PART 37. Ajakan TerakhirTiga hari aku di rumah Ibu di Bekasi. Selama itu pula aku lebih banyak di dalam kamar. Jika keluar, aku sudah pastikan, wajahku tertutup kosmetik secara sempurna, untuk menutupi bengap di mata akibat terlalu banyak menangis. Tiga hari begitu cepat, itu artinya empat hari lagi pernikahan Mas Harris akan terjadi. Ah, nyeri sekali membayangkan itu."Kamu ambil libur berapa hari, Na, kok masih di rumah?" Tanya Mama ketika aku baru keluar dari kamar siang ini."Ini mau berangkat, Ma." Sahutku. Walau aku belum tahu mau ke mana, tetapi aku tidak mau keluargaku tahu jika aku sudah keluar dari perusahaan, aku tetap harus berpura-pura berangkat kerja."Sana makan dulu." Kata Ibu."Iya, Ma." Aku berjalan ke meja makan. Ibu mengikutiku, membuka penutup makanan dan mengambilkan piring. Ibu selalu begitu, meskipun aku berusaha mencegah, Ibu tetap melakukannya. Ibu ikut duduk di kursi seberang meja."Kamu nggak ingin cerita apa-apa gitu, Na, sama Mama?" Tanya Mama. Aku menat
PART 38. Pernikahan HarrisTiga puluh menit perjalanan, kami sampai di sebuah gedung yang dipenuhi bunga warna putih di mana-mana. Mas Harris menarik tanganku masuk ke salah satu gedung yang tampak rapi dan bersih. Seorang wanita setengah baya langsung menyambutnya dengan ramah."Rias dia semaksimal mungkin." Mas Harris menyerahkanku kepada wanita tersebut. Wanita itu menatapnya dengan pandangan yang tak kumengerti."Jangan khawatir, secantik apa pun wanita yang hadir di gedung ini, tidak akan pernah ada yang dapat mengalihkan hatiku dari pengantin wanitaku." ucap Mas Harris, seraya melirikku angkuh.Aku kembali memejamkankedua mata. Akan ada berapa banyak lagi rasa sakit yang akan kuterima darinya? Harus kah dia berkata seperti itu di depanku? Yaa Tuhan, ini salahku. Mengapa aku masih mau ikut dia ke sini, hanya untuk dilecehkan seperti ini? Apa lagi yang bisa kuharapkan? Sekali lagi, aku membiarkan air mataku mengalir ke pipi."Lalu bagaimana dengan bajunya, Pak?" Tanya wanita itu.
PART 39. Menjadi Nyonya HarrisHelena mengerjap. Melawan silau dari lampu ruangan. Mencoba mengingat, apa yang terjadi."Kamu sudah sadar, Nyonya Harris?" Suara yang terasa begitu lekat dengan ingatannya terdengar tidak jauh darinya. Nyonya Harris, Siapakah?“Di mana aku?” gumamnya lirih.“Kamu ada di rumah sakit, Sayang. Kamu pingsan di hari pernikahan kita.” “Pernikahan kita?” Helena mengernyitkan keningnya, beberapa kali mengerjap dan berusaha keras menerna keadaan.“Saya terima nikahnya Helena Anastasya Binti Rahardi..” Oh… Helena mendesah. Ucapan Harris saat ijab qabul kembali terngiang. Kedua matanya mulai bisa menyesuaikan.“Mmm,” Pria di depannya mengangguk dengan wajah berbinar bahagia, "pernikahan kita, Sayang.""Siapa kamu?" Tanya Helena pelan, dan hampir tak terdengar. Ditatapnya sayu pria yang tengah membelai rambut, dan memeluk tubuhnya itu."Helena? Apa yang terjadi? Ada apa denganmu?" Pria itu gugup, jantungnya berdebar. Lalu dengan cepat dia memijit tombol cemas."Do
PART 40. Kekalahan Putri meraung, memprotes, kenapa ayahnya begitu tega mengotori cintanya yang tulus terhadap Harris. Dia hampir mendapatkan bossnya itu, setelah sekian panjang perjalanan yang penuh emosi dan kesabaran. Harris hampir saja menikahinya jika tidak karena ayahnya yang meminta syarat macam-macam. Dua ratus juta bagi Harris sangat ringan dan tidak akan menjadi masalah. Putri bisa mendapatkan lebih dari itu jika sudah menjadi istri Harris. Terbayang bagaimana dia dan Harun terus-menerus mengupayakan untuk menaklukkan hati Harris, selama dua tahun lebih, lamanya. Dan ketika semuanya sudah di ambang keberhasilan, justru ayahnya sendiri yang menghancurkan mimpinya dengan permintaan yang rendahan. Harga diri Putri sangat terluka. "Maafkan ayahmu, Putri. Dia tidak tahu." Kata ibunya seraya mengusap-usap rambut putrinya yang sedang bersandar di bahunya sambil menangis perih. Pagi itu, Harris langsung yang menghubungi Putri, memintanya bertemu di salah satu restoran favoritnya
