Share

BAB 4. SYA ...

Author: QIEV
last update Last Updated: 2025-06-23 13:58:04

Malam itu, Qale bermimpi.

Dia sedang menggambar di lantai rumah lamanya. Crayon berserakan. Ibunya mendorong kursi roda kosong ke sebuah kamar di ujung lorong. Samar, terdengar suara sang ibu dari dalam, membujuk agar seseorang mau makan dan minum obat.

"Ayo ... sedikit saja. Ini bubur kesukaanmu."

Kemudian ibunya keluar, menghampiri Qale. "Ayo, kita pulang." Sang ibu menarik paksa putrinya.

"Tapi crayonku ... (ketinggalan)."

Ibunya hanya tersenyum samar. Pelan-pelan, dunia berubah menjadi kabut.

Qale terbangun dengan napas berat. Tangannya masih meraba bawah bantal, seperti mencari sesuatu yang hilang. Crayon itu … crayon merah yang patah. Warnanya memudar. Ia meraihnya, tapi selalu menghilang tepat saat jarinya menyentuh.

“Nanti kita cari bareng, ya,” suara ibunya terdengar seperti gema dari masa yang sudah mati.

Crayon itu masih belum ia temukan. Bahkan setelah ibunya tiada.

***

Hari-hari Qale kian sepi. Karena diskors, berita video viral, sehingga toko "Anak Lipat" nyaris kosong. Tak ada pelanggan. Aroma croissant tak mampu menggoda siapa pun masuk. Hanya tagihan yang datang satu per satu seperti ibu-ibu antri PKH.

Uang di meja kasir cuma buat belanja stok bahan beberapa hari ke depan. Qale duduk termenung di meja pesanan, memutar ulang strategi. Haruskah dia menjual rugi? Atau membuat promo? Tapi bagaimana caranya jika media sosial toko masih dipenuhi komentar nyinyir dan sarkas?

Tiba-tiba, pintu depan terbuka. Seketika wajah Qale cerah, bahagia seperti habis suntik botox. Kawannya Mya, datang, tapi dengan wajah kaku. Dan tanpa banyak basa-basi, Mya menyerahkan map.

"Papa minta aku narik semua modal. Maaf, Qale," ujarnya pelan menunduk. Tak sanggup menatap Qale. “Aku … nggak tahu harus gimana. Papa bahkan mau laporin kamu ke polisi kalau aku nggak narik dananya.”

Qale diam mematung. "Gitu ya? ... tapi kita kan rintis ini bareng."

Mya memberanikan mendongak. "Aku tahu. Tapi Papa nggak mau terseret. Toko ini ... milikmu sekarang. Resmi."

Resmi, tapi nyaris bangkrut.

Qale menatap sahabatnya ini, tapi Mya bergeming membuat Qale mengeluarkan ponselnya dan mentransfer modal milik Mya. Tabungannya ludes.

"Makasih, maafin aku," kata Mya datar.

Setelah Mya pergi, Qale berdiri lemah ... lama di depan etalase. Dia menatap croissant sisa hari kemarin. Lalu, ide muncul. Dia olah ulang semuanya. Ditambah topping baru. Diberi nama menu "Nyeleneh" ala Qale.

Dia mengeluarkan papan promo, menulis menu dengan nama tak biasa dan isian menggugah selera. Variasi asin, manis dan pedas.

Menyulap pastry satu ini bukan cuma cocok untuk teman ngemil tapi sebagai makanan berat ala warga +62, yang gampang fomo.

Croissayang, Crosslips, Croissantrik dan Croissandra.

Dia berteriak memakai toa, menjelaskan isi jualannya. Satu per satu pembeli datang. Qale berdiri di depan tokonya, bolak-balik merangkap semua pekerjaan.

Hanya tersisa dua croissant gosong di baki. Peluhnya menetes puas tepat adzan Maghrib. Separuh tagihan akhirnya tertutup. Tapi bahan baku habis total.

Belum sempat ia bersyukur, teriakan dari pasar dekat ruko mengejutkannya. Kerusuhan.

"Ibuuuuuuuuuu!" pekik Qale, langsung berlari dan bersembunyi di bawah meja orderan. Wajah memucat tapi bibir komat-kamit baca doa.

