PART 40. Kekalahan Putri meraung, memprotes, kenapa ayahnya begitu tega mengotori cintanya yang tulus terhadap Harris. Dia hampir mendapatkan bossnya itu, setelah sekian panjang perjalanan yang penuh emosi dan kesabaran. Harris hampir saja menikahinya jika tidak karena ayahnya yang meminta syarat macam-macam. Dua ratus juta bagi Harris sangat ringan dan tidak akan menjadi masalah. Putri bisa mendapatkan lebih dari itu jika sudah menjadi istri Harris. Terbayang bagaimana dia dan Harun terus-menerus mengupayakan untuk menaklukkan hati Harris, selama dua tahun lebih, lamanya. Dan ketika semuanya sudah di ambang keberhasilan, justru ayahnya sendiri yang menghancurkan mimpinya dengan permintaan yang rendahan. Harga diri Putri sangat terluka. "Maafkan ayahmu, Putri. Dia tidak tahu." Kata ibunya seraya mengusap-usap rambut putrinya yang sedang bersandar di bahunya sambil menangis perih. Pagi itu, Harris langsung yang menghubungi Putri, memintanya bertemu di salah satu restoran favoritnya
Mama menggelar pesta di rumahnya malam ini. Mas Ipar ketiga menghadiahi beliau kulkas seharga sebelas juta. Menggetarkan penghuni dompetku yang masuk kategori misquin. Sebelas juta, mending uangnya dikasihkan aku, toh kulkas seharga 2,5 juta juga sudah bagus kan? Sayang sekali rasanya. Namun, apalah aku, si misquin yang hanya bisa menghayal kekayaan orang lain.Terkadang, perasaan terjebak juga muncul di benakku, ketika kondisi jiwaku sedang lelah lahir batin. Aku merasa telah ditipu oleh Mas Arsen, suamiku. Ya, Mas Arsen menipuku sejak awal kami menjalani pacaran, dan baru kuketahui setelah menikah. Sungguh, memang sial nasibku!Aku yakin apa yang dilakukan Mas Ipar itu pasti ada udang di balik rempeyek. Semacam suap, agar peroleh warisan lebih besar dari Mama mungkin. Mas Iparku ini adalah duda, Saudara! Istrinya minggat sama pria lain. Bahkan ketika pernikahan mereka belum genap dua tahun. Konon katanya, istrinya tidak sanggup hidup misquin bersamanya. Ah, jika saja istrinya itu ta
Bersama Mama dan Mbak Romlah, kami menyiapkan makanan pendamping untuk makan malam. Untuk makanan utamanya sendiri, Mama sudah memesan satu paket besar nasi biryani di restoran terkenal di daerah Condet. Mama yang masih memiliki darah Arab - Medan, memang sering mengajak kami untuk makan-makan menu Arab, Turkey dan sebagainya yang kuketahui sebagai menu yang berasal dari wilayah Timur Tengah. Aku sendiri tidak begitu paham. Tetapi aku sangat suka nasi biryani dan sambosa.Mama mengaduk puding, aku membersihkan sayuran untuk tambahan lalapan, sementara Mbak Romlah, sedang marinasi paha ayam untuk digoreng nanti.Mbak Romlah bukan ART kami, tetapi dia sering dipanggil oleh Mama untuk bantu-bantu ketika kami sedang sibuk seperti sekarang. Bagi Mama, keberadaan Mbak Romlah adalah suatu keberkahan. Dulu sebelum aku menjadi bagian dari keluarga ini, Mbak Romlah pernah ngekost di sini, di kamar kostan nomor delapan selama enam tahun. Dia pindah karena menikah dan suaminya mengajaknya pindah
Haruskah aku tumpahkan buah-buahan di meja? Tapi bagaimana caranya? Aku terus mencari cara. Malam ini adalah kesempatan untuk membalas Mas Ipar. Mataku nanar memperhatikan satu-persatu cucu mama. Siapa di antara mereka yang paling aktif dan bisa kumanfaatkan? Ajeng, anak sulung Mas Rasyid, sudah berusia 8 tahun. Dan terlalu pendiam, tidak mungkin bisa dimanfaatkan. Apalagi dia sudah mulai tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Coret. Aku terus memperhatikan cucu Mama yang lain. Dan terpaku kepada Wildan Anak kedua Mbak Tutik. Anak itu baru saja keluar dari kamarku, dengan wajah penuh coretan merah. Tangannya memegang lipstik milikku. Wildan berusia hampir empat tahun. "Yaa Allah, Wildaaaan." Mbak Tutik berteriak. Yang lain seketika menoleh, lalu tertawa terbahak-bahak. Mbak Tutik langsung berdiri, bermaksud menangani Wildan. "Biar aku saja, Mbak." Cegahku. "Mbak duduk aja." "Beneran?" Tanya Mbak Tutik. "Iyah." Aku mengangguk mantap. "Makasih ya." Sahut Mbak Tutik
