Rumah bercat putih itu berdiri anggun di balik pagar kayu, bergaya Eropa klasik dengan jendela besar dan tirai linen yang tertata rapi. Dua jam dari kota, tapi terasa seperti dunia lain, lebih tenang, lebih jujur.Qale turun lebih dulu, berdiri terpaku di halaman. Baru kali ini dia puas menatap bangunan itu dari luar. Wafa di kursi rodanya menatap istrinya dari sisi mobil.“Masuk, Sya. Angin mulai dingin,” katanya pelan, hampir seperti bisikan angin.Langkah pertama Qale terasa lebih ringan. Rumah itu wangi kayu tua, dengan lukisan kecil di dinding juga bunga gantung di sisi teras.Dia mendorong kursi roda suaminya masuk, mendekati meja bundar dekat jendela di ruang tengah. Di atasnya, ada sebuah map biru dan secangkir teh melati mengepul pelan."Aku pengen kamu lihat ini sebelum kita makan." Wafa meminta Qale duduk sambil mendorong map ke hadapannya.Qale membuka map. Matanya tertumbuk pada serangkaian surat rujukan medis, pengantar dokter, hingga dokumen perjalanan rumah sakit luar
Ruang kecil di belakang kantor pengadilan sore itu terasa pengap, meski pendingin ruangan menyala.Hasan duduk di ujung meja, tangannya menggenggam botol air mineral berukuran sedang. Matanya menatap kosong ke depan, ke arah Wafa yang duduk tenang di kursi roda, namun tak menyembunyikan kecemasan.Dua pengacara duduk mendampingi mereka, menjaga kejelasan prosedur. Hening. Tak ada suara selain detak jam dinding.“Tolong ... ceritakan semuanya,” kata Hasan. Suaranya serak, lirih, seperti menggantung beban yang terlalu lama tak diucapkan.Wafa mengangguk. Dia menatap map yang dibawanya, lalu membuka lembar demi lembar dokumen kronologi. Di antara semua yang tertulis, hal paling sulit disampaikan adalah kebenaran yang selama ini dia tahan sendiri.“Malam itu, Qalesya dibujuk anak-anak tetangga untuk main ke halaman belakang,” ujar Wafa pelan. “Lea tahu, dan dia sengaja mengambil boneka kesayangan Sya dari kamar. Ditaruh di dekat kolam...”Hasan mengernyit. “Boneka...,” desahnya berat. Ben
Ria mengangguk. "Hu um. Baru saja," jawabnya pelan, sedikit sungkan. Lelaki itu sudah lama tak terlihat, dan kini... tampak begitu berbeda. Ria mengamati Wafa yang langsung pamit lagi tanpa banyak bicara. "Masih pakai kursi roda, tapi perasaan ada yang beda," gumam Ria dari dalam toko. "Sebenarnya hubungan mereka apa, sih? Pacar, saudara, pasangan?" lanjutnya, mata mendelik ke atas sambil berpikir keras. Sejak awal masuk kerja, tak pernah sekalipun Qale menjelaskan siapa pria itu.*** Langit Jakarta pagi itu menggantung mendung tipis—seolah ikut memeluk kecemasan yang menggumpal di dada Qalesya. Ia berdiri di lobi pengadilan, menggenggam erat map berisi surat-surat ibunya. Bukan bukti, tapi bekal keberanian. Elan duduk tak jauh darinya. Sesekali menatap layar ponsel, lalu kembali diam. Ia tahu ini bukan waktunya melontarkan candaan. Sorot matanya tak lepas dari Qale, yang tampak tenang di luar, meski jiwanya seperti kapal yang dihantam gelombang dalam diam. "Lo siap?" tanya Elan
Qale menoleh ke arah Elan. "Hum?" Elan tersenyum miring, dia menggeleng pelan lalu memilih pergi dari sana. Duduk di kursi sambil melihat hasil jepretannya tadi.Qale memutari etalase dan menarik kursi kasir. Dia duduk membaca kertas yang terjatuh tadi. [Untuk Qalesya.][Kalau suatu hari kamu harus memilih antara memaafkan atau melanjutkan agar kecewamu sembuh, pilihlah yang membuatmu tetap bisa tidur di malam hari.][Ibu sayang kamu.]Senyum sisa siang itu Qale bubuhkan ke lembar kertas berisi tulisan tangan ibunya. Dia menghempas napas lega, mendongakkan kepala dan memejam. Seolah mengatakan 'alhamdulillah' meski semua belum selesai.Menjelang petang, toko tutup. Ria dan Elan sudah pulang sejak tadi. Qale melihat sekeliling ruang. Ada yang terasa kosong."Tata. Kemana, sih? Kok nggak ngasih kabar," ujarnya pelan sambil melihat chat mereka yang kosong."Katanya mau ngajak aku pulang, kapan?" sambungnya menaruh harap. Dia menutup semua gorden jendela, mengunci pintu lalu mematikan l
Qalesya bergeming. Rasa iba sekaligus kecewa masih menggantung di sudut matanya.Dia menghela napas. Menghampiri sang ayah yang berdiri di depan pintu toko.Qale mengajaknya duduk di kursi rotan dekat jendela, memandangi pohon di sisi jalanan yang masih basah oleh guyuran dinas PU. Tangannya tenang di atas paha, sementara pikirannya sibuk memutar ulang kata-kata dari surel yang baru ia baca tadi—penawaran damai, dari pihak Lea.Hasan datang pagi-pagi sekali, membawa kantong berisi buah dan teh celup. Ia duduk berhadapan dengan Qale, tubuhnya terlihat tegang."Kalau cuma buat damai demi reputasi, Ayah pulang aja," ujar Qale, datar.Hasan menghela napas. "Ayah nggak mau kamu berpikir bahwa Ayah nyuruh kamu tunduk. Ayah cuma pengin kamu punya ruang buat mikir jernih.""Ruang jernih ... dulu, ibu juga nggak punya," balas Qale cepat. "Sekarang, aku juga begitu."Hasan akhirnya bicara soal warisan. Tentang aset, pembagian keuntungan masa lalu, dan surat legal yang siap ia tandatangani jika
Pintu toko baru saja ditutup Elan. Dia juga memasang tanda closed. Berjaga agar konflik keluarga ini tidak jadi konsumsi publik. Meski dirinya tak tahu apapun.Ibu Deni menatap dingin pria asing ini. Dia mewanti agar Elan tak ikut campur urusan mereka."Siapa kamu!" tanyanya dengan mata menyalak."Malaikat Amaludin," jawab Elan singkat tanpa melihat wajah ibu Deni. Dia memilih berdiri di kusen pintu penghubung ke dapur, bersedekap.Qale meletakkan ponselnya di atas etalase. Dia mencoba menanggapi dengan sabar. "Duduk, Kak, Nyonya," katanya sambil menunjuk kursi tak jauh dari mereka.Ajakan itu diacuhkan. Lea menuding wajah Qale. "Cabut perkara!" sentak Lea. Telunjuknya menyentuh dahi Qale. "Muka polos kelakuan iblis!" maki ibu Deni, sambil memegangi lengan Lea.Qale masih diam. Dia menghargai Lea di depan Ria dan Elan. Membalas pun percuma, hanya menambah kebenciannya nanti. Sembuh dan menerima ingatan masa lalu saja menguras energi, apalagi soal kecewa. Melihat Qale hanya diam, ke