Share

Bab 2 Ada Yang Menunggu

Author: killertomato
last update Last Updated: 2024-09-08 11:30:26

Han terkesiap.

Aduh, sudah berapa lama dia pingsan?

Han mengusap kepalanya yang terasa berat. Badannya sakit semua dan sekujur tubuh berasa lebam. Ia sedang terkapar di samping sebuah pohon besar di dekat taman Kampus di bawah langit berbintang. Orang-orang yang menyerangnya tadi sepertinya benar-benar menuntaskan kemarahan mereka padanya.

Han tersenyum. Jadi seperti ini ya rasanya jadi mangsa tukang bully? Ia berdiri dengan susah payah dan mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan.

“Kamu orang yang aneh.”

Han menengok ke samping.

Ada seorang pria tua kurus yang mengenakan seragam satpam kampus berada tak jauh darinya. Ia duduk di sebuah batu besar di samping lampu taman bulat yang menyala terang.

“Bapak ngomong sama saya?”

“Mas, Ini jam sebelas malam, kampus sudah sepi, dan cuma ada kita berdua di sini. Kira-kira ngomong sama siapa lagi? Hantu? Ga ada hantu di sini, Mas. Adanya di sana, di toilet deket gedung pertemuan mahasiswa.”

Han mencoba tersenyum tapi sesaat kemudian ia meringis pedih. Bibirnya terasa sakit. Mungkin pecah karena tadi dia dihajar sampai pingsan. Ia kembali mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan, memasukkan semuanya ke dalam tas ransel yang ia bawa-bawa.

“Kenapa kok nggak melawan, Mas?”

Han melirik ke arah sang Bapak dan menggelengkan kepala. Tidak dia tidak akan melawan, karena jika dia melawan, semua yang dia perjuangkan sejak keluar dari SMA Bangsa akan hangus begitu saja. Sejak kematian sang sahabat, dia sudah berjanji tidak akan bertarung lagi untuk alasan apapun.

Han ingat sekali betapa hancurnya hati sang Bunda ketika Han harus dikeluarkan dari sekolah gara-gara dituding menjadi penyebab kematian sang sahabat. Han harus pindah sekolah di desa dan tinggal bersama Kakek untuk melanjutkan sekolahnya di pelosok, jauh dari hingar bingar kota. Tak ada lagi pertarungan, tawuran, dan perkelahian.

Untuk memperbaiki diri, Han telah berjanji pada almarhum Ibu dan Bapaknya, pada Kakeknya, dan pada mendiang sahabatnya, bahwa dia hanya akan kembali bertarung, di saat yang tepat dan jika memang alasannya tepat. Kunyuk-kunyuk tadi? Bukan alasan yang tepat.

“Tidak layak untuk dilawan, Pak.”

“Heheh. Padahal aku bisa membaca ada sesuatu yang besar yang bergejolak di dalam dirimu. Kamu mencoba menahannya sekuat tenaga kan? Heheheh. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan.”

Han terdiam sejenak, tapi tidak lantas beranjak, seperti tidak mengindahkan pertanyaan yang diajukan.

Bapak tua itu tidak berhenti mencecar, “Kamu sebenarnya bisa melawan. Bahkan bisa melakukan hal yang lebih dari sekedar itu, tapi memilih untuk tidak melakukannya. Kenapa? Tidak mungkin karena takut.”

Han hanya tersenyum mendengar pertanyaan sang satpam, apalagi ketika menyadari ada barangnya yang hilang. Han kebingungan mencari kesana dan kemari tapi tetap tidak menemukannya. Di mana mereka membuangnya tadi? Apakah sudah tertiup angin?

Sang satpam mengangkat selembar foto.

Han tersenyum dan menghampiri Bapak Tua itu, lalu menerima foto sang bunda, “Terima kasih, Pak.”

Bapak tua itu mengangguk-angguk. Ia mengulurkan sesuatu, sebotol air mineral.

“Minumlah. Kamu membutuhkannya.”

Han menerimanya dan duduk di sebelah sang Bapak. “Kenapa nungguin saya, Pak?”

Sang satpam tua terkekeh, “Karena aku tertarik padamu. Aku melihat semuanya, membaca auramu, dan sejuta pertanyaan melintas di pikiranku.”

“Oh,” Han mengangkat bahu, “Aku sama sekali tidak paham kenapa Bapak tertarik padaku. Aku hanyalah mahasiswa baru yang hari ini kena naas dihajar geng preman kampus.”