Mas Harris mengejarku ke westafel. Benarkah dia tahu kalau aku mengaduk buah-buahan itu dengan pir? Kali ini dia pasti akan membunuhku. Bulu kudukku meremang membayangkan kematianku di tangan pria tampan yang mirip suamiku itu.-------Rasanya nyaman sekali bisa membaringkan tubuh di atas kasur. Seharian tadi sama sekali tidak bisa istirahat karena menyiapkan acara malam ini. Mbak Tutik, karena suaminya bekerja jadi baru bisa datang setelah jam lima sore. Begitu juga Mbak Sofia, istri Mas Rasyid, dan Mbak Aulia istri Mas Ibnu. Anak Mama hampir semuanya pekerja kantoran kecuali Mas Harris.Mas Harris memiliki banyak usaha. Menurut Mama, anak-anaknya yang paling telaten dan tekun memang cuma Mas Harris. Sehingga dia yang terlihat paling sukses. Berapa pun modal yang diberikan orang tua kepada Harris semua berwujud menjadi usaha. Berbeda dengan Arsen, yang selalu meminta modal usaha namun tidak pernah terlihat hasilnya. Sampai bosan yang memberikan modal.“Tapi dia jadi bangkrut setelah
Maju mundur, maju mundur. Aku terus menimbang. Serba salah. Kalau aku maju, artinya aku siap dengan segala kemungkinan yang akan dilakukan Mas Harris kepadaku. Kalau aku mundur, aku tidak enak sama Mama. Karena Mama yang menyuruhku membantu Mas Harris menutup gerbang. Aku memang selalu tidak sanggup menolak permintaan Mama, karena Mama sangat baik kepadaku.Jalanan depan rumah sudah mulai senyap. Motor maupun pedagang keliling sepertinya sudah pada istirahat. Dalam hati aku menyesali diri. Tahu mau ada acara kumpul-kumpul di rumah, kenapa tidak sejak pagi atau siang menyiram minyak ke roda pintu gerbang, yang beberapa hari ini seperti macet. Sangat seret saat didorong.Sekitar jarak tiga meter dari keberadaan Mas Harris, aku berhenti. Kulihat cahaya dari kamar Mama berubah redup, itu artinya Mama sudah mapan di atas pembaringannya, memberi peluang kepada Harris untuk bebuat semaunya tanpa ada gangguan. Tubuhku merinding, Mas Harris menatapku, seraya tersenyum miring seperti mengejek.
"Kamu hamil." Ulang Mas Harris. "Aku antar periksa ke dokter, tapi ganti pakianmu, jangan menjatuhkanku dengan pakaian murahanmu itu!" ------- Harusnya aku sakit hati dengan ucapan Mas Harris barusan. Tetapi aku masih dilenakan oleh berita kehamilanku. Apakah itu benar? Atau ini hanya jebakan agar aku masuk dalam perangkapnya, untuk dia membalas dendam padaku? Bercak merah di tubuhnya sudah hilang, mungkin dia sudah konsumsi obat pereda alergi dari dokter. Seharusnya dia sudah melupakan soal pir semalam, toh dia juga sudah sembuh. Sebelum Mas Harris keluar dari kamarnya, aku segera mengambil langkah seribu. Aku tidak mau kelemahanku saat ini dia jadikan kekuatan untuk membalasku. Ah, aku bingung sendiri, kenapa aku bisa terlibat perang lahir batin dengannya seperti ini? Aku memilih pintu belakang untuk melarikan diri, agar tidak ada suara gemerincing kunci. Pintu belakang hanya pakai slot, dan itu sangat mudah dibuka tanpa suara. Lalu melipir lewat samping kost-kostan yang khusus pe
Hatiku mempertanyakan, "Terbuat dari apa hati Mas Harris? Terkadang baik terkadang sadis.--------Kami sampai di rumah jam dua siang. Begitu mobil masuk ke halaman, aku langsung turun dan berjalan menuju teras depan. Kepalaku kembali sakit, padahal tadi sempat reda setelah meminum obat pemberian dokter. Mama sudah ada di rumah. Dia langsung menyambut kami dengan senyumnya yang lebar, memeluk dan memberiku ucapan selamat."Akhirnya kamu akan menjadi Ibu, Helena." Mama terlihat sangat bahagia. "Masuklah, Arsen sudah datang."Deg."Kapan dia datang, Ma?" Tanyaku hambar. Entah mengapa aku seperti tidak berharap dia datang. Entahlah. Rasanya aku tidak ingin melihat dia."Entah. Mama tanya juga tidak dijawab." Sahut Mama. Dasar anak durhaka, batinku mengumpat. Bisa-bisanya ditanya mamanya tidak dijawab!"Baik-baiklah kepadanya, sepertinya dia sedang marah." Bisik Mama pelan. Aku mendesah, seraya langsung melepas sepatuku, kemudian bergegas ke kamar. Kulihat Mas Arsen sedang berbaring tidak