Entah sebab apa. Orang-orang berlarian. Kaca toko pecah dilempar batu entah dari mana. Kursi dan papan promo ditendang. Beberapa preman bahkan menjarah barang di tokonya.

Qale menutup telinga di bawah meja, tubuhnya gemetar. Dia ingin menangis, tapi tak ada air mata. Terlalu shock.

Tak lama kemudian, suara kegaduhan itu mereda. Qale masih duduk menekuk lututnya. Takut, lemas jadi satu.

Tiba-tiba seseorang terdengar masuk. Qale waspada lagi. Tapi dia tak mendengar langkah kaki melainkan kursi roda yang berderak pelan di atas pecahan kaca.

"Qale," panggil pria itu. Ia duduk santai sambil melihat kekacauan di sekeliling toko. "Kamu aman bila bersamaku."

Qale perlahan nongol, tapi tak menjawab. Tubuhnya masih sedikit gemetar.

"Pikirkan tawaranku," lanjut si pria, menatap langsung ke mata Qale. “Kamu mungkin nggak minta tolong … tapi doamu terlalu keras.”

"Maaf, aku udah masuk keranjang kuning dan baru aja di checkout seseorang," gumam Qale lirih. Satu-satunya lelucon yang bisa ia ucapkan agar tetap waras.

Pria itu hanya mengulas senyum sebelum pergi melewati pintu toko anak lipat.

Tapi semuanya tak berakhir di situ. Beberapa menit kemudian, Ayahnya datang malam itu. Bukannya simpati dan menolong Qale, sang ayah malah duduk santai sambil mencibir.

"Karma anak pembangkang," ucapnya dingin, melihat sekeliling.

Qale menghela napas, melanjutkan bebenah seolah ayahnya tak ada di situ. Hasan lantas menyerahkan brosur bridal dan salon.

Dia menerima dengan malas, tak langsung membukanya. Tatapannya pun hampa. Qale lelah jiwa raga.

"Besok siang, kamu menikah di hotel. Pilih baju sederhana saja. Jangan mencolok."

Qale hanya terdiam.

"Jangan ngarepin resepsi. Ayah tahu kamu malu menikahi pria itu," kekeh Hasan sambil bangkit dan melenggang pergi.

Huft.

Qale menghempas napas berat beberapa kali. Hari ini begitu berat, sepertinya tinggal di toko bukan pilihan buruk. Besok dia akan membersihkan gudang samping dapur, pindah dari kosnya. "Ngirit, Leeee."

Malam bergulir cepat menyapa mentari pagi. Qale gegas ke salon, meski hati dan langkahnya gamang. Namun dia tak bisa mundur lagi .

Qale datang ke hotel dengan hati terlipat. Wajahnya muram, tak ada binar semangat di matanya, meski dirinya sangat cantik mengenakan kebaya modern warna putih.

Hanya riasan sederhana, hair piece perak tersemat di rambut pendek coklat tua itu, membuatnya tampil manis.

Tok. Tok. Qale mengetuk pintu kamar yang dituju.

"Masuk," sapa sang ayah begitu panel terbuka.

Deg. Pandangan Qale bertemu dengan seseorang yang sudah duduk menunggu di depan penghulu.

Pria itu... yang kemarin datang ke toko, kini bersama mereka di kamar hotel. Memakai pakaian senada dengannya.

Glek.

Qale menelan ludah dan duduk di sisi ranjang. Mendengarkan pria itu mengucap ijab qobul dengan restu sang ayah.

Di nakas hanya ada dua cangkir teh dan sepotong kue lapis. Gaun yang ia pakai ternyata sewa setengah hari, harus dikembalikan sebelum pukul 4 sore.

Tak ada percakapan di antara mereka. Qale menandatangani dokumen pernikahan, foto sebentar, setelah itu dia langsung pamit pergi.

Saat mencapai lobby hotel, tatapannya tertumpu pada papan display bertuliskan engagement "Lea & Dani". Qale penasaran mengintip dari pintu hall. Dia melihat kakak dan ayahnya di sana, tersenyum bahagia dalam ruangan mewah.

"Ckck, ke aku bilang malu ... taunya ayah malu punya anak kek aku," gumam Qale. Ada sekelebat perih menusuk hatinya.

