"Nggak! Kamu pasti bohong!"
Pria sangar bersetelan jins dan kaos tanpa lengan itu menunjukkan beberapa slide foto berupa prosesi memandikan jenazah Jaedy hingga penguburan.“Percuma kabur lagi, ‘dia’ tau di mana kamu," lanjut pria itu dengan seringai tipis di bibirnya.Setelahnya, lelaki tadi menyeringai sinis lalu meninggalkan sang gadis yang terlihat shock. Air mata Yara tumpah. Dia menutup mulut dengan satu telapak tangan agar isakannya tidak terdengar penghuni lain. Gegas, Yara mendorong pagar lalu berlari masuk ke kamarnya. "Aba! Apa di-dia pelakunya?"Malam itu, Yara tidak bisa tidur. Pikirannya penuh, ingin buru-buru pulang ke rumahnya di Semarang. Untuk itu, semalam dia langsung meminta izin cuti pada Andaru.Namun, Yara harus menelan kecewa ketika membaca pesan balasan dari atasannya.["Kerja cuma sehari lagi. Kamu masih punya tanggung jawab yang belum kelar. TITIK!"]Itu artinya, dia tidak bisa cuti dadakan hari ini.Tak lama, gawai pipihnya bergetar kencang. Nama yang muncul di layar membuat Yara mendesah, kian malas untuk bekerja. Namun, meski begitu, dia tetap menekan tombol hijau pada panggilan itu.“Ya?”Tidak seperti biasanya, kali ini suara Yara tidak terdengar semangat. Tubuhnya bahkan masih menempel erat dengan kasur dan guling.“’Selamat pagi, Pak.’ Seharusnya begitu jika menjawab panggilan atasanmu, Yara. Masa begini saja harus diingatkan?!”“Pagi, Pak. Tapi, ini masih pukul enam, belum saatnya saya mulai jam formal,” balas Yara lirih.Meski kurang semangat, kebiasaan Yara yang selalu menjawab ucapan Andaru masih tidak hilang.Hal itu membuat Andaru mendengus. “Hebat sekali, sapaan saja pakai jadwal,” sindirnya. “Mana laporan meeting semalam?”“Laporan kan sudah dikirim, Pak. Baru sebagian, sih….”Andaru kembali berdecak mendengar sahutan sang sekretaris cadangan. “Jangan lupa, sore ini temani aku hadir di acara amal peresmian panti asuhan.”“Loh, kok, saya lagi, Pak? Ada Pak Bimo, kan? Saya takut dikira menjilat Anda, sebab itu bukan jobdesk saya, Pak.”Gadis itu memang sengaja meminimalisir interaksinya dengan Andaru di luar jam kerja. Namun, entah apa yang membuat pria itu lagi-lagi menjadikannya ban cadangan tiap kali sekretaris pertamanya—Arin, berhalangan.“Oh, bagus. Selain pintar jawab, sekarang kamu belajar membantah.”“Bu-bukan gitu, Pak, tapi—”“Aku nggak mau dengar bantahan. Kerjakan sesuai perintahku, dan jangan sampai telat!”Tut. Tut. Tut.Panggilan terputus sepihak. Yara mengendikkan bahu lalu meletakkan gawainya begitu saja di sisi kasur. Dia menguap seraya meregangkan tubuh.Sorot matanya dilayangkan ke langit kamar yang plafonnya telah usang. Ocehan Andaru bagai radio butut, hanya angin lalu. Yara sudah terbiasa dengan kebawelan bosnya itu. "Terpaksa, Sabtu besok aku baru bisa pergi. Nggak bisa ambil job nge-MC juga pekan ini. Ya Allah, dosaku banyak sekali. Sekedar takziah pun masih mikirin dunia." Gadis ayu berambut panjang itu menutup wajahnya dengan bantal. Dia berusaha menghalau laju bening yang siap meluncur lagi dari matanya yang mulai terasa perih. Akibat menangis semalaman, Yara Falmira terpaksa menjalani hari ini dengan bola mata sedikit merah dan bengkak.Sapaan para senior, rekan kerjanya yang bertanya apakah dia baik-baik saja tak Yara tanggapi serius. Dia berkilah, semua ini karena mencoba krim malam merk baru semalam. Ketidakcocokan itulah yang akhirnya