เข้าสู่ระบบDi lain tempat.
Malam itu Rangga sulit memejamkan matanya. Keinginannya untuk bertemu dengan Kenna begitu kuat. Hinggah tak perduli malam-malam dia menghubungi seseorang. Dia ingin tahu, siapa Kenna sebenarnya.
"Bagaimana?"
Pagi belumlah hilang, saat Rangga sudah menelpon Pak Anang, orang kepercayaannya.
"Bos, wanita itu namanya Kenna Humairah. Istrinya Barel. Iya, Barel Herlambang dari Jaya Persada Group."
Rangga menatap layar laptopnya dalam diam. Pria itu baru saja menyimak laporan dari anak buah kepercayaannya yang ia tugaskan menyelidiki sosok Kenna yang akhir-akhir ini muncul terus di pikirannya.
"Apa? Kamu yakin?"
"Saya cek dua kali. Pernah ada dokumentasi waktu mereka diundang acara penghargaan pengusaha muda. Lengkap. Nama, perusahaan, juga akun media sosialnya. Semua mengarah ke satu titik. Kenna adalah istri dari rival utama bisnis Bapak."
Rangga menyandarkan tubuhnya ke kursi. Untuk sesaat, ia terdiam. Tangannya menyentuh dagu, berpikir dalam. Hatinya sempat berdebar waktu melihat live TikTok perempuan itu. Cara bicara Kenna, senyumnya, bahkan raut matanya yang tenang tapi seolah memendam sesuatu. Ia terpikat, tanpa tahu siapa dia sebenarnya.
Dia memang telah merasa wanita itu punya suami. Namun daya pikat wanita yang terlihat seperti seorang gadis belia itu mengalahkan logikanya untuk bertemu dengannya. Sekedar menatapnya dari dekat.
Sekarang, ia tahu. Dia tak sekedar wanita cantik. Tapi istri seorang Barel Herlambang.
Dan anehnya, ia tak mundur. Justru makin tertarik.
"Terima kasih. Hapus semua jejak pencarian ini. Jangan bocorkan ke siapa pun."
"Siap, Bos."
Rangga memejamkan mata sejenak. Dalam benaknya, wajah Kenna perlahan muncul. Suara lembutnya saat menjelaskan cara bikin sambal, tawanya yang sedikit gugup saat membaca komentar lucu, dan... tatapan matanya yang kosong di akhir siaran. Juga pesan singkatnya yang seolah kadang menyadarkannya.
"Sholat? Entah kapan aku terakhir sholat," gumannya.
Dia penasaran. Dan besok, dia akan menemuinya
"Saya di meja pojok, pakai kemeja biru,"
Itu pesan terakhir dari akun bernama RG88.Kenna berdiri di depan pintu kafe kecil yang tenang di sudut Jalan Dahlia. Tangannya dingin, padahal udara tidak terlalu sejuk. Ia menghela napas, merapikan kerudung pashmina panjang-nya yang senada dengan blouse putih gading yang ia pakai.
Langkahnya pelan saat masuk. Aroma kopi dan kayu manis menyambut. Di sudut ruangan, seorang pria berdiri. Tinggi, rapi, dan begitu mencolok dengan setelan kasual formal: kemeja biru yang digulung hingga siku, jam tangan hitam yang simple namun elegan, dan rambut lurus yang ditata rapi.
Dia berdiri dan tersenyum.
"Kenna?"
Kenna hanya mengangguk sambil mengatupkan kedua tangannya di dada saat lelaki itu mengulurkan tangannya.
Dia lalu tersenyum selintas. "Aku Rangga."
Sekilas, Kenna menatap pria itu lebih dekat. Wajahnya bersih, rahangnya tegas, bulu-bulu halus menghiasi wajah tampannya. Dan senyumnya... jujur. Ada sesuatu yang membuat Kenna tak bisa langsung mengalihkan pandangan.
"Kamu lebih cantik dari yang pernah kulihat di live," ucap Rangga setelah mereka duduk.
Kenna mengerutkan kening sambil tertawa kecil, "Kamu sering nonton live-ku?"
"Sering. Dari awal kamu mulai aktif lagi, aku selalu nonton. Tapi... aku pernah lihat kamu sebelum itu."
Kenna menatapnya penasaran.
"Ah, mungkin hanya karena aku begitu mengagumimu. Sampai semua orang aku pikir kamu." Rangga meralat.
Kenna terdiam. Napasnya terasa mengendap. Perkataan berani itu membuatnya berkeryit.
"Ayo duduk duluh, aku sudah pesankan makanan seafood kesukaan kamu."
"Kamu hafal kesukaan aku?"
Rangga tak langsung menjawab. "Aku enggak punya agenda tersembunyi. Aku hanya... pengin ngobrol. Ngobrol sama kamu sebagai manusia yang berada di ambang kebingungan."
Kenna menunduk, mencoba tak menatap langsung mata Rangga yang tak berhenti menatapnya.
"Sekarang apa masalahmu? Aku akan jawab sebisaku kalau aku mampu. Kalau tidak, aku akan tanya orang yang lebih profesional di bidangnya."
