“Woalaaaah. Mas Handoko ini kenapa to, Mas? Kok sampe besem-besem begini badannya?” Mbak Tita geleng-geleng kepala saat suaminya mengoleskan salep herbal ke badan Han yang biru-biru, “Sampeyan itu jatuh dari sepeda atau jatuh dari pucuk tebing Breksi? Kok bisa-bisanya biru-biru sak awak begini. Sebadan lho ini lebamnya.”
“Hahahaha. Biasalah, Bu. Cah lanang. Kalau laki-laki ya begini ini, meski cuma jatuh dari sepeda, tapi harus mbois jatuhnya! Harus keren! Kalau bisa harus sampai terguling-guling kayak eksyen India, jadi lebamnya sebadan. Lak iyo to, Mas Han?” Lek Wasis menimpali sembari mengoles dan memijat.
“Adududuuuh.” Han hanya meringis.
Suami istri yang menjadi tetangga kost-nya itu memang grapyak, ramah, dan selalu siap menolong kapan saja dibutuhkan. Mereka yang melihat Han pulang menuntun sepedanya dengan badan lebam-lebam langsung memaksa sang pemuda untuk menerima treatment herbal yang sejatinya tidak dia butuhkan.
“Untung sepedanya nggak rusak ya, Mas. Jadi masih bisa dikendarai dari kampus ke sini. Padahal jatuhnya kayaknya eksyen banget,” sekali lagi Mbak Tita berceletuk, “lha wong sampai sebadan begini birunya.”
“Iya.” Jawab Han singkat.
“Wes. Rampung. Selesai.” Lek Wasis menepuk pundak si Bengal. “Ingat ya, Mas. Setelah ini sebaiknya jangan mandi dulu. Mendingan sampeyan langsung istirahat. Pertama minum jamu yang sudah tak ramu, terus leren dulu bentar, istirahat. Tapi jangan langsung tidur, ojo langsung. Jangan. Biar obat-obatanya meresap dulu. Nah setelah sekitar setengah jam, baru mulai rebahan. Wes to, tak jamin bisa pules tidurnya,”
Lek Wasis sepertinya amat mempercayai ramuan herbalnya.
“Siap. Makasih banyak, Lek. Mbak…”
“Sama-sama, Mas. Istirahat yo.”
Han mengangguk.
Pasangan itu segera pamit dan keluar dari kamar kost Han, meninggalkan sang pemuda sendirian di dalam kamar. Musik mengalun pelan dari laptop yang dinyalakan.
Han duduk di kasurnya yang diletakkan di lantai, menyandarkan punggungnya di tembok. Ia tidak memiliki pesawat televisi dan biasanya menggunakan laptopnya untuk menonton apapun. Ternyata dia masih beruntung, meski sempat dilemparkan ke bebatuan oleh orang-orang yang menyerangnya, ternyata laptop jadulnya hanya lepas baterai saja, tidak rusak parah.
Ia pun memutar lagu city pop versi lofi dan perlahan-lahan menikmati suasana malam, mencoba menenangkan hati dan perasaan dengan luka-luka lebam yang nyeri. Tapi mau bagaimanapun, Han tidak bisa memejamkan mata. Bukan karena sakit, kata-kata dari Pak No saat mereka berpisah berulang kali muncul di benaknya.
“Hanya kamu yang bisa membuat perubahan, Han. Supaya tidak ada lagi kejadian mengerikan dan menyedihkan terjadi di tempat ini. Aku memang bodoh dan lemah, tapi bisa membaca aura seseorang. Kamu punya sesuatu. Kamulah perubahan yang ditunggu kampus ini.”
Han melirik ke samping, ke arah sebuah foto yang terdapat di meja. Ada fotonya, foto sang Ibu, Bapak, dan sang Kakek. Sebenar-benarnya keluarga yang membuatnya bahagia tapi kini semuanya sudah tiada.
Ia fokus ke wajah sang Kakek, ingat pertanyaan yang pernah diajukan kepadanya.
“Satu pertanyaan yang mendasar dan utama, Han. Kapan kamu harus bertarung dan kapan kamu tidak perlu bertarung?”
Kalimat itu selalu muncul di pikiran sang pemuda. Sebuah pertanyaan yang diajukan oleh mendiang kakeknya ketika mereka berlatih di hutan pada suatu ketika. Hari ini dia dihajar habis-habisan karena tidak melawan. Banyak yang bertanya kenapa? Dia juga mungkin tak bisa menjawab. Apakah karena dia kasihan pada mereka? Tidak ingin ketahuan bisa bertarung? Atau hanya karena malas meladeni? Atau bahkan mungkin akumulasi dari semua hal itu?
