Share

PPRS 02

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2025-07-14 21:53:38

Besuknya, Kenna kembali live di tiktok. Ingatan tentang komentar yang kemarin dia dapat dari akun RG masih membuatnya penasaran.

Kali ini, Kenna membagikan resep membuat sambal

"Kak Kenna, gimana caranya bikin sambal matah biar enggak pahit?" 

Kenna mengangkat alis, lalu menoleh ke kamera dengan senyum ramah. "Minyaknya jangan terlalu panas, ya. Nanti bawangnya jadi pahit. Cukup anget-anget kuku aja, langsung tuang ke atas irisan bawang sama cabai."

Komentar-komentar bermunculan cepat. Sebagian besar menanyakan tips masak, sebagian lagi malah fokus ke gaya bicaranya yang lembut atau kerudung satin yang dipakainya siang itu. Wajahnya segar, make up-nya tipis tapi rapi. Seolah ia benar-benar menikmati siaran langsung itu.

Padahal, dalam hatinya hanya ingin membuat suasana rumah yang sunyi jadi lebih ramai.

"Eh, ini sambalnya pedas banget. Yang punya maag, jangan banyak-banyak ya," ujarnya sambil tertawa kecil.

Garis senyumnya tipis, tapi matanya tetap menyimpan gurat lelah. Dia sudah terbiasa menyembunyikan itu. Di dunia nyata, ia hanya istri dari pengusaha sukses yang sibuk. Tapi di layar kecil ponselnya, ia adalah Kenna—wanita mandiri yang ramah, pintar masak, dan dicintai banyak orang dengan satu pesan singkat di akhir unggahannya.

Sebuah komentar mencuri perhatiannya.

["Kelihatannya senyum kamu hari ini enggak serapat biasanya."]

Kenna terdiam sejenak. Komentar itu muncul begitu saja, di antara tumpukan emoji dan pujian. Seolah mata si pengirim sedang melihat ke balik kacanya.

Ia membalas pelan.

["Kadang senyum juga butuh istirahat."]

Komentar itu langsung disukai puluhan orang. Tapi RG88 tak membalas. Hanya diam. Seperti menunggu momen berikutnya.

Malamnya, Kenna duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka ponselnya, melihat ulang cuplikan live hari itu. Sorot lampu dapur terlihat hangat. Gelas kaca bening berisi jeruk nipis, suara minyak yang mendesis, dan tawa kecilnya sendiri. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar terdengar bahagia, atau hanya terlihat begitu.

Barel belum pulang. Katanya meeting di luar kota, tapi tidak ada satu pun pesan menyusul sejak pagi tadi.

Kenna membuka galeri, menggulir pelan ke masa ketika wajahnya terpampang di sebuah majalah remaja. Saat itu ia sedang berbicara di atas panggung saat anak muda lainnya menunggu ceramahnya.

Layar ponselnya berubah. Notifikasi masuk

DM baru dari RG88. ["Aku nonton dari awal. Kamu kelihatan makin kuat. Tapi kamu enggak harus pura-pura terus kan?"]

Kenna menatap tulisan itu lama. Ia membalas. ["Terkadang pura-pura itu satu-satunya cara bertahan."]

Balasan masuk lagi, cepat. ["Berarti aku harus begitu ya?"]

"Kamu masih suka live masak?" suara Barel terdengar dari belakang, mengagetkan Kenna.

Kenna reflek menutup layar. "Baru pulang, Mas?" 

Tanpa menjawab, Barel mengambil air minum, lalu duduk di kursi. Ia membuka laptop, mengetik cepat tanpa menoleh. Kenna hanya mengamati. Dulu, rumah ini dipenuhi obrolan, tawa kecil, bahkan diskusi soal konsep rumah impian. Sekarang, hanya bunyi ketikan dan detik jam yang bersahutan.

"Mas,.." Kenna berusaha mendekat

"Maaf, Ken. Jangan ganggu aku."

Seketika Kenna mundur.

Keesokan siangnya, Kenna membuka sesi live lagi. Kali ini lebih santai. Dia hanya duduk di balkon, bercerita soal minuman herbal favoritnya, tentang pentingnya rawat kulit dari dalam, dan menjawab beberapa pertanyaan ringan dari followers.

["Jangan pernah tinggalin sholat, sesuntuk apapun kita,"] pesan akhirnya menutup pembicaraan.

Komentar bermunculan.

"Kak, ini Kak Kenna Humairah yang duluh suka mengisi pengajian remaja kan?"

"Kak, aku sekarang berhijab setelah menghadiri pengajian Kakak waktu itu. Kapan Kakak mengisi acara komunitas kami lagi?"

Kenna memejamkan mata. Dia kangen pergi keliling menyiarkan siraman rohani untuk anak muda yang masih membutuhkannya. Mereka adalah kelompok rentan yang masih perlu bimbingan.