Bapak itu tersenyum dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Han, “Namaku Djoewarno. Panggil saja Pak No.”

Han menyalami pria tua itu, “Saya Handoko. Panggil saja Han.”

“Handoko? Heheh. Sudah sangat jarang ada yang pakai nama seperti itu, anak-anak jaman sekarang biasanya Andrew, Kenny, Kevin, atau… Zayn misalnya.”

Han menunduk dan tersenyum, “Tidak apa-apa. Itu nama pemberian Bapak dan Ibu saya.”

“Setuju.”

“Sudah lama kerja di sini, Pak?”

Wes suwe, tiga puluh tahun. Sudah banyak yang aku lihat di sini mulai dari kejadian yang menyenangkan sampai yang tidak. Kampus ini punya reputasi yang amat buruk dan aku wes terlalu banyak menyaksikan kejadian yang tidak menyenangkan. Kamu belum mengalami apa-apa.”

“Lagipula aku bukan orang yang mereka cari.”

“Kenapa kamu bersikukuh? Bukankah kamu orang yang mereka cari? Nama sama, penampilan sama. Kamu bahkan memilih mengalah untuk dihajar sampai babak belur. Ada alasan khusus kenapa kamu tidak mengaku?”

Han menggeleng kepala. “Tidak ada.”

Han selalu bilang mereka salah karena orang yang mereka maksud memang sudah tidak ada. Dia yang sekarang bukanlah dia yang dulu. Dia berubah banyak sejak tinggal bersama sang Kakek, apalagi sejak meninggalnya Ibu. Han paham bahwa di balik kemampuan yang besar, dibutuhkan tanggung jawab yang besar pula.

Han dan sang Kakek masih berlatih ilmu bela diri, bahkan kemampuannya sangat meningkat – tapi Kakek selalu berpesan kalau lawannya tidak layak, lebih baik diam saja, karena jika Han membalas, kasihan mereka.

“Orang yang mereka maksud sudah tidak ada lagi.”

Pak No manggut-manggut, “Padahal dari aura, kamu punya ilmu linuwih yang...”

Han hanya tersenyum sedikit dan berdiri, “Terima kasih, Pak. Buat fotonya, minumannya, terima kasih juga sudah bersedia nungguin saya sampai bangun.”

“Handoko. Mereka yang tertindas, tidak bisa melawan, dan tidak bisa mempertahankan diri butuh bantuanmu.”

Han menghela napas, “Saya hanya mahasiswa baru. Tadi saja saya dihajar habis-habisan. Orang seperti saya bisa apa.”

“Ada tiga geng besar di sini. Mereka dibiarkan bebas oleh pengelola kampus karena memang kekuatan mereka berkembang menjadi sangat menakutkan.”

Pak No terdiam sejenak sebelum melanjutkan.

“Semua di sini hobi tawuran. Kampus yang megah jadi sarang preman, sehari-hari ada korban perundungan. Sudah banyak cara ditempuh tapi kondisi tidak berubah selama bertahun-tahun. Sangat disayangkan.”

Han mendengarkan.

“Berbeda dengan kampus tetangga yang ada di seberang ringroad. Kampus yang tadinya diolok-olok, malah berkembang menjadi salah satu kampus terbaik. Lebih populer dan diminati kalangan menengah ke atas. Penuh prestasi, tidak ada tukang bully.”

Han mengangguk paham. Antara Universitas Cemara dan Akademi Komputer Unggulan memang hanya berbatas ringroad.

“Sementara di sini? Kamu tahu sendiri. Mahasiswa berprestasi sedikit, yang punya duit dan pintar mending pilih kampus lain. Kerusuhan merajalela, tawuran antar geng tiga kali sehari. Rata-rata mereka yang masuk ke sini dari keluarga kalangan menengah ke bawah yang dananya kurang untuk kuliah di kampus terbaik.”

“Kenapa Bapak menceritakan ini ke saya?”

Pak No tersenyum, “Cerita? Ah. Aku ingin cerita tentang anakku, Han. Namanya Ahmad, dia baik, pintar, dan cerdas. Sayang gagal dapat beasiswa karena dicurangi pihak sekolah. Mereka mendahulukan siswa berduit minim prestasi.”

Han paham, permainan manajemen sekolah.

“Ujung-ujungnya dia hanya bisa masuk ke Universitas Cemara ini, karena aku mendapat potongan harga. Tapi dia suka dan dia bangga kuliah di sini, dia belajar dengan serius. Sama seperti kamu, dia juga masuk IT.”

