Share

Berpisah?

Aku memejam, menikmati guyuran air yang menerpa kepala. Dalam hati berharap agar semua ini hanya mimpi di siang hari, dan tidak benar-benar terjadi.

Namun, keberadaanku di sini menyentak kesadaran. Bahwa aku benar-benar ada di situasi amat sialan, yang mempertemukan kembali dengan Danar.

Dalam balutan dingin yang mulai menusuk, ingatanku lagi-lagi mengembara jauh. Menyusuri lorong waktu, saat aku dan Danar masih bersama dalam sebuah ikatan. Cinta ... dan apa pun itu.

“Udah lama?” Danar melangkah cepat melintasi pintu kaca. Senyuman yang ia tampakkan mampu melebur kerinduan yang menggunung dalam hati ini.

“Lama!” Aku mencebik, lalu mendekapnya erat.

“Tadi delay sejam. Apa mungkin pesawatnya ngerjain kita?” Danar membalas pelukan, dan mengusap-usap kepalaku. Hal yang selalu berhasil menyusupkan syahdu.

Tahu apa yang paling membahagiakan saat menjalani hubungan jarak jauh? Yaitu saat bertemu seperti sekarang. Meski hanya bertemu setahun sekali, bagiku ini lebih dari cukup.

Kabar baiknya, kami telah bertunangan saat ia datang tahun lalu, tepat saat hubungan jarak jauh ini menyentuh tahun ketiga.

Dalam setahun, Danar akan menghabiskan tiga sampai empat hari di Makassar. Pernah ia menawarkan agar aku yang gantian berkunjung ke Bali, tapi Ibu tidak mengizinkan.

“Kalo Danar yang ke sini, Ibu izinkan. Tapi, jangan menurunkan martabatmu sebagai perempuan, dengan tinggal ke rumah Danar, kecuali sebagai menantu.”

Begitu kata Ibu, dan aku hanya bisa menurut. Meski dalam hati ingin rasanya ikut Danar sekali-kali. Toh, kami sudah bertunangan. Akan tetapi, tetap saja, Ibu dan Ayah tidak memberiku izin.

“Orang sudah menikah saja bisa cerai, Rin. Apalagi masih tunangan.” Ibu menatapku penuh arti, dan baru kusadari apa maksudnya.

Maka, aku hanya menurut saja. Saat Danar ke Makassar pun, Ibu meminta ia menginap di rumah, daripada di hotel. Kami berinteraksi selayaknya keluarga, tak terjadi apa pun. Sampai kami berada dalam satu kesempatan, berdua dalam keadaan rumah tengah sepi.

“Pulang lusa bisa nggak?” Kutarik tangan Danar, agar ia semakin mengeratkan pelukan. “Masih kangen.” Aku menambahkan.

Saat ini, kami hanya berdua saja di rumah. Saling memeluk, sembari menyaksikan acara televisi di sore yang berhias gerimis.

“Nggak bisa. Kan udah seminggu?”

Aku berbalik, membuat wajah kami semakin dekat. Aku yang memang sejak tadi di pangkuannya mencebik. “Kerja mulu!”

Dikecupnya bibirku sekilas, lalu tersenyum. Matanya menatapku dengan lembut. “Buat masa depan kita juga, ‘kan?”

Merasa dekapan Danar di pinggang kian erat, aku mendekat. Menghapus jarak di antara kami. Berusaha meleburkan rasa yang kian menjajah hati.

Entah berapa lama kami saling menyentuh, tanpa jarak. Sampai usapan lembut Danar membuatku tersentak dan mendorongnya.

“Nggak ... aku ... aku nggak bisa!” ucapku putus-putus, sembari mendekap tubuh. Terusan yang tadi kukenakan, telah teronggok di bawah sofa sekarang. Segera kuraih, kemudian memakainya dengan asal.

“Kenapa?” Danar merengkuh, tapi aku berusaha menjauh.

“Aku nggak bisa.” Aku menggeleng dengan air mata mulai menitik. Kemudian berlari menuju kamar. Meski harus berdamai dengan hati, logika, juga ... hasrat.

Setelah sore itu, semua hal di antara aku dan Danar terasa canggung. Aku yang biasa mendekapnya lebih dulu, entah mengapa disergap rasa yang aneh. Apalagi saat Ibu menatapku, rasa bersalah itu semakin besar.

Sementara itu, Danar terasa mengambil jarak. Apakah ia kecewa karena kemarin kami tidak melakukannya? Tapi ... bukankah kami memang belum boleh melakukannya?

“Tunggu aku.” Danar mengecup keningku lama, kala aku mengantarnya ke bandara. Entah mengapa, melepasnya kali ini terasa begitu berat sekarang.

“Hati-hati.” Kupeluk Danar sekali lagi, sebelum ia memasuki pintu kaca. Masih sempat pula kubalas lambaian tangannya seperti saat ia berpamitan.

