Share

BAB 2. KECURIGAAN

"Nggak! Kamu pasti bohong!"

Pria sangar bersetelan jins dan kaos tanpa lengan itu menunjukkan beberapa slide foto berupa prosesi memandikan jenazah Jaedy hingga penguburan.

“Percuma kabur lagi, ‘dia’ tau di mana kamu," lanjut pria itu dengan seringai tipis di bibirnya.

Setelahnya, lelaki tadi menyeringai sinis lalu meninggalkan sang gadis yang terlihat shock.

Air mata Yara tumpah. Dia menutup mulut dengan satu telapak tangan agar isakannya tidak terdengar penghuni lain. Gegas, Yara mendorong pagar lalu berlari masuk ke kamarnya.

"Aba! Apa di-dia pelakunya?"

Malam itu, Yara tidak bisa tidur. Pikirannya penuh, ingin buru-buru pulang ke rumahnya di Semarang. Untuk itu, semalam dia langsung meminta izin cuti pada Andaru.

Namun, Yara harus menelan kecewa ketika membaca pesan balasan dari atasannya.

["Kerja cuma sehari lagi. Kamu masih punya tanggung jawab yang belum kelar. TITIK!"]

Itu artinya, dia tidak bisa cuti dadakan hari ini.

Tak lama, gawai pipihnya bergetar kencang. Nama yang muncul di layar membuat Yara mendesah, kian malas untuk bekerja. Namun, meski begitu, dia tetap menekan tombol hijau pada panggilan itu.

“Ya?”

Tidak seperti biasanya, kali ini suara Yara tidak terdengar semangat. Tubuhnya bahkan masih menempel erat dengan kasur dan guling.

“’Selamat pagi, Pak.’ Seharusnya begitu jika menjawab panggilan atasanmu, Yara. Masa begini saja harus diingatkan?!”

“Pagi, Pak. Tapi, ini masih pukul enam, belum saatnya saya mulai jam formal,” balas Yara lirih.

Meski kurang semangat, kebiasaan Yara yang selalu menjawab ucapan Andaru masih tidak hilang.

Hal itu membuat Andaru mendengus. “Hebat sekali, sapaan saja pakai jadwal,” sindirnya. “Mana laporan meeting semalam?”

“Laporan kan sudah dikirim, Pak. Baru sebagian, sih….”

Andaru kembali berdecak mendengar sahutan sang sekretaris cadangan. “Jangan lupa, sore ini temani aku hadir di acara amal peresmian panti asuhan.”

“Loh, kok, saya lagi, Pak? Ada Pak Bimo, kan? Saya takut dikira menjilat Anda, sebab itu bukan jobdesk saya, Pak.”

Gadis itu memang sengaja meminimalisir interaksinya dengan Andaru di luar jam kerja. Namun, entah apa yang membuat pria itu lagi-lagi menjadikannya ban cadangan tiap kali sekretaris pertamanya—Arin, berhalangan.

“Oh, bagus. Selain pintar jawab, sekarang kamu belajar membantah.”

“Bu-bukan gitu, Pak, tapi—”

“Aku nggak mau dengar bantahan. Kerjakan sesuai perintahku, dan jangan sampai telat!”

Tut. Tut. Tut.

Panggilan terputus sepihak. Yara mengendikkan bahu lalu meletakkan gawainya begitu saja di sisi kasur. Dia menguap seraya meregangkan tubuh.

Sorot matanya dilayangkan ke langit kamar yang plafonnya telah usang. Ocehan Andaru bagai radio butut, hanya angin lalu. Yara sudah terbiasa dengan kebawelan bosnya itu.

"Terpaksa, Sabtu besok aku baru bisa pergi. Nggak bisa ambil job nge-MC juga pekan ini. Ya Allah, dosaku banyak sekali. Sekedar takziah pun masih mikirin dunia."

