Besuknya, Kenna kembali live di tiktok. Ingatan tentang komentar yang kemarin dia dapat dari akun RG masih membuatnya penasaran.
Kali ini, Kenna membagikan resep membuat sambal
"Kak Kenna, gimana caranya bikin sambal matah biar enggak pahit?"
Kenna mengangkat alis, lalu menoleh ke kamera dengan senyum ramah. "Minyaknya jangan terlalu panas, ya. Nanti bawangnya jadi pahit. Cukup anget-anget kuku aja, langsung tuang ke atas irisan bawang sama cabai."
Komentar-komentar bermunculan cepat. Sebagian besar menanyakan tips masak, sebagian lagi malah fokus ke gaya bicaranya yang lembut atau kerudung satin yang dipakainya siang itu. Wajahnya segar, make up-nya tipis tapi rapi. Seolah ia benar-benar menikmati siaran langsung itu.
Padahal, dalam hatinya hanya ingin membuat suasana rumah yang sunyi jadi lebih ramai.
"Eh, ini sambalnya pedas banget. Yang punya maag, jangan banyak-banyak ya," ujarnya sambil tertawa kecil.
Garis senyumnya tipis, tapi matanya tetap menyimpan gurat lelah. Dia sudah terbiasa menyembunyikan itu. Di dunia nyata, ia hanya istri dari pengusaha sukses yang sibuk. Tapi di layar kecil ponselnya, ia adalah Kenna—wanita mandiri yang ramah, pintar masak, dan dicintai banyak orang dengan satu pesan singkat di akhir unggahannya.
Sebuah komentar mencuri perhatiannya.
["Kelihatannya senyum kamu hari ini enggak serapat biasanya."]
Kenna terdiam sejenak. Komentar itu muncul begitu saja, di antara tumpukan emoji dan pujian. Seolah mata si pengirim sedang melihat ke balik kacanya.
Ia membalas pelan.
["Kadang senyum juga butuh istirahat."]
Komentar itu langsung disukai puluhan orang. Tapi RG88 tak membalas. Hanya diam. Seperti menunggu momen berikutnya.
Malamnya, Kenna duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka ponselnya, melihat ulang cuplikan live hari itu. Sorot lampu dapur terlihat hangat. Gelas kaca bening berisi jeruk nipis, suara minyak yang mendesis, dan tawa kecilnya sendiri. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar terdengar bahagia, atau hanya terlihat begitu.
Barel belum pulang. Katanya meeting di luar kota, tapi tidak ada satu pun pesan menyusul sejak pagi tadi.
Kenna membuka galeri, menggulir pelan ke masa ketika wajahnya terpampang di sebuah majalah remaja. Saat itu ia sedang berbicara di atas panggung saat anak muda lainnya menunggu ceramahnya.
Layar ponselnya berubah. Notifikasi masuk
DM baru dari RG88. ["Aku nonton dari awal. Kamu kelihatan makin kuat. Tapi kamu enggak harus pura-pura terus kan?"]
Kenna menatap tulisan itu lama. Ia membalas. ["Terkadang pura-pura itu satu-satunya cara bertahan."]
Balasan masuk lagi, cepat. ["Berarti aku harus begitu ya?"]
"Kamu masih suka live masak?" suara Barel terdengar dari belakang, mengagetkan Kenna.
Kenna reflek menutup layar. "Baru pulang, Mas?"
Tanpa menjawab, Barel mengambil air minum, lalu duduk di kursi. Ia membuka laptop, mengetik cepat tanpa menoleh. Kenna hanya mengamati. Dulu, rumah ini dipenuhi obrolan, tawa kecil, bahkan diskusi soal konsep rumah impian. Sekarang, hanya bunyi ketikan dan detik jam yang bersahutan.
"Mas,.." Kenna berusaha mendekat
"Maaf, Ken. Jangan ganggu aku."
Seketika Kenna mundur.
Keesokan siangnya, Kenna membuka sesi live lagi. Kali ini lebih santai. Dia hanya duduk di balkon, bercerita soal minuman herbal favoritnya, tentang pentingnya rawat kulit dari dalam, dan menjawab beberapa pertanyaan ringan dari followers.
["Jangan pernah tinggalin sholat, sesuntuk apapun kita,"] pesan akhirnya menutup pembicaraan.
Komentar bermunculan.
"Kak, ini Kak Kenna Humairah yang duluh suka mengisi pengajian remaja kan?"
"Kak, aku sekarang berhijab setelah menghadiri pengajian Kakak waktu itu. Kapan Kakak mengisi acara komunitas kami lagi?"
Kenna memejamkan mata. Dia kangen pergi keliling menyiarkan siraman rohani untuk anak muda yang masih membutuhkannya. Mereka adalah kelompok rentan yang masih perlu bimbingan.
"Kamu berhenti dari acara kelilingmu itu. Semua itu hanya menguras tenaga kamu hinggah kamu keguguran. Lagian juga apa yang kamu dapat selama ini? Amplop kamu aja hanya uang lembaran merah satu." Dia masih ingat saat Barel mulai menyinggung soal kegiartannya.
