Share

04

Alina duduk di tempat paling ujung disamping kanan Kakaknya. Meja panjang yang sudah diisi oleh orang-orang penting itu terasa sangat suram.

"Kapan Anda akan memberikan penerus, Queen Alina?"

Alina menompang dagunya dan menatap tetua yang baru saja bertanya kepadanya dengan malas, "Entahlah," jawabnya dengan santai. Terlihat para tetua disana sedang menahan emosi sedangkan kakaknya berusaha mati-matian agar tidak tertawa.

"Menikah saja dengan A-"

"Kau mau mengulangi sejarah kelam, Tetua Distrik Jauh?" Arise yang sejak tadi hanya menganggap pertemuan ini sebagai candaan berubah menjadi serius.

Saat mereka sedang makan bersama di ruang makan tadi tiba-tiba ada panggilan dari para tetua itu. Alina sudah menduga jika para tetua akan segera memanggilnya.

"Seharusnya kau bilang kepadaku jika kita akan di panggil," bisik Arise kepada Alina.

Sejak dulu Arise sangat membenci pertemuan dengan para tetua ini. Menurutnya mereka adalah tetua paling gila di dunia ini. Tetua yang melakukan segala cara demi tujuan mereka tercapai.

"Jadi kapan kita akan melaksanakan rencana itu?" Laki-laki yang duduk di bangku paling ujung bertanya setelah sejak tadi hanya menyimak.

"Nanti. Aku akan mencarikan waktu yang tepat." Alina menegakkan punggungnya lalu berdiri dari tempat duduknya. Pertemuan ini harus segera di akhiri jika tidak mau para tetua meminta dia melakukan hal-hal yang aneh.

"Tapi, queen-"

"Terimakasih atas waktunya. Kalian bisa kembali."

Alina langsung menghilang setelah mengatakan kalimat itu, tidak lupa dia juga membawa Arise bersamanya. Mereka muncul kembali di ruang kerja milik Arise. Arise langsung terduduk dengan wajah pucat karena teleportasi mendadak yang Alina lakukan.

"Tunggu!" Arise memegang pergelangan tangan Alina, "kau mau kemana?"

"Pergi ke desa, kenapa?"

"Aku ikut."

Alina sempat ragu saat melihat wajah pucat milik Arise. Tetapi dia tidak peduli, lagipula Arise yang meminta sendiri. Alina pergi menggunakan portal yang sejak dulu sudah menjadi alat transportasi untuk berpergian. Tujuan mereka kali ini adalah salah satu desa di daerah kekuasaan Arise. Desa yang dulu sering diserang oleh monster kini terlihat kosong tanpa penghuni.

Sebenarnya desa ini berada di luar benteng— tidak hanya desa ini, masih banyak desa-desa lain yang berada di luar benteng. Kebanyakan dari mereka yang tinggal diluar benteng adalah orang-orang yang menentang kebijakan kerajaan. Salah satu yanh mereka tentang adalah acara yang diadakan setiap tahunya setelah festival, perburuan lepas. Perburuan lepas diikuti oleh anak-anak muda entah itu laki-laki atau perempuan, bangsawan atau rakyat biasa. Perburuan yang disaksikan oleh kelima kerajaan besar. Perburuan yang semakin tahun semakin menggila. Meskipun begitu banyak desa ataupun kota yang mengirimkan anak-anak muda sebagai perwakilan desa ataupun kota mereka.

Yang awalnya hanya berburu babi dan rusa di hutan lepas menjadi berburu hewan langka yang bahkan keberadaannya tidak pasti. Kerajaan hanya memberikan bantuan berupa petunjuk dimana hewan itu berada. Biasanya para penyihir yang mencari informasi tempat dimana keneradaan hewan itu, lalu mereka akan memberikan petunjuk petunjuk menuju tempat itu.

Jika di kota indah, terang dan sangat maju, maka di desa sangat tertinggal jauh. Alina bahkan merasa seperti memasuki dunia lain saat baru menginjakkan kaki di desa ini.

"Kau datang jauh-jauh sampai sini untuk mencari apa, Alina?"

"Murid Ayah."

"Murid Ayah? Siapa?"

"Kau masih ingat laki-laki berambut putih dengan mata hitam? Dari data yang aku dapatkan dia berasal dari desa ini. Seharusnya dia masih hidup. Ada yang ingin aku tanyakan kepadanya."