Gadis ayu berambut panjang itu menutup wajahnya dengan bantal. Dia berusaha menghalau laju bening yang siap meluncur lagi dari matanya yang mulai terasa perih.

Akibat menangis semalaman, Yara Falmira terpaksa menjalani hari ini dengan bola mata sedikit merah dan bengkak.

Sapaan para senior, rekan kerjanya yang bertanya apakah dia baik-baik saja tak Yara tanggapi serius. Dia berkilah, semua ini karena mencoba krim malam merk baru semalam. Ketidakcocokan itulah yang akhirnya berimbas ke mata.

Tut.

Telepon di kubikelnya berbunyi. Yara langsung menekan tombol speaker segera.

"Yara!"

Tut.

Tak menanggapi lebih jauh, Yara memutuskan untuk menghampiri ruangan Andaru.

"Revisi, lima menit!" sambut Andaru langsung begitu Yara masuk ke ruangan pria itu.

"Bos, bukannya tadi sudah betul?"

Berbeda dengan Yara yang sudah pasrah menerima omelan dari Andaru, Bimo, asisten pribadi bosnya itu justru heran.

Menurut Bimo, notulen Yara sempurna, tapi mengapa Andaru malah meminta revisi?

"Aku nggak suka warna sampul filenya.” Pria itu kemudian menggeser file yang dia maksud. “Kelabu, apa-aaan ini?! Bisa kan, pilih warna basic yang terkesan semangat? Di mana kreatifitas kamu?!"

Pria itu menopang kaki, menunjukkan gestur kuasa yang dimilikinya.

Bimo menggeleng melihatnya. Kebiasaan Andaru mengerjai anak baru, mulai lagi.

Yara hanya diam, mengangguk lalu mengambil dokumen dan melenggang pergi tanpa komentar seperti biasanya.

Andaru mengerutkan keningnya dalam. Ada yang aneh dari sekretarisnya hari ini. "Tumben?”

"Tumben nggak jawab, Bos? Kayaknya dia lagi badmood." Bimo mencoba menjawab sekadarnya.

Andaru memperhatikan sekilas penampilan Yara tadi. Arin—sekretaris utamanya mengatakan juniornya itu tidak sakit, hanya terlihat lesu.

Samar, Andaru mengangguk, mengiyakan perkataan Arin perihal kelesuan Yara. Tak lama, dia mengalihkan kembali tatapannya pada Bimo. "Oh iya. Apa berkas yang kuminta kemarin sudah siap? Ingat, jangan sampai bocor."

"Done. Permintaan nyonya Afreen, apa sudah disetujui, Bos?"

Mendengar nama mantan istrinya disebut, Andaru menarik napas berat.

"Entahlah, kalau kuikuti … apa bedanya dengan yang lalu?"

"Turuti saja jika itu menguntungkan Anda, Bos?" kekeh Bimo.

"Mana ada untungnya bagiku?”

Si duda tampan lagi-lagi menghela napas berat. Dia melonggarkan simpul dasi dan bangkit melangkah menuju mejanya, kembali berkutat dengan tumpukan pekerjaan.

Tepat setelah asar, agenda sang CEO berlanjut mengunjungi panti asuhan. Sepanjang perjalanan, Yara yang kembali bertugas menemaninya itu hanya diam.

Kali ini, gadis itu mengganti bajunya dengan gamis polos berwarna hitam dipadu hijab abu motif. Wajah kuyunya sedikit dibubuhkan sapuan blush on warna semu jingga, sehingga tampak sedikit segar.

Penampilan baru Yara membuat Andaru berkomentar saat turun dari mobil.

"Not bad!"

Lagi-lagi Yara hanya menunduk, tak menanggapi pujian pria tampan di depannya. Dia lantas mengekori langkah Andaru memasuki aula panti.

Sambutan hangat menyapa mereka. Rentetan acara yang telah disusun ringkas itu telah dilalui dengan lancar.

