Share

Egois

Danar melepas tautan bibir kami, saat pintu lift terbuka di lantai dua belas. Dengan cepat dia menarikku ke dalam sebuah kamar, yang letaknya berjarak dua kamar dari kamarku sendiri. Entah ini sesuatu yang telah direncanakan atau sebuah kebetulan, aku bahkan tak peduli.

Danar mendudukkanku ke tepi ranjang, sedangkan dia sendiri bersila di lantai, dengan menumpu kepala di pahaku. Tak lama kemudian, dia menengadah sembari memegang tanganku.

“Maaf.”

Aku berpaling, mengarahkan pandangan ke luar dinding kaca. Tatapanku berusaha menembus kelam di luar sana, yang gelap menyerupai perasaanku saat ini. Harusnya aku bahagia bertemu dengannya sekarang. Harusnya hati ini bahagia dan berdebar, seperti saat dia menjabat tanganku di awal jumpa sore tadi.

Akan tetapi, entah mengapa justru dada ini bagai ditimpa batu besar sekarang. Sesak, sampai rasanya bernapas saja sulit.

Kenapa takdir bermain atas hidupku dengan tidak adil? Kenapa semesta merenggut semua dengan seenaknya, melalui Danar?

Berbagai tanya itu membuat air mata ini kembali menetes. Apa yang harus kulakukan sekarang, Tuhan?

“Maaf tidak memberimu kabar selama itu. Tapi, apa yang bisa kulakukan, Arini? Saat aku mau ke Makassar, papa kena serangan jantung mendadak, dan semua usaha keluarga harus aku kelola.”

Aku menggigit bibir, dengan air mata semakin deras. Apa pernikahan itu jadi salahku sekarang? Apa ketidaksabaran orang tuaku menunggu menyakiti perasaannya? Lalu, bagaimana denganku?

Seketika, ingatan itu berputar kembali. Kala Ibu dan Ayah memaksaku mengambil keputusan berat, lalu terpaksa setuju dengan semua jalan yang mereka pilih.

“Apa yang kamu tunggu dari Danar, Rin? Dia tidak menginginkan kamu, Nak. Sadarlah! Enam tahun bukan waktu yang sebentar.” Ibu menatapku tajam. Kalimat itu memang terucap pelan, tapi mampu menikam sampai ke jantungku.

“Kalau dia menginginkan kamu, seharusnya dia ngasih kabar, ‘kan? Tapi mana, Rin?”

“Bu, tolong kasih aku waktu. Aku yakin Danar pasti datang, Bu. Dia nggak pernah ingkar janji.” Aku mengiba, setengah putus asa dengan keyakinanku sendiri.

Danar ... kamu di mana?

“Sampai kapan? Sementara perjodohan antara kamu sama Arsyl sudah dibicarakan keluarga dengan serius..”

“Bu ....” Air mataku nyaris tumpah.

“Umurmu sudah tidak muda lagi untuk melajang. Ayah hanya tidak ingin kamu jadi gunjingan, lebih-lebih adikmu sudah punya anak.”

“Raya memutuskan menikah muda, dan sekarang Ibu bandingin aku sama dia?”

“Raya menikah umur dua puluh enam, Rin. Dan sekarang adikmu Anita juga sudah bertunangan.”

“Bu ....” Suaraku nyaris tercekat di tenggorokan.

“Anita menolak menikah, kalau kamu belum dapat kepastian. Sementara kamu tau sendiri, pihak keluarga calon suaminya terus mendesak. Ibu bisa apa, Nak? Kita akan malu kalau sampai pernikahan Anita batal.”

Ibu berpaling sembari menyeka sudut mata. Tampak sekali pengharapan dan ketakutan dalam setiap ucapannya.

Aku tidak terlahir dalam keluarga yang salah. Akan tetapi, klaim masyarakat terhadap perempuan lajang sepertiku memang agak berlebihan. Ditambah adik yang lebih dulu menikah, beberapa mitos berembus. Bahwa aku akan menjadi perawan tua, dan tidak akan menemukan jodoh.

“Keluarga kita ada di tanganmu sekarang, Rin.” Ibu bangkit, lalu meninggalkan kamarku begitu saja. Ada desah kecewa yang kutangkap, sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu.

