"Jawab Mas! Apa kamu selingkuh?! Kenapa pil KB ini ada di rumah kita!" Aku tak sabar lagi. Hingga tak bisa mengendalikan emosiku.
"Em, Nai. Tenanglah, Nai!" Ibu tiba-tiba berdiri di depanku jadi penghalang antara aku dan anaknya.Ya, tentu saja dia tak terima jika anak kesayangannya harus merasakan kemarahanku.Mas Huda tampak seperti pecundang! Ia bersembunyi di balik ketiak ibunya. Jika tak salah, kenapa sikapnya demikian? Huft. Bikin emosiku makin naik saja."Gak bisa untuk sekarang, Bu. Maaf!" Kudorong tubuh wanita yang jauh lebih tua dariku itu. Hingga tanganku mampu menarik kemeja Mas Huda. Lelaki yang brengsek yang sudah berani mengkhianatiku."Nai!" Ibu berteriak. Lalu mendorongmu sekuat tenaga hingga aku jatuh di lantai.Aku tak percaya, jika wanita itu berani dan tega mendorongku. Dia yang selama ini selalu baik, menanyakan kabar setiap kali bertelepon dari kampung dan perhatian kala bertemu. Kini bersikap jahat, dan lebih membela puteranya yang jelas-jelas menyimpan pil KB bukti perselingkuhan.Dadaku naik turun karena emosi. Aku juga marah pada Ibu sekarang. Saking marahnya, tapi juga bingung menghadapi orang tua aku hanya bisa menatap nyalang pada anak dan Ibu yang berdiri di depanku."Em, maaf. Nai." Ibu tampak menyesal dan segera membantu. Dipegangi dua pundakku dan berdiri, dengan sorot khawatir.Sementara Mas Huda seperti orang bego yang hanya menatapku seperti orang kebingungan.Entah, dia bingung bagaimana menjawab karena tertangkap basah, atau bingung atas apa yang aku tuduhkan karena tak mengerti maksudku."Aku gak ngerti kamu ngomong apa, Nai." Lelaki itu menggaruk kepala. Apa dia hanya pura-pura sekarang? Ya, jelas saja. Mana ada orang ngaku saat berbuat salah, apalagi kesalahan itu disengaja dari awal."Duduklah. Ibu bisa jelaskan semua." Ibu mendudukkanku di kursi. Sementara mataku tak berhenti melirik tajan pada Mas Huda agar pria itu menjawab pertanyaan."Begini, Nay. Maaf. Hehe. Itu adalah pil KB milik ibu." Suara wanita itu melunak. Bahkan dia sematkan tawa pada kalimatnya."Apa?!" Aku menatap Ibu tak percaya. Jadi selama ini dugaanku benar, kalau ternyata wanita itu punya kekasih.Tapi ... ah, tidak mungkin ini pasti salah. Ibu baru seminggu di kota untuk apa menyimpan pil KB? Lebih baik aku dengar penjelasannya, seraya menyesali tuduhanku pada Mas Huda. Atau ... jangan-jangan Ibu hanya menutupi kