Qale menoleh ke arah Elan. "Hum?" Elan tersenyum miring, dia menggeleng pelan lalu memilih pergi dari sana. Duduk di kursi sambil melihat hasil jepretannya tadi.Qale memutari etalase dan menarik kursi kasir. Dia duduk membaca kertas yang terjatuh tadi. [Untuk Qalesya.][Kalau suatu hari kamu harus memilih antara memaafkan atau melanjutkan agar kecewamu sembuh, pilihlah yang membuatmu tetap bisa tidur di malam hari.][Ibu sayang kamu.]Senyum sisa siang itu Qale bubuhkan ke lembar kertas berisi tulisan tangan ibunya. Dia menghempas napas lega, mendongakkan kepala dan memejam. Seolah mengatakan 'alhamdulillah' meski semua belum selesai.Menjelang petang, toko tutup. Ria dan Elan sudah pulang sejak tadi. Qale melihat sekeliling ruang. Ada yang terasa kosong."Tata. Kemana, sih? Kok nggak ngasih kabar," ujarnya pelan sambil melihat chat mereka yang kosong."Katanya mau ngajak aku pulang, kapan?" sambungnya menaruh harap. Dia menutup semua gorden jendela, mengunci pintu lalu mematikan l
Qalesya bergeming. Rasa iba sekaligus kecewa masih menggantung di sudut matanya.Dia menghela napas. Menghampiri sang ayah yang berdiri di depan pintu toko.Qale mengajaknya duduk di kursi rotan dekat jendela, memandangi pohon di sisi jalanan yang masih basah oleh guyuran dinas PU. Tangannya tenang di atas paha, sementara pikirannya sibuk memutar ulang kata-kata dari surel yang baru ia baca tadi—penawaran damai, dari pihak Lea.Hasan datang pagi-pagi sekali, membawa kantong berisi buah dan teh celup. Ia duduk berhadapan dengan Qale, tubuhnya terlihat tegang."Kalau cuma buat damai demi reputasi, Ayah pulang aja," ujar Qale, datar.Hasan menghela napas. "Ayah nggak mau kamu berpikir bahwa Ayah nyuruh kamu tunduk. Ayah cuma pengin kamu punya ruang buat mikir jernih.""Ruang jernih ... dulu, ibu juga nggak punya," balas Qale cepat. "Sekarang, aku juga begitu."Hasan akhirnya bicara soal warisan. Tentang aset, pembagian keuntungan masa lalu, dan surat legal yang siap ia tandatangani jika
Pintu toko baru saja ditutup Elan. Dia juga memasang tanda closed. Berjaga agar konflik keluarga ini tidak jadi konsumsi publik. Meski dirinya tak tahu apapun.Ibu Deni menatap dingin pria asing ini. Dia mewanti agar Elan tak ikut campur urusan mereka."Siapa kamu!" tanyanya dengan mata menyalak."Malaikat Amaludin," jawab Elan singkat tanpa melihat wajah ibu Deni. Dia memilih berdiri di kusen pintu penghubung ke dapur, bersedekap.Qale meletakkan ponselnya di atas etalase. Dia mencoba menanggapi dengan sabar. "Duduk, Kak, Nyonya," katanya sambil menunjuk kursi tak jauh dari mereka.Ajakan itu diacuhkan. Lea menuding wajah Qale. "Cabut perkara!" sentak Lea. Telunjuknya menyentuh dahi Qale. "Muka polos kelakuan iblis!" maki ibu Deni, sambil memegangi lengan Lea.Qale masih diam. Dia menghargai Lea di depan Ria dan Elan. Membalas pun percuma, hanya menambah kebenciannya nanti. Sembuh dan menerima ingatan masa lalu saja menguras energi, apalagi soal kecewa. Melihat Qale hanya diam, ke
Pintu toko berbunyi pelan saat Qale mendorongnya masuk. Bau gula karamel dan sisa adonan yang mengering di loyang menyambutnya seperti sapaan hangat seorang ibu.Ria sudah berdiri di balik meja kasir, senyumnya canggung seperti seseorang yang menyimpan kejutan tapi tak tahu harus mulai dari mana.Tatapan Qale pada Ria menyiratkan kalimat, "Mana dia?"Ria membalas dengan lirikan mata ke kanan, ruangan staf. Sambil meladeni pembeli yang akan membayar.Qale memilih merapikan etalase yang sudah kosong, menata pastry itu agar tampak rapi."Dia di dalam, Mbak. Lagi ngeliatin dapur kita kayak lagi audit," bisik Ria sambil menunjuk arah belakang.Qale menaikkan alis, "Kok diizinkan ke dalam?" katanya lalu melangkah pelan masuk ke dalam. Napasnya sempat ditahan ketika melihat sosok pria itu.Kaos putih polos, jaket jeans robek yang digantung di satu bahu, kamera menggantung di leher, dan celana kargo hitam yang digulung seenaknya. Pria itu membalik badan, menatap Qale sekilas, lalu menunduk la
Qale masih menata napasnya setelah membaca notifikasi di ponselnya."Ngapain Ayah telpon jam segini?" gumamnya seraya meletakkan gawainya asal.Dia lalu kembali merebahkan badannya, mencoba tertidur meski pikirannya berisik.Pagi itu, udara terasa lebih tenang dari biasanya. Qale duduk di meja makan bersama Wafa, semangkuk bubur ayam di hadapannya hanya disentuh beberapa sendok. Pikirannya masih dipenuhi mimpi semalam—tentang ibunya, Lea, dan kalimat singkat yang menggores hati."Aku mau bicara dengan Ayah hari ini," ucap Qale tiba-tiba.Wafa menoleh, sendok di tangannya berhenti di udara. "Kamu yakin? Soal apa?"Qale menatapnya lurus. "Aku harus tahu dari mulut Ayah langsung. Soal Ibu. Soal semuanya."Wafa menunduk sebentar, lalu mengeluarkan sebuah map dari bawah meja. Ia menyodorkannya perlahan. "Tapi aku nggak bisa nemenin, gapapa?" ujarnya sedikit kuatir.Qale mengangguk. "Gak apa, udah biasa sendiri, kan?" celotehnya sedikit tersenyum.Wafa lalu menyerahkan sebuah kertas di map
Langit mendung saat Qale melangkah keluar dari ruang sidang. Langkahnya tertatih, bukan karena luka di pelipis atau lengannya, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam : kepercayaan pada keluarga yang runtuh.Wafa menyusulnya dari belakang. Roda kursi dorongnya menyentuh lantai marmer gedung pengadilan dengan bunyi lembut yang anehnya lebih terasa menusuk daripada langkah kaki siapapun di sekeliling mereka."Kamu nggak harus percaya sekarang," ucap Wafa pelan. "Tapi kamu harus bersiap jika kenyataannya memang dia," kata Wafa pelan.Qale duduk di bangku taman kecil di belakang gedung pengadilan. Kepalanya menunduk. Tangannya menggenggam ujung jaketnya erat-erat."Dia ... dia kakakku, Tata" bisiknya. "Sejak kecil, kami selalu sama-sama. Yang nemenin aku main meski Lea hanya diam saja ... kami juga sering berbagi makanan," tutur Qale dengan nada lesu.Wafa menunduk. Suaranya berat. "Mungkin kamu harus ingat juga hal-hal yang waktu itu kamu pikir 'aneh', tapi kamu abaikan."Qale menatapn