berimbas ke mata.Tut.Telepon di kubikelnya berbunyi. Yara langsung menekan tombol speaker segera."Yara!"Tut.Tak menanggapi lebih jauh, Yara memutuskan untuk menghampiri ruangan Andaru."Revisi, lima menit!" sambut Andaru langsung begitu Yara masuk ke ruangan pria itu. "Bos, bukannya tadi sudah betul?"Berbeda dengan Yara yang sudah pasrah menerima omelan dari Andaru, Bimo, asisten pribadi bosnya itu justru heran.Menurut Bimo, notulen Yara sempurna, tapi mengapa Andaru malah meminta revisi? "Aku nggak suka warna sampul filenya.” Pria itu kemudian menggeser file yang dia maksud. “Kelabu, apa-aaan ini?! Bisa kan, pilih warna basic yang terkesan semangat? Di mana kreatifitas kamu?!"Pria itu menopang kaki, menunjukkan gestur kuasa yang dimilikinya.Bimo menggeleng melihatnya. Kebiasaan Andaru mengerjai anak baru, mulai lagi.Yara hanya diam, mengangguk lalu mengambil dokumen dan melenggang pergi tanpa komentar seperti biasanya.Andaru mengerutkan keningnya dalam. Ada yang aneh dari sekretarisnya hari ini. "Tumben?”"Tumben nggak jawab, Bos? Kayaknya dia lagi badmood." Bimo mencoba menjawab sekadarnya.Andaru memperhatikan sekilas penampilan Yara tadi. Arin—sekretaris utamanya mengatakan juniornya itu tidak sakit, hanya terlihat lesu.Samar, Andaru mengangguk, mengiyakan perkataan Arin perihal kelesuan Yara. Tak lama, dia mengalihkan kembali tatapannya pada Bimo. "Oh iya. Apa berkas yang kuminta kemarin sudah siap? Ingat, jangan sampai bocor.""Done. Permintaan nyonya Afreen, apa sudah disetujui, Bos?"Mendengar nama mantan istrinya disebut, Andaru menarik napas berat. "Entahlah, kalau kuikuti … apa bedanya dengan yang lalu?""Turuti saja jika itu menguntungkan Anda, Bos?" kekeh Bimo."Mana ada untungnya bagiku?”Si duda tampan lagi-lagi menghela napas berat. Dia melonggarkan simpul dasi dan bangkit melangkah menuju mejanya, kembali berkutat dengan tumpukan pekerjaan.Tepat setelah asar, agenda sang CEO berlanjut mengunjungi panti asuhan. Sepanjang perjalanan, Yara yang kembali bertugas menemaninya itu hanya diam.Kali ini, gadis itu mengganti bajunya dengan gamis polos berwarna hitam dipadu hijab abu motif. Wajah kuyunya sedikit dibubuhkan sapuan blush on warna semu jingga, sehingga tampak sedikit segar.Penampilan baru Yara membuat Andaru berkomentar saat turun dari mobil."Not bad!"Lagi-lagi Yara hanya menunduk, tak menanggapi pujian pria tampan di depannya. Dia lantas mengekori langkah Andaru memasuki aula panti.Sambutan hangat menyapa mereka. Rentetan acara yang telah disusun ringkas itu telah dilalui dengan lancar.Ketika tiba di bagian akhir, di mana pemuka agama—ustadz, membaca doa dan dzikir, air mata Yara mulai merembes lagi. Sekuat tenaga dia tahan, tapi gerakan jemari yang menyeka wajahnya berkali-kali nyatanya mengalihkan perhatian seseorang."Bim, Yara nggak lagi lebay 'kan? Masa begini saja nangis. Biasanya selengekan," bisik Andaru, menyenggol lengan Bimo yang duduk di sebelahnya."Khidmat, Bos. Terharu jadinya."Namun, Andaru tidak merasa demikian. Logikanya mengatakan bahwa ada sesuatu yang melatari tangis tersedu sekretaris keduanya itu.Ketika pembacaan doa usai, Yara langsung pamit ke toilet. Dia tak ingin isakan halusnya menarik perhatian siapa pun di sana. Gadis berhijab itu memilih menepi dari keramaian, duduk di teras panti memandang langit senja yang kemerahan."Ayo pulang."Andaru