Share

PPRS 04

Penulis: HaniHadi_LTF
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-14 21:55:58

Langkah Kenna cepat meninggalkan kafe. Jantungnya berdetak begitu keras sampai terasa di telinga. Udara sore itu sejuk, tapi telapak tangannya basah. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi.

"Satu jam," bisiknya. "Hanya satu jam."

Tapi mengapa rasanya seperti ia membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup rapat?

Di parkiran, ia duduk di dalam mobil tanpa langsung menyalakan mesin. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Mencoba memutar ulang percakapan tadi. Wajah pria itu... sorot matanya, kata-katanya—terlalu jujur, terlalu tepat menyentuh sisi rapuhnya.

 "Aku hanya ingin tahu kenapa senyummu tetap muncul meski matamu sering kosong."

"Siapa dia, sebenarnya?" Kenna bertanya-tanya.

Kenna menghela napas panjang. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ini bukan salah Rangga. Bukan juga salah siapa-siapa. Ia yang datang. Ia yang membuka ruang.

Dan untuk pertama kalinya sejak Barel berubah dingin, seseorang menatapnya dengan penuh perhatian. Bukan sebagai istri yang gagal punya anak, bukan sebagai pengisi waktu luang, bukan juga sekadar ibu rumah tangga penyuka masak.

Tapi sebagai Kenna Humairah. Dirinya sendiri..

Kenna memandangi wajahnya di kaca. Tatapan Rangga kembali muncul.

"Kamu menarikku, Kenna.."

"Astaghfirullah..." gumamnya pelan.

Ia membuka galeri, melihat sekilas fotonya dan Barel saat masih menjadi pembicara dalam seminar keluarga muda islami. Mereka tampak harmonis, penuh tawa.

Semuanya seperti dongeng. Dan dongeng itu kini berubah menjadi ruang dingin tanpa jiwa.

Notifikasi masuk. 

RG88. ["Terimakasih kamu sudah datang. Aku tahu saat ini kamu bingung, tapi kamu tetap hadir. Itu lebih dari cukup buat aku. Dan setelah ini aku berharap, kita tak lagi bicara seperti orang asing lagi."]

Kenna hanya membacanya. Tidak langsung membalas. Tapi ia tidak menghapusnya juga.

Komentar baru masuk di TikTok-nya. Live-nya kemarin dibagikan ulang oleh salah satu akun parenting terkenal. Viewers melonjak. Followers bertambah. Tawaran endorse mulai berdatangan.

Tapi bukan itu yang dia cari. Ia hanya ingin... merasa bernyawa kembali. Dan di nyawa itu, ada suaminya.

Namun ternyata sampai Minggu pagi, saat udara cerah, saat suara burung berkicau dari pepohonan di halaman depan rumah mereka, di ruang tamu, Kenna hanya duduk termenung seorang diri, menatap pintu utama. Perasaannya campur aduk. Setelah pertemuannya dengan Rangga, pikirannya tidak pernah tenang. Ia merasa bersalah dengan perasaan berdebar yang tiba-tiba saja ia miliki tiap mengingat wajah dan kata-kata jujur yang diutarakan lelaki itu.

Suara mobil yang memasuki garasi membuyarkan lamunannya. Barel telah kembali. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah tenang, tas kerja di tangannya. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap tanpa ekspresi.

"Kamu sudah pulang, Mas? Aku menunggumu," sapa Kenna, mencoba terdengar santai.

Barel hanya mengangguk kecil. "Ada jadwal yang dibatalkan. Seharusnya aku belum pulang. Aku mau istirahat."

"Aku sudah siapkan sarapan. Makan dulu sebelum tidur, ya?" tawar Kenna, mengikuti suaminya yang sudah melewati ruang tamu menuju kamar.

Barel hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. "Nanti saja."

Setelah beberapa menit, ia mendengar suara pintu kamar ditutup. Hati Kenna sakit. Ia tahu betul apa artinya itu. Barel akan langsung tidur tanpa memperdulikannya.

"Memang rapat dengan siapa Sabtu sama Minggu," batinnya heran. Tak biasanya Barel pergi saat hari Sabtu Minggu, hari kebersamaan mereka.

Siang harinya, Kenna masuk ke kamar dengan secangkir kopi di tangannya. Ia duduk di tepi ranjang, memperhatikan Barel yang masih tertidur pulas. Wajahnya yang tampan tampak damai, tetapi dinginnya sikap Barel beberapa waktu belakangan membuat Kenna tak bisa mengabaikan kegelisahan yang terus menghantuinya.

"Mas," bisiknya sambil menggoyangkan bahu suaminya.

"Hm?" gumam Barel, matanya masih terpejam.

"Aku bosan. Mungkin kita bisa jalan-jalan sore ini?"

Barel membuka mata sejenak, menatap istrinya dengan pandangan datar. "Aku capek, Kenna. Mungkin lain kali."

Kenna menghela napas panjang. Ia tahu Barel akan berkata seperti itu. Namun, ia menolak menyerah. Ia menggeser tubuhnya mendekati Barel, lalu menyentuh lengan suaminya dengan lembut.

