“Kalian kenapa?” Mama menatap kami bergantian.Apakah kalian pernah melakukan kekonyolan dan tertangkap basah? Jika iya, itulah yang kurasakan sekarang. Sementara itu, Arsyl hanya berdeham beberapa kali. Mungkin saja dia tersedak?“Dari tadi kayak nggak fokus.” Mama masih melihat ke arah kami, seperti seorang detektif.“Nggak, Ma.” Arsyl menjawab singkat. Oh, astaga! Ingin rasanya aku menginjak kakinya, supaya memberikan penjelasan kepada Mama. Kenapa mengarang cerita dan meyakinkan semua orang selalu saja menjadi bagianku?“Kalian mau ngomong sesuatu sama mama? Atau mungkin ... pagi ini ada kabar baik?” Mama meletakkan sendok, dan menumpu dagu pada jemari yang terjalin di meja.Arsyl ... selamatkan aku!“Misalnya Mama mau punya cucu?” Arsyl menimpali. Dia tersenyum ketika berkata demikian, mengingatkanku pada senyumannya semalam. Tunggu. Semalam?Sontak aku menoleh dan melotot ke arah Arsyl. Apa yang dia katakan?“Sabar, Ma. On process!” Arsyl mengedip ke arahku, dan itu sukses mem
Sepulang dari rumah Mama Indi, hidupku dan Arsyl kembali seperti semula. Kami tidur di kamar terpisah, menyapa seperlunya. Tak banyak waktu dan kesempatan yang menjebak kami berdua saja dalam satu ruangan. Meski jujur saja, aku dan Arsyl memang lebih dekat satu sama lain setelah berbagi kamar lebih dari satu minggu. "Kamu berani tidur sendiri, 'kan?" Begitu Arsyl menggodaku kala itu, setibanya kami di rumah. "Kalo kamu takut, aku ada di kamar sebelah." Aku hanya tertawa, lalu mencibirnya. "Kamu lupa, kalo aku pemberani? Setiap malem aku sendirian di rumah, sampe kamu pulang yang seringnya hampir tengah malam. Sebagai istri, aku nggak nyusahin, tauk." Arsyl tertawa kecil. "Ah, iya. Istri. Tapi, sebagai istri, kamu nggak baik-baik amat, Rin."Aku mencebik. Melihatnya tertawa, kemudian aku menyipitkan mata ketika berkata,. "Nggak baik gimana, maksudnya? Aku udah masak, jagain rumah, bersih-bersih--""Ada satu lagi, Rin." Dia menyela. "Apa? Aku kan--""Apa harus aku jelasin?"Seketik
Hari ini, Arsyl berangkat lebih pagi. Sementara itu, aku masih di rumah dan baru akan keluar jam sepuluh nanti. Kantorku akan mengadakan pameran unit sedan keluaran terbaru di sebuah mal, dan aku ditugaskan untuk ke sana menyelesaikan segala sesuatunya. Itu sebabnya, aku tidak begitu buru-buru. Sisa waktu yang masih lumayan lama, membuat aku menyempatkan diri membereskan meja makan lebih dulu. Tak lupa, aku menyiapkan makanan kecil dan buah potong sebagai bekal. Ketika aku masih menyiapkan segala sesuatunya,, sebuah panggilan masuk.Kak Amy?Seketika, jantungku berdetak lebih cepat. Ada apa? Haruskah kuterima panggilan itu? Ah, pikiranku lantas penuh dengan ketakutan-ketakutan yang gagal untuk kusederhanakan.Satu panggilan kubiarkan tanpa terjawab. Dalam hati, aku masih menimbang kalimat apa yang akan aku siapkan, jika mungkin Kak Amy menanyakan hal yang tak ingin kujawab. Namun, akhirnya aku menyapa pada dering keempat.“Halo, Kak. Maaf, tadi aku di kamar mandi. Kenapa?” Aku berbo
Entah bagaimana aku harus menggambarkan perasaanku saat ini. Satu sisi, ada Danar yang datang dan mungkin, dia berniat akan memperjuangkan apa yang aku tuntut darinya. Sementara itu, di sisi lain, ada Kak Amy. Kakak ipar paling baik, orang yang aku harap bisa meringankan bebanku, setelah berhari-hari bersikap layaknya pencuri. Kak Amy dan Danar, dua-duanya memiliki andil atas apa yang aku lakukan. Bila aku ingin memperbaiki dan menebus kesalahan kepada Arsyl, maka aku akan mengaku kepada Kak Amy, bahwa yang kulakukan dengan Danar pada saat reuni adalah kesalahan. Untuk bercerita kepada Kak Amy aku bahkan sudah menyiapkan mental. Sebab ternyata, bagaimanapun aku memendam dan memuja segala hal yang berkaitan dengan cinta di masa lalu, ternyata aku lebih takut kehilangan satu hal: keluarga.Ya. Aku takut keluarga besar akan membenciku. Aku tidak siap dikucilkan dan dijauhi oleh semua orang yang kusayangi. Dan japan satu-satunya agar semua kebaikan tetap kudapatkan adalah berkata jujur
