เข้าสู่ระบบRuang kunjungan itu dingin, meski tanpa AC berlebih.Mama Danisha duduk lebih dulu. Tangannya terlipat rapi di atas meja. Punggungnya tegak, wajahnya tenang—terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang menyimpan kemarahan.Pintu kecil di seberang terbuka.Elan masuk dengan langkah yang sudah tidak lagi percaya diri. Rambutnya lebih tipis. Wajahnya lebih tirus. Matanya menatap sekilas, lalu beralih.“Mama Danisha,” katanya pelan.Tidak ada balasan segera.Beberapa detik berlalu sebelum Mama Danisha mengangguk kecil. Bukan sapaan. Lebih seperti tanda, aku di sini. Masih hidup.Mereka duduk berhadapan.Tidak ada caci. Tidak ada tuduhan.Mama Danisha hanya menatap.“Kamu kelihatan… berbeda,” katanya akhirnya.Elan tersenyum tipis. “Tempat ini bikin orang belajar.”Mama Danisha mengangguk. “Belajar apa?”Elan terdiam. Mungkin ia berharap pertanyaan lain. Yang lebih ringan. Yang bisa diputar.“Belajar sabar,” jawabnya akhirnya.Mama Danisha menautkan jari. “Kamu tahu gak,” ucapnya pelan, “ber
Pagi di Anak Lipat berjalan seperti biasa—sampai Bakar datang dengan wajah yang tidak biasa.Ia berdiri di depan meja kasir, menaruh tabletnya pelan, lalu menarik kursi tanpa diminta. Ria yang sedang mencatat pesanan menoleh.“Kenapa, Bang?” tanyanya. Ria mengubah panggilan daei Pak menjadi Abang untuk Bakar sejak mereka berkomitmen.Bakar menghela napas panjang. Panjang sekali. Seperti baru lolos dari sesuatu.“Alhamdulillah aku sehat hari ini,” katanya akhirnya.Ria berhenti menulis. “Hah?”Bakar menatap kosong ke depan. “Tadi malam… rumah Bos kek … bukan rumah. Itu arena.”Rini yang lewat ikut berhenti. “Arena apa?”“Arena ngidam,” jawab Bakar lirih. “Aku saksi kuncinya.”Ria tertawa kecil. “Lebay.”Bakar menoleh cepat. “Ria, kamu bayangin aja deh ... Kepiting dibedah. Bebek dipertanyakan perasaannya. Es serut dibikin kayak proyek akhir semester. Dan—” ia menunjuk perutnya sendiri, “—aku malah dihukum ngabisin semua.”Rini menutup mulut, menahan tawa.Ria akhirnya tertawa lepas."A
Pagi di Anak Lipat berjalan seperti biasa—sampai Bakar datang dengan wajah yang tidak biasa.Ia berdiri di depan meja kasir, menaruh tabletnya pelan, lalu menarik kursi tanpa diminta. Ria yang sedang mencatat pesanan menoleh.“Kenapa, Bang?” tanyanya. Ria mengubah panggilan daei Pak menjadi Abang untuk Bakar sejak mereka berkomitmen.Bakar menghela napas panjang. Panjang sekali. Seperti baru lolos dari sesuatu.“Alhamdulillah aku sehat hari ini,” katanya akhirnya.Ria berhenti menulis. “Hah?”Bakar menatap kosong ke depan. “Tadi malam… rumah Bos kek … bukan rumah. Itu arena.”Rini yang lewat ikut berhenti. “Arena apa?”“Arena ngidam,” jawab Bakar lirih. “Aku saksi kuncinya.”Ria tertawa kecil. “Lebay.”Bakar menoleh cepat. “Ria, kamu bayangin aja deh ... Kepiting dibedah. Bebek dipertanyakan perasaannya. Es serut dibikin kayak proyek akhir semester. Dan—” ia menunjuk perutnya sendiri, “—aku malah dihukum ngabisin semua.”Rini menutup mulut, menahan tawa.Ria akhirnya tertawa lepas."A