Han terdiam. Suara Pak No terdengar bergetar, ia menunjuk ke arah timur laut.

“Sebelah sana. Ahmad dimakamkan di pemakaman umum yang ada di sebelah sana. Dekat dengan tempatku tinggal. Kelompok yang tadi menghajarmu – sering disebut DMA, konon mereka yang menjadi penyebabnya, mereka meninggalkannya begitu saja seperti tikus di tengah jalan. Ahmad terbaring di trotoar dengan tubuh penuh luka lebam dan hantaman benda tumpul di kepala. Tidak ada satupun yang mendapatkan hukuman, tidak ada yang disidang. Pernyataan pihak kepolisian sama dengan pernyataan kampus. Kecelakaan, semua ditutup-tutupi.”

Han menunduk.

“Han, dia bukan yang pertama dan bukan satu-satunya. Aku yakin dia tidak akan menjadi yang terakhir. Bantu mereka yang membutuhkan.”

Han semakin menunduk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Zayn Al faruq
semakin menarik om suhu
goodnovel comment avatar
sempak kancut
hadehhh hann, keras lagi ni kehidupunk mu han
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PETARUNG JALANAN RUNGKAD JAGATGENI   Bab 54 Ada Yang Mengulur Waktu

    Han melangkah maju, kobaran api di sekelilingnya semakin mendominasi lapangan yang kini terasa seperti medan perang. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang Viktor menggunakan ledakan api berbentuk harimau yang melesat dengan kecepatan luar biasa. Viktor mencoba menghindar, tetapi ekor harimau api itu menyambar bahunya, membuatnya terlempar beberapa meter.“Jangan berpikir kau bisa lolos dengan mudah,” Viktor berkata sambil berdiri tertatih, memfokuskan kekuatannya untuk melawan. Listrik mulai terkumpul di tangannya, membentuk bola energi yang lebih besar dan mematikan. Ia melemparkannya ke arah Han dengan kekuatan penuh, menciptakan ledakan besar saat menyentuh tanah.Namun, ketika debu menghilang, Han masih berdiri tegap, meskipun kini dengan pakaian yang sebagian hangus. “Itu cukup menghibur,” katanya, senyumnya masih tetap sinis. Ia mengangkat tangannya lagi, kali ini menciptakan dinding api yang melindunginya dari serangan Viktor selanjutnya.Viktor mulai kehabisan tenaga karena

  • PETARUNG JALANAN RUNGKAD JAGATGENI   Bab 53 Ada Yang Berapi

    Lapangan sepakbola yang terkurung ruko-ruko itu terasa hening, seolah segala suara dari dunia luar lenyap. Han, dengan tangan dimasukkan ke saku celana, berdiri santai di tengah lapangan. Wajahnya dihiasi senyum menyeringai, meskipun matanya tetap tajam memandang Viktor von Dasch di seberang.Viktor, dengan sikap penuh percaya diri, melangkah maju sambil mengayunkan jemarinya yang memercikkan listrik. “Kamu lumayan, Bro. Jadi Aku akan lebih serius,” Viktor berkata sambil tertawa kecil. “Tadinya Aku pikir Aku tak perlu berusaha terlalu keras.”Han hanya mengangkat alis, tak berkata apa-apa. Ia menggeser kakinya sedikit, bersiap. Sebuah langkah kecil yang hampir tidak terlihat, tetapi penuh makna. Viktor, merasa diremehkan, mengayunkan tangannya ke depan, mengirimkan sambaran petir ke arah Han.Sambaran itu menghantam tanah dengan dentuman keras, meninggalkan bekas hangus yang berasap. Namun, Han sudah tidak berada di tempat itu. Dengan langkah ringan, ia bergeser ke samping, membuat Vi

  • PETARUNG JALANAN RUNGKAD JAGATGENI   Bab 52 Ada Yang Terhuyung

    Di sisi lain, Anjani melompat ke tangga besi yang berkarat, mendaki dengan cepat hingga mencapai atap ruko. Shih-Tzu tak mau kalah, Ia meluncur seperti bayangan gelap, menghantam besi tua itu dengan tumitnya hingga tangga bergoyang hebat. Anjani nyaris terlempar, namun berhasil mencengkeram pinggiran atap dan melompat ke permukaan yang licin.Shih-Tzu sambil melompat ke atap, meluncur seperti badai yang tak terhentikan, seakan-akan hendak menyatakan pada Anjani kalau mau lari kemanapun, Ia sanggup mengejarnya.Anjani memutar badan dan mengayunkan nunchaku-nya dengan gesit, menangkis sabetan pedang kayu Shih-Tzu yang mematikan. Shih-Tzu juga menggunakan pelindung besi untuk bertahan dari serangan Anjani berikutnya. Benturan keduanya menimbulkan percikan api kecil di tengah hujan yang mulai turun lebih deras, menciptakan suasana penuh ketegangan.Dengan gerakan akrobatik, Shih-Tzu melompat ke atap ruko sebelah, tubuhnya meliuk anggun di udara seperti burung elang. Anjani mengejar tanpa