"Masa lalu yang kamu nikmati?” Kak Amy tertawa sumbang. Sementara aku hanya menatapnya. Seperti dia yang memberiku kesempatan berbicara maka aku pin mengizinkan Kak Amy memberi tanggapan sesuka hatinya. “Apa kamu tau, Arini, semua orang punya masa lalu. Tapi, mereka tau mana masa lalu yang bisa dipelihara, mana yang harus dikubur dalam-dalam. Sayangnya, kamu tidak sebijak itu.”“Bukankah setiap orang berhak dengan masa lalu mereka?” Aku berusaha membuat semuanya masuk akal. Meski aku tahu, rasa tak percaya akan membuat Kak Amy lagi-lagi, mematahkan semua yang aku katakan. “Ya. Kamu benar. Dan aku ... kecewa sama kamu. Sama masa lalu yang datang hanya untuk jadi pengganggu, dan kamu malah menikmati itu!”“Kak, please!” Aku mulai tak bisa menahan diri, menangis kian tak terkendali.“Kamu bilang itu wajar dan biasa terjadi. Karena kalian adalah mantan. Karena kamu berhak sama sesuatu yang kamu sebut masa lalu." Kak Amy menurunkan suaranya. Mungkin, dia sedikit iba melihat tangisanku
Kak Amy kembali menjalankan mobil usai aku berhias secukupnya. Malam ini, kami berdua hanya muncul sebentar di pesta, lalu kembali ke rumah Mama Indi nyaris jam sebelas malam. Butuh lebih dari empat jam untukku menjelaskan semua kesalahpahaman ini, agar Kak Amy mengerti. Paling tidak, aku membutuhkan teman berbagi, agar tak menelan sesak ini sendiri. Benar kata orang, bahwa berbagi itu mampu menyusupkan lega. Apa pun masalahnya, tentu bisa sedikit lega ketika kita membaginya. Meski tentu saja, ini baru awal dari semuanya. Yang paling penting, ada seseorang yang akan membantuku, jika mungkin berada dalam situasi tak dinginkan, suatu saat nanti. Dan mungkin, Kak Amy adalah orang yang tepat."Menurut Kakak, aku harus sampaikan ini sama Arsyl?" Aku bertanya amat pelan. Sungguh, aku tak tahu efek dari semuanya akan semenyakitkan ini. "Yang aku tau, laki-laki nggak akan suka kalo kepunyaannya diusik. Apalagi, istri." Aku menghela napas dalam. Tapi, bukankah aku hanya istri di atas perj
"Hanya itu?" Arsyl bertanya. Posisi kami masih sedekat tadi. Sementara detak jantungku kian tak terkendali. Panas yang seketika menjalari tubuh, mendadak menghapus pening yang tadi mendera. "Dan karena kita adalah suami istri." Aku berkata setengah berbisik. Kemudian, aku hanya memejam ketika Arsyl merunduk, menghapus jarak tak seberapa yang tadi memisahkan. Sepanjang bersama, ini adalah hal paling gila yang pernah kami lakukan. Bahkan, aku tak menyangka bila kami berdua bisa bergerak sejauh ini.Entah berapa lama kami berpagut, dan hanyut dalam kemesraan. Yang pasti, malam ini aku benar-benar berserah jika penantian selama hampir setahun itu akan berakhir. Bagaimanapun, kami telah bersama selama itu, dan Arsyl berhak mendapatkan haknya sebagai suami.Aku tak tahu, ini benar atau salah. Aku juga tak yakin, aku melakukan ini karena yakin, atau karena rasa bersalah. Namun, berada dalam kuasa Arsyl seperti sekarang, aku merasa aman, dan juga bahagia.Sejujurnya, aku amat gugup sekaran
Aku terbangun saat mendengar Mama Indi keluar dari kamar, dan membuka pintu depan. Saat melirik jam, ternyata sudah siang, hampir jam delapan. Beruntung ini adalah akhir pekan. Jadi, aku tak harus buru-buru. Aku merentangkan badan yang terasa pegal, karena semalaman tidur dalam posisi kurang nyaman. Karena ngantuk, semalam aku tidur di sofa, berbantal pada paha Arsyl. Sementara dia ....Ah, sungguh pemandangan pagi ini menyejukkan mata dan hati. Betapa tidak? Tampak Arsyl masih lelap dalam posisi bersandar di sofa. Zaki pun tampak nyenyak di dada sang paman. Bocah berambut kriwil itu begitu tenang, dengan satu jempol dalam mulut.Aku beranjak hati-hati, tak ingin mengganggu. Semalam kami tidur sudah lewat, sekitar setengah dua pagi. Aku takut Zaki akan rewel bila terbangun sebelum tidurnya cukup.Kepala yang masih pening membuatku meringis. Hal itu ternyata tak luput dari pandangan Mama, yang kali ini menghampiriku."Kamu kenapa? Pusing?" Mama mendekat dengan langkah tertatih.Aku h