Ponselku berdering. Saat kulirik benda pipih di atas meja itu, tampak nama Ibu. Kuklik save data yang telah terketik di laptop, lalu mengangkat telepon dari Ibu mertua.
"Assalamualaikum, Bu," sapaku lembut pada orang tuanya melahirkan Mas Huda itu."Waalaikumsalam. Nai. Kamu pulang jam berapa?" Wah, Ibu sangat peduli. Sampai-sampai dia menanyakan kepulanganku."Em, biasanya jam 6 sih, Bu. Tapi karena kelamaan cuti, saya jadi harus lembur akhir pekan. Mungkin jam 10 malam udah selesai, Bu.""O ....""Kenapa, Bu? Apa Ibu perlu sesuatu? Kalau capek, biar Naira kirim makan malam pakai gojek saja, Bu.""Oh, nggak Nai. Kamu tenang saja. Fokus ke kerjaanmu. Biar rumah Ibu yang urus." Ibu mengucapnya.Duh, hatiku berbunga seketika, senengnya punya mertua yang baik hati dan sayang pada mantunya. Bahkan beliau tak segan bantu-bantu di rumah."Bu, ayo. Aku dah pengen."Mataku melebar. Ada suara lain, dari ujung telepon. Belum lagi aku bertanya, Ibu mendesis seperti meminta orang yang bersamanya diam dan menutup telepon."Hallo, Bu!"Percuma panggilan sudah diputus. Siapa itu tadi? Mas Huda? Tidak mungkin. Bahkan saat melihat angka jam di ponsel masih menunjukkan pukul empat sore. Mas Huda pasti masih kerja dan sedang sibuk-sibuknya di kantor.Jangan-jangan Ibu punya pacar di kota, itu kenapa dia sangat senang saat kami mengajaknya ke kota.Berarti ... bisa saja pil KB itu milik Ibu yang biasa berhubungan dengan pacarnya.Deuh, mikir apa sih, kamu, Nai? Itu gak mungkin. Tapi ... bisa jadi benar. Ah, aku jadi senewen sendiri gara-gara pil KB itu. Siapa pun pemiliknya, dua-duanya bukan hal bagus.___________Usai sholat Ashar, aku segera kembali ke ruangan. Tidak ingin membuang waktu agar pekerjaan cepat selesai dan aku bisa segera pulang. Ada banyak hal yang mengganggu pikiran di rumah. Setidaknya aku harus mengclearkan soal pil KB. Semoga saja bukan punya Mas Huda atau pun Ibu. Tapi itu tidak mungkin.... Ah, ini membuatku frustasi."Nai, makan dulu." Bos tiba-tiba meletakkan sekotak donat di atas meja lalu pergi. Aku tersenyum. Tahu aja anak buahnya lapar."Makasih, Bos!" seruku senang. Pria itu hanya mengangkat tangan dan melambai padaku tanpa berbalik. Dia tak peduli mau dipanggil bos atau Pak Anggara. Mungkin karena kami dulu saling kenal.Anggara bikin aku senyum-senyum sendiri. Seneng punya bos yang baik, perhatian tapi gak modus!____________Sampai di rumah ......Aku bingung seketika, kala memutar kunci rumah dan pintu tak terbuka meski kutarik dan dorong berkali-kali.Kenapa sih?Apa dikunci manual dari dalam? Mas Huda gak pernah kaya gini? Karena kami sama-sama janjian, siapa yang pulang dulu, mengunci dan mencabutnya agar yang pulang belakangan bisa buka pintu dari luar.Atau kerjaan ibu yang gak tau? Dan Mas Huda belum pulang.Kuketuk pintu beberapa kali tak ada jawaban. Mana pas bel rumah mati. Ya ampun, lengkap sudah. Akhirnya aku berjalan ke arah samping. Lampu di kamar Ibu menyala, saat mendekat, bayangan tertangkap di balik gorden berwarna putih. Kenapa seperti ada dua orang yang tengah bergerak di sana.Kukucek mata, apa karena aku sedang mengantuk sampai membayangkan dua orang di dalam sana sedang bercumbu mesra. Aku pasti sudah gila! Ini pasti gara-gara pil KB sekarang aku juga mencurigai Ibu mertuaku membawa pria lain ke rumah kami.Jangan-jangan benar, itu kenapa Ibu tanya jamku pulang?Aku sudah sangat lelah bekerja, dan mulai muak dengan ini. Mana bisa aku mengatasi Ibu sendiri?Kutelepon Mas Huda tak ada jawaban. Ck. Pasti disilent lagi. Aku yakin dia juga masih di kantor, kerjaan dia lebih banyak dari pada aku.Gagal menghubungi Mas Huda, akhirnya kuberanikan menelepon Ibu. Tak butuh waktu lama, Ibu pun mengangkatnya."Ya, Nai?""Hallo, Bu. Saya sudah menunggu dari tadi di luar. Pintunya dikunci manual.""Oh, ya. Bentar Nai!""Iya, Bu. Banyak nyamuk. Hehe."Tak butuh waktu lama, Ibu pun ke luar membuka pintu untukku."Wah, katanya pulang jam sepuluh Nai, ini masih jam sembilan. Maaf ya, Ibu gak tau." Wanita yang 15 tahun lebih tua dariku itu mengucap tak enak, sambil beriringan masuk ke dalam.Saat melongok ke kamar Ibu yang terbuka, tak ada apapun atau sesiapa."Apa Ibu tadi bersama orang lain di kamar?""Hah, kamu ngomong apa, Nai. Ibu sibuk di dapur dari tadi. Bersihkan perabotmu. Ya ampon, banyak banget yang kotor dan berantakan."Ya, jelas saja aku kan sibuk bekerja, jadi membereskan dapur ala kadarnya. Dan Ibu tidak mengaku kalau dia dnegan seseorang di kamar.Baiklah biar nanti aku cek CCTV di pojok ruangan tamu, dari sana pasti kelihatan yang masuk keluar kamar Ibu. Wanita itu pasti tak tahu ada kamera pengawas yang dipasang Mas Huda.Namun, alangkah terkejutnya aku saat berjalan ke ruang tengah. Mas Huda sudah duduk manis di depan televisi dengan memakai kaos oblong dan celana kolor.Hai! Apa ini? Apa mereka ...? Ah, aku pasti sudah gila mikir yang nggak-nggak. Gak mungkin Mas Huda punya hubungan dengan ibunya sendiri. Gak mungkin!"Eh, Nai kamu udah pulang?" Mas Huda bangkit menyambutku. "Udah makan belum?" Dia sangat perhatian. Ini sangat mencurigakan. Ada apa dengannya? Biasanya juga gak gitu respeck sama istri, apa kepalanya kejedot? Atau memang dia berselingkuh?Huft, awas saja kamu Mas, sampai aku nemu bukti dari Sinta bahwa kamu selingkuh."Loh, kamu udah pulang, Mas? Aku pikir masih kerja, karena hapenya gak diangkat.""Ohya? Mungkin karna di lantai atas aku gak denger." Dia pasti sedang beralibi."Sudah, Nai. Ayuk makan dulu. Kamu pasti capek." Ibu meraih tanganku."Sebentar, Bu." Kutepis pelan tangan wanita itu.Daripada kecurigaanku bertumpuk-tumpuk, lebih baik kutanyakan secara langsung pil yang kubawa.Akhirnya kukeluarkan benda tersebut dari dalam tas."Mas, ini punya siapa?" Kutenteng ke atas pil KB itu.Mas Huda seketika berubah mimik wajahnya, pucat pasi. Begitu pun Ibu saat aku menoleh ke arahnya. Sudah kuduga! Pasti ini milik salah satu dari mereka. Dan semoga saja, prasangka gilaku tentang keduanya yang punya hubungan adalah salah."Jawab, Mas."Bersambung...."Bagaimana kalau terbukti bayi dalam kandungan Sherly adalah anakmu?"Anggara tercenung, hanya sesaat. Kemudian menatap Naira lekat-lekat."Kalau itu memang anakku, aku akan bertanggung jawab penuh atas hidup anak itu. Tapi, tidak akan ada siapa pun yang bisa memaksaku untuk menikahi Sherly. Dan...."Anggara tidak melanjutkkan kalimatnya, dia berdiri dan duduk satu sofa dengan Naira. Keseriusannya membuat jantung Naira berdebar-debar cepat. Jari-jemari Naira digenggam erat Anggara."Dan, kalau memang itu anakku, aku berharap kebesaran hatimu untuk mau tetap menerimaku sebagai suamimu, dan meminta kebaikan hatimu untuk anak yang tidka berdosa itu."Anggara menahan napas, menunggu apa reaksi dan jawaban Naira. Ditengah perasaan khawatirnya, Naira justru mengulurkan tangan dan membelai lembut pipi Anggara."Aku memang memiliki keraguanku padamu sampai tadi sebelum masuk ke ruanganmu ini. Tapi, kemudian aku tahu, bahwa suamiku berkata benar."Kernyitan di kening Anggara melekuk-lekuk dala
Huda menunggu dengan gelisah kedatangan Sherly. Perasaannya tidak enak. Suara kemarahan Sherly ditelepon, membuat pikiran Huda menjadi kalut. Dia merasa kalau situasinya berantakan."Brengsek kamu, Huda!"Sebuah hentakan di meja, menyadarkan Huda dari lamunannya. Sherly sudah datang, dengan setumpuk kekesallannya, hingga melempar tasnya ke atas meja, sebelum kemudian duduk. Dirogohnya isi tas dengan kalap, lalu mengeluarkan sebungkus rokok. Namun, saat melihat rokok itu, dia kemudian teringat bagaimana Anggara membentaknya kasar. Akhirya, Sherly meremas bungkus rokok beserta isi-isinya.Huda yang melihat itu, semakin penasaran sekaligus was-was. Dia merasa kalau yang akan dihadapinya bukan hanya tentang kekesalan si Sherly juga, tapi tentang rencana penghancuran pernikahan Anggara dan Naira."Gimana? Gimana tadi di sana? Si kunyuk Anggara itu, tidak bisa berkutik, 'kan? Dia mau menuruti maumu, 'kan?" Huda memajukan tubuhnya, menggeser kursinya, agar lebih dekat dengan Sherly.Sherly y