Tapi sejujurnya, apakah orang-orang tadi pantas dikasihani?
“Kenapa kamu melakukannya? Supaya kamu dianggap hebat? Supaya kamu dianggap paling kuat? Buat apa? Bukan itu yang menjadikan kamu sebagai anak ibu! Bukan itu yang kami inginkan darimu! Ibu kecewa sama kamu! Kasihan mereka, Han!”
Dia juga masih teringat dengan jelas bagaimana ibunya meninggal dan masih menyisakan kekecewaan kepadanya. Sang Ibu marah besar karena dia terlibat dalam tawuran hebat yang mengakibatkan korban jiwa. Semua karena ambisinya, semua karena dia merasa hebat, semua karena dia merasa kuat dan tak terkalahkan. Dia tidak pernah peduli, sampai akhirnya dia kehilangan sahabatnya, dan akibatnya dia pun dikeluarkan dari sekolah.
Lalu ibunya sakit-sakitan, lalu meninggal, lalu dia pindah ke tempat Kakek. Han teringat dengan jelas alasan kenapa dia tidak mau bertarung dengan serius lagi. Karena dia sudah berjanji untuk berubah pada mendiang sang Bunda. Janji bahwa dia tidak akan pernah lagi mengecewakannya. Pesan terakhir sang Ibu selalu teringat.
“Ketika Ibu sudah tidak ada nanti, jadilah orang yang berguna buat sesama. Mau seperti apapun kondisi kamu, Bapak dan Ibu pasti bangga sama kamu. Bantu yang perlu dibantu, jangan lagi merugikan orang lain.”
Napas pemuda itu mulai teratur. Serasa ada yang tengah mengusap kepalanya.
Perlahan-lahan, Han pun lelap.
Han melangkah maju, kobaran api di sekelilingnya semakin mendominasi lapangan yang kini terasa seperti medan perang. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang Viktor menggunakan ledakan api berbentuk harimau yang melesat dengan kecepatan luar biasa. Viktor mencoba menghindar, tetapi ekor harimau api itu menyambar bahunya, membuatnya terlempar beberapa meter.“Jangan berpikir kau bisa lolos dengan mudah,” Viktor berkata sambil berdiri tertatih, memfokuskan kekuatannya untuk melawan. Listrik mulai terkumpul di tangannya, membentuk bola energi yang lebih besar dan mematikan. Ia melemparkannya ke arah Han dengan kekuatan penuh, menciptakan ledakan besar saat menyentuh tanah.Namun, ketika debu menghilang, Han masih berdiri tegap, meskipun kini dengan pakaian yang sebagian hangus. “Itu cukup menghibur,” katanya, senyumnya masih tetap sinis. Ia mengangkat tangannya lagi, kali ini menciptakan dinding api yang melindunginya dari serangan Viktor selanjutnya.Viktor mulai kehabisan tenaga karena
Lapangan sepakbola yang terkurung ruko-ruko itu terasa hening, seolah segala suara dari dunia luar lenyap. Han, dengan tangan dimasukkan ke saku celana, berdiri santai di tengah lapangan. Wajahnya dihiasi senyum menyeringai, meskipun matanya tetap tajam memandang Viktor von Dasch di seberang.Viktor, dengan sikap penuh percaya diri, melangkah maju sambil mengayunkan jemarinya yang memercikkan listrik. “Kamu lumayan, Bro. Jadi Aku akan lebih serius,” Viktor berkata sambil tertawa kecil. “Tadinya Aku pikir Aku tak perlu berusaha terlalu keras.”Han hanya mengangkat alis, tak berkata apa-apa. Ia menggeser kakinya sedikit, bersiap. Sebuah langkah kecil yang hampir tidak terlihat, tetapi penuh makna. Viktor, merasa diremehkan, mengayunkan tangannya ke depan, mengirimkan sambaran petir ke arah Han.Sambaran itu menghantam tanah dengan dentuman keras, meninggalkan bekas hangus yang berasap. Namun, Han sudah tidak berada di tempat itu. Dengan langkah ringan, ia bergeser ke samping, membuat Vi