"Kalau begitu, mungkin kita bisa... menghabiskan waktu bersama di rumah saja, melakukan seperti yang sudah-sudah?" ucapnya, mencoba tersenyum menggoda. Jemarinya mengusap pelan dada Barel, berharap ia akan merespons.

Barel malah bangkit dan duduk di sisi ranjang. "Aku ada laporan yang harus kuselesaikan," katanya tanpa menoleh.

"Laporan?" Kenna memiringkan kepala, merasa aneh. "Ini Minggu, Mas. Hari libur. Hari untuk kita."

Setiap hari Minggu mereka bahkan meliburkan Mbak Wati hanya sekedar tak ingin ada orang lain di rumah mereka, dan mengganggu mereka yang tak kenal tempat jika bersama merajut asa.

"Aku sedang banyak pekerjaan, Kenna. Jangan buat semuanya makin rumit," ucap Barel dengan nada tegas sebelum beranjak dari tempat tidur.

Kenna terdiam. Kata-kata suaminya bagaikan pukulan di dadanya. Ia hanya bisa menatap punggung Barel yang menjauh, masuk ke ruang kerja tanpa berkata apa-apa lagi. Ada yang salah. Ia tahu itu. Tapi apa.

Malam harinya, Kenna duduk di ruang tamu dengan secangkir teh di tangannya. Barel masih di ruang kerjanya

RG88 : [Maaf ganggu. aku cuma merasakan buram kesediahn yang kamu rasakan. Aku enggak akan bikin kamu makin jatuh, aku hanya ingin kamu berdiri tegak. Apapun yang terjadi."]

Dan Kenna... membiarkan pesannya tetap terbuka. Matanya berkaca. Tapi tak satupun air mata turun. Kesunyian di rumah besarnya, begitu menghimpitnya.

RG88: ["Aku akan bicara jujur suatu hari nanti. Tapi belum sekarang. Karena kalau kamu tahu siapa aku,...mungkin kamu enggak akan pernah mau bicara lagi denganku."]

Kenna memandangi pesan itu lama. Dan hatinya berbisik: "Kenapa kamu terdengar seperti seseorang yang, pernah mengenalku sebelum aku tahu kamu?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   122. Ada lagi?

    "Praba, pengantinnya datang!”Suara Najla memecah kerumunan. Beberapa tamu yang semula berdiri langsung menoleh ke arah pintu aula.Seorang perempuan melangkah pelan masuk. Gaun putih sederhana menempel di tubuh mungilnya. Di sebelahnya dia orang ibu dan satu bapak setengah baya. "Kenna.. " Salah satu ibu itu menyapa. Dia ibunya Praba. "Assalamu'alaikum, Tante! " Kenna menyalami perempuan itu. "Selamat ya! " "Terimakasih, Tante. "Gadis berbaju pengantin mengulas senyum. Wajahnya bersih, lembut, dengan senyum malu-malu. Kenna menahan napas. “Winda?” suaranya nyaris bergetar.Sasha menatap sekilas lalu tersenyum kecil. “Winda Windary? Sekelas kita dulu kan?”Kenna mengangguk pelan. “Dia dulu selalu bareng aku dan Sasha.”"Apa khabar kalian? "Tanpa banyak kata, mereka berpelukan. Penghulu menatap arlojinya lalu tersenyum lega. “Alhamdulillah, sudah lengkap sekarang. Mari kita lanjutkan.”Praba melangkah menyambut Winda. Ada sinar bahagia yang belum pernah terlihat sebelumnya di m

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   121. Air mata,...

    "Rangga? " Assalamu'alaikum, Kenna. Apa khabar? Mata Rangga memburam. Inginnya ia memeluk Kenna saat itu juga. Kerinduan tak lagi dapat ia bendung. Kenna hanya bisa mematung. Mata itu bahkan hampir menetes tak terkendali. "Pak, ini kapan dimulainya? " Suara Penghulu terdengar dari dalam. "Van, cepat bawa pengantin perempuannya," ucap Najla pula. "Sebentar, pengantinnya belum datang. ""Apa maksudnya, Evan?" tanya Kenna terbata, matanya beralih dari Evan ke penghulu yang sudah duduk tenang di depan.Evan tersenyum tipis, agak menahan gugup. "Kita tunggu sebentar lagi, Pak biar yang datang lengkap. Setelah itu baru mulai."Najla berdiri di sisi Evan, menggenggam tangan Kenna lembut tapi terasa menekan. "Mas Praba nunggu pengantinnya datang dulu ya, Van" ucap Najla, matanya menusuk penuh arti.Praba mengangguk pelan, lalu menatap Kenna. "Nggak apa-apa, aku tunggu," suaranya tenang, tapi Kenna bisa menangkap nada aneh di sana, seolah dia sendiri tidak yakin apa yang sedang terjadi.K

