Hasan mematung di ambang pintu kamarnya. Napasnya masih tersengal, dada sesak oleh tudingan Qale yang terlalu tajam dan tepat. Dengan langkah lunglai, ia masuk, lalu membuka sebuah laci tua di samping tempat tidur.Di sana, bertumpuk surat-surat lama. Surat visum Rahayu. Surat warisan. Surat wali anak. Semua tersimpan rapi—seperti luka lama yang tak pernah dibuka, hanya disimpan agar tak menetes.Tangannya bergetar saat membuka amplop berisi rekam medis Lea. Ia membaca perlahan. Ada diagnosis lama yang tertulis di sana : trauma visual, indikasi kerusakan retina, dan kemungkinan pemulihan.Air mata Hasan jatuh di antara lembaran kertas. “Maafin Ayah, Lesa,” gumamnya dengan suara patah. “Maafin aku, Rahayu … Aku emosi saat itu. Kehilanganmu membutakan aku. Tapi aku juga salah … hingga Lea…”Bahunya berguncang, tubuhnya membungkuk seperti ditarik oleh penyesalan. Tapi semua terlanjur terjadi.***Keesokan harinya, Hasan muncul di toko Anak Lipat.Bau kopi, mentega, dan selai menyeruak da
Malam mulai menua. Tapi toko Anak Lipat belum sepenuhnya lengang. Wafa duduk di kursi panjang depan toko, memangku buku catatannya, sementara Qale duduk di sebelahnya, mendongakkan wajah menatap langit.“Aku pengen pastikan, Kak,” gumam Qale akhirnya.Wafa menoleh. “Soal Lea?”“Ya. Dan Deni. Semua ini terlalu rapi. Seperti disusun biar kita nggak sempat curiga.”Wafa mengangguk pelan. “Kamu harus masuk dengan cara luwes, Sya ... Ada ide?" katanya, masih melihat istrinya.Dia lalu membuka halaman buku catatannya. “Akhir-akhir ini aku sering nginep di sini, aku pikir kita harus beli sofa bed custom. Jangan tidur di lantai.”Qale tak menanggapi, baginya itu tak penting. Jika badan lelah pun akan terlelap dengan sendirinya. Lagipula ini bukan pertama kali dia tidur di lantai. Sudah sejak 4 tahun lalu, ketika memutuskan keluar dari rumah itu.Wafa menyodorkan gambar sederhana ke hadapan Qale. Namun, Qale hanya mengangguk, setuju dengan designnya."Dinding dilapis pakai MDF, ya. Biar nggak
Qale kembali ke toko dan langsung bertemu calon pemesan lainnya. Menjelang malam. Udara di dalam toko mulai dingin, tapi hati Qale belum juga tenang. Suaminya datang pun nyaris tak dia sadari sebab melamun."Kak," tegur karyawannya tepat saat akan pulang.Qale mengangkat wajah, mengangguk ke arahnya, "He em, hati-hati ya, Ria," katanya seperti biasa bila si karyawan akan pulang, lalu menunduk lagi.Ria menepuk pelan meja kasir, "Bukan," bisiknya sambil melirik ke arah kiri. Qale mengintip dari sisi tubuh Ria, lalu senyumnya muncul ketika melihat Wafa baru masuk ke tokonya.Di pangkuannya tampak tas laptop juga sebuah buku catatan. Senyum Qale disambut hangat olehnya. “Gimana tadi ngantar pesanan?” tanyanya.Qale mengernyit, dia tidak bilang soal pesanan. Darimana Wafa tahu, pikirnya. Dia melambai ke arah Ria yang pamit pulang lalu menghampiri Wafa dan duduk di hadapannya.“Tahu dari?" "Dari dia," balas Wafa menunjuk dengan jempolnya ke arah Ria yang sudah di parkiran. "Tadi aku k
Pagi belum benar-benar datang. Lampu gantung toko masih menyala, sinarnya hangat dan tenang.Tapi di dalam dada Qale, ada badai yang baru saja reda—dan meninggalkan serpihan-serpihan tajam.Dia masih duduk di kasur lantai, bersandar di kaki kursi roda Wafa yang setia menemani dari tadi. Napasnya mulai teratur, tapi matanya ... belum benar-benar bisa melepaskan bayangan semalam."Aku inget semuanya, Kak," ulangnya lirih.Wafa masih menggenggam tangannya. Tak menekan. Tak menyela. Hanya menunggu."Aku inget suara anak-anak itu. Aku inget... aku disuruh sembunyi, biar dapet permen dari 'Om'." Suara Qale serak, sedikit bergetar. "Dan ... aku inget Ibu nyari-nyari aku malam itu. Berkali-kali..."Wafa mengangguk pelan. Tatapannya dalam, teduh. “Teruskan, Sya. Aku di sini, jangan takut.”Qale menggigit bibir. “Ada yang narik aku dari belakang. Orang dewasa. Suaranya dingin. Katanya ... aku bakal mati kalau bersuara.”Tangan Wafa refleks mempererat genggaman. Qale menoleh sekilas, lalu melanj
Dalam perjalanan pulang, Qale terus mencuri pandang ke arah suaminya.Sampai akhirnya, saat mobil berhenti, fokusnya teralihkan. Dia membantu kursi roda Wafa turun lalu mendorongnya hingga ke depan pintu toko.Sebelum membuka kunci, Ia berjongkok di depan kursi roda Wafa, mengangkat tangan dan melambaikannya ke arah mata kiri Wafa."Kak, mata yang beneran buta tuh … begini, ya?"Seketika Wafa menunduk, meniup wajah Qale pelan—membuat poninya berkibar, dan pipinya memanas.“Eehh!” Qale menunduk, malu sendiri. "Maaf..."Wafa tersenyum kecil. “Kenapa tiba-tiba ngetes mataku?”Qale pun menceritakan semua keganjilan tadi.Tentang Deni. Soal sorotan matanya, juga gerak-geriknya.Wafa mendengarkan serius, sambil mengangguk perlahan.“Aku nggak tahu pasti ... tapi feeling kamu, bisa jadi benar. Kita harus cari tahu lebih lanjut, Sya.”Malam itu, Qale tak bisa tidur. Bukan hanya karena tubuh lelah—tapi karena ada yang mengganggu di benaknya.Bukan mengenai acara tunangan. Apalagi soal kue croi
Wafa pamit pagi itu dengan pesan sederhana tapi hangat, "Jualan yang bener, ya. Biar pelanggan makin banyak. Urusan yang lain, kita pikirkan berdua. Oke?"Qale mengangguk. Hatinya hangat oleh perhatian kecil itu. Bibirnya mencoba tersenyum, walau matanya menyimpan gelisah.Belum sempat Wafa masuk ke mobil, Qale tersadar satu hal—dia tidak punya nomor suaminya sendiri."Kak," panggilnya malu-malu sambil menyodorkan ponsel. "Boleh…?"Wafa menoleh dengan senyum menggoda. "Kirain nggak butuh," godanya, memiringkan kepala untuk melihat wajah manis Qale di bawah cahaya pagi.Pipi Qale langsung merona. "Iihh, ayo dong," rengeknya."Senyum dulu," Wafa mengulur tangan."Nggak mau!" Qale mencubit lengannya gemas."Aw! Iya iya, sini..." Wafa akhirnya menyerah, menerima ponsel bercasing pink itu.Qale mencuri pandang. Meski mata kirinya kosong, Wafa tetap tampan. Setelah menyimpan kontak, Wafa menyerahkan kembali ponsel itu.Begitu Qale melihat kontak barunya, matanya membesar. "Suamiku?" Qale me