Alina berjalan menyusuri desa yang sebagian bangunan rumahnya sudah roboh. Setelah mencari berjam-jam mereka tidak menemukan apapun, justru mereka menemukan potongan tubuh manusia yang sepertinya masih segar. Alina memberi isyarat kepada Arise untuk berhati-hati. Mereka berjalan mengikuti darah yang berceceran di tanah dan benar saja mereka menemukan monster bertubuh manusia dengan kaki kuda yang sangat besar sedang menyantap sesuatu. Alina menutup hidungnya karena bau amis yang menyengat dari darah manusia yang di santap monster itu.

"Orse?"

Alina mengangguk. Orse adalah monster bertubuh manusia dengan kaki kuda. Yang menakutkan dari orse adalah bentuk kepalanya, kepalanya memang seperti manusia tetapi dengan dagu lancip, hidung datar dan bola mata seperti kucing. Mulutnya yang panjang sampai ketelinga bisa memakan manusia atau hewan dalam sekali telan.

Alina menghentakkan tanganya, kilatan api terlihat membentuk pedang berwarna biru. Alina segera melemparkan pedang itu kearah orse tadi, lemparanya tepat mengenai kepala orse itu. Sayangnya Alina membuat kesalahan, dia lupa jika ada kawanan orse yang lain di sekitar orse yang dia buru, maka orse yang lain bisa mengetahui ada salah satu kawananya yang mati dengan bau darah orse itu.

"Alina, seharusnya kau memantau sekitar terlebih dahulu."

"Maafkan aku Kak. Sepertinya kau juga harus membantuku."

Arise merenggangkan tanganya, "Baik, ini saatnya untuk 'wanita bangsawan yang terkenal di peperangan' beraksi."

Arise menarik tanganya seperti hendak menembak dengan busur, lantas muncul busur dan anak panah berwarna putih dengan api yang dikelilingi api.

"Api putih, ya? Boleh juga."

Alina masih setia dengan pedang di tanganya. Arise membidik para orse yang berada jauh Alina, sedangkan Alina menebas para orse yang bisa dia gapai. Alina dan Arise bahu membahu menghabisi para orse itu.

"Alina, kau tidak perlu menahan diri, kerahkan seluruh kekuatanmu! Tenagaku sudah terkuras banyak!" Arise berteriak memberitahukan Alina. Tenaganya sudah terkuras banyak sehingga dia sudah tidak kuat untuk menahan mereka lebih lama lagi. Alina diam sebentar sebelum mengangguk menyetujui Kakaknya.

Arise memposisikan dirinya di depan Alina, "Aku akan mengulur waktu untukmu."

Alina memejamkan mata dengan jari telunjuk dan tengah kanan kirinya bertaut. Kesiur angin dingin menerpa sekeliling Alina. Saat di dahi Alina mulai memunculkan simbol, dari belakang mereka tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan pakaian serba hitam. Laki-laki itu membunuh orse dalam sekali kibsan tangan.

"Queen Alina, Nyonya Arise." Laki-laki itu membungkuk memberikan salam kepada dua kakak beradik itu.

Alina menatap laki-laki didepanya. Rambutnya memang berwarna putih tetapi mantanya berwarna merah dan juga Alina yakin bukan dia murid ayahnya yang sedang dia cari.

"Siapa kau?"

"Saya Ali, penyihir dari kerajaan Orion, Queen."

Tentu saja karena perburuan lepas akan dimulai setengah bulan lagi, lima kerajaan besar akan mengirimkan penyihir untuk membantu mencari informasi keberadaan hewan itu. Kebetulan kaliini giliran kerajaan Dharmaraja menjadi tuan rumah.

Alina membungkukkan badanya, "Terimakasih atas bantuan anda penyihir Ali."

"Sebuah kehormatan bagi saya dapat membantu anda."

***

Setelah bermalam di kota, Alina dan Arise bergegas kembali kemansion. Mereka diantarakan oleh penyihir Ali sampai di depan pintu gerbang. Arise memsuki mansion diikuti oleh Alina setelah memngantar kepergian penyihir Ali.

"Ada apa ribut-ribut?" Alina bertanya kepada Kakaknya yang juga tidak mengetahui alasanya.

Arise bersama Alina melangkahkan kakinya mendekati keributan itu. Para pelayan dan kesatria memberikan salam kepada mereka setiap mereka melewati mereka.

"Kakakku baru saja pulang dan kau mau membawanya kembali?" Suara Alrico terdengar di telinga mereka berdua.

"Sudah aku katakan, perburuan lepas akan segera dimulai dan keberadaan Alina sangat di butuhkan." Cyril berusaha meyakinkan ketiga adik Alina yang sejak tadi menghalangi dia memasuki mansion untuk mencari Alina.