Dia berjalan menunduk, dan mendengar seseorang bicara dari belakang.

"Kutunggu di rumah, Sya," ucapnya pelan.

Sya.

Panggilan kecilnya. Panggilan khas ibu untuknya. Yang nyaris lupa bagaimana nadanya.

Air mata Qale jatuh. Tapi bukan karena lelah. Karena akhirnya, hidup menuntutnya untuk berdiri meski remuk. Qale menyentuh dada kirinya pelan. Rasa rindu itu mengakar, menyesakkan dada.

“Kangen," bisiknya, nyaris tenggelam oleh napasnya sendiri.

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
QIEV
Coba kita buktikan xixixi
goodnovel comment avatar
ani nur meilan
apa Suaminya Qale itu Wafa??
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 122.

    Malam turun perlahan di atas tembok tinggi lapas.Di dalam sel bernomor 27, Lea duduk di ranjang sempitnya. Angin dari jendela kecil meniup ujung rambut pendeknya, membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi.Di pangkuannya, kertas putih terlipat rapi. Pena hitam di tangannya sempat ragu menari, tapi akhirnya bergerak pelan.Tulisan pertama muncul:“Untuk Deni, suamiku.”Lea menarik napas panjang. Setiap huruf yang ia tulis terasa berat, tapi juga menenangkan.“Aku sudah lihat lukisanmu. Dari ayah.Aku tahu kita merindu—karena tembok ini, tapi karena ingatanku terpaku padamu.""Aku baik-baik saja. Cukup mengingat kalau cintamu pernah menyelamatkanku sekali, waktu aku nyaris gak punya alasan buat bertahan.”Lea berhenti menulis. Air matanya jatuh di atas kertas, meninggalkan noda kecil. Ia tersenyum samar, menatap langit hitam di luar jeruji.“Aku pikir kebahagiaan itu tentang bebas.Tapi ternyata, bebas itu tentang hati yang tenang. Terima kasih sudah ngajarin aku mencintai lagi.”

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 121.

    Gerimis makin rapat saat mereka meninggalkan pemakaman.Bakar masih diam, menatap jalanan basah di depan. Ria di sebelahnya, memeluk tas kecil di pangkuan, matanya sesekali menatap jendela yang dipenuhi titik-titik hujan.Radio memutar sisa lagu ~So Far Away, tapi kini suaranya terdengar lebih tenang.“Bapak lebih tenang,” ucap Ria akhirnya, pelan.Bakar menoleh sekilas, bibirnya bergerak membentuk senyum tipis. “Kadang yang bikin berat,” katanya pelan, “rasa bersalah yang belum selesai.”Ria mengangguk pelan. “Kalau gitu … terima kasih udah ngajak aku ke sana, Pak. Aku jadi ngerti sesuatu.”“Ngerti apa?”“Bahwa kadang, luka yang gak disembuhin bisa bikin kita nyakitin orang yang gak salah.”Bakar terdiam. Matanya masih ke depan, tapi rahangnya sedikit mengeras.“Termasuk kamu?” tanyanya datar, nyaris seperti gumaman.Ria tak menjawab. Hanya senyum kecil di ujung bibirnya yang seolah berkata ya, tapi aku udah gak marah lagi.Mobil terus melaju, menyisakan keheningan yang aneh—bukan di

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 120.

    Lea mendengus kesal. “Aku hanya…”Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu di dadanya. “Aku hanya ingin Ayah percaya … bahwa aku gak lagi jadi orang yang sama.”Suara itu pelan, tapi menggigit.“Aku tahu aku salah. Aku nyakitin banyak orang, termasuk Ayah … tapi bukan berarti aku gak bisa berubah.”Hasan menatap putrinya lama. Ada sorot ragu, tapi juga iba yang ditahannya sejak lama.“Ayah gak pernah berhenti pengin percaya, Lea,” ucapnya tenang. “Tapi percaya itu bukan sesuatu yang dikasih. Itu harus kamu buktiin.”Lea menunduk, mengusap wajahnya cepat-cepat. “Aku cuma takut gak sempat buktiin, Yah.”Hasan tersenyum tipis, tapi penuh getir. “Masih ada waktu, Nak. Selama kamu gak menyerah sama dirimu sendiri.”Sunyi.Suara jam dinding terdengar jelas, diikuti derit halus kursi yang bergeser.“Ayah…” panggil Lea pelan.Hasan menatapnya lagi.“Aku cuma pengin dianggap manusia lagi,” ucap Lea, kali ini hampir berbisik. “Bukan kesalahan yang selalu diingat.”Hasan memejamkan mata sejenak

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 119.