tiba-tiba muncul, berjalan melewatinya begitu saja. Yara terkejut, lalu bangkit mengejar CEO Garvi Corp tersebut."Pak, maaf. Ke kantor lagi atau boleh pulang?"Suaranya parau, tidak terdengar antusias seperti biasa."Pulang saja. Jangan kamu rusak ujung hari para karyawanku dengan muka jelekmu itu."Pewaris Garvi Corp itu melirik sinis sekilas padanya lalu masuk ke mobil.Yara berdiri mematung di sisi mobil mewah sang pimpinan. Dia lalu membungkukkan sedikit badannya saat kendaraan itu mulai melaju. Dia lalu terburu mengeluarkan ponsel guna memesan sesuatu.** Pukul sebelas malam. Apartemen Green palace.Andaru tengah memusatkan perhatian pada layar kotak di atas meja kerjanya. Semua fakta dan data seseorang yang dia minta tempo hari telah diperoleh lengkap malam ini."Oh, begitu. Pantas saja."Pria dengan sorot mata tajam itu lantas mengubah rencana awal. Dia menghubungi orang kepercayaannya lagi untuk mengerjakan sisa misi.Waktu bergulir kian cepat, membuat dua insan beda kepentingan itu terjaga di tempat masing-masing. Saat mentari meninggi, baik Yara dan Andaru kembali berkutat dengan rutinitas.Yara telah siap membawa ransel di punggung. Dia mengunci kamar kostnya lalu berjalan ke depan gerbang di mana kang ojol menunggu.Seperti biasa, dia akan membagikan makanan ringan pada anak jalanan dulu. Setelahnya, baru pergi ke Semarang menggunakan tiket pesawat yang telah dipesan kemarin.3 jam kemudian, Yara tiba di Semarang. Sahabatnya telah menunggu dengan membawakan pesanan Yara. Gadis itu lantas mengganti kostum.Dalam sekejap, penampilan Yara telah menjelma, hingga tiada seorang pun mengenali. Sang gadis lalu meminta karibnya mengantar menuju pemakaman Jaedy dengan sepeda motor."Aba, aku pulang."Yara menyusuri jalan setapak komplek pemakaman umum, menuju gundukan tanah merah yang masih basah di kavling tengah. Dia berjongkok, melangitkan doa dengan hatinya yang remuk."Jadi ke rumah, lihat Mama?" bisik sang sahabat, mengusap pelan bahu Yara yang nampak bergetar.Gadis dalam balutan gamis serba hitam dan niqab menjuntai itu mengangguk pelan. Kontak lens warna coklat tua menyamarkan iris mata Yara agar tak dikenali. Polesan pensil alis kian menyamarkan gurat wajah keturunan Jaedy itu."Assalamualaikum. Maaf, darimanakah?"Deg.Sapaan dari pria itu seketika membuat jemari Yara tertaut erat di balik hijab panjangnya.‘Suara itu….’“Beliau putri Syarifah Alawiyah, pelanggan usaha almarhum. Maaf tidak memberitahu lebih dulu, kami singgah sejenak mewakili keluarga.”Seolah tahu gestur Yara yang masih terkejut, Santi, sahabatnya mengambil alih menjawab pertanyaan pria tadi.Sebenarnya, Santi-lah putri hubabah yang asli. Bukan Yara. Namun, Santi tahu betul siapa pria di hadapannya ini untuk Yara. Untuk itu, dia cepat-cepat menjalankan sebuah skenario.Pria itu diam, tersenyum dan mengangguk tetapi tatapannya tak lepas dari sosok Yara yang berdiri di belakang Santi.“Maaf, Wan, bukan mahram. Tolong jaga pandangan.” Santi menghalau pandangan pria itu sembari menggandeng Yara menyingkir dari bahaya.Namun, baru beberapa langkah menjauh, pria tadi memanggil dua gadis itu lagi.“Tunggu.” Jantung Yara berdebar hebat kala langkah kaki pria itu kian dekat. Kembali, pria itu tersenyum tipis menatap ke arah Yara. Santi gegas berdiri di hadapan sahabatnya, berusaha melindungi Yara dari pandangan menyelidik pria itu. "Ehm ..