"Kamu berhenti dari acara kelilingmu itu. Semua itu hanya menguras tenaga kamu hinggah kamu keguguran.  Lagian juga apa yang kamu dapat selama ini? Amplop kamu aja hanya uang lembaran merah satu." Dia masih ingat saat Barel mulai menyinggung soal kegiartannya.

Mata Kenna buram. 

RG 88 [" Aku berada di titik di mana aku butuh teman bicara sebelum aku hancur. Aku pingin ngobrol sama kamu. Satu jam aja. Aku mau konsul."]

Kenna membaca perlahan. Tidak langsung membalas. 

Komentar lain menyusul.

["Kak Kenna, pakai lipstik shade apa kok cantik banget?"]

["Kak, apa betul sering wudhu mencerahkan kulit?"]

["Senyum Kak Kenna manis banget!"]

Sore itu, Kenna membuka DM lagi.

["Aku ngerti ini mungkin enggak sopan sampai kamu nggak balas aku. Tapi saat ini aku diambang dilema banget. Please, luangin aku waktu, hanya satu jam."]

Kenna masih tak menjawab langsung. Ia menutup ponsel, berdiri dari sofa, lalu masuk ke kamar. Dadanya sesak. Antara takut dan kwajiban yang seolah memanggil.

"Aku hanya butuh teman curhat, tapi Kakak enggan datang. Ternyata Kakak hanya bisa ngomong di depan umum soal kebaikan tanpa mau menolong orang yang sesungguhnya butuh pertolongan." Ingatan tentang seorang cowok yang mau kehilangan nyawanya dengan mengiris pergelangan tangannya itu membekas di hati Kenna.

Saat ia meletakkan ponsel di meja rias, sebuah pesan terakhir masuk dari akun itu.

 ["Aku enggak akan maksa. Tapi kalau kamu bilang "iya", aku bakal tunggu di kafe Jalan Dahlia, hari Sabtu jam tiga sore. Meja paling pojok."]

"Astaghfirullah! Bagaimana ini? Dia seorang lelaki. Jika aku pergi, mungkin aku akan disalahkan. Jika aku menolak dan dia benar-benar terluka,..apakah itu bukan salahku juga?"

Kenna menatap dirinya di cermin. Matanya lelah, pipinya tirus, tapi ada sesuatu dalam pantulan itu yang tak ia lihat selama ini. Mungkin... rasa ingin kembali berguna untuk orang lain.

Ia mengetik pelan. ["Ok, hanya satu jam"]

Di balik pintu kamar yang tak tertutup sempurna, sepasang mata memperhatikan layar ponsel Kenna dari celah. Diam-diam. Tanpa suara.

Dan bibir itu menggumam pelan, "Oke? Kamu bilang oke ke siapa, Kenna?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 08

    Rangga menatap Kemna dengan khawatir, tetapi ia tetap menjaga jarak aman. Ia memegang payung besar itu di atas kepala mereka, melindungi tubuh perempuan itu yang sudah setengah basah. Mata Kemna, yang memerah dan sembap, tetap terpaku pada tanah. Napasnya berat, seolah kata-kata yang ingin keluar tertahan di tenggorokan."Ayo, aku antar pulang. Nggak baik kamu di sini terus," ajak RanggaPerempuan itu tetap diam. Tangannya menggenggam tas dengan kuat, jari-jarinya memutih. Rangga menunggu, sabar, tanpa mendesak. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya suara serak itu keluar."Rangga... aku nggak mau pulang."Pria itu mengernyitkan dahi. "Kenapa?"Kenna mengangkat wajahnya sedikit, matanya menatap Rangga dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada luka yang begitu dalam di sana, tetapi juga kelelahan. Ia menggigit bibir, berusaha keras menahan isak."Dia selingkuh," kata Kenna akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. "Di ruang kerjanya... dengan perempuan lain."Rangga terdiam. Ternyat

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 07

    Kenna berhenti di depan lift, air matanya mengaburkan pandangan. Tetapi sesuatu dalam dirinya menuntut kepastian. Mungkin aku salah dengar, pikirnya. Ia menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu memutar tubuh. Langkahnya kembali mengarah ke ruang kerja Barel." Apa sekarang ruangan Barel dipindah? Kenapa aku tadi tidak membaca?" Dia berharap dia salah ruang.Saat dia sampai dan berdiri lagi di depan pintu, tangannya gemetar saat netranya menangkap nama yang tertera. Ini benar ruangannya. Ia mengumpulkan keberanian, kemudian mendorong pintu perlahan. Masih tidak terkunci."Bukannya Sabtu kemarin kita sudah menghabiskan waktu bersama. Kita bahkan sampai melakukannya berkali kali, apa itu kurang?" Suara wanita itu terdengar manja."Jadi Sabtu itu Barel tak ke luar kota karena pekerjaan tapi karena..." gumam Kenna. Kenna tahu betul tabiat suaminya yang selalu menuntut perhatian lebih di tempat tidur hingga dia kemarin sempat heran kalau Barel tak respon pad