Mata Kenna buram.
RG 88 [" Aku berada di titik di mana aku butuh teman bicara sebelum aku hancur. Aku pingin ngobrol sama kamu. Satu jam aja. Aku mau konsul."]
Kenna membaca perlahan. Tidak langsung membalas.
Komentar lain menyusul.
["Kak Kenna, pakai lipstik shade apa kok cantik banget?"]
["Kak, apa betul sering wudhu mencerahkan kulit?"]
["Senyum Kak Kenna manis banget!"]
Sore itu, Kenna membuka DM lagi.
["Aku ngerti ini mungkin enggak sopan sampai kamu nggak balas aku. Tapi saat ini aku diambang dilema banget. Please, luangin aku waktu, hanya satu jam."]
Kenna masih tak menjawab langsung. Ia menutup ponsel, berdiri dari sofa, lalu masuk ke kamar. Dadanya sesak. Antara takut dan kwajiban yang seolah memanggil.
"Aku hanya butuh teman curhat, tapi Kakak enggan datang. Ternyata Kakak hanya bisa ngomong di depan umum soal kebaikan tanpa mau menolong orang yang sesungguhnya butuh pertolongan." Ingatan tentang seorang cowok yang mau kehilangan nyawanya dengan mengiris pergelangan tangannya itu membekas di hati Kenna.
Saat ia meletakkan ponsel di meja rias, sebuah pesan terakhir masuk dari akun itu.
["Aku enggak akan maksa. Tapi kalau kamu bilang "iya", aku bakal tunggu di kafe Jalan Dahlia, hari Sabtu jam tiga sore. Meja paling pojok."]
"Astaghfirullah! Bagaimana ini? Dia seorang lelaki. Jika aku pergi, mungkin aku akan disalahkan. Jika aku menolak dan dia benar-benar terluka,..apakah itu bukan salahku juga?"
Kenna menatap dirinya di cermin. Matanya lelah, pipinya tirus, tapi ada sesuatu dalam pantulan itu yang tak ia lihat selama ini. Mungkin... rasa ingin kembali berguna untuk orang lain.
Ia mengetik pelan. ["Ok, hanya satu jam"]
Di balik pintu kamar yang tak tertutup sempurna, sepasang mata memperhatikan layar ponsel Kenna dari celah. Diam-diam. Tanpa suara.
Dan bibir itu menggumam pelan, "Oke? Kamu bilang oke ke siapa, Kenna?"
Beberapa saat yang lalu, saat Kenna beranjak ke mushola."Mi, hentikan," ujar Wijaya dengan nada tegas. "Sudah cukup menyalahkan orang lain. Rangga butuh tenang, bukan kebencian. Hanya gadis itu yang bisa memberinya semangat untuk hidup, jadi biarkan dia menemaninya."Wieke menatap suaminya tak percaya. "Kamu membelanya? Setelah semua yang dilakukan Kimmi, perempuan yang berkali-kali berusaha menghancurkan hidup kita?""Kau pikir, Kenna itu Kimmi?" Wijaya menatap istrinya lama. "Buka matamu, Wieke. Lihatlah siapa dia.""Dia mirip Kimmi!" seru Wieke, matanya merah karena tangis. "Setiap kali aku melihat wajahnya, aku seperti melihat perempuan itu lagi.""Okelah kalau dia memang mirip Kimmi, bahkan kalaupun sejatinya dia memang anak Kimmi. Tapi sekarang, lihatlah keadaannya,.." Wijaya menghela nafas panjang. "Kalau memang dia anak Kimmi, seharusnya dia bergelimang harta. Tapi kenyataannya? Dia dibesarkan di panti asuhan. Sejak bayi, Wieke. Makan seadanya. Tidak pernah tahu siapa orang
Kenna segera mendekat, "Saya, Dok. Bagaimana dengan Rangga? Apa dia sadar?"Dokter tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Kenna lama, seolah sedang menimbang kalimat."Dok, tolong katakan... dia masih bisa diselamatkan, kan?"Namun, belum juga dokter itu menjawab, Kimmi yang berdiri agak jauh bersama suaminya segera beranjak dan menyilah Kenna dengan tangannya, "Dok, bagaimana dengan anak saya?""Kami sudah berusaha, Pak, Bu. Saya,..""Maksud Dokter?" Wieke yang tak sabar, menyela. "Kita hanya bisa berdo'a sekarang. Kalau dalam dua puluh empat jam dia belum sadar, kemungkinan nyawanya tertolong sangatlah kecil."Wanita yang tetap cantik di usianya yang tak lagi muda itu, terhuyung. Setetes airmata jatuh di pipinya. Untunglah sebuah tangan lembut merengkuhnya. "Mi,... Sabar, Mi," ucap Rieke, adik Rangga."Kakak kamu, Rieke. Duluh, saat dia tidak memperdulikan bisnis keluarga, dan kerjaannya hany berfoya-foya, Mami berdo'a siang malam. Dan setelah kini do'a itu terjawab dengan dia te
