Alunan musik instrumental memenuhi kabin mobil. Irama saksofon milik Kenny G mendayu-dayu, seakan-akan menggugah segenap memori yang memang tak pernah layu. Hal yang sebelum ini mati-matian kuhapus, nyatanya kembalinhidup, bahkan kian menggebu.Ya ... bagaimanapun pendapat orang tentang bodohnya aku mengendalikan diri atas kisah ini, nyatanya semua rasaku masih tetap terpelihara. Untuk Danar, seperti ada rasa yang enggan menjadi hambat, meski sekian lama terbiar. Berada satu mobil dengan Danar, membuatku deja vu. Aku seperti dilempar pada pertemuan kami terakhir kali, kala mengantarnya ke bandara. Lalu, memoriku memutar waktu, mengajakku menapaki hari ketika melepasnya dulu ...."Kamu ... tahun depan, apa kamu mau liburan ke sini lagi? Mm ... maksud aku, nanti kita bakalan ketemu lagi, 'kan?" Ini memang terdengar bodoh. Namun, entah mengapa semua menjadi canggung setelah insiden sore kemarin. Semalam, Danar tak banyak bicara. Kami makan dalam diam, seakan-akan semua pembahasan tak l
Setelah berhasil menembus kemacetan parah selama beberapa jam, aku dan Danar sampai di Bandara Soekarno Hatta sekitar jam delapan malam. Menembus kemacetan Jakarta di jam pulang kerja, sungguh membuatku lelah. Ditambah kebersamaan dengan Danar ... maka kerumitan dalam hati dan hidupku lengkaplah sudah. Masih ada dua jam lebih menunggu penerbanganku yang terjadwal pukul 10.40. Tadi, Danar sempat mengajak untuk menghabiskan waktu, sekadar berjalan-jalan atau menikmati salah satu sudut Kota Jakarta. Namun, dengan tegas aku menolak. Bagaimanapun, kami adalah dua orang dewasa yang terikat rasa. Aku tak ingin terjebak rasa, lalu terseret lebih jauh kepada hal yang tak seharusnya. Seperti saat di Taman Safari, Danar benar-benar tak melepasku. Sekilas, kami benar-benar seperti pasangan mesra yang terus bergandengan sepanjang jalan. Aku bahkan lupa, apa dulu dia pernah menggenggam jemariku sehangat ini. Gestur yang ditunjukkannya, benar-benar seperti orang yang takut kehilangan. Namun benar
"Aku udah bilang, nggak usah jemput." Aku berkata ketika meninggalkan area kedatangan. Arsyl menggamit pinggangku, sementara satu tanganku yang lain memegang buket bunga darinya. Ini adalah penanda bahwa hubungan kami sudah berjalan sepuluh bulan lamanya. Yang bisa kulihat, Arsyl kian bersemangat setiap bulannya ketika merayakan hari spesial kami. Aku masih ingat, di bulan pertama pernikahan, dia hanya memberi sekuntum mawar putih. Bulan berikutnya, dia memberikan beberapa kuntum mawar, salah satu di antaranya berwarna merah. Lalu sekarang, aku menerima buket berukuran besar. Sebagai perempuan, jelas aku bahagia. Meski tak seperti di drama-drama, tetapi yang dilakukan Arsyl cukup membuatku mampu melebarkan tawa. Dia selalu menganggapku ada, meski kami tak sedang bersama. Perhatiannya mengalir, seperti memiliki untaian rasa yang tak pernah ada habisnya, untukku. “Apa kamu pikir, aku tega biarin kamu naik taksi di jam seperti ini?” Dia balas berkata, menoleh sejenak melihatku. “Ta
Aku menatap Arsyl dengan sorot ingin tahu. Datang ke kamarku setelah berpisah lama dan di jam seperti ini, apa yang dia pikirkan?Arsyl menggaruk tengkuk, lalu mendekat setelah menutup pintu. “Sebenernya ... selama kamu nggak ada, mamaku ada di sini. Dan selama itu juga, tiap pulang dari rumah sakit buat istirahat, aku tidur di sini, di kamar kamu.”Ah!“Aku bisa saja tidur di kamar tamu atau di depan TV, Rin. Tapi, aku takut mama curiga. Ah, iya. Aku benar-benar hanya tidur saja, Rin. Nggak gangguin barang-barang kamu.” Dia berkata seperti melakukan pengakuan dosa.Melihat mimik wajah Arsyl, aku tertawa. Bagaimana bisa dia secanggung itu di rumahnya sendiri? Namun, kemudian tawaku pergi, tatkala membayangkan harus berbagi kamar dengannya dalam keadaan sekacau ini.Aku kembali berpikir. Pernah ibuku mendapati Arsyl tidur di ruang keluarga. Saat itu, kami beralasan bahwa dia tidak masuk kamar karena tertidur saat menyaksikan acara olahraga. Namun, jika kejadian serupa terus terulang, b
