Share

03

Alina menaiki kereta kuda milik keluarganya yang sudah menunggu didepan kediamanya sejak tadi. Alina duduk disebelah jendela sambil menikmati suasana kota di pagi hari. Melihat petugas yang sibuk mengawasi kota di pagi hari ini membuat Alina teringat sesuatu. Dulu ada keluarga bangsawan yang sedang berpergian, entah darimana datangnya monster yang tiba-tiba muncul dan menyerang keluarga itu. Mereka dinyatakan tewas di tempat dengan kondisi tubuh hancur.

"Menyedihkan." Alina menyangga dagunya menggunakan tangan kiri sambil melihat keluar jendela.

Tidak banyak yang Alina lakukan di dalam kereta kuda selama perjalanan, hanya melihat keluar jendela dan memikirkan hal yang seharusnya tidak dia pikirkan.

"Queen." Para pelayan yang sudah berjajar di depan gerbang membungkuk menyapa Alina saat melihatnya menuruni kereta kuda.

Rambut berwarna biru tuanya melambai-lambai saat angin berembus. Baju berwarna putih dengan warna biru tua dibagian bawahnya membuat dirinya terlihat seperti dewi yang turun dari langit.

Alina melangkahkan kakinya memasuki rumah yang lebih pantas disebut mansion. Saat Alina melewati pintu, dirinya tidak sengaja bertemu Adik terakhirnya, Albern De'lewis. Laki-laki yang lebih tinggi darinya dengan tubuh yang lebih kekar daripada saat mereka terakhir bertemu membuat dia sedikit tidak megenali Adiknya.

Dimana perginya Albren yang kurus itu? Batin Alina.

"Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Kau semakin ga-"

Albren langsung memeluk Alina setelah beberapa saat terkejut melihat kakaknya di rumah. Sudah hampir lima tahun mereka tidak bertemu. Selama ini Alina selalu menolak jika diminta untuk pulang. Entah Kakaknya atau Adik-adiknya yang meminta, Alina selalu menolak. Alasannya karena dia akan merasa pusing jika kembali ke rumah ini.

"Kakak..." lirih Albren yang masih memeluk Alina.

Tangan Alina membalas pelukan Adiknya. Di antara ketiga Adiknya, Albren lah yang paling dekat denganya. Dulu bahkan Albren sampai sakit karena ditinggal oleh Alina yang pergi ke kerajaan karena menikah.

Alina mendorong tubuh Albren lalu menangkup wajah laki-laki itu. Matanya yang berwarna abu-abu semakin membuat laki-laki itu terlihat tampan. "Kenapa kau harus menjadi Adikku?"

"Kakak?" Wajah Albren berubah sedih mendengar pertanyaan Alina.

"Kau sangat tampan untuk menjadi Adikku, bagaimana kalau kau menjadi pasanganku?" Alina menggoda Albren yang membuat laki-laki itu malu.

"Manisnya!" Batin Alina sebelum memeluk Albren karena gemas.

***

"Alina, jika kau mau aku bisa menarik mundur pendukung yang membantu Cyril naik tahta. Dengan berkurangnya pendukung itu dia bisa dengan mudah dilengserkan."

"Jangan! Ada sesuatu yang sedang aku cari."

Alina fokus memeriksa berkas-berkas di meja kerja kakaknya. Ada satu berkas yang membuat dia terdiam. Lagi-lagi laporan munculnya monster di hutan lepas. Kenapa disebut hutan lepas? Karena memang kerajaan ini dikelilingi benteng yang besar, sehingga di daerah luar beteng di sebut daerah lepas salah satunya hutan itu.

"Bagaimana mereka bisa muncul sampai ke kerajaan ini?"

"Entahlah Alina, aku juga tidak tahu. Dengar Alina, aku tidak mengijinkanmu menangani kasus ini. Sepuluh tahun yang lalu kau hampir dimakan momster itu jika tidak ada Alvino disana!"

Alina menatap kakaknya malas. Sampai kapan dia diperlakukan seperti gadis berumur lima belas tahun oleh Kakaknya itu, "Sayang sekali aku akan melakukannya."

"Adudelina!"

Alina menghilang begitu saja dari hadapan Arise. Salah satu kemampuan Alina adalah teleport.

"Kenapa mereka sangat suka meneriaki namaku?" Alina menghela napasnya mengingat dia sudah diteriaki oleh mereka berkali-kali.

Alina muncul kembali di lapangan tempat latihan para kesatria. Di tengah-tengah lapangan Alina bisa melihat Adik pertamanya, Adalrico De'lewis dan jangan lupakan Adik keduanya yang sedang berdiri ditengah-tengah kesatria dengan membawa pedang, Alvino.

Sepertinya sekarang jadwal Alrico mengawasi latihan para kesatria untuk melaporkan perkembangan para kesatria kepada Arise. Alrico sebagai Laki-laki paling tua di antara ketiga Adiknya membuat dia harus siap menjadi pengganti Arise nantiny jika dia menikah. Meskipun Alrico bukan kepala keluarga, tetapi dia sering menggantikan tugas Kakaknya, Arise.

"Kalau kata Kakak 'belajar menjadi kepada keluarga' padahal itu karena dia malas."

Alina mengamati latihan itu dengan seksama. Sesekali dia tertawa saat melihat wajah bengis Alvino. Padahal ketika dirumah Alvino menjadi orang paling jahil sampai membuat Alina ingin membuang Adiknya itu di hutan lepas.