"Kalau begitu biarkan Kakakku menggantikan posisimu!"

Arise dan Alina terkejut mendengar ucapan Albren. Entah kenapa setiap kali anak itu berbicara selalu mengucapkan hal yang menyinggung hati. Bukankah maksud perkataan Albren secara tidak langsung meminta Cyril agar segera turun Takhta?

Cyril menghela napasnya lelah. Dia tidak pernah menang menghadapi ketiga adik iparnya ini. Terkadang dia berpikir jika orang tua Alina tidak sengaja melihat mereka yang tergeletak di jalan dan berakhir mengangkatnya menjadi anak. Bagaimana Alina yang tegas dan kaku memiliki adik yang sangat berbeda denganya.

"Kalian harus percaya padaku. Keberadaan Alina dibutuhkan bukan untuk mengerjakan pekerjaanku melainkan untuk pekerjaan Alina."

"Kau pikir kami percaya? Dasar laki-laki pembohong!" Kaliini Alvino yang menjawab perkataan Cyril.

Arise mati-matian menahan suara tawanya agar tidak tertawa terlalu keras saat melihat wajah kusut Cyril yang sudah tidak sanggup menanggapi ketiga adiknya. Tidak ada yang bisa membuat Cyril takut kecuali ketiga laki-laki itu.

"Alina, lihat wajah kusut pria brengsek itu! Kenapa wajahnya sangat jelek!"

Arise menutup mulutnya untuk meredam suara tawanya. Alina tidak mengeluarkan ekspresi apapun, hanya diam dan menyimak. Ternyata Cyril tidak berubah sejak dulu. Tetap takut kepada ketiga adik laki-lakinya.

"Sebuah prestasi untuk kalian yang berani mengejek raja kerajaan ini."

Cyril yang samar-samar mendengar suara Alina segera menoleh dengan wajah sumringah. Perasaan lega menghinggap di hatinya.

"Alina!" Cyril tersenyum melihat Alina di depanya.

"Kenapa?"

"Kak, kau tidak holeh pergi dengan laki-laki pembohong ini. Dia ingin memperbudak dirimu!" Alvino berusaha mengompori Alina agar tidak pergi dengan Cyril. Albren mengangguk setuju dengan Kakaknya.

"Tidak Alina. Dia yang berbohong kepadamu!" Cyril menunjuk wajah Alvino dengan berani tanpa rasa takut, tidak seperti saat tadi tidak ada Alina.

Alrico berdecih melihat keberanian Cyril hanya saat ada kakaknya. Dia sudah lama mengetahui jika Cyril berani dengan mereka hanya saat Alina berada di sampingnya. Karena Alina tidak akan membiarkan ketiga adiknya melukai teman masa kecilnya itu.

***

Cyril yang saat itu berumur enam belas tahun datang mengunjungi keluarga De'lewis. Saat itu dia berkunjung untuk memberikan penghormatan kepada keluarga ini yang telah gugur. Cyril yang berjalan-jalan di dekat taman mansion tidak sengaja melihat Alvino yang menangis di bawah pohon. Sosoknya yang telihat kecil dan rapuh membuat Cyril merasa kasihan kepadanya.

"Kenapa kau menangis?" Cyril mendudukkan dirinya di sebelah Alvino.

"Siapa kau?" Alvino menjawab pertanyaan Cyril dengan tidak bersahabat.

"Aku Cyril Dharmaraja pu-"

Saat mendengar nama keluarga kerajaan ini Alvino langsung marah. Dia menangis karena kepergian orang tuanya, ditambah Alina yang sebentar lagi akan pergi meninggalkan dia. Semua itu karena laki-laki di depanya ini. Alvino langsung menyerang Cyril dengan api putihnya, api itu langsung menyebar membakar jubah Cyril. Cyril yang sadar tidak bisa memadamkan api itupun melepaskan jubahnya.

"Terbakarlah habis!"

Tidak sampai disitu, Alvino bahkan terus menyerang Cyril sampai menyebabkan kebakaran ditaman . Sihir es Cyril tidak berarti apa-apa untuk sihir api putih keluarga ini.

Hari itu Alvino hampir saja menewaskan putra mahkota kerajaan ini jika tidak ada tetua distrik jauh yang membuat Alvino tenang. Sejak saat itu Cyril memiliki trauma dengan keluarga ini terutama ketiga adik laki-laki Alina.

TBC.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status