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   120. Air mata

    "Apa benar itu Praba?" bathin Kenna lagi.Evan menegakkan tubuh. Senyumnya menegang saat Kenna menatapnya.Kenna terpaku. Evan berusaha menjaga ekspresi, namun tatapannya sekilas tertuju pada Najla di sampingnya. Najla menatap balik dengan senyum tipis, tapi matanya berbinar. "Jadi itu yang kamu ceritakan bisa membeahagiakan Mbak Kenna?" tanya Najla tanpa suara, hanya melalui gerak bibir.Evan berpura-pura tidak paham. Ia mencondongkan tubuh ke depan, berusaha mengalihkan perhatian pada acara.Kenna menunduk. Jantungnya berdegup aneh. Ia mengingat percakapan singkat dengan Evan seminggu lalu, tentang pria yang katanya tekun beribadah, pekerja keras, dan mapan. Saat itu, Evan bilang, "Orang itu pantas buat kamu, Mbak Kenna. Aku cuma ingin Mbak bahagia."Jadi maksudnya... Praba?Senyum Praba kini tertuju padanya. Tatapan itu hangat, seperti dulu saat mereka masih sama-sama di SMA. Tapi entah kenapa, bukan kehangatan yang Kenna rasakan, melainkan sesak."Kenna?" Praba menghampiri. Sat

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   119. Apa dia?

    Serius, Van? Seminggu aja udah siap semua?” tanya Najla. Suaranya terdengar tak percaya ketika ia berdiri di depan lift.Evan mengangguk pelan. “Iya. Semua urusan administrasi udah beres. Mbak Kenna cuma perlu hadir.”Najla menatapnya curiga. “Cepat banget. Kamu yakin orang itu bukan sembarangan?”“Justru karena bukan sembarangan, makanya bisa secepat ini,” jawab Evan dengan senyum samar.Najla menghela napas. “Aku cuma takut kamu salah langkah. Katamu Pak Rangga suka Mbak kenna."“Tenang aja,” ucap Evan singkat, nada suaranya tenang, tapi matanya menatap jauh, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dia memang tak ignin Najla tahu sesuatu, mengingat sifat Najla yang blak blakan.Pagi itu langit mendung. Kabut tipis turun dari bukit, menutupi jalanan yang sepi. Sebuah mobil hitam berhenti di depan apartemen. Kenna melangkah keluar dengan langkah ragu, wajahnya teduh tapi mata sayunya tak bisa menutupi kecemasan.Evan menunggu di sisi mobil, mengenakan kemeja biru dan celana hitam rap

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   118. berharap

    "Apa?""Kamu nggak akan pernah jatuh cinta sama dia."Sejenak Evan tergelak. "Aneh banget kamu.""Van, aku serius, janji nggak?"Nada suara Najla kali ini berat, seperti ada yang ia tahan.Evan menatap wajah gadis itu di bawah lampu jalan yang temaram. Rambut Najla sedikit lembap, menempel di pipinya yang pucat. "Aku janji," katanya akhirnya, pelan tapi mantap.Mereka berjalan pulang dalam diam. Langkah keduanya pelan, hanya suara gerimis yang menimpa jaket Evan dan sandal Najla. Tak ada tawa atau obrolan ringan seperti biasanya. Malam seolah menelan kata-kata mereka.Najla sempat memegang lengan Evan sebentar, hanya beberapa detik, sebelum melepaskannya saat mereka tiba di depan apartemen."Nggak masuk dulu, Naj?" tanya Evan, berusaha terdengar biasa.Najla menggeleng, menatap pintu kaca lobi. "Nanti aja. Aku mau langsung pulang. Biar kamu istirahat."Evan menatapnya, mencoba membaca sesuatu dari mata Najla, tapi yang tampak hanya kelelahan dan sedikit kecewa."Hati-hati, ya," ucapny

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 117. Mau nikah?

    "Mbak Kenna, kamu kelihatan pucat," ucap Evan pelan sambil meletakkan cangkir teh ke meja.Kenna hanya mengangguk kecil. "Aku nggak apa-apa. Cuma capek mikir hidup aku aku di sini."Suara sendok beradu dengan gelas mengisi ruang tamu kecil itu. Udara pagi masuk lewat jendela yang setengah terbuka, membawa aroma tanah lembab sisa hujan semalam.Evan menatapnya. "Jangan mikir begitu Mbak. Aku kan bilang, tempat ini aman buat kamu."Kenna tersenyum tipis, tapi matanya enggan menatap Evan. "Aman sih, Van, tapi aku nggak bisa lama-lama di sini.""Kenapa?" Evan memiringkan kepala, suaranya pelan tapi jelas ada nada khawatir."Najla kemarin datang," jawab Kenna, lirih. "Dia tanya-tanya. Katanya kamu aneh akhir-akhir ini. Seolah dia curiga aku, Van."Evan mendesah, lalu mengusap tengkuknya. "Aku udah jelaskan ke dia soal Mbak. Jadi Mbak nggak usah khawatir.""Bagaimanapun juga," potong Kenna cepat. "aku nggak mau jadi alasan kalian ribut. Aku memang harus pergi."Hening menggantung di antara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status