"Lupakan soal hutan lepas, Dia bahkan menghabisi sepuluh monster di umur duabelas tahun."

Saat itu kejadian yang sama dengan kejadian kecelakaan keluarga bangsawan itu— lebih tepatnya kecelakaan keluarga De'lewis yang hendak berpergian ke kerajaan Orion. Alina menjadi salah satu yang mengikuti perjalanan itu.

Flashback.

Alina yang berumur lima belas tahun menatap keluar jendela dengan malas. Pagi ini dia harus mengikuti keluarganya berpergian ke kerajaan Orion. Padahal dia masih mengantuk karena semalam tidur terlalu larut.

"Ibu, bisakah aku turun? Tiba-tiba tubuhku terasa sakit." Alina bertanya kepada wanita di sampingnya. Wanita berambut biru dengan mata yang juga berwarna biru itu menatap putrinya geli.

"Sakit? Coba Ibu lihat." Dia memeriksa tubuh putrinya dengan teliti, "sepertinya kau memang sakit. Aku akan meminta kepada Ayahmu agar kita mampir dulu di tempat penyihir untuk meminta obat."

Alina melotot tidak percaya. Meminta obat kepada penyihir sama saja dengan menyerahkan diri menjadi eksperimen mereka.

"A-itu, tiba-tiba aku menjadi sehat, Bu."

Perjalanan dilanjutkan dengan Alina yang mendengarkan ibunya bercerita. Tiba-tiba saja kereta yang berjalan di belakang mereka terguling kedepan membuat ibu dan anak itu terkejut. Alina yang di dekat jendela melihat kejadian itu dengan jelas. Alina terkejut saat ada monster berbentuk seperti gorila tetapi berkepela babi yang tiba-tiba menginjak-injak kereta itu.

Alina berteriak histeris. ibunya segera menarik Alina dan menutupi matanya, "Alina, dengarkan Ibu. Jangan pernah keluar dari kereta kuda apapun yang terjadi. Ibu akan melihat situasi diluar sebentar."

Adelia— Ibu Alina berjalan keluar dari kereta kuda. Pertempuran tidak bisa di cegah, banyak kesatria yang mati terbunuh. Ayah dan Ibu Alina menjadi salah satunya. Ayah dan Ibu Alina yang berusaha melindungi putrinya justru mati terbunuh oleh monster itu.

"Ibu!" Teriak Alina saat melihat Ibunya terlempar jauh.

"Jangan!" Adelia berteriak saat melihat Alina. Dengan susah payah dia berdiri dan menghampiri Alina,"Tenangkan dirimu, Alina."

Setelah Adelia mengusap kepalanya, Alina kembali tenang tetapi itu menjadi pembicaraan terakhir mereka sebelum ibunya di tarik menjauh darinya dan tubuhnya langsung di robek-robek oleh monter itu. Entah kenapa di saat seperti ini kota terlihat sepi, seperti tidak ada penghuni. Bahkan kerajaan tidak kunjung mengirimkan bantuan.

Alina terdiam di dalam kereta dengan tubuh gemetar. Bayangan ayah dan ibunya yang di robek-robek masih terbayang di otaknya. Dia hanya bisa pasrah jika setelah ini menjadi giliranya.

"Dasar monster jelek menjijikkan!"

Alina melihat Alvino yang berteriak marah. Alvino mengeluarkan pedangnya yang tiba-tiba dilapisi oleh api berwarna putih. Alina sedikit terkejut karena api putih adalah kekuatan sihi warisan milim keluarga mereka.

Alvino menikam monster itu dengan membabi buta menggunakan pedang apinya. Salah satu yang membuat api putih di takuti karena dia tidak akan padam sebelum dia membakar habis yang dia bakar. Api putih biasanya bisa bangkit saat anak itu berumur tujuh belas tahun, tetapi Alvino membangkitkanya di umur dua belas tahun. Sejak insiden itu Alvino memegang kendali keamanan di kerajaan. Dia ditunjuk langsung oleh Raja sebelum Cyril.

"Bukankah ini terlalu lama, Bu?"

"Kakak!" Alrico berteriak saat tidak sengaja melihat Alina berdiri di pinggir lapangan.

"Kapan Kakak datang? Kenapa tidak mengabari? Apa Kakak sudah makan? Bagaimana perjalanannya." Alrico memberikan Alina pertanyaan beruntun.

"Tanyakan satu-satu, Alrico. Kakak baru saja datang dan Kakak tidak sempat mengabari orang sibuk sepertimu. Bagaimana kalau setelah ini kita makan bersama?"

Alrico mengangguk setuju. Mereka pergi menuju ruang makan bersama tanpa mempedulikan Alvino yang sejak tadi melihat mereka dengan mata melotot. Setelah menyadarinya Alvino berlari dan langsung menubruk tubuh Alina.

"Aku kira kau lupa dengan Kakak."

Alvino tidak menjawab ucapan Alina dan tetap memeluk Alina sepanjang perjalanan. Tidak jarang juga Alrico memaksa Alvino melepaskan pelukan itu karena dia juga mau memeluk Alina.

"Lepaskan!"

"Tidak!"

Mereka terus ribut sepanjang perjalanan. Alina hanya diam tanpa ada niatan untuk memisahkan mereka, karena percuma saja memisahkan kucing dan tikus ini, mereka tidak akan mengalah sebelum ada yang mengalah terlebih dahulu diantara mereka dan sudah pasti tidak akan ada yang mengalah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status