Aku memejam sesaat, lalu menengadah. Katakan padaku, Nar ... katakan apa yang harus aku berikan sebagai jawaban.

Aku bangkit, dan mengambil laptop di laci meja. Kubuka laman berkirim pesan elektronik, berharap kali ini mendapat jawaban dari Danar. Namun, nihil. Hanya ada pesan-pesanku yang kedaluwarsa tanpa pernah terbaca, sejak enam tahun lalu. Apa yang kuharap sama sekali tak terjadi. Pesanku tetap tak berbalas, memberi bukti bahwa Danar benar-benar telah hilang ditelan bumi.

Aku tidak tahu di mana Danar sekarang. Pun tidak paham kenapa ia memutus kontak di antara kami. Aku bahkan pernah dua kali ke Bali, sekadar mencari tahu di mana lelaki itu berada. Namun, mencari seseorang tanpa alamat jelas sama saja bak menemukan jarum di tumpukan jerami.

Dalam hal ini, kuakui aku memang bodoh. Menjalin hubungan sejak awal kuliah tanpa tahu alamat Danar, apa namanya?

Bisa saja saat ini Danar telah bahagia. Mungkin, itu sebabnya ia menghilang dan melupakanku. Tapi ... satu hal yang tidak ia pahami. Bahwa sakit karena rindu lebih menyiksa, dari pada gunungan kecewa.

Ya ... dalam keterpurukan mencintainya, kecewa dan sakit ini tidak lebih besar daripada rindu untuknya.

**

Setelah menghabiskan waktu beberapa pekan untuk berpikir, akhirnya aku setuju untuk menemui Arsyl. Bagaimanapun, sangat egois jika aku menjadi sebab putusnya pertunangan Anita.

Mengabaikan kaki yang gemetar, aku menyusuri deretan kursi kafe yang ramai sore ini. Ini adalah kali pertama aku memutuskan menjumpai laki-laki lain, setelah sekian lama menjaga hati. Hati yang mungkin telah Danar ingkari.

Ah ... Danar. Bahkan saat akan menemui orang lain, namanyalah yang melekat dalam ingatan.

Sebelumnya, aku dan Arsyl pernah beberapa kali bertemu dalam acara keluarga. Kebetulan, orang tua kami bersahabat sejak lama, dan sudah seperti keluarga.

Keluarga kami sering terlibat acara besar bersama, entah itu pesta pernikahan, liburan, dan sebagainya.

Sama-sama menyandang status lajang, membuat keluarga iseng menjodoh-jodohkan kami. Hingga pada suatu hari, orang tuanya benar-benar datang menanyakan kesediaanku, menjadi menantu di keluarga mereka. Dengan alasan mengeratkan hubungan di antara dua keluarga.

“Hay!”

Aku menoleh, lalu mendapati seseorang melambaikan tangan ke atas. Setelah menghela napas dan berusaha tenang, kuayun langkah menuju kursi yang terletak di sudut ruang.

“Sudah lama?” Aku menyapa, tak lupa mengembangkan senyuman.

“Nggak. Baru aja mau WA kamu.” Lelaki berkacamata itu tersenyum, menunjukkan lesung di salah satu pipinya.

Untuk beberapa lama kami terjebak hening dan canggung. Aku menyibukkan diri dengan memilih menu, sedangkan Arsyl sesekali memfokuskan perhatian pada ponselnya.

“Arsyl.” Aku memulai, dengan dentaman dalam dada semakin menjadi. “Soal perjodohan kita ....”

“Aku tau kamu belum siap, Rin.” Ia memotong. “Dan aku nggak keberatan, kalau kamu mau menolak. Perasaan nggak bisa dipaksa, ‘kan? Apalagi, pernikahan bersifat seumur hidup, dan bukan hubungan main-main.”

Aku menggeleng. “Bukan. Bukan itu maksud aku.”

Arsyl menatapku dengan saksama, seperti sedang menyelami perasaanku. “Terus?”

“Apa boleh aku mengajukan syarat?”

“Maksudmu?” Kali ini, dia tampak menyimak.

“Seperti yang kamu bilang, perasaan nggak bisa dipaksakan. Karena itu, aku mau hubungan kita mengalir. Maksudku ....” Aku ragu.