Hari itu, Qalesya bangun dengan satu keyakinan mutlak.Ia ingin makan.Bukan sekadar lapar. Bukan juga ngidam biasa yang masih bisa ditawar. Ini jenis keinginan yang muncul bersama air liur berlebih, tenggorokan menelan sendiri, dan tatapan kosong ke langit-langit kamar.“Mas,” panggilnya lirih.Wafa yang baru saja duduk di tepi ranjang menoleh. “Kenapa, Sayang?”“Aku pengen seafood saus Padang,” jawab Qalesya, cepat. “Isinya kepiting, kerang, scallops. Banyak. Pedes.”Wafa mengangguk refleks. “Oke.”Belum sampai ia berdiri—“Sama nasi bebek Madura,” tambah Qale.Wafa berhenti.“Sekarang?” tanyanya memastikan.“Sekarang,” jawab Qale mantap.Di ruang tengah, Hasan yang sedang membaca koran menurunkan kacamatanya. Wafa seperti tergesa mencari Bakar. Winda yang baru duduk hanya menghela napas panjang—napas orang yang sudah tahu hari ini tidak akan sederhana.“Damkar,” panggil Wafa “Iya, Bos?” sahut Bakar dari dapur.“Ikut aku. Beli yang diminta.”"Beli apa?" tanya Hasan penasaran.Baka
Pagi kembali datang tanpa target pekerjaan.Tidak ada alarm keras. Tidak ada catatan di kepala tentang apa yang harus selesai hari ini. Qalesya bangun lebih siang dari biasanya, dan untuk pertama kalinya, ia tidak langsung menegur dirinya sendiri.Ia duduk di tepi ranjang, meraba perutnya yang hangat.“Napas pelan,” bisiknya. “Kita jalan pelan.”Di meja makan, Winda sudah menyiapkan bubur sederhana. Tidak banyak tanya, tidak banyak saran. "Qale, emam ya, Nak," serunya sempat memanggil menantu kesayangan, sebelum pergi.Qalesya menuruni tangga pelan, merentangkan lengan saat Winda akan pergi. Meminta pelukan hangat di anak tangga.Pagi ini dia makan sendiri. Wafa berangkat pagi sekali, ada urusan di pinggir kota katanya. Dia hanya memakan setengah. Perutnya terasa penuh. Qale berhenti. Tidak memaksa untuk makan banyak.Setelah meminum vitamin, olah raga ringan, ia tidur lagi—tanpa rasa bersalah.Menjelang siang, Qalesya bangun. Matanya tertuju ke meja di depan ranjang. Dia beringsut
Pagi itu, Qalesya bangun dengan kepala berat dan dada terasa sempit.Bukan sesak.Lebih seperti napas pendek yang terengah-engah, tapi pelan.Ia duduk lama di tepi ranjang, menghitung detak sendiri. Nyaris lima bulan. Perutnya makin jelas, tapi tenaganya seperti tertinggal entah di mana.Wafa masih terlelap. Qalesya tak membangunkannya.Ia ke walk in closet, menuang air, tapi tangan kanannya bergetar ringan. Gelasnya beradu tipis ke meja.“Aduh…” gumamnya.Ia duduk. Menunggu sensasi itu reda. Tapi justru kepalanya makin ringan. Qalesya perlahan berdiri, ujung jarinya memegangi sisi meja. Berjalan pelan ke lemari, menyiapkan setelah Wafa, aksesoris, dompet, termasuk memeriksa baterai tablet Wafa. Setelahnya dia ke kamar mandi, membersihkan dirinya.Wafa bangun ketika mencium wangi sabun Qalesya. Dia mencari istrinya ke toilet dan mendapati Qale mematung di depan cermin. Dia memeluknya dari belakang, mengusap lembut perut Qale. "Besok, bangunkan aku saja ... jangan siapin ini sendiri