["Ayahmu meninggalkan utang milyaran. Dalam perjanjian kerja menyatakan, bahwa pewaris mempunyai kewajiban untuk melanjutkan piutang tersebut.][Mamamu shock dan jatuh sakit, pulanglah, Sayang, karena menghilang pun percuma. Aku akan tetap menemukanmu."] Yara membaca pesan susulan setelah dirinya tenang. Ingatannya kembali ke masa menjelang kelulusan.Dia pernah mendengar tanpa sengaja, bahwa ayahnya memiliki simpanan khusus, juga sebuah asuransi jaminan hari tua bilamana terjadi satu musibah dengan keluarga Jaedy. Dalam klausa dua polis itu, tersebut nama Yara dan Jazli sebagai penerima dana manfaat. Yara menduga, total uang pertanggungan itu tidak dapat dicairkan sebab dirinya menghilang. "Dia gila, tega sekali. Jangan-jangan, Aba tiada karena dia apa-apakan!" gumam Yara masih menggigit ujung kukunya. "Darimana dia tahu nomerku?" Kepala Yara berdenyut nyeri memikirkan bagaimana cara mencairkan dana itu jika memang kecurigaannya terbukti. Dokumen asli miliknya telah berubah. Pih
"Darimana Anda tahu semua ini?" tatap Yara nanar ke arah Andaru, dia tak percaya dengan data di tangannya. "Nggak mungkin, 'dia' bilang semua aman, tapi ini-" gumam Yara, menggeleng samar.Seringai penuh kemenangan Andaru kian lebar melihat respon sekretarisnya itu. Dia lalu duduk di hadapan Yara seraya menyandarkan punggung serta menopang kaki, seakan mengukuhkan posisinya sebagai pemegang kendali."Deal, kan?" ujarnya.Yara mendongak, meletakkan dokumen tadi di atas meja. Putri Jaedy tidak ingin terlalu kentara bahwa dia terintimidasi oleh Andaru. "Deal apanya?" balas Yara ikut bersedekap disertai tatapan remeh.Cemas, tapi Yara ingin memastikan bahwa dirinya sedang tak melakoni peran dalam pepatah, lepas dari kandang harimau lalu masuk ke mulut buaya darat berdasi bagai sosok di hadapan. "Ekspresi wajahmu itu sudah menjawab semua. Akad akan dilangsungkan besok siang bada duhur. Untuk hal lain, kau baca dulu ini," ucap Andaru dengan muka datar saat menyerahkan satu map ke atas meja.
"Wa alaikumussalaam, Maa-maaa," balas Yara terbata. "Aku nggak mimpi, kan?" Anggukan samar serta senyum Jamila-ibu kandungnya, yang membentangkan kedua lengan, langsung Yara sambut. "Ma-maa!" Dia memeluk erat disertai isakan. "Mama!" sebut Yara berkali-kali."Anakku sayang," balas Jamila. Mendekap sang putri bungsu teriring tetes bening membasuh pipi. "Mama rindu." Jemari yang mulai mengeriput lalu mengusap lembut mulai dari kepala hingga punggung Yara. "Alhamdulillah, kita masih bisa bertemu." Wajah senja itu kemudian terbenam di pundak anak gadisnya.Kedua wanita melebur tangis serta kerinduan. Para pria yang berdiri di sana hanya mengulas senyum samar menyaksikan adegan tersebut. Andaru tahu sebagian kisah masa lalu istrinya itu. Tempo hari, dia meminta Bimo diam-diam menjemput keluarga Yara.Pelukan itupun perlahan terurai. Jamila merangkum wajah ayu putrinya dengan kedua telapak tangan. Memeta setiap inci rupa yang dirindukan. "Cantiknya anak mama." Dia lalu membubuhkan kecupan d