Ketika tiba di bagian akhir, di mana pemuka agama—ustadz, membaca doa dan dzikir, air mata Yara mulai merembes lagi. Sekuat tenaga dia tahan, tapi gerakan jemari yang menyeka wajahnya berkali-kali nyatanya mengalihkan perhatian seseorang.

"Bim, Yara nggak lagi lebay 'kan? Masa begini saja nangis. Biasanya selengekan," bisik Andaru, menyenggol lengan Bimo yang duduk di sebelahnya.

"Khidmat, Bos. Terharu jadinya."

Namun, Andaru tidak merasa demikian. Logikanya mengatakan bahwa ada sesuatu yang melatari tangis tersedu sekretaris keduanya itu.

Ketika pembacaan doa usai, Yara langsung pamit ke toilet. Dia tak ingin isakan halusnya menarik perhatian siapa pun di sana. Gadis berhijab itu memilih menepi dari keramaian, duduk di teras panti memandang langit senja yang kemerahan.

"Ayo pulang."

Andaru tiba-tiba muncul, berjalan melewatinya begitu saja. Yara terkejut, lalu bangkit mengejar CEO Garvi Corp tersebut.

"Pak, maaf. Ke kantor lagi atau boleh pulang?"

Suaranya parau, tidak terdengar antusias seperti biasa.

"Pulang saja. Jangan kamu rusak ujung hari para karyawanku dengan muka jelekmu itu."

Pewaris Garvi Corp itu melirik sinis sekilas padanya lalu masuk ke mobil.

Yara berdiri mematung di sisi mobil mewah sang pimpinan. Dia lalu membungkukkan sedikit badannya saat kendaraan itu mulai melaju. Dia lalu terburu mengeluarkan ponsel guna memesan sesuatu.

**

Pukul sebelas malam. Apartemen Green palace.

Andaru tengah memusatkan perhatian pada layar kotak di atas meja kerjanya. Semua fakta dan data seseorang yang dia minta tempo hari telah diperoleh lengkap malam ini.

"Oh, begitu. Pantas saja."

Pria dengan sorot mata tajam itu lantas mengubah rencana awal. Dia menghubungi orang kepercayaannya lagi untuk mengerjakan sisa misi.

Waktu bergulir kian cepat, membuat dua insan beda kepentingan itu terjaga di tempat masing-masing. Saat mentari meninggi, baik Yara dan Andaru kembali berkutat dengan rutinitas.

Yara telah siap membawa ransel di punggung. Dia mengunci kamar kostnya lalu berjalan ke depan gerbang di mana kang ojol menunggu.

Seperti biasa, dia akan membagikan makanan ringan pada anak jalanan dulu. Setelahnya, baru pergi ke Semarang menggunakan tiket pesawat yang telah dipesan kemarin.

3 jam kemudian, Yara tiba di Semarang. Sahabatnya telah menunggu dengan membawakan pesanan Yara. Gadis itu lantas mengganti kostum.

Dalam sekejap, penampilan Yara telah menjelma, hingga tiada seorang pun mengenali. Sang gadis lalu meminta karibnya mengantar menuju pemakaman Jaedy dengan sepeda motor.

"Aba, aku pulang."

Yara menyusuri jalan setapak komplek pemakaman umum, menuju gundukan tanah merah yang masih basah di kavling tengah. Dia berjongkok, melangitkan doa dengan hatinya yang remuk.

"Jadi ke rumah, lihat Mama?" bisik sang sahabat, mengusap pelan bahu Yara yang nampak bergetar.

Gadis dalam balutan gamis serba hitam dan niqab menjuntai itu mengangguk pelan. Kontak lens warna coklat tua menyamarkan iris mata Yara agar tak dikenali. Polesan pensil alis kian menyamarkan gurat wajah keturunan Jaedy itu.

"Assalamualaikum. Maaf, darimanakah?"

Deg.

Sapaan dari pria itu seketika membuat jemari Yara tertaut erat di balik hijab panjangnya.

‘Suara itu….’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status