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 06

    Kenna menatap pria yang baru saja keluar dari dalam panti. Jantungnya berdegup tak karuan saat melihat sosok yang ramah memberi salam itu."Aku sudah kirim pesan, tapi kamu abaikan." Suara bariton Rangga segera terdenga lagi. Kenna masih terdiam tak percaya."Aku pikir aku mau mengajakmu ke panti ini. Tak tahunya kamu juga ke sini. Jodoh ya?""Maaf, aku tadi langsung ke sini. Kangen emak-emak aku," jawab Kenna, mencoba terdengar wajar. Tapi ia tahu, ia mulai tak bisa menghindar dari sorot mata Rangga."Jadi kamu dari panti ini?" tanya Rangga menyipit, seolah tak percaya. Padahal mulanya dia mau mengajak Kenna ke sana, seolah itu dunia baru yang harus dikunjungi Kenna."Iya, di sinilah rumahku. Aku dibesarkan oleh orang-orang hebat yang menyayangi aku seolah aku ini bagian dari hidup mereka." Dengan terharu Kenna merangkul kedua orang tua yang kini juga menatapnya dengan bangga."Dalam keterbatasan kami membesarkannya. Dia tumbuh menjadi gadis hebat. Belajar agama, bisa kuliah tanpa

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 05

    Makin hari, Kenna merasa Barrel bukanlah lelaki yang dia kenal. Bahkan saat mereka menghadiri sebuah acara, Kenna merasa Barrel tidak lagi bisa menjadi pembelanya."Mas, bisa nggak kamu membelaku?" tanya Kenna setelah mereka sampai di rumah."Apanya yang dibela? Benar kan kata mereka, kamu masih belum juga memberiku anak?""Apa kamu pikir ini salahku?""Sudahlah, Ken. Aku ada kerjaan."Kenna melempar sepatunya. Hampir mengenai kaki suaminya. Tetapi lelaki itu hanya melangah menjauh. Tanpa kata-kata..Air mata tak lagi dapat dibendung Kenna. Di menelungkupkan wajahnya di bantal sofa.Handphone-nya berkedip.["Ada yang ingin kau ceritakan? Aku di sini."]Kenna menutup mata sejenak. Jarinya mengetik balasan, tanpa sadar bahwa ia membuka ruang yang semakin sulit ia tutup.["Kadang aku merasa kosong. Apa itu wajar?"]Balasan datang cepat.[ "Lebih dari wajar. Dan aku tahu betapa beratnya jika kau harus memikul itu sendirian."]Air mata jatuh kembali. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama,

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 04

    Langkah Kenna cepat meninggalkan kafe. Jantungnya berdetak begitu keras sampai terasa di telinga. Udara sore itu sejuk, tapi telapak tangannya basah. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi."Satu jam," bisiknya. "Hanya satu jam."Tapi mengapa rasanya seperti ia membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup rapat?Di parkiran, ia duduk di dalam mobil tanpa langsung menyalakan mesin. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Mencoba memutar ulang percakapan tadi. Wajah pria itu... sorot matanya, kata-katanya—terlalu jujur, terlalu tepat menyentuh sisi rapuhnya. "Aku hanya ingin tahu kenapa senyummu tetap muncul meski matamu sering kosong.""Siapa dia, sebenarnya?" Kenna bertanya-tanya.Kenna menghela napas panjang. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ini bukan salah Rangga. Bukan juga salah siapa-siapa. Ia yang datang. Ia yang membuka ruang.Dan untuk pertama kalinya sejak Barel berubah dingin, seseorang menatapnya dengan penuh perhatian. Bukan sebagai istri yang gagal punya

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 03

    Di lain tempat.Malam itu Rangga sulit memejamkan matanya. Keinginannya untuk bertemu dengan Kenna begitu kuat. Hinggah tak perduli malam-malam dia menghubungi seseorang. Dia ingin tahu, siapa Kenna sebenarnya."Bagaimana?" Pagi belumlah hilang, saat Rangga sudah menelpon Pak Anang, orang kepercayaannya. "Bos, wanita itu namanya Kenna Humairah. Istrinya Barel. Iya, Barel Herlambang dari Jaya Persada Group."Rangga menatap layar laptopnya dalam diam. Pria itu baru saja menyimak laporan dari anak buah kepercayaannya yang ia tugaskan menyelidiki sosok Kenna yang akhir-akhir ini muncul terus di pikirannya."Apa? Kamu yakin?""Saya cek dua kali. Pernah ada dokumentasi waktu mereka diundang acara penghargaan pengusaha muda. Lengkap. Nama, perusahaan, juga akun media sosialnya. Semua mengarah ke satu titik. Kenna adalah istri dari rival utama bisnis Bapak."Rangga menyandarkan tubuhnya ke kursi. Untuk sesaat, ia terdiam. Tangannya menyentuh dagu, berpikir dalam. Hatinya sempat berdebar wak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status