"Aku hanya ingin ketemu kamu."
Kenna sontak berdiri. Namun lelaki itu malah meraih tangannya.
"Tolong,.. lepaskan!"
"Asal kamu dengarkan aku duluh."
Kenna berhenti, dan mulai mendengar.
"Aku memang punya masalah. Dan masalahku itu kamu. Semakin lama aku ingin tahu kenapa senyummu tetap muncul meski matamu sering kosong."
Kenna terkejut. Kenapa dia seolah tahu penderitaannya.
"Mungkin karena aku enggak punya tempat buat... terlihat lemah dan menjadi pembohong seperti kamu"
"Aku nggak bohong. Itu masalahku."
Hening sejenak.
Kenna memperhatikan pria di depannya. Wajahnya tak hanya tampan. Tapi juga sebenarnya menenangkan. Ia tinggi, posturnya tegap, dan sorot matanya menyiratkan sesuatu yang tulus.
Sementara itu, Rangga tak bisa melepaskan pandangannya dari wanita yang selama ini hanya ia saksikan lewat layar. Kenna jauh lebih memikat dari apa yang terlihat di kamera. Ia tinggi, anggun, dengan hijab panjangnya yang dililit dengan kesan modis. Wajahnya klasik, seperti lukisan lama, dan senyumnya... penuh luka yang tak pernah selesai.
"Aku tahu ini mungkin salah. Tapi aku enggak bisa berpura-pura. Kamu menarikku, Kenna."
"Berhenti!"
"Aku bisa. Kalau kamu mau aku berhenti."
Kenna terdiam. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Ia tahu ia harus pergi. Tapi kakinya tak bergerak. Dan dalam diam itu, Rangga tahu, ia punya celah.
Di luar kafe, seseorang berdiri di balik kaca mobil gelap. Kamera ponselnya terangkat, merekam diam-diam dua sosok yang sedang berdiri terlalu dekat.
Jari itu bergerak cepat. Merekam. Men-zoom. Lalu menekan tombol kirim ke satu nama.
"Aku datang bukan untuk membuka ruang hati. Aku hanya ingin tahu, apakah aku masih bisa berarti untuk seseorang." Kenna beranjak. "Maaf, aku harus pulang,"
Rangga ikut berdiri. "Boleh aku ngantar?"
"Enggak perlu. Aku bawa mobil."
Rangga menatapnya. "Bolehkah aku... menyapamu lagi lain waktu?"
Kenna tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, lalu pergi begitu saja.
Rangga makin penasaran
"Praba, pengantinnya datang!”Suara Najla memecah kerumunan. Beberapa tamu yang semula berdiri langsung menoleh ke arah pintu aula.Seorang perempuan melangkah pelan masuk. Gaun putih sederhana menempel di tubuh mungilnya. Di sebelahnya dia orang ibu dan satu bapak setengah baya. "Kenna.. " Salah satu ibu itu menyapa. Dia ibunya Praba. "Assalamu'alaikum, Tante! " Kenna menyalami perempuan itu. "Selamat ya! " "Terimakasih, Tante. "Gadis berbaju pengantin mengulas senyum. Wajahnya bersih, lembut, dengan senyum malu-malu. Kenna menahan napas. “Winda?” suaranya nyaris bergetar.Sasha menatap sekilas lalu tersenyum kecil. “Winda Windary? Sekelas kita dulu kan?”Kenna mengangguk pelan. “Dia dulu selalu bareng aku dan Sasha.”"Apa khabar kalian? "Tanpa banyak kata, mereka berpelukan. Penghulu menatap arlojinya lalu tersenyum lega. “Alhamdulillah, sudah lengkap sekarang. Mari kita lanjutkan.”Praba melangkah menyambut Winda. Ada sinar bahagia yang belum pernah terlihat sebelumnya di m
"Rangga? " Assalamu'alaikum, Kenna. Apa khabar? Mata Rangga memburam. Inginnya ia memeluk Kenna saat itu juga. Kerinduan tak lagi dapat ia bendung. Kenna hanya bisa mematung. Mata itu bahkan hampir menetes tak terkendali. "Pak, ini kapan dimulainya? " Suara Penghulu terdengar dari dalam. "Van, cepat bawa pengantin perempuannya," ucap Najla pula. "Sebentar, pengantinnya belum datang. ""Apa maksudnya, Evan?" tanya Kenna terbata, matanya beralih dari Evan ke penghulu yang sudah duduk tenang di depan.Evan tersenyum tipis, agak menahan gugup. "Kita tunggu sebentar lagi, Pak biar yang datang lengkap. Setelah itu baru mulai."Najla berdiri di sisi Evan, menggenggam tangan Kenna lembut tapi terasa menekan. "Mas Praba nunggu pengantinnya datang dulu ya, Van" ucap Najla, matanya menusuk penuh arti.Praba mengangguk pelan, lalu menatap Kenna. "Nggak apa-apa, aku tunggu," suaranya tenang, tapi Kenna bisa menangkap nada aneh di sana, seolah dia sendiri tidak yakin apa yang sedang terjadi.K
