LOGINQale membuka jaket, mengganti baju dan menghapus riasan. Kebaya pernikahan sudah dia kembalikan tadi. Dia langsung mengeluarkan banyak barang tak berguna, membuangnya. Gudang toko “Anak Lipat” sore itu tak lagi pengap seperti sebelumnya.
Setelah itu, ia menuju kos untuk mengambil sisa barang-barang. Dan pulang. Mushaf milik ibu yang tertinggal di rak buku kamarnya, ia peluk sebagai obat rindu. “Ibu, sekarang aku bakal tinggal di toko,” gumamnya, meyakinkan diri. "Lebih murah." Malam itu, saat Qale hendak kembali ke toko, Lea muncul di depan pintu kamarnya. Dia memanggil. "Dek? Qale, kah?" ujarnya pelan, merasakan kehadiran seseorang di depannya. Qale berhenti, menoleh ke samping. "He em, aku." “Kenapa nggak dateng ke pestaku?” tanya Lea datar. Qale mengernyit. Ah, dia ingat dan berkata, “Pesta?” “Eh, lupa ngabarin, ya...” Lea mengangkat bahu pura-pura lupa. Dia berjalan pelan, meraba, mendekati Qale. Qale hanya tersenyum kecil. “Selamat, ya, Kak.” Saat hendak pergi, Lea menahan lengan Qale. “Kamu tau nggak, suamimu itu dulu suka deketin aku. Tapi ya, tahu-tahu lumpuh ... Dan nggak nyangka kamu mau nerima bekasanku," ucap Lea sambil menepuk bahu adiknya. Qale menatap datar Lea. Tatapannya lelah, tapi kali ini tidak merunduk. “Mungkin cuma kemasannya aja yang usang bukan bekas,” katanya pelan. “Tapi masih bisa didaur ulang. Nilai jualnya malah lebih tinggi. Tergantung kreatif atau nggaknya.” Entah mengapa Qale berkata demikian, seakan membela suaminya. Seolah menjelaskan bahwa dia baik saja, dirinya kuat dan jangan kuatir. Lea tercekat. Tak menduga adiknya bisa berkata sarkas kali ini. “Daripada udah tahu barangnya jelek dari awal tapi tetap dipungut. Dipoles pun susah.” Qale melepas rangkulan Lea lalu melangkah pelan keluar rumah. Qale tidak memperhatikan raut wajah Lea, ada seberkas sinis yang tampak. *** Toko deretan ruko dekat pasar itu kembali sunyi. Qale menatap kaca pecah yang belum diganti. Ia tersenyum kecil, lalu melepas dengan hati-hati. Dipasanglah tirai tipis dari kos lalu diberi pita. Agar angin masuk, bersama harapan baru. "Bismillah, mulai lagi." Senyumnya tersungging tipis, menghibur diri sendiri sebelum mematikan lampu dan tidur. Subuh-subuh buta, ia ke pasar. Dengan malu-malu, Qale memohon pada langganan bahan baku tokonya. “Saya janji bayar sore ini. Tolong ya, Bu ... satu hari saja.” Penjual tua yang mengenal Qale sebagai gadis gigih, menatapnya lama, lalu mengangguk. “Tapi nggak bisa banyak.” Qale menunduk, mengangguk ragu sekaligus malu. “Nih, ambil. Cukup buat nyambung hidup, kan?” ucapnya menyodorkan semua yang Qale butuhkan. Tangannya gemetar saat menerima. Air mata tak jatuh, tapi hatinya meluruh dalam syukur. Qale tak henti mengucap salawat. Langkahnya tegap dan cepat, tak sabar untuk beraksi. Siang itu, toko buka agak siang dengan tampilan sederhana. Kaca diganti tirai. Croissayang, Croissantrik, Croissandra kembali dijajakan di sisi trotoar. Suara Qale modal utamanya. Dia tak henti menjelaskan isi dagangannya. Lokasi strategis, dekat terminal kecil dan pasar membuat pembeli berdatangan. Croissant nya ludes dalam dua jam. Sore hari, senyum Qale cerah. Dia kembali ke pasar dengan semangat, melunasi utang tadi pagi. Masih ada sisa modal, jadi dia mengambil bahan tambahan karena esok harus bikin croissant lebih banyak. Hari-hari