Aku tidak pernah menduga, jika itu adalah pelukan terakhir kami. Sebab, setelah hari itu ia tidak pernah lagi datang. Baik sekadar untuk berlibur seperti sebelumnya, pun membalas pesanku.

Mengingat itu semua, lagi-lagi dadaku terasa sesak.

Kuputar kran air, yang semula hangat menjadi dingin. Tak peduli jika besok seluruh tubuh akan dipenuhi ruam merah atau apa pun itu. Kugosok tubuh dan bibir dengan kasar berkali-kali, berharap jejak yang ditinggalkan Danar bisa menghilang. Sesaat kemudian, aku meluruh ke lantai dan menangis sejadi-jadinya.

Apa yang baru saja kami lakukan mengingatkanku pada apa yang pernah terjadi dulu. Lagi-lagi, aku nyaris menyerah padanya, pada kelembutannya yang masih sama.

Bagaimana aku bisa membiarkan Danar menyentuhku lagi setelah apa yang dilakukannya? Bagaimana jika tadi aku lepas kendali dan membiarkan hubungan terlarang terjadi antara kami?

Ah ... aku masih beruntung, karena alarm ponsel yang berbunyi. Alarm yang memang di-setting agar berbunyi tepat jam tiga pagi, di hari Senin dan Kamis. Sebab, di dua hari itu Arsyl akan berpuasa, dan aku yang menemaninya bangun.

Arsyl?

Mengingatnya, aku segera bangkit, dan mematikan rinai air dari shower. Gegas kusambar jubah mandi, dan meninggalkan kamar mandi dengan tubuh menggigil. Begitu sampai di luar, segera kusambar ponsel untuk melakukan panggilan.

“Halo?” Terdengar suara serak di seberang sana.

“Kamu baru bangun?” Aku bertanya pelan, berusaha menyembunyikan suara serak dan sengau.

“Kamu kenapa?” Suara di seberang terdengar panik. “Kamu kedinginan?”

“Arsyl, aku—“

“Atau tidur terlambat karena minum kopi?”

“Arsyl—“

“Arini, sudah kubilang, kan—“

“Aku baik-baik saja.” Sialnya, aku terbatuk di akhir kalimat.

“Kamu flu? Sudah kubilang, di sana dingin. Kalau ada kegiatan sampai malam, pakai jaket sama kaus kaki.”

“Sudah jam empat lewat. Nanti kamu terlambat.” Aku mengingatkan. “Ada makaroni di kulkas, kamu tinggal hangatkan saja.”

Lalu, aku mengabsen beberapa hal yang biasanya ia jadikan menu. Entah mengapa, kali ini justru aku yang mencemaskannya. Jika boleh jujur, ingin rasanya pulang dan menemani Arsyl makan. Padahal, biasanya aku akan menunggu dalam kantuk dan sebal.

“Nanti kegiatan kamu mulai jam berapa?” Ia bertanya, terdengar sambil mengunyah.

“Pagi. Kenapa?”

“Kalo gitu, tidur aja lagi. Ntar gantian aku yang bangunin.”

Aku hanya mengangguk, seakan-akan ia ada di sini. Arsyl benar, aku butuh tidur. Sebab, sejak semalam tak sedikit pun mata ini memejam.

“Setelah sarapan, minum obat, baru keluar.”

“Hmm ....” Kujawab seperlunya, sembari membekap mulut dengan telapak tangan. Mendengar suaranya, rasa bersalah menenggelamkanku kian dalam.

“Ya udah. Have a nice day, Honey.”

Kudekap ponsel di dada, dan lagi-lagi air mata ini jatuh tanpa diminta.

**

Kegiatan reuni pagi ini diawali dengan senam di halaman samping hotel. Suasana begitu meriah, tapi aku hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Tak enak rasanya, tampil ke sana dengan mata bengkak dan wajah sembab. Es batu yang kuminta untuk mengompres mata tak bekerja banyak.

'Kamu di mana?'

Begitu pesan dari nomor asing masuk, dan hanya kuabaikan. Meski tak ada nama yang tertera, tapi aku bisa tahu siapa pengirimnya.

'Arini, please jangan bikin aku semakin merasa bersalah. Kamu di mana?'

Lagi, pesan itu kuabaikan. Sebenarnya, mengabaikan Danar seperti ini menyakiti hatiku sendiri. Sebab, pada akhirnya hati yang merindu ini bertemu dengan pemiliknya.

Namun, entah mengapa ada rasa bersalah begitu besar menutupi kebahagiaanku. Juga ... ada luka yang terkoyak kembali kala menatap wajahnya.

Awalnya, kupikir bertemu Danar bisa mengobati luka hati ini karena ulahnya. Nyatanya, dengan bertemu kembali justru menyadarkanku jika luka yang ia tunggalkan cukup dalam. Sedalam kenangan yang hanya manis saat terbiar dalam ingatan, bukan untuk diulang.

