Share

PETAKA SEKOTAK KURMA
PETAKA SEKOTAK KURMA
Author: Ria Abdullah

1 Sekotak Kurma

Mohon dukung ceritanya dengan meninggalkan like dan share serta jangan lupa beri ulasan yang bagus ya teman-teman.

*

Butiran embun masih melekat di daun mawar kelopaknya mekar dengan cantik sementara rumput masih basah sebelum matahari cukup panas untuk menguapkan sisa dingin semalam. Geliat kota tempat tinggalku mulai terasa hiruk pikuk dan keramaiannya sejak jam 05.00 pagi.

Para pedagang dan pekerja mulai berlalu-lalang dengan kendaraan mereka, Pergi ke tujuan melewati jalan depan rumah dan menyadarkan bahwa ini adalah hari baru untuk memulai segalanya.

Sambil turun dari tempat tidur, aku membacakan doa untuk diri sendiri sembari bersyukur kepada Tuhan bahwa Dia masih memberiku kesempatan untuk menikmati kehidupan ini. Ada hari baru untuk lebih produktif dan memperbanyak amalan ibadah, aku banyak terinspirasi dari kedekatanku terhadap perkara agama setelah menikah dengan Mas Hisyam.

Menjelang ramadhan ke dua belas bersamanya, kami telah dikaruniai seorang putri perempuan berumur 11 tahun yang sudah duduk di kelas 5 SD. Namanya Ferlina kunamakan dia seperti nama sahabatku di masa sekolah dulu. Putriku cantik dengan kulit eksotis mengikuti kulit ayahnya, rambutnya ikal mayang panjang dan terlihat berkilau begitu digerai, hidungnya mancung serta matanya yang indah membuatku selalu bersyukur memilikinya. Ya, satu-satunya dia anakku dalam hidup ini.

Pun ayahnya, Mas Hisyam sangat menyayangi Ferlina, memanjakan dan berjanji akan melakukan apapun untuk kami berdua.

"Istri dan anakku adalah prioritas dalam hidup, tanpa kalian aku tak punya alasan untuk melanjutkan segalanya."

Setidaknya itu kalimat pamungkas yang selalu menghibur hatiku, dia mengatakannya, selalu, sambil memegang tangan dan menatap mata ini, kemudian, ia mendaratkan kecupan di kening. Selalu penuh keromantisan dan aku yakin ini adalah salah satu dari esensi manisnya kehidupan pernikahan.

Hari pertama puasa, kubangunkan dia untuk sahur, merangkul dia yang masih terlelap di balik selimut tebal dan dinginnya ac. Kebangunkan dia dengan penuh kasih sayang mendekatkan bibirku ke daun telinganya dan kubisikkan kata-kata bahwa ia harus segera terjaga, jangan sampai tidur membuatnya lalai akan ibadah.

"Mas, sahur yuk."

"Hmm, ngantuk." Ia mengeluh parau. "Lelah sekali setelah lembur semalam." Dia menggeliat bergeser sedikit agar bisa meluruskan badan.

"Kamu lupa kalau besok kita harus berpuasa? jangan sampai kelelahan itu membuatmu lalai, Mas." Kubelai wajahnya sementara ia meraih tanganku lalu mengecup jemarinya.

"Baiklah, ayo." Dia mendesah perlahan kemudian bangkitlah pergi mencuci muka ke kamar mandi.

Selagi kususun piring di atas meja makan, dari dapur kulihat siluet suamiku tengah memeriksa ponselnya, cahaya yang berpendar dari layar tersebut memantul ke wajah Mas hisyam hingga membuatku tersadar, sungguh, dari samping dia begitu tampan.

Jujur, hatiku bergetar.

"Ah, kenapa aku harus memikirkan ketampanan suamiku sementara aku telah bersamanya selama 15 tahun sejak kami bersaling mengenal, saling menjajaki selama 3 tahun, lalu memutuskan untuk menikah. Kenapa aku terus merasakan debaran seolah kami baru pertama berjumpa?" Aku menepuk keningku sendiri sambil tertawa.

Dia yang masih begitu serius dengan ponselnya segera aku panggil.

"Mas, makan yuk, sebelum imsak."

"Eh, i-iya." Suamiku gelagapan dan ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya, andai ia tidak sigap untuk menangkapnya.

"Kenapa?" tanyaku sambil tersenyum.

"Masih ngantuk," balasnya singkat.

"Yuk, sini makan."

"Iya, sayang."

Aku bangunkan Elina lalu mengajaknya cuci muka dan bergabung ke meja makan bersama ayahnya.

"Putri Ayah yang solehah mau puasa kan?" Mas hisyam merangkul putrinya dan menciumnya.

"Iya, Ayah."

"Bagus, kalau puasanya lengkap 30 hari, ayah akan belikan hadiah yang bagus."

"Benarkah?" Putriku langsung berbinar matanya yang indah menunjukkan ekspresi antusias yang luar biasa.