berikutnya Qale sibuk. Sampai satu malam, saat Qale duduk menghitung laba sambil mengelap baki loyang ... pria itu datang. "Aku suami nelangsa, nunggu istri pulang tapi malah harus dijemput." Qale terlonjak. Dia lupa, entah sudah berapa hari. Tapi, dia enggan mengaku. "Ojolnya bingung ... Aku nggak tau arah pulang!” “Dasar wanita,” gumam pria itu sambil tertawa. “Salah pun nggak mau ngaku.” Mereka duduk berseberangan. Qale canggung ketika suaminya menatap sambil tersenyum. "Udah gede sih cantik, ya." Godanya tertawa. Qale melempar serbet ke arah pria itu, kesal. Dia menolak dipuji. “Cantik dari kolong oven. Gigi gingsul, mata sipit satu, mana ada bagusnya.” “Justru yang nggak keliatan bagus itu biasanya rasanya nikmat,” balas pria itu. “Dan matamu yang sipit itu ... kode Tuhan buat jaga pandangan. Cuma buat suaminya, kelak.” Qale diam. Hatinya menegang. Selama ini, tidak ada yang berkomentar setenang ini tentang kekurangannya. “Seperti kata ibumu ... Cantik itu nggak harus sempurna. Seperti Qalesya.” Sebuah kalimat kecil yang terdengar seperti pelukan. Tapi mengiris rindu dalam. ["Ibu."] Pria itu memutuskan menginap di toko malam ini. Dengan alasan ojol tidak ada yang mau mengantarnya pulang sebab lokasi rumahnya jauh. “Ngapain tinggal di sini? Toko sempit!” protes Qale. “Biar kamu nggak takut tidur sendirian.” Perdebatan pun terjadi. Tapi akhirnya Qale mengalah karena sudah larut malam. Pria itu memejamkan matanya sambil tersenyum tipis. “Sya ... kita udah sah, tapi pasti kamu nggak tau ya, nama suamimu siapa?” tanya pria itu sambil selonjor. Qale melotot. Benar, dia tak sempat membaca siapa nama suaminya saat menandatangani dokumen. Dengan lesu dia menjawab, “...enggak.” Suaminya tersenyum miring, lalu menyodorkan tangannya ke arah Qale. “Qale,” katanya memperkenalkan diri. “Suamimu,” jawab pria itu sambil tertawa. "Nggak sekalian salim, Bu?" Qale sebal, mode serius tapi malah diajak becanda. Dia memukul kakinya. Pria itu meringis, bukan sakit, tapi tersentuh. Ibu Qale dulu suka begitu saat dirinya malas latihan berdiri. Qale buru-buru minta maaf, mengusap bekas pukulannya lalu memijat perlahan. "Sakit, ya?" tanyanya lembut. Ada nada kuatir sebab teringat dirinya yang selalu sendirian. Suaminya menggeleng. “Jangan jatuh cinta, ya...” ucapnya tiba-tiba. Tatapan mereka bertemu. Dan diam mengambil alih semua. Malam itu Qale tidur dalam keadaan duduk, karena sempit. Sesekali gelisah, seperti mimpi terjatuh, tubuhnya ikut kejut. Pria itu lalu mengusap kepalanya perlahan. “Tidur pun kamu gelisah. Tidak merasa aman.” Besoknya, dia memanggil tukang. Memasang kaca baru di toko. Sebelum pergi, pria itu menyerahkan sebuah amplop. “Ini maharmu. Pakai saja buat modal. Mau ikut pulang atau tidak ... terserah. Tapi hakmu sebagai istri tetap aku penuhi. Kewajibanmu ... biar aku simpan dulu.” Qale mengangguk, tak tahu harus jawab apa. Antara senang dan bersalah padanya. Sebelum berbalik, pria itu berkata, “Kalau kamu rindu rumah, tinggal bilang.” Dua minggu berlalu. Usaha Qale perlahan bangkit lagi. Utang pun satu per satu lunas. Karyawan baru direkrutnya karena toko mulai ramai. Suatu malam, Qale duduk di belakang etalase, menghitung uang. Tiba-tiba dia berhenti. Memejam dan bibirnya berucap pelan, tanpa sadar, “Kangen rumah.” Qale terdiam. Baru menyadari sesuatu, sudah lama