“Tanpa paksaan?” Arsyl menekan kalimat, seakan-akan menangkap maksudku.

Aku mengangguk. “Kasih aku waktu satu tahun. Kalo sampe saat itu aku belum—“

“Aku setuju.”

Aku tercekat. Kenapa semudah itu ia menyetujuinya? “Tapi, Arsyl. Aku belum—“

“Aku setuju, apa pun syarat dari kamu.” Dia tersenyum, seperti sedang memastikan jika semua akan baik-baik saja. Atau mungkin, dia berpikir satu tahun adalah waktu yang cukup untuk membuat kami saling menerima. Entah.

“Apa kamu lagi nunggu seseorang?” Arsyl bertanya dengan tenang. Akan tetapi, ketenangan itu justru terasa menikamku. Tepat di sini, hati yang hampir patah karena lelah menanti.

“Kamu cinta banget sama dia?”

Refleks aku mengangguk. “Ah, m—maksud aku—“

“It’s okay.” Arsyl tersenyum lagi. “Aku siap lepasin kamu, kalo dia datang sebelum satu tahun pernikahan kita.”

Aku tercengang. Benarkah yang diucapkannya?

“Apa kamu juga lagi nunggu seseorang?” Aku bertanya. Ragu, merasa bersalah.

Arsyl menggeleng. “Nggak. Aku cuma takut, kalo akhirnya aku jatuh cinta lebih dulu.” Kali ini, ia menatapku dengan serius.

“Maaf.” Akan tetapi, aku tidak punya pilihan lain. Rasanya, menjanda lebih baik daripada pernikahan adikku dibatalkan. Paling tidak, aku sudah memenuhi keinginan keluarga, bukan?

“Bukan masalah. Anggap saja, kita lagi berusaha memahami satu sama lain dalam ikatan yang sah.”

“Terima kasih.”

“Jadi, kamu sepakat dengan pernikahan ini?”

Anggukanku menjadi akhir perjumpaan kami sore itu, lalu membawaku dalam acara pernikahan yang meriah. Semua keluarga tampak bahagia, begitu juga dengan Arsyl.

”Kamu boleh marah sama aku, Rin. Kamu bisa hukum aku, kalo itu yang kamu mau. Tapi, satu hal ... jangan membenciku.”

Kalimat Danar menyentakku dari lamunan panjang. Ia mengulur tangan, dan menghapus jejak basah di pipiku.

Aku menggeleng. “Aku sudah nikah, Danar.” Dengan suara bergetar, kalimat itu terucap. Entah mengapa, mengatakan hal ini seperti melakukan pengakuan dosa.

Danar bangkit sembari tersenyum masam. “Aku tau. Tapi, bagiku kamu tetap Arini-ku, dan status kamu nggak mengubah apa pun.”

Aku bangkit, dan menentang wajahnya. “Jangan egois! Jangan datang dan pergi seenaknya, seolah-olah aku ini barang yang bisa kamu abaikan sesuka hati!”

Danar menatapku tajam, membuat kilatan mata kami saling menikam. “Sekarang bilang, kalo kamu nggak cinta lagi sama aku, Arini!”

Dan aku tercekat. Kalimat itu terucap penuh harap dan penekanan. Aku ... kalah!

“Bilang sama aku harus gimana, Rin!” Dibingkainya lenganku, sembari mengutus tatapan tajam. “Sementara aku tau, perasaan kita masih sama.”

Pada akhir kalimat, Danar membelai pipiku. Hal yang membuat lidahku kelu, dan semua protes yang ingin kuutarakan tertelan begitu saja. Mengapa rasa untuknya begitu dalam?

“Aku nggak bisa, Nar.” Kugigit bibir, sembari menggeleng keras. “Aku nggak bisa jadi pengkhianat.” Air mataku meluncur begitu saja.

“Kamu sudah jadi pengkhianat, waktu memutuskan menikah, Arini.”

“Itu salahmu! Itu karena kamu—“

Tidak selesai kalimat itu, karena lagi-lagi Danar membuatku tak berkutik. Sialnya, seluruh syaraf dalam tubuhku merespons sentuhannya dengan tak tahu diri. Mendamba, penuh kerinduan!

**

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status