"Iya, apapun yang Elina mau."

"Wah, asyik, tapi Ayah harus beli kurma kesukaan Elina."

"Tentu, kita beli kurma sukkari kesukaanmu dan Bunda.

"Asyik, makasih ayah." Elina bertepuk tangan dan langsung menyedokkan makana ke piringnya dengan semangat.

"Yuk, berdoa dulu." Aku dan anggota keluargaku menangkupkan tangan kami dan berdoa, tapi, tapi doanya tidak benar-benar bisa fokus karena ponsel suamiku berdering dari dalam kamar dan itu berlangsung dengan intens.

"Siapa kira-kira yang menelpon di jam 03.00 pagi?"

"Temanku, dia tanya tentang deadline pekerjaan dan presentasi yang akan kita lakukan pagi ini."

Mas Hisyam yang meninggalkan meja makan lalu segera meraih ponselnya. Dia tidak menjawab panggilan tersebut melainkan mematikannya lalu terlihat mengetik pesan.

"Kenapa tidak dijawab saja alih-alih mengetik pesan yang sulit dimengerti?"

"Tahu kan... sangat malas bagiku untuk bicara setelah bangun tidur. Apalagi ini adalah momen keluarga dan makan sahur."

"Oh, jadi Mas tidak mau momentmu dengan keluarga diganggu orang lain?" Aku tertawa menggodanya.

"Tentu saja," balasnya yang lalu kembali ke kursi dan mulai makan.

**

Hari pertama puasa berlangsung dengan lancar, menjelang Magrib mas Hisyam pulang dengan sekotak kurma kesukaan kami. Buka puasa dan salat magrib bersama berlangsung dengan khidmat, penuh ketulusan serta penghayatan arti ibadah yang sesungguhnya.

"Mas doakan aku." Aku cium tangannya sambil bersimpuh di hadapannya dia mengecup keningku sambil mendoakan diri ini.

"Semoga ibadahmu lancar Bun, semoga tahun ini tidak ada kendala dalam ibadah kita, aku sungguh berharap kita sekeluarga tetap harmonis di dunia dan ke surga bersama-sama."

"Aamiin, selaras dengan harapanmu aku juga berdoa akan hal yang sama."

Ucapan suamiku seperti embun murni yang menyiram hati, seperti tetesan salju yang langsung turun dari langit dan membasuh segala luka dan noda. Menatap wajahnya yang penuh ketulusan dan memperhatikan bagaimana ia memperlakukan kami sehari-hari ... Sungguh, aku seperti mendapatkan kepingan kehidupan dari surga.

Lalu nikmat Tuhan manakah yang harus aku dustai?

Kami tinggal di dalam rumah berlantai 2 di cluster impian semua orang, hidup kami berkecukupan karena suamiku punya posisi yang bagus serta gaji yang memadai, kesehatan kami stabil dan tentu saja kami punya tabungan dan surat asuransi yang bisa dipakai saat kami membutuhkannya.

Apalagi yang kucari selain fokus menikmati peranku sebagai ibu rumah tangga dan sesekali turun melakukan bakti sosial pada komunitas kami. Kurasaa Aku menjalani hidupku yang bahagia. Amat sempurna dan layak disyukuri.

*

"Mas, kurma habis, nanti pulang kerja sekalian mampir di toko Wan Hamid lalu belikan kurma yang baru ya."

"Tentu, istriku sayang. Tapi kalau aku lupa kau jangan marah yaa." Dia menggoda sambil bercanda dan mengenakan sepatunya.

"Sebenarnya aku selalu tidak sabar menunggumu pulang, setelah anak kita beranjak remaja dan punya kesibukan sendiri dengan teman-temannya, aku mulai merasa kesepian dan butuh teman."

"Kau bisa minta Elina untuk mengajak teman-temannya ke rumah."

"Mereka lebih asik belajar di rumah Rika sahabatnya, sepulang sekolah dia akan les, dilanjutkan dengan mengaji kemudian mengerjakan tugas-tugas kelompok bersama sahabatnya."

"Rupanya putriku membuat ibunya kesepian ya..." Mas Hisyam menyentuh pipiku.

"Uh-hmm, kurasa begitu."

"Makanya aku selalu mendorongmu untuk melahirkan satu anak lagi, agar kita punya anak laki laki."

Bukannya tak mau, saat Elina masih kecil aku selalu mempertimbangkan masalah ekonomi untuk melahirkan anak yang berikutnya, khawatir kami tak sanggup membiayai hidupnya sehingga akan membuatnya menderita aku memutuskan untuk menunda kahamilan. Di tahun ke-6 pernikahan aku tak lagi ber-KB, sibuk mengikuti program kehamilan dan menjaga kesehatan, namun sampai saat ini Tuhan masih belum memberikan karunia tersebut.

"Iya aku berdoa semoga harapanmu terkabul, Mas." Hanya itu yang bisa aku katakan untuknya.

"Iya, kalau begitu aku berangkat dulu ya sayang."