    Sore itu toko tutup lebih cepat. Ria membereskan loyang dan adonan yang belum sempat diolah.Rini sudah pulang, menyisakan aroma roti setengah matang yang tertinggal di udara.Telepon dari Nadia baru masuk menjelang magrib."Gimana Nad?" tanya Ria cemas. Nadia sempat ikut menyusul ke rumah sakit dengan motornya tadi.“Udah aman, kata dokter cuma kontraksi ringan. Tapi harus banyak istirahat,” ucapnya lega.Ria mengembuskan napas panjang, duduk di kursi dekat pintu.Syukurlah.Tapi di sela lega itu, ada rasa lain yang menghantui, apakah usulnya soal perekrutan tadi bikin Qalesya kepikiran?Suara langkah sepatu terdengar tepat kala pintu terbuka. Bakar baru datang, menenteng plastik berisi minuman.“Aku kira kamu udah pulang,” katanya datar sambil meletakkan satu botol di depan Ria.“Lagi nunggu kabar, Pak,” jawab Ria pelan.“Qale udah baikan. Aku barusan dari rumah sakit.”“Oh…” Ria menunduk. “Syukurlah.”Hening beberapa detik. Hanya bunyi kipas angin yang berputar lambat.“Kamu tadi p

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 118.

    Keesokan siang, udara toko terasa menggoda oleh aroma butter dan adonan croissant yang baru keluar oven.Ria sibuk di dapur dengan Rini. Nadia di depan berdua dengan Qalesya. Pemilik Anak Lipat itu menghindari memegang butter, mual katanya.Bakar baru datang dengan Wafa. Dia langsung ke belakang, matanya tak lepas dari gerak-gerik Ria.Terlebih setelah pria kemarin, datang lagi ke toko. Kebetulan Ria ke depan membawa baki croissant untuk dipajang di etalase.Pria itu menghampiri Ria. Bakar melihatnya tersenyum yang entah kenapa terasa menyebalkan di matanya.Ria berbicara seperlunya. Pelan dan tetap sopan. Namun bagi Bakar, caranya tersenyum tipis saja sudah cukup membuat dadanya terasa aneh.Begitu pria itu pamit, Bakar langsung melangkah mendekati Ria yang sedang beres-beres meja stainless.“Dia mantanmu?” tanyanya datar.Ria berhenti mengelap meja. “Kenapa, Pak?”“Ngajak balikan?” lanjutnya. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan bara kecil yang tak bisa disembunyikan.Ria me

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 117.

    Tiga hari sudah, Ria dan Bakar nyaris tak bertukar sapa.Suasana toko jadi canggung. Bakar tetap datang dengan Wafa seperti biasa, di jam makan siang. Tapi tanpa berani bersitatap dengan Ria langsung.Ria, di sisi lain, menenggelamkan diri dalam pekerjaan, berusaha seolah semuanya baik-baik saja.Namun, setiap kali mereka berpapasan di dapur yang sempit, jantungnya berdegup aneh karena bingung harus bersikap bagaimana.Qalesya memperhatikan keduanya sejak pagi.Ketika melihat Ria menghela napas kesekian kalinya di depan oven, ia langsung memutuskan sesuatu.“Kak Ria, nanti tolong antar pesanan buat Bu Widya ya. Sekalian bantu cek nota,” katanya santai. "Aku bisa antar, Nyah. Bos nggak ada jadwal siang ini," ujarnya menyambar ucapan Qale.“Oke." Qale mengangguk."Aku bisa sendiri, Kak,” potong Ria cepat.“Musim hujan. Daripada pake motor 3 roda atau ojol, sama aja kan diantar Pak Bakar,” jawab Qale lembut, tapi tegas.Bakar hanya mengangguk pelan.Ria tidak membantah lagi, meski ekspr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status