Di sisi lain, Anjani melompat ke tangga besi yang berkarat, mendaki dengan cepat hingga mencapai atap ruko. Shih-Tzu tak mau kalah, Ia meluncur seperti bayangan gelap, menghantam besi tua itu dengan tumitnya hingga tangga bergoyang hebat. Anjani nyaris terlempar, namun berhasil mencengkeram pinggiran atap dan melompat ke permukaan yang licin.Shih-Tzu sambil melompat ke atap, meluncur seperti badai yang tak terhentikan, seakan-akan hendak menyatakan pada Anjani kalau mau lari kemanapun, Ia sanggup mengejarnya.Anjani memutar badan dan mengayunkan nunchaku-nya dengan gesit, menangkis sabetan pedang kayu Shih-Tzu yang mematikan. Shih-Tzu juga menggunakan pelindung besi untuk bertahan dari serangan Anjani berikutnya. Benturan keduanya menimbulkan percikan api kecil di tengah hujan yang mulai turun lebih deras, menciptakan suasana penuh ketegangan.Dengan gerakan akrobatik, Shih-Tzu melompat ke atap ruko sebelah, tubuhnya meliuk anggun di udara seperti burung elang. Anjani mengejar tanpa
Sementara itu, di gang-gang sempit perkampungan yang menyelinap di belakang ruko-ruko tua, mendadak terdengar riuh oleh suara sepatu yang menghantam permukaan jalan berbatu. Ada yang sedang berkejaran di sana. Dua wanita muda dikejar oleh dua wanita muda yang lain.Anjani dan Khansa berlari berdampingan, napas mereka memburu di bawah sinar remang lampu jalan yang berkelap-kelip. Mereka tahu, dua bayangan hitam yang mengejar mereka saat ini bukanlah cewek-cewek biasa, Shih-Tzu dan Vodel adalah dua ninja wanita cukup mumpuni kemampuannya dari kelompok D.O.G. Baik Khansa maupun Anjani tahu kenapa dua ninja wanita itu ditakuti.Tiba-tiba, Shih-Tzu melesat lebih cepat dari bayangan malam, tubuhnya berputar seperti pusaran angin, menghempaskan tendangan melingkar yang memecahkan dinding kayu di sisi gang. Targetnya adalah salah satu dari kedua target. Anjani dengan sigap berguling ke samping, menghindari serangan berbahaya itu. Anjani mengumpat karena harus berjibaku dengan repot.Sementar
“Let’s go, Bro. Sekali lagi. Adu pukulan,” ucap Garin lemah sambil menyeringai terhadap Hektor.Suasana di sekitar mereka terasa semakin tegang, seakan semua orang di kerumunan tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Jika Kasper dan Garin saja takluk, siapa yang bisa menghentikan orang ini?Tapi ini bukan masalah takut atau tidak takut. Bukan masalah menang kalah. Ini masalah menjalankan perintah sang pimpinan. Kerumunan preman jalanan berkerumun di sekitar Hektor, seperti ombak yang siap menghantam karang. Bagi mereka, menjalankan perintah Kasper adalah harga mati.Di saat pasukan preman jalanan mengerumuni Hektor, Garin tahu apa yang harus ia lakukan.Garin, dengan napas terengah-engah dan tubuh yang sudah penuh luka, berlari menuju gerbang lapangan sepak bola. Ia tahu di balik gerbang itu Han dan Viktor tengah bertempur, dan misi utamanya kali ini adalah memastikan Hektor tidak bisa mencapainya. Kalau Hektor yang mengerikan ini masuk, ditambah dengan Viktor, entah apakah H
Di bawah sinar lampu jalan yang temaram di dekat lapangan sepakbola, Hektor von Dasch berdiri dengan tangan bersidekap, tubuh jangkungnya tampak kokoh bagaikan baja. Di depannya, Kasper dan Garin bersiap dengan postur siaga, napas mereka berat setelah pertarungan-pertarungan sebelumnya menghabiskan tenaga mereka.Kasper melangkah maju lebih dulu, dengan amarah yang membara. “Mau lewat? Sayang sekali, kamu harus melewati kami terlebih dahulu!” teriaknya.Hektor hanya mengangkat alis, lalu menurunkan tangannya perlahan dan tersenyum meremehkan. Ia memberikan isyarat tantangan dengan menggerakkan kepalanya.Kasper tak menunggu lebih lama. Ia meluncur ke depan dengan gerakan eksplosif, menyerang dengan spear khasnya yang biasanya membuat lawan terpental. Namun kali ini spear yang ia lakukan bagaikan membentur tembok beton.Bukannya jatuh, Hektor malah tetap berdiri kokoh dengan perkasa. Saat tubuh Kasper menghantam dadanya, Hektor hanya melangkah mundur satu langkah kecil sebelum menjepit