Berusaha menjauh dari Danar seperti sekarang, aku merana. Ada kehampaan dalam hatiku, sesuatu yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Kenapa?

Kurapikan syal yang membelit di leher, juga merapatkan jaket demi menghalau dingin. Bogor memang sangat dingin di pagi hari, ditambah hotel yang memang terletak di ketinggian.

Baru saja aku akan beranjak, saat ponselku bergetar. Arsyl. Ia menepati janji membangunkanku. Kami berbincang sebentar, dan seperti biasa ia mengucapkan pesan cinta di akhir panggilan.

Kalimat manis yang kali ini membuatku sesak. Kata sayang yang membiaskan bimbang. Juga ... ungkapan kasih darinya yang membuat satu sisi hatiku kian pedih.

**

Jam delapan pagi kami semua berkumpul untuk sarapan. Ketua panitia memberi instruksi agar kami semua keluar dari kamar, dan berkumpul di halaman membawa serta barang bawaan.

Ini adalah hari terakhir di hotel, sebelum kami melanjutkan kegiatan menuju Taman Safari. Rombongan akan berangkat ke destinasi wisata tersebut, menggunakan bis. Kemudian seluruh rangkaian acara akan berakhir di sana, lalu berpisah di sore hari.

Hanya butuh waktu kurang dari tiga puluh menit, iring-iringan bis kami sampai di tujuan. Semua orang bersukacita, mana kala berjumpa dengan aneka satwa. Tawa menghias bibir mereka semua, tapi tidak denganku. Dalam keramaian ini, justru sepi yang terasa mendekap jiwa.

“Es krim?” Seseorang menyodorkan es krim cokelat tepat di depan wajahku.

“Danar—“

“Soal semalam, aku minta maaf.” Suaranya terdengar mengiba.

“Please jangan sebut apa pun.” Aku berpaling. Masih berusaha menetralkan debar dalam dada, yang selalu saja seperti ini saat ia menyapa.

“Rin ....”

Kusambar es krim di tangannya, kemudian menjauh secepat mungkin. Aku harus tetap waras, dan menempatkan posisi, bahwa aku tetaplah seorang istri. Akan tetapi, kaki ini terhenti saat ia menarik tanganku.

“Rin, please!”

“Silakan datang kalo kamu sudah punya jawaban untuk semua pertanyaanku. Silakan datang, kalau kamu sudah punya alasan kenapa bisa mengabaikanku selama itu.” Kutatap dia setajam yang aku bisa.

“Kalau tidak, anggap kita nggak pernah ketemu.”

“Apa itu artinya aku masih punya kesempatan?”

“Untuk mengabaikanku sekali lagi?”

Danar melepaskan tanganku. Ia balas menatap dengan kesedihan yang ingin kuabaikan.

“Sejak kamu pergi, bukankah seharusnya kita selesai, Danar?” Suaraku bergetar. “Kenapa kamu datang? Kenapa kamu mewacanakan reuni yang sialan ini?”

“Aku pergi, kalau kamu bilang kita selesai. Tapi satu hal yang aku yakini, perasaan kita masih sama, Rin.”

Kutarik tangan dari genggamannya, lalu menentang tatapan Danar dengan kecewa. Kutunjuk dadanya sembari berkata penuh penekanan. “Jangan jadi pengecut, Danar!”

**

Acara yang seharusnya menyenangkan ini, entah mengapa berubah jadi sebaliknya. Tiap detik terasa begitu lama, dan aku ingin semua ini segera berakhir.

Sementara itu, Danar terus ada di sisiku. Ia tidak peduli, meski teman-teman menggoda dengan siulan, atau meneriakkan nama kami dengan suara sumbang. Orang yang tak paham akan menyangka kami adalah suami istri.

Tibalah kami di acar penutupan. Semua berkumpul di dekat pintu masuk, membentuk lingkaran. Kami saling menautkan tangan, mengucap banyak doa. Berharap satu saat bisa berkumpul lagi.

Kemudian, ketua panitia memimpin doa, dan menutup acara diiringi tepukan meriah. Kami bubar dengan tertib setelah saling berpeluk, lantas menuju bis.

“Aku antar.” Tiba-tiba, Danar ada di belakangku. Yang mengejutkan, ia membawa serta kopor milikku.

“Nggak perlu.” Aku berusaha meraih kopor itu, tapi Danar melangkah santai menuju mobilnya.

“Danar!”

“Nanti aku jelaskan sama kamu.”

Kutarik tangannya, memaksa ia berhenti. “Nggak perlu, aku berubah pikiran!”

“Kamu bilang butuh penjelasan, 'kan?"

"Nggak!"

"Jadi, apa kamu pikir aku akan berhenti setelah sejauh ini, Arini?”

Danar balas menatapu. Tajam, menikam. Dan aku ... lagi-lagi hanya bisa bungkam.

**

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status