"Apa benar itu Praba?" bathin Kenna lagi.Evan menegakkan tubuh. Senyumnya menegang saat Kenna menatapnya.Kenna terpaku. Evan berusaha menjaga ekspresi, namun tatapannya sekilas tertuju pada Najla di sampingnya. Najla menatap balik dengan senyum tipis, tapi matanya berbinar. "Jadi itu yang kamu ceritakan bisa membeahagiakan Mbak Kenna?" tanya Najla tanpa suara, hanya melalui gerak bibir.Evan berpura-pura tidak paham. Ia mencondongkan tubuh ke depan, berusaha mengalihkan perhatian pada acara.Kenna menunduk. Jantungnya berdegup aneh. Ia mengingat percakapan singkat dengan Evan seminggu lalu, tentang pria yang katanya tekun beribadah, pekerja keras, dan mapan. Saat itu, Evan bilang, "Orang itu pantas buat kamu, Mbak Kenna. Aku cuma ingin Mbak bahagia."Jadi maksudnya... Praba?Senyum Praba kini tertuju padanya. Tatapan itu hangat, seperti dulu saat mereka masih sama-sama di SMA. Tapi entah kenapa, bukan kehangatan yang Kenna rasakan, melainkan sesak."Kenna?" Praba menghampiri. Sat
Serius, Van? Seminggu aja udah siap semua?” tanya Najla. Suaranya terdengar tak percaya ketika ia berdiri di depan lift.Evan mengangguk pelan. “Iya. Semua urusan administrasi udah beres. Mbak Kenna cuma perlu hadir.”Najla menatapnya curiga. “Cepat banget. Kamu yakin orang itu bukan sembarangan?”“Justru karena bukan sembarangan, makanya bisa secepat ini,” jawab Evan dengan senyum samar.Najla menghela napas. “Aku cuma takut kamu salah langkah. Katamu Pak Rangga suka Mbak kenna."“Tenang aja,” ucap Evan singkat, nada suaranya tenang, tapi matanya menatap jauh, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dia memang tak ignin Najla tahu sesuatu, mengingat sifat Najla yang blak blakan.Pagi itu langit mendung. Kabut tipis turun dari bukit, menutupi jalanan yang sepi. Sebuah mobil hitam berhenti di depan apartemen. Kenna melangkah keluar dengan langkah ragu, wajahnya teduh tapi mata sayunya tak bisa menutupi kecemasan.Evan menunggu di sisi mobil, mengenakan kemeja biru dan celana hitam rap
"Apa?""Kamu nggak akan pernah jatuh cinta sama dia."Sejenak Evan tergelak. "Aneh banget kamu.""Van, aku serius, janji nggak?"Nada suara Najla kali ini berat, seperti ada yang ia tahan.Evan menatap wajah gadis itu di bawah lampu jalan yang temaram. Rambut Najla sedikit lembap, menempel di pipinya yang pucat. "Aku janji," katanya akhirnya, pelan tapi mantap.Mereka berjalan pulang dalam diam. Langkah keduanya pelan, hanya suara gerimis yang menimpa jaket Evan dan sandal Najla. Tak ada tawa atau obrolan ringan seperti biasanya. Malam seolah menelan kata-kata mereka.Najla sempat memegang lengan Evan sebentar, hanya beberapa detik, sebelum melepaskannya saat mereka tiba di depan apartemen."Nggak masuk dulu, Naj?" tanya Evan, berusaha terdengar biasa.Najla menggeleng, menatap pintu kaca lobi. "Nanti aja. Aku mau langsung pulang. Biar kamu istirahat."Evan menatapnya, mencoba membaca sesuatu dari mata Najla, tapi yang tampak hanya kelelahan dan sedikit kecewa."Hati-hati, ya," ucapny
"Mbak Kenna, kamu kelihatan pucat," ucap Evan pelan sambil meletakkan cangkir teh ke meja.Kenna hanya mengangguk kecil. "Aku nggak apa-apa. Cuma capek mikir hidup aku aku di sini."Suara sendok beradu dengan gelas mengisi ruang tamu kecil itu. Udara pagi masuk lewat jendela yang setengah terbuka, membawa aroma tanah lembab sisa hujan semalam.Evan menatapnya. "Jangan mikir begitu Mbak. Aku kan bilang, tempat ini aman buat kamu."Kenna tersenyum tipis, tapi matanya enggan menatap Evan. "Aman sih, Van, tapi aku nggak bisa lama-lama di sini.""Kenapa?" Evan memiringkan kepala, suaranya pelan tapi jelas ada nada khawatir."Najla kemarin datang," jawab Kenna, lirih. "Dia tanya-tanya. Katanya kamu aneh akhir-akhir ini. Seolah dia curiga aku, Van."Evan mendesah, lalu mengusap tengkuknya. "Aku udah jelaskan ke dia soal Mbak. Jadi Mbak nggak usah khawatir.""Bagaimanapun juga," potong Kenna cepat. "aku nggak mau jadi alasan kalian ribut. Aku memang harus pergi."Hening menggantung di antara