Bimo buru-buru menjawab panggilan yang menggantung tadi. "Tolong minta nomer ponselnya," ucap sang asisten.Sedetik kemudian, senyum mengembang menghias wajah Bimo ketika panggilan berakhir. Otaknya tanggap menyusun sebuah rencana untuk mengetahui motif pria itu."Saatnya misi pengalihan." Seringai tipis sang asisten masih terukir saat memasuki mobilnya.Suasana di ruang privat perlahan terasa akrab. Ekspresi Andaru pun berubah-ubah. Kadang tertawa, tersenyum bahkan mengejek Yara saat Jamila dan Jazli menceritakan masa kecil sang istri yang tidak diperoleh dari informannya."Oh, ternyata nyandu sama risoles?" Bibirnya membentuk huruf O seiring mata yang melebar melihat ke arah Jamila. "Pantas bekalnya sama setiap hari," kekeh Andaru.Risoles, kudapan favorit Yara sejak kecil. Jamila kerap mengajak putrinya belajar membuat kulit serta varian isi agar hasil masakan cantik dan nikmat. Karena hal itulah, Yara sangat ahli dalam membuat camilan satu ini.Kangen masakan mama, alasan yang mela
"Shiitt!" umpatnya.Dia menatap tajam ke arah dua orang satpam seraya menunjuk wajah mereka satu per satu. "Awas kalian!" ancamnya, sebelum berbalik badan menjauh.Langkahnya panjang dan tergesa menuju mobil. Dering ponsel yang membuatnya stres, sejenak berhenti tepat saat dia menarik gagang pintu. Namun, beberapa detik kemudian, benda itu berbunyi lagi.Sang pemilik netra sekelam malam, duduk dibalik kemudi mengatur napas agar terdengar wajar saat bicara. Dia perlahan menggeser tombol hijau setelah menghembus panjang. "Ya?" "Dimana?" suara berat terdengar di ujung sana, bersiap-siap melampiaskan emosi. "Jakarta." Dia menunggu respon lawan bicaranya sebelum melanjutkan. Tidak terdengar jawaban apapun, membuatnya bicara lagi, "Aku sedang berusaha, sabarlah," timpalnya mencoba mengulur waktu. "Satu pekan atau pesanan ditarik, sekaligus uang ganti rugi dan wanprestasi." Matanya membelalak. Dia buru-buru bicara, "Tunggu-" Tut. Terlambat, panggilan itu diputus sepihak. Pria di telepo
"Yakin, Bos!" tegasnya lagi. "Dia sudah masuk dalam pengawasan saya baik di sini dan ketika kembali nanti," imbuh sang informanAndaru mengangguk-angguk puas meski hatinya tidak yakin sampai kapan rencana ini akan bertahan. "Oke lanjutkan."Sebagai menantu almarhum, sudah menjadi kewajiban Andaru untuk berbakti dengan membantu urusan keluarga Yara. Terlebih dia mampu melakukan itu. Meskipun niatan sebelum menikah, sang CEO mengatakan sebaliknya.Pandangannya tertuju ke sekeliling sebelum bangkit. Dia melihat jam tangannya lalu meraih rokok dari atas meja dan keluar meninggalkan resto masih dengan ponsel yang menempel di telinga."Jam berapa eksekusi?" tanya Andaru lagi. Jemarinya menekan remote sambil terus melangkah mendekati mobil."Setelah makan siang," sahutnya cepat. "Tapi, saya sudah minta dia bekerja mulai malam ini, Bos," sambung sang informan.Pimpinan Garvi Corp telah duduk di belakang kemudi dan menutup pintu mobilnya, tanda harus mengakhiri sambungan udara dengan si pria di
"Dih, aneh," gerutu Yara melihat sikap Andaru tadi. Pintu lift terbuka, dia masuk dan disambut senyum beberapa penghuni di dalamnya. Seperti biasa, Dewi telah menunggunya di lobby apartemen. Gadis itu berjalan di depan sang nyonya muda menuju mobil. Kali ini, pakaian Dewi lebih kasual, sehingga mereka terlihat bagai rekan kerja.Yara memilih duduk di depan agar tidak terkesan bossy dan berharap dapat menjalin pertemanan. Yara hanya memiliki satu sahabat sejak kuliah. Fay, berada di divisi yang berbeda dengannya. Dari gadis itulah, dia mendapat informasi lowongan pekerjaan di Garvi Corp.Meski satu gedung, mereka jarang bersua karena kesibukan masing-masing. Sebelum tidur biasanya para gadis saling berkirim chat. Namun, beberapa hari ini dunia Yara teralihkan akibat seseorang, juga Andaru."Silakan, Nona." Dewi menurunkan kaca mobil bagian kiri."Eh!" Lamunan Yara buyar. Pandangan nyonya muda Garvi menyapu sekitar. Rupanya dia tak menyadari kapan mobil mereka berangkat dan kini tela