tidak melihat pria itu. "Sejak kapan, ya?" Dua jam kemudian, pria itu datang. “Mau ikut jalan?” Qale yang sudah siap mengunci toko, langsung mengangguk, terlalu kaget untuk bicara. Mereka naik mobil kecil ke arah pinggiran kota. Tampak sebuah rumah sederhana. Model lama, halaman kecil dengan pagar kayu dan kursi bambu reyot di depan. Qale membeku. “Rasanya ... aku pernah lihat rumah ini...” gumamnya. “Ini,” kata pria itu, “boleh kamu sebut ... rumah.” Kadang, rumah bukan tempat kita tinggal, tapi orang yang berani tinggal bersama ... saat diri tak punya apa-apa selain luka. Qale mengangguk, menoleh ke pria disampingnya, matanya berkaca-kaca. "Aku pulang." . .Malam turun perlahan di atas tembok tinggi lapas.Di dalam sel bernomor 27, Lea duduk di ranjang sempitnya. Angin dari jendela kecil meniup ujung rambut pendeknya, membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi.Di pangkuannya, kertas putih terlipat rapi. Pena hitam di tangannya sempat ragu menari, tapi akhirnya bergerak pelan.Tulisan pertama muncul:“Untuk Deni, suamiku.”Lea menarik napas panjang. Setiap huruf yang ia tulis terasa berat, tapi juga menenangkan.“Aku sudah lihat lukisanmu. Dari ayah.Aku tahu kita merindu—karena tembok ini, tapi karena ingatanku terpaku padamu.""Aku baik-baik saja. Cukup mengingat kalau cintamu pernah menyelamatkanku sekali, waktu aku nyaris gak punya alasan buat bertahan.”Lea berhenti menulis. Air matanya jatuh di atas kertas, meninggalkan noda kecil. Ia tersenyum samar, menatap langit hitam di luar jeruji.“Aku pikir kebahagiaan itu tentang bebas.Tapi ternyata, bebas itu tentang hati yang tenang. Terima kasih sudah ngajarin aku mencintai lagi.”
Gerimis makin rapat saat mereka meninggalkan pemakaman.Bakar masih diam, menatap jalanan basah di depan. Ria di sebelahnya, memeluk tas kecil di pangkuan, matanya sesekali menatap jendela yang dipenuhi titik-titik hujan.Radio memutar sisa lagu ~So Far Away, tapi kini suaranya terdengar lebih tenang.“Bapak lebih tenang,” ucap Ria akhirnya, pelan.Bakar menoleh sekilas, bibirnya bergerak membentuk senyum tipis. “Kadang yang bikin berat,” katanya pelan, “rasa bersalah yang belum selesai.”Ria mengangguk pelan. “Kalau gitu … terima kasih udah ngajak aku ke sana, Pak. Aku jadi ngerti sesuatu.”“Ngerti apa?”“Bahwa kadang, luka yang gak disembuhin bisa bikin kita nyakitin orang yang gak salah.”Bakar terdiam. Matanya masih ke depan, tapi rahangnya sedikit mengeras.“Termasuk kamu?” tanyanya datar, nyaris seperti gumaman.Ria tak menjawab. Hanya senyum kecil di ujung bibirnya yang seolah berkata ya, tapi aku udah gak marah lagi.Mobil terus melaju, menyisakan keheningan yang aneh—bukan di
Lea mendengus kesal. “Aku hanya…”Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu di dadanya. “Aku hanya ingin Ayah percaya … bahwa aku gak lagi jadi orang yang sama.”Suara itu pelan, tapi menggigit.“Aku tahu aku salah. Aku nyakitin banyak orang, termasuk Ayah … tapi bukan berarti aku gak bisa berubah.”Hasan menatap putrinya lama. Ada sorot ragu, tapi juga iba yang ditahannya sejak lama.“Ayah gak pernah berhenti pengin percaya, Lea,” ucapnya tenang. “Tapi percaya itu bukan sesuatu yang dikasih. Itu harus kamu buktiin.”Lea menunduk, mengusap wajahnya cepat-cepat. “Aku cuma takut gak sempat buktiin, Yah.”Hasan tersenyum tipis, tapi penuh getir. “Masih ada waktu, Nak. Selama kamu gak menyerah sama dirimu sendiri.”Sunyi.Suara jam dinding terdengar jelas, diikuti derit halus kursi yang bergeser.“Ayah…” panggil Lea pelan.Hasan menatapnya lagi.“Aku cuma pengin dianggap manusia lagi,” ucap Lea, kali ini hampir berbisik. “Bukan kesalahan yang selalu diingat.”Hasan memejamkan mata sejenak