"Jaga dia untukku, Ya Allah,.. jaga dia untukku!" Kenna terus berdo'a sampai dia tak sadar kalau mereka telah tiba di rumah sakit."Hati-hati Mbak!" seru Jerry saat Kenna mau terhuyung, tersandung gamisnya. Namun dia tak berhenti, berlari ke dalaam rumah sakit, mencari petugas."Cepat, tolong, dia terluka!" seru Kenna panik saat tiba di rumah sakit. Petugas yang berada di depan segera membawa ranjang. Tak lama, para perawat segera berlarian mendorong ranjang dorong menuju ruang gawat darurat. Tubuh Rangga tampak lemas, wajahnya pucat, darah di seragamnya belum mengering.Kenna masih berlari di belakang mereka, air matanya bercucuran. "Rangga... jangan tinggalin aku... aku pingin ngomong bukankah kamu belum dengar jawabanku..." suaranya pecah di antara langkah-langkah yang tergesa."Harap tunggu di luar, Mbak" ucap suster "kami akan segera melakukan tindakan.""Mbak, yang sabar," hibur Jerry.Ruang tunggu hening. Bau obat dan cairan antiseptik menusuk hidung. Kenna duduk memeluk lutut
Belum sempat Rahma bicara, suara langkah-langkah terdengar di luar gudang. Lampu-lampu senter menembus celah pintu. Anak buah Rangga datang, kurang lebih sepuluh orang, semuanya berpakaian hitam. Dalam keadaan tersungkur, Rangga menatap Rahma tajam. "Kamu,...kamu udah habis waktumu. Dan setelah ini, kamu akan lama mendekam di penjara." Rahma masih berkacak pinggang. "Kalau kamu pikir aku akan menyerah, kamu salah besar, Rangga." "Aku pastikan kalian akan. Membusuk di penjara karena berkali-kali berusaha menculik Kenna." "Kamu pikir penjara bisa menembus ku? " "PD sekali kamu. Mengatakan itu? Sekarang, katakan, apa hubunganmu dengan Kiandra!" Rangga sudah kehilangan kesabaran. Salah seorang anak buah Rangga mendekat. "Pak, maaf, kami terlambat. Kami kehilangan jejak." Rangga baru ingat kalau dia mematikan handphone-nya saat dia sholat. "E,.. iya, maaf,..Nggak apa, tolong bantu Kenna. Cepat,.. to,.. long dia." Nafas Rangga tersengal, perut dan kepalanya tak lagi bisa ko
"Kembalikan Kenna, bi4d4b!" teriak Rangga saat mobil yang membawa Kenna telah melaju. Dengan cepat dia kembali ke mobilnya, lalu melajukannya dengan kencang menembus jalanan kota yang masih gelap.Angin malam menghantam kaca, tapi pikirannya jauh lebih berisik. Satu hal saja yang berputar di kepalanya, wajah Kenna yang teriak minta tolong.Rangga menekan gas lebih dalam. Tangannya gemetar di setir lalu menekan tombol, menghubungi seseorang. "Bertahan, Kenna... tolong bertahan." "Baik, Pak. Saya tahu. Saya akan terus mengikuti sinyal ponsel Bapak, dan segera membawa anak buah saya ke sana." Suara di sebran segera menyahut.Tak lama, suara azan Subuh terdengar. Hati Rangga bergolak, antara terus atau sholat duluh."Ini bagaimana sholat Subuhnya kalau gini?" guman Rangga bingung. Akhirnya, dia menghentikan mobilnya yang tak jauh dari mobil penculik berhenti. "Bismillah, aku niat sholat Subuh. Jaga dia, Tuhan!" Rangga lalu meletakkan tangan di kaca mobilnya hendak tayamum dan megerjaka
Malam itu, Kenna baru menyadari, kalau masa lalunya akan kembali lagi. Susah payah dia membuang Barel, ternyata dia juga mendapatkan calon mertua yang pemikirannya sama dengan keluarga mantan suaminya itu."Kenna, kamu kenapa diam terus dari tadi?" tanya Rangga. Suaranya yang kuat memecah hening di dalam mobil. Jalanan sore itu padat, tapi yang lebih padat adalah pikirannya.Kenna tetap menatap keluar jendela, mengikuti bayangan pepohonan yang melintas cepat di kaca. "Aku cuma capek," jawabnya pelan."Capek atau kecewa sama Mami?" Rangga menoleh sekilas. "Kamu tahu, kan, aku udah tahu semua tentang kamu, dan aku nerima kamu apa adanya. Jangan berubah, Ken."Kenna menarik napas panjang. "Aku gak berubah, Rangga. Aku cuma takut. Aku gak mau ngulang kesalahan yang sama.""Kesalahan?" alis Rangga naik."Dulu aku juga pernah nggak disukai keluarga suamiaku karena aku tak bisa memberi mereka keturunan," suaranya mulai bergetar. "dan sekarang, mami kamu... bahkan menuntut hal yang sama, yang