Pintu ruang kerja Anggara ditutup Sherly dari luar dengan bantingan yang amat sangat keras. Itu membuat sekretaris Anggara tersentak dan menatap Sherly dengan melongo. Dalam hati ada si sekretaris, ada kekaguman dengan kekuatan Sherly membanting pintu daun jati yang cukup tebal itu.Sherly tak langsung melangkah. Dia tetap berdiri di depan pintu yang tertutup, dengan napas naik turun yang tidak teratur. Satu dua kali, dia menyisir rambutnya dari depan ke belakang dengan kasar, hingga membuat si sekreatris khawatir rambut itu akan jebol dari akar kepala.Setelah dia bisa menguasai diri, Sherly melangkah menjauhi ruang kerja, menuju lift. Ekspresi wajahnya menyiratkan sesuatu yang buruk. Dia tidak menyapa apalagi menoleh ke meja sekreatris, melainkan menghubungi Huda.Di depan lift, barulah telepon Sherly diterima Huda."Brengsek kamu Huda! Ternyata deskripsimu tentang perempuan itu, salah! Sekarang, aku yang terjebak. Kalau ngomong itu yang bener!" cerocos Sherly tanpa menekan tombol a
"Tidak, Nai." Cepat-cepat Anggara menanggapi. Khawatir istrinya akan salah tanggap."Aku tidak menyimpan foto-foto itu. Dia yang menunjukkan kepadaku tadi, sebagai bukti," lanjut Anggara."Foto apa?" Kali ini Naira menoleh ke Sherly. "Aku bisa lihat?""Gak perlu dilihat, Nai," cegah Anggara dengan suara lembut."Aku tetap mau melihatnya, Mas.""Aku tidak izinkan.""Kenapa?""Itu hanya akan membuatmu semakin berprasangka buruk terhadapku, sedangkan aku sendiri, tidak meyakini kalau foto itu mewakili apa yang sudah kuperbuat kepadanya," jelas Anggara."Kalau begitu, biarkan aku melihatnya dan menilainya sendiri."Anggara menatap ke dalam mata Naira yang memiliki keteguhan. "Aku tidak mau kamu terluka lebih banyak lagi, Nai.""Aku sudah terluka, Mas. Banyak atau sedikit, aku tetap terluka."Naira kembali menatap serius Sherly. Tangannya terulur dan meminta bukti foto itu."Biar aku melihat foto itu juga."Sherly tersenyum senang. Dengan gerakan gemulai, Sherly menyerahkan ponselnya."Ak
Naira melotot tak terima. Bagaimana bisa ada perempuan tak tahu malu seperti itu. Tanpa ragu, wanita bergerak maju mendekati Sherly dan menjambak rambutnya hingga kepalanya tertarik ke belakang. "Au! Jalang! Lepaskan! Aku bisa melaporkanmu ke polisi!" ancam Sherly sambil berteriak kesakitan."Kamu pikir aku takut, hah?!" Naira melotot di depan wajah Sherly. Dulu mungkin dia tak bisa melawan fisik Rindi yang merebut Huda, tapi tidak sekarang. Anggara di sini untuknya, dia bukan tukang selingkuh seperti suami pertamanya.Anggara panik, ia tak mau kejadian ini heboh dan menarik perhatian yang lain. Rasanya kesabaran Anggara sudah sampai di batasnya. Ia tak mau diam saja. Naira bisa merasakan bagaimana tangan suaminya yang merangkul pinggangnya terasa mengetat, yang artinya Anggara sedang berada pada kemarahannya yang masih ditahan.Naira tentunya tidak ingin martabat suaminya buruk di mata banyak karyawannya. Itu tidak baik karena juga bisa mempengaruhi nama baik perusahaan. Naira harus
Di luar ruang kerja Anggara, Naira dan seorang sekretaris, duduk gelisah di tempatnya masing-masing. Si sekretaris, beberapa kali mencuri pandang ke arah Naira dan juga ke pintu ruang kerja bosnya. Ingin sekali dirinya mendekati Naira, lalu mencoba menenangkan.Namun, ia sadar kalau itu pasti tidak akan bisa mengubah perasaan kalut seorang istri yang mengetahui suaminya berdua-duaan dengan wanita lain.Naira sendiri, sebenarnya tidak keberatan dengan kesendiriannya di sofa. Itu membuatnya leluasa berpikir antara tetap di kantor atau pulang, dan antara masuk menerobos ke ruang kerja Anggara atau sabar menunggu sampai tamu wanita bernama Sherly itu keluar.Sebenarnya Naira sangat ingin masuk, dan melabrak wanita itu serta Anggara bersamaan. Rasa kesal, marah, akibat merasa pernikahan ini tidak adil, adalah yang membuat Naira ingin meluapkan pada keduanya sekaligus. Seandai kata Anggara jujur sejak awal, sebelum menikah, atau Sherly datang menemuinya sebelum menikah, pastinya hidup Naira