orang, kah?" Bibir mungil Yara bergetar, jemarinya berusaha menarik slot pagar agar terbuka.

"Tidak.” Pria tinggi besar dengan tato bergambar botol pecah di lengan kanan itu berujar kembali. “Saya hanya ingin menyampaikan pesan atas perintah seseorang. Haji Jaedy, pemilik usaha perhiasan perak dan kain batik dari Semarang telah berpulang satu bulan lalu.”

“A-aba?” Samar, Yara bergumam. Matanya seketika mengembun. "Nggak! Kamu pasti bohong!"

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Ayu
bagus juga
goodnovel comment avatar
Chaira Fajira
assalaamu'alaikum... aku mampir mom wlupun udah telat ini......
goodnovel comment avatar
QIEV
Thanks, Broooo (^^)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status