Mama menggelar pesta di rumahnya malam ini. Mas Ipar ketiga menghadiahi beliau kulkas seharga sebelas juta. Menggetarkan penghuni dompetku yang masuk kategori misquin. Sebelas juta, mending uangnya dikasihkan aku, toh kulkas seharga 2,5 juta juga sudah bagus kan? Sayang sekali rasanya. Namun, apalah aku, si misquin yang hanya bisa menghayal kekayaan orang lain.Terkadang, perasaan terjebak juga muncul di benakku, ketika kondisi jiwaku sedang lelah lahir batin. Aku merasa telah ditipu oleh Mas Arsen, suamiku. Ya, Mas Arsen menipuku sejak awal kami menjalani pacaran, dan baru kuketahui setelah menikah. Sungguh, memang sial nasibku!Aku yakin apa yang dilakukan Mas Ipar itu pasti ada udang di balik rempeyek. Semacam suap, agar peroleh warisan lebih besar dari Mama mungkin. Mas Iparku ini adalah duda, Saudara! Istrinya minggat sama pria lain. Bahkan ketika pernikahan mereka belum genap dua tahun. Konon katanya, istrinya tidak sanggup hidup misquin bersamanya. Ah, jika saja istrinya itu ta
Bersama Mama dan Mbak Romlah, kami menyiapkan makanan pendamping untuk makan malam. Untuk makanan utamanya sendiri, Mama sudah memesan satu paket besar nasi biryani di restoran terkenal di daerah Condet. Mama yang masih memiliki darah Arab - Medan, memang sering mengajak kami untuk makan-makan menu Arab, Turkey dan sebagainya yang kuketahui sebagai menu yang berasal dari wilayah Timur Tengah. Aku sendiri tidak begitu paham. Tetapi aku sangat suka nasi biryani dan sambosa.Mama mengaduk puding, aku membersihkan sayuran untuk tambahan lalapan, sementara Mbak Romlah, sedang marinasi paha ayam untuk digoreng nanti.Mbak Romlah bukan ART kami, tetapi dia sering dipanggil oleh Mama untuk bantu-bantu ketika kami sedang sibuk seperti sekarang. Bagi Mama, keberadaan Mbak Romlah adalah suatu keberkahan. Dulu sebelum aku menjadi bagian dari keluarga ini, Mbak Romlah pernah ngekost di sini, di kamar kostan nomor delapan selama enam tahun. Dia pindah karena menikah dan suaminya mengajaknya pindah
Haruskah aku tumpahkan buah-buahan di meja? Tapi bagaimana caranya? Aku terus mencari cara. Malam ini adalah kesempatan untuk membalas Mas Ipar. Mataku nanar memperhatikan satu-persatu cucu mama. Siapa di antara mereka yang paling aktif dan bisa kumanfaatkan? Ajeng, anak sulung Mas Rasyid, sudah berusia 8 tahun. Dan terlalu pendiam, tidak mungkin bisa dimanfaatkan. Apalagi dia sudah mulai tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Coret. Aku terus memperhatikan cucu Mama yang lain. Dan terpaku kepada Wildan Anak kedua Mbak Tutik. Anak itu baru saja keluar dari kamarku, dengan wajah penuh coretan merah. Tangannya memegang lipstik milikku. Wildan berusia hampir empat tahun. "Yaa Allah, Wildaaaan." Mbak Tutik berteriak. Yang lain seketika menoleh, lalu tertawa terbahak-bahak. Mbak Tutik langsung berdiri, bermaksud menangani Wildan. "Biar aku saja, Mbak." Cegahku. "Mbak duduk aja." "Beneran?" Tanya Mbak Tutik. "Iyah." Aku mengangguk mantap. "Makasih ya." Sahut Mbak Tutik
Mas Harris mengejarku ke westafel. Benarkah dia tahu kalau aku mengaduk buah-buahan itu dengan pir? Kali ini dia pasti akan membunuhku. Bulu kudukku meremang membayangkan kematianku di tangan pria tampan yang mirip suamiku itu.-------Rasanya nyaman sekali bisa membaringkan tubuh di atas kasur. Seharian tadi sama sekali tidak bisa istirahat karena menyiapkan acara malam ini. Mbak Tutik, karena suaminya bekerja jadi baru bisa datang setelah jam lima sore. Begitu juga Mbak Sofia, istri Mas Rasyid, dan Mbak Aulia istri Mas Ibnu. Anak Mama hampir semuanya pekerja kantoran kecuali Mas Harris.Mas Harris memiliki banyak usaha. Menurut Mama, anak-anaknya yang paling telaten dan tekun memang cuma Mas Harris. Sehingga dia yang terlihat paling sukses. Berapa pun modal yang diberikan orang tua kepada Harris semua berwujud menjadi usaha. Berbeda dengan Arsen, yang selalu meminta modal usaha namun tidak pernah terlihat hasilnya. Sampai bosan yang memberikan modal.“Tapi dia jadi bangkrut setelah