  • PETARUNG JALANAN RUNGKAD JAGATGENI   Bab 51 Ada Yang Masih Berkejaran

    Sementara itu, di gang-gang sempit perkampungan yang menyelinap di belakang ruko-ruko tua, mendadak terdengar riuh oleh suara sepatu yang menghantam permukaan jalan berbatu. Ada yang sedang berkejaran di sana. Dua wanita muda dikejar oleh dua wanita muda yang lain.Anjani dan Khansa berlari berdampingan, napas mereka memburu di bawah sinar remang lampu jalan yang berkelap-kelip. Mereka tahu, dua bayangan hitam yang mengejar mereka saat ini bukanlah cewek-cewek biasa, Shih-Tzu dan Vodel adalah dua ninja wanita cukup mumpuni kemampuannya dari kelompok D.O.G. Baik Khansa maupun Anjani tahu kenapa dua ninja wanita itu ditakuti.Tiba-tiba, Shih-Tzu melesat lebih cepat dari bayangan malam, tubuhnya berputar seperti pusaran angin, menghempaskan tendangan melingkar yang memecahkan dinding kayu di sisi gang. Targetnya adalah salah satu dari kedua target. Anjani dengan sigap berguling ke samping, menghindari serangan berbahaya itu. Anjani mengumpat karena harus berjibaku dengan repot.Sementar

  • PETARUNG JALANAN RUNGKAD JAGATGENI   Bab 50 Ada Yang Menahan

    “Let’s go, Bro. Sekali lagi. Adu pukulan,” ucap Garin lemah sambil menyeringai terhadap Hektor.Suasana di sekitar mereka terasa semakin tegang, seakan semua orang di kerumunan tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Jika Kasper dan Garin saja takluk, siapa yang bisa menghentikan orang ini?Tapi ini bukan masalah takut atau tidak takut. Bukan masalah menang kalah. Ini masalah menjalankan perintah sang pimpinan. Kerumunan preman jalanan berkerumun di sekitar Hektor, seperti ombak yang siap menghantam karang. Bagi mereka, menjalankan perintah Kasper adalah harga mati.Di saat pasukan preman jalanan mengerumuni Hektor, Garin tahu apa yang harus ia lakukan.Garin, dengan napas terengah-engah dan tubuh yang sudah penuh luka, berlari menuju gerbang lapangan sepak bola. Ia tahu di balik gerbang itu Han dan Viktor tengah bertempur, dan misi utamanya kali ini adalah memastikan Hektor tidak bisa mencapainya. Kalau Hektor yang mengerikan ini masuk, ditambah dengan Viktor, entah apakah H

  • PETARUNG JALANAN RUNGKAD JAGATGENI   Bab 49 Ada Yang Terus Bangkit

    Di bawah sinar lampu jalan yang temaram di dekat lapangan sepakbola, Hektor von Dasch berdiri dengan tangan bersidekap, tubuh jangkungnya tampak kokoh bagaikan baja. Di depannya, Kasper dan Garin bersiap dengan postur siaga, napas mereka berat setelah pertarungan-pertarungan sebelumnya menghabiskan tenaga mereka.Kasper melangkah maju lebih dulu, dengan amarah yang membara. “Mau lewat? Sayang sekali, kamu harus melewati kami terlebih dahulu!” teriaknya.Hektor hanya mengangkat alis, lalu menurunkan tangannya perlahan dan tersenyum meremehkan. Ia memberikan isyarat tantangan dengan menggerakkan kepalanya.Kasper tak menunggu lebih lama. Ia meluncur ke depan dengan gerakan eksplosif, menyerang dengan spear khasnya yang biasanya membuat lawan terpental. Namun kali ini spear yang ia lakukan bagaikan membentur tembok beton.Bukannya jatuh, Hektor malah tetap berdiri kokoh dengan perkasa. Saat tubuh Kasper menghantam dadanya, Hektor hanya melangkah mundur satu langkah kecil sebelum menjepit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status