"Iya." Kuantar dia ke ambang pintu kemudian menyaksikan dia naik ke atas mobil dan melambaikan tanganku mengiringi kepergiannya.

*

Sore hari,

Udara sedikit hangat di hari ke tujuh bulan Ramadan, sembari menunggu waktu berbuka dan Mas hisyam yang selalu telat pulang akhir-akhir ini, kuputuskan untuk 'ngabuburit' jalan-jalan naik motor bersama anakku, lalu kami mampir ke toko buku untuk mencari buku-buku terbaru tentang kajian agama dan hikmah menjadi perempuan muslimah.

Kebetulan di sana aku bertemu Rima sahabatku. Dia menyapaku, dia teman sejak SMPku yang kini sudah jadi istri pengusaha dan tengah hamil anak ketiga.

"Hei, apa kabar."

"Baik."

"Ayolah berkunjung ke rumahku karena aku membutuhkan energi dan teman curhat, kehamilan ini benar-benar menguras tenagaku." Dia merangkul diri ini.

"Aku sungguh ingin hamil sepertimu tapi Tuhan belum memberiku."

"Kau tahu... anak ini adalah alasan untuk mempererat tali pernikahan kami, kau tahu kan' suamiku pengusaha yang selalu kemana-mana dan bertemu dengan banyak wanita, kehidupan kami rentan ... tapi setelah aku hamil dia mulai berubah." Ada raut kesedihan di wajah rima dan sesuatu yang tidak perlu dijelaskan namun sudah kutangkap maksudnya.

"Syukurlah kalau dia mulai berubah."

"Aku iri dengan kehidupanmu meski kau bukan wanita karir dan tidak melahirkan banyak anak tapi suamimu sangat setia dan seperti figur yang diinginkan oleh semua orang...."

"Ya, aku bersyukur dan aku selalu berdoa semoga dia tidak pernah berubah."

Usai berbincang-bincang bersama sahabatku, aku keluar dari toko buku setalah berhasil menemukan dua buah buku tentang Sayyidah Aisyah.

Tak jauh dari sana, ada toko kurma yang sedang menggelar aneka kurma dan bermacam kudapan manis dari negeri timur tengah di etalase tokonya.

Karena terpikirkan tentang suamiku jadi aku menghubunginya dan bertanya apakah dia sudah membeli kurma atau belum, karena jika belum, maka aku akan membelinya.

Lama aku tunggu ia mengangkat teleponnya sampai akhirnya pria itu menjawab.

"Halo."

"Assalamualaikum Mas."

"Iya, ada apa." Sepertinya Mas Hisyam sedang berada dalam keadaan tertekan sampai Ia lupa menjawab salam.

"Apa kau telah membeli kurma?"

"Sungguh aku lupa sekali, tapi aku dalam perjalanan."

"Baiklah kalau begitu biar aku saja yang beli."

"Ya, ya, Terima kasih aku sangat menghargainya."

"Kau akan segera pulang kan?"

"Sekitar satu jam lagi aku akan tiba di rumah sebelum azan Maghrib berkumandang."

"Baguslah, sampai nanti."

Aku menggandeng Elina ke toko tersebut, membeli sekotak kurma setengah matang kesukaanku dan kurma sukkari yang masih dipenuhi oleh sari dan madu.

Usai membayar aku hendak menyeberang jalan untuk meraih motorku, kugenggam tangan anak lalu menyeberang, tapi sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arahku, entah apa yang terjadi pada pengendaranya, karena ia tidak melihat depannya, sehingga ia hampir menabrak.

Aku berteriak sambil memeluk anakku, kami terjatuh, mobil mobil membunyikan klakson, teriakan orang-orang menggema dan mobil tersebut mengerem secepatnya, sehingga bannya berdecit keras bergesekan dengan aspal sore itu.

Masih dengan sekotak kurma di tanganku, dengan tangan satu lagi memeluk anakku, perlahan aku yang masih syok mencoba bangkit, mencoba kuat dan menenangkan anakku yang menangis. Tapi, tiba tiba aku kaget menyaksikan sesuatu yang kupikir adalah tipuan mataku, mungkin syok atau sensasi lemas karena berpuasa membuatku berhalusinasi, tapi, berulang kali menajamkan penglihatanku, tetap saja, itu adalah hal yang sama! Suamiku sedang duduk bersama seorang wanita di dalam mobilnya.

Sama denganku yang pucat pasti karena terkejut, mereka berdua juga tak kalah terkejutnya.

"Sayang! Kamu habis nabrak orang!" Wanita itu berteriak dari dalam mobil dan membuat sekotak kurma di tanganku jatuh dan bertebaran di aspal.

Telingaku langsung berdenging, aeketika segala bunyi-bunyian yang ada di sekitarku menghilang berganti hanya dengan desau angin dan betapa aku tak mampu mengalihkan penglihatanku dari seorang wanita dan suamiku yang duduk di sisinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status