Sore itu toko tutup lebih cepat. Ria membereskan loyang dan adonan yang belum sempat diolah.Rini sudah pulang, menyisakan aroma roti setengah matang yang tertinggal di udara.Telepon dari Nadia baru masuk menjelang magrib."Gimana Nad?" tanya Ria cemas. Nadia sempat ikut menyusul ke rumah sakit dengan motornya tadi.“Udah aman, kata dokter cuma kontraksi ringan. Tapi harus banyak istirahat,” ucapnya lega.Ria mengembuskan napas panjang, duduk di kursi dekat pintu.Syukurlah.Tapi di sela lega itu, ada rasa lain yang menghantui, apakah usulnya soal perekrutan tadi bikin Qalesya kepikiran?Suara langkah sepatu terdengar tepat kala pintu terbuka. Bakar baru datang, menenteng plastik berisi minuman.“Aku kira kamu udah pulang,” katanya datar sambil meletakkan satu botol di depan Ria.“Lagi nunggu kabar, Pak,” jawab Ria pelan.“Qale udah baikan. Aku barusan dari rumah sakit.”“Oh…” Ria menunduk. “Syukurlah.”Hening beberapa detik. Hanya bunyi kipas angin yang berputar lambat.“Kamu tadi p
Keesokan siang, udara toko terasa menggoda oleh aroma butter dan adonan croissant yang baru keluar oven.Ria sibuk di dapur dengan Rini. Nadia di depan berdua dengan Qalesya. Pemilik Anak Lipat itu menghindari memegang butter, mual katanya.Bakar baru datang dengan Wafa. Dia langsung ke belakang, matanya tak lepas dari gerak-gerik Ria.Terlebih setelah pria kemarin, datang lagi ke toko. Kebetulan Ria ke depan membawa baki croissant untuk dipajang di etalase.Pria itu menghampiri Ria. Bakar melihatnya tersenyum yang entah kenapa terasa menyebalkan di matanya.Ria berbicara seperlunya. Pelan dan tetap sopan. Namun bagi Bakar, caranya tersenyum tipis saja sudah cukup membuat dadanya terasa aneh.Begitu pria itu pamit, Bakar langsung melangkah mendekati Ria yang sedang beres-beres meja stainless.“Dia mantanmu?” tanyanya datar.Ria berhenti mengelap meja. “Kenapa, Pak?”“Ngajak balikan?” lanjutnya. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan bara kecil yang tak bisa disembunyikan.Ria me
Tiga hari sudah, Ria dan Bakar nyaris tak bertukar sapa.Suasana toko jadi canggung. Bakar tetap datang dengan Wafa seperti biasa, di jam makan siang. Tapi tanpa berani bersitatap dengan Ria langsung.Ria, di sisi lain, menenggelamkan diri dalam pekerjaan, berusaha seolah semuanya baik-baik saja.Namun, setiap kali mereka berpapasan di dapur yang sempit, jantungnya berdegup aneh karena bingung harus bersikap bagaimana.Qalesya memperhatikan keduanya sejak pagi.Ketika melihat Ria menghela napas kesekian kalinya di depan oven, ia langsung memutuskan sesuatu.“Kak Ria, nanti tolong antar pesanan buat Bu Widya ya. Sekalian bantu cek nota,” katanya santai. "Aku bisa antar, Nyah. Bos nggak ada jadwal siang ini," ujarnya menyambar ucapan Qale.“Oke." Qale mengangguk."Aku bisa sendiri, Kak,” potong Ria cepat.“Musim hujan. Daripada pake motor 3 roda atau ojol, sama aja kan diantar Pak Bakar,” jawab Qale lembut, tapi tegas.Bakar hanya mengangguk pelan.Ria tidak membantah lagi, meski ekspr