Selepas kepergian Arsyl, aku kembali ke dalam. Seperti biasa, aku melakukan pekerjaan rumah. Namun, kali ini aku melakukan semuanya sembari mengobrol dengan Mama. Dia sedang duduk di ruang TV, merajut sesuatu. Mama Indi adalah perempuan aktif. Sambil duduk begini, dia masih menyibukkan diri dengan merajut. Yang aku tahu, banyak sekali barang di rumahnya adalah hasio buatan sendiri. Taplak meja, gorden, semua hasil rajutannya. Selain itu, Mama Indi juga pandai memasak. Mertuaku ini adalah tipe ibu yang dirindukan anak-anaknya. Bahkan, Arsyl akan makan dengan lahap bila kami berkunjung ke rumah Mama. Biasanya, Mama Indi akan bertanya kami ingin makan apa, lalu menyiapkan dan menyajikannya begitu kami sampai. Di awal menikah dulu, Mama Indi juga mengajariku cara memasak menu kesukaan Arsyl. Tanpa mama tahu, bahwa aku tak pernah bisa memasak apa pun yang diajarkannya. Lebih tepatnya, aku selalu memilih hidangan sederhana untuk dinikmati bersama Arsyl. "Kamu kenapa nggak cari pembantu
“Kalian kenapa?” Mama menatap kami bergantian.Apakah kalian pernah melakukan kekonyolan dan tertangkap basah? Jika iya, itulah yang kurasakan sekarang. Sementara itu, Arsyl hanya berdeham beberapa kali. Mungkin saja dia tersedak?“Dari tadi kayak nggak fokus.” Mama masih melihat ke arah kami, seperti seorang detektif.“Nggak, Ma.” Arsyl menjawab singkat. Oh, astaga! Ingin rasanya aku menginjak kakinya, supaya memberikan penjelasan kepada Mama. Kenapa mengarang cerita dan meyakinkan semua orang selalu saja menjadi bagianku?“Kalian mau ngomong sesuatu sama mama? Atau mungkin ... pagi ini ada kabar baik?” Mama meletakkan sendok, dan menumpu dagu pada jemari yang terjalin di meja.Arsyl ... selamatkan aku!“Misalnya Mama mau punya cucu?” Arsyl menimpali. Dia tersenyum ketika berkata demikian, mengingatkanku pada senyumannya semalam. Tunggu. Semalam?Sontak aku menoleh dan melotot ke arah Arsyl. Apa yang dia katakan?“Sabar, Ma. On process!” Arsyl mengedip ke arahku, dan itu sukses mem
Sepulang dari rumah Mama Indi, hidupku dan Arsyl kembali seperti semula. Kami tidur di kamar terpisah, menyapa seperlunya. Tak banyak waktu dan kesempatan yang menjebak kami berdua saja dalam satu ruangan. Meski jujur saja, aku dan Arsyl memang lebih dekat satu sama lain setelah berbagi kamar lebih dari satu minggu. "Kamu berani tidur sendiri, 'kan?" Begitu Arsyl menggodaku kala itu, setibanya kami di rumah. "Kalo kamu takut, aku ada di kamar sebelah." Aku hanya tertawa, lalu mencibirnya. "Kamu lupa, kalo aku pemberani? Setiap malem aku sendirian di rumah, sampe kamu pulang yang seringnya hampir tengah malam. Sebagai istri, aku nggak nyusahin, tauk." Arsyl tertawa kecil. "Ah, iya. Istri. Tapi, sebagai istri, kamu nggak baik-baik amat, Rin."Aku mencebik. Melihatnya tertawa, kemudian aku menyipitkan mata ketika berkata,. "Nggak baik gimana, maksudnya? Aku udah masak, jagain rumah, bersih-bersih--""Ada satu lagi, Rin." Dia menyela. "Apa? Aku kan--""Apa harus aku jelasin?"Seketik
Hari ini, Arsyl berangkat lebih pagi. Sementara itu, aku masih di rumah dan baru akan keluar jam sepuluh nanti. Kantorku akan mengadakan pameran unit sedan keluaran terbaru di sebuah mal, dan aku ditugaskan untuk ke sana menyelesaikan segala sesuatunya. Itu sebabnya, aku tidak begitu buru-buru. Sisa waktu yang masih lumayan lama, membuat aku menyempatkan diri membereskan meja makan lebih dulu. Tak lupa, aku menyiapkan makanan kecil dan buah potong sebagai bekal. Ketika aku masih menyiapkan segala sesuatunya,, sebuah panggilan masuk.Kak Amy?Seketika, jantungku berdetak lebih cepat. Ada apa? Haruskah kuterima panggilan itu? Ah, pikiranku lantas penuh dengan ketakutan-ketakutan yang gagal untuk kusederhanakan.Satu panggilan kubiarkan tanpa terjawab. Dalam hati, aku masih menimbang kalimat apa yang akan aku siapkan, jika mungkin Kak Amy menanyakan hal yang tak ingin kujawab. Namun, akhirnya aku menyapa pada dering keempat.“Halo, Kak. Maaf, tadi aku di kamar mandi. Kenapa?” Aku berbo