Ayah memintanya pulang hari itu. Suasana ruang makan rumah mereka begitu sunyi, seperti ruang tunggu sebelum eksekusi.
Qale duduk di hadapan pria itu—ayah yang tak pernah benar-benar jadi rumah. Ada rasa iba melihat lelaki di hadapannya ini. Rambut mulai memutih, kerutan kasar kian tampak. Namun, ayah tetap angkuh. Merasa paling berhak atas hidup Qale. Dia meneguk pelan teh tawar yang sejak tadi tak disentuhnya. Hambar, seperti hidupnya. “Ayah tahu kamu malu,” ucap ayahnya pelan tapi penuh tekanan. "Malu karena punya kakak cacat dan sekarang harus menikahi pria lumpuh," katanya sambil memainkan gelas di atas meja. Ayahnya mengatakan bahwa dia juga sebenarnya tidak tahu persis siapa pria yang akan melamar Qale. Dia hanya menerima surat tulisan tangan istrinya yang mengatakan bahwa akan datang seorang pria lumpuh dan buta mata kiri yang akan menikahi putrinya, sebagai balas budi. Entah dimana ibu Qale pernah bertemu keluarga ini. Yang jelas, beberapa bulan lalu, urusan mereka datang ke rumah dan menagih perjanjian mereka di masa lalu. Qale masih diam menunduk, ayahnya pun bicara lagi. "Kakakmu cacat. Jika menikah dengan pria lumpuh, itu bukan pernikahan karena cinta … itu bentuk penyiksaan. Dia tak bisa memenuhi kewajiban sebagai istri.” Qale mengangkat wajahnya. Matanya tajam tapi lelah. “Apa bedanya dengan pacarnya itu? Sama aja kek nikah dengan pria cacat lainnya, kan?" "Beda. Mereka saling mencintai," tegas Hasan Sasmita. Tatapannya menajam seolah menantang Qale untuk debat. Qale tertawa kecil, merasa lucu. "Lalu kalau aku, tidak saling mencintai itu gapapa, ya?" sindirnya dengan senyum tipis. Sang ayah mendesis. “Yang itu … pilihan ibumu. Restu orang tua.” Diam. Kalimat itu seperti paku yang menghantam dada Qale. “Kau ingin dianggap anak? Bantu kakakmu. Gantikan tempatnya. Tunjukkan bahwa kau bisa berbakti meski hanya dengan satu hal—menikah.” “Menikah bukan tugas sosial, Yah,” Qale membalas, suaranya dingin. “Kalau aku menikah hanya untuk disuruh, maka aku bukan anak … aku budak.” Hasan berdiri. Suaranya meninggi. “Buktikan kalau kamu bukan anak pembawa sial! Restu orang tua itu sama dengan restu Tuhan. Mau dilaknat karena durhaka, hah?” Qale menggigit bibir bawahnya, menahan guncang. Tapi kali ini tak ada air mata. Tangisnya sudah kering. Hatinya tak lagi mencari pengakuan. Dia hanya lelah. Dia berdiri, menatap lurus ayahnya yang siap menerkam. “Urus saja pernikahan itu. Aku akan datang.” Lalu Qale pergi. Tanpa salam. Tanpa peluk. Tanpa hati. Qale memukul dadanya pelan sambil jalan terburu, tubuh dan pikirannya lelah. Ingin istirahat di kamarnya tapi urung. Qale memilih pulang ke kos, memeluk lukanya sendiri, seperti biasanya. *** Sore Hari, di Toko Croissant. Langit berwarna oranye saat Qale duduk di meja kasir. Toko "Anak Lipat" hampir tutup. Aroma croissant keju dan coklat masih tersisa menggantung di udara. Qale sedang merapikan baki loyang ketika seseorang mendorong pintu toko. Lelaki muda. Di kursi roda. Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah. Mata kanannya tajam. Mata kirinya … kosong. Entahlah, itu seperti bekas luka masa lalu. “Hai,” ucapnya ringan. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Bukan manis, tapi penuh teka-teki. Qale mengernyit. “Maaf, Kak. Toko udah mau tutup.” “Aku tahu. Tapi aku nggak datang untuk beli croissant.” Pria itu tersenyum miring. Tangannya mengetuk-ngetuk lengan kursi rodanya. “Aku mau pesan … waktu.” Qale mengerutkan alis. “Maaf?” Pria itu menatapnya lurus. Tanpa kedip. “Waktu. Untuk bicara. Tentang ibumu … dan rencana kami yang belum selesai.” Qale terdiam. Napasnya tercekat. Ada sesuatu dalam nada suara pria itu yang membuat waktu seperti berhenti. "Aku ... Bagian masa lalumu," katanya tenang. Qale membeku. “Apa?” “Janji mendiang ibumu.” Tangan Qale langsung meraih sendok kayu besar dari meja. “Bilang ibu lagi, gue tabok! Sokad, lu.” (sok dekat) Lelaki itu malah tertawa. “Kamu masih kek bocil SD pas nyariin crayon si embo. Marah dulu, tanya belakangan.” Qale berhenti. Jantungnya berdebar. “Dari mana kamu tahu—?” “Banyak hal?” potong lelaki itu sambil memutar kursinya ke dekat meja. “Aku tahu kamu suka gambar waktu kecil, tahu tempat kamu biasa ngumpet di rumah lama. Bahkan tahu kamu benci kuaci tapi pura-pura suka karena Lea suka.” Qale mencengkeram tepian meja. “Siapa kamu?” Ada sedikit rasa takut padanya. Dia benci kuaci karena suka nyelip di gigi gingsulnya. "Kamu lupa, kan?" sambungnya lagi. Qale terdiam. Mengedip pelan, suaranya mendadak tersangkut di tenggorokan. “Aku bisa bantu kamu cari tahu ada kejadian apa dengan ibumu.” Dia menatap Qale dengan tenang. "Tapi ... coba senyum dulu sampai gingsulnya keliatan," godanya sambil tersenyum. Hening. “Kalau aku nggak butuh bantuan?” Tatap Qale datar. Boro-boro mau senyum, dia penasaran akut. “Kalau begitu,” dia mengambil satu croissant di baki, menggigitnya pelan, “anggap ini silaturahmi kecil.” “Enak. Tapi pahit. Sepertimu,” katanya sambil mengedip sebelah mata—mata yang masih bisa melihat. “Keluar.” Suara Qale rendah, tapi bergetar. Lelaki itu menyesap kopi dari gelas yang ada di meja display. Dia seolah tahu segalanya. Termasuk letak sendok, loyang, bahkan minuman Qale yang belum dibereskan. “Dan itu-" Dia menunjuk ke arah mata Qale. "Aku serius soal matamu,” katanya sambil bergerak mundur dengan kursinya. “Kerjasama denganku, aku bisa sembuhkan matamu yang menyipit itu. Bukan sulap. Bukan bohong. Ibumu percaya padaku.” Qale ingin menjerit. Tapi suara itu terlalu datar untuk dianggap ancaman. Terlalu tenang untuk dianggap gila. Dan terlalu menggiurkan untuk diabaikan. Dia tahu keinginannya, tentang mata Qale. Saat lelaki itu mencapai pintu, ia menoleh. “Kamu pikir semua ini kebetulan? Aku datang bukan karena ayahmu. Aku datang karena kamu ... memanggilku.” Qale berdiri terpaku. Menatap lurus padanya. “Kamu kira cuma kamu yang ingin tahu siapa yang mencelakai ibumu?” Pintu berbunyi ringan saat ia keluar. Qale hanya menatap lantai. Dia meraba mata kanannya yang sipit sebelah. Kadang, Qale minder merasa dirinya tidak sempurna. Saat kecil, dirinya diejek kalau matanya begitu sebab suka ngintip orang, tukang kepo, sampai di-bully Hitachi ~hitam tapi cina. Tapi, dia membayangkan Lea, dunianya gelap sementara dia masih bisa melihat. Dari situ, semangatnya tumbuh lagi, ketidaksempurnaan itu dia tutupi dengan poni yang menjuntai sampai mata. Tak lama, ia sadar—ada sesuatu di bawah cangkir kopinya, yang diserobot pria tadi. Sebuah kartu, bertulisan tangan. Matanya seketika mengembun membaca kalimat : [Namanya Qalesya Namari Hasna.] "Ibu." Dia berbisik mengusap kertas kecil usang tadi. "Ibu nggak mungkin janjiin aku ke orang asing. Nggak mungkin, kaaaann!" Qale menatap lagi arah darimana pria itu datang. Dalam hatinya berkata, "... tapi kenapa aku ngerasa wajah itu nggak asing, ya?" . .Qale membuka jaket, mengganti baju dan menghapus riasan. Kebaya pernikahan sudah dia kembalikan tadi. Dia langsung mengeluarkan banyak barang tak berguna, membuangnya. Gudang toko “Anak Lipat” sore itu tak lagi pengap seperti sebelumnya. Setelah itu, ia menuju kos untuk mengambil sisa barang-barang. Dan pulang. Mushaf milik ibu yang tertinggal di rak buku kamarnya, ia peluk sebagai obat rindu. “Ibu, sekarang aku bakal tinggal di toko,” gumamnya, meyakinkan diri. "Lebih murah."Malam itu, saat Qale hendak kembali ke toko, Lea muncul di depan pintu kamarnya. Dia memanggil."Dek? Qale, kah?" ujarnya pelan, merasakan kehadiran seseorang di depannya.Qale berhenti, menoleh ke samping. "He em, aku."“Kenapa nggak dateng ke pestaku?” tanya Lea datar.Qale mengernyit. Ah, dia ingat dan berkata, “Pesta?”“Eh, lupa ngabarin, ya...” Lea mengangkat bahu pura-pura lupa. Dia berjalan pelan, meraba, mendekati Qale.Qale hanya tersenyum kecil. “Selamat, ya, Kak.”Saat hendak pergi, Lea menahan len
Malam itu, Qale bermimpi.Dia sedang menggambar di lantai rumah lamanya. Crayon berserakan. Ibunya mendorong kursi roda kosong ke sebuah kamar di ujung lorong. Samar, terdengar suara sang ibu dari dalam, membujuk agar seseorang mau makan dan minum obat."Ayo ... sedikit saja. Ini bubur kesukaanmu."Kemudian ibunya keluar, menghampiri Qale. "Ayo, kita pulang." Sang ibu menarik paksa putrinya. "Tapi crayonku ... (ketinggalan)."Ibunya hanya tersenyum samar. Pelan-pelan, dunia berubah menjadi kabut.Qale terbangun dengan napas berat. Tangannya masih meraba bawah bantal, seperti mencari sesuatu yang hilang. Crayon itu … crayon merah yang patah. Warnanya memudar. Ia meraihnya, tapi selalu menghilang tepat saat jarinya menyentuh.“Nanti kita cari bareng, ya,” suara ibunya terdengar seperti gema dari masa yang sudah mati.Crayon itu masih belum ia temukan. Bahkan setelah ibunya tiada.***Hari-hari Qale kian sepi. Karena diskors, berita video viral, sehingga toko "Anak Lipat" nyaris kosong.
Ayah memintanya pulang hari itu. Suasana ruang makan rumah mereka begitu sunyi, seperti ruang tunggu sebelum eksekusi. Qale duduk di hadapan pria itu—ayah yang tak pernah benar-benar jadi rumah. Ada rasa iba melihat lelaki di hadapannya ini. Rambut mulai memutih, kerutan kasar kian tampak. Namun, ayah tetap angkuh. Merasa paling berhak atas hidup Qale.Dia meneguk pelan teh tawar yang sejak tadi tak disentuhnya. Hambar, seperti hidupnya. “Ayah tahu kamu malu,” ucap ayahnya pelan tapi penuh tekanan. "Malu karena punya kakak cacat dan sekarang harus menikahi pria lumpuh," katanya sambil memainkan gelas di atas meja. Ayahnya mengatakan bahwa dia juga sebenarnya tidak tahu persis siapa pria yang akan melamar Qale. Dia hanya menerima surat tulisan tangan istrinya yang mengatakan bahwa akan datang seorang pria lumpuh dan buta mata kiri yang akan menikahi putrinya, sebagai balas budi. Entah dimana ibu Qale pernah bertemu keluarga ini. Yang jelas, beberapa bulan lalu, urusan mereka datan
Qale mengulang-ulang pesan suara itu. Kalimat berat yang mengendap dalam rongga kepala: “Nikmati satu per satu karmamu.” Siapa? Kenapa sekarang? Apa yang mereka tahu … semuanya kah? Tangannya gemetar saat menekan layar, mencoba mencari akun yang menyebarkan video. Tapi akun itu sudah hilang. Dihapus, dibersihkan seolah tak pernah ada. Ia menelusuri kolom komentar. Banyak yang membawa nama lokasinya—rumah lamanya. Bahkan ada yang tahu tanggal kejadian. Beberapa malah menyebut nama ibunya. Menggali luka yang belum sempat tertutup. Membuka ingatan samar yang ingin dia lupakan. Ting! DM masuk. Anonim. Tanpa foto. Hanya satu file suara. Qale ragu, tapi rasa penasarannya menang. Dia menekan tombol itu. Klik. “Maaf… maafin Ibu, Qale… Ibu nggak bisa lindungi kamu. Maafin Ibu ya, Nak…” Suara itu ... pelan. Rapuh. Seperti berbisik seolah takut ketahuan. Tangisan lirih menyertainya. Gemetar. Lelah. Putus asa. Qale menutup mulutnya, menggigit jarinya sendiri. Mat
"Nona, mari ikut kami.” Qale menghentakkan kakinya, berdiri tegak menghadapi dua pria bertato yang baru saja menghadang di depan motor ojek online yang ditumpanginya. Dia baru saja keluar dari kosan, hendak ke tempat kerjanya. “Suruhan Ayah? Minggir,” jawabnya dingin, menahan amarah. Entah mengapa ayahnya kumat lagi, ikut campur di hidupnya setelah sekian tahun. Salah satu pria itu menahan stang motor. “Jangan melawan.” “Berani sentuh aku, dan aku bakal teriak!” Tangan kasar mereka mencengkeram lengan Qale. Ia meronta, berusaha melepaskan diri. Ojol motor yang dipesannya tadi langsung kabur melihat keributan. “Lepas!” pekik Qale sambil menyikut perut lelaki itu. Pria itu meringis, tapi temannya sudah menarik tubuh Qale lebih kuat lagi. Gadis itu melawan, menendang keras lutut lawannya. Dalam kekacauan itu, Qale berhasil lolos. Ia berlari di antara kendaraan, menyelinap masuk ke dalam gang kecil. Langkah cepatnya nyaris membuat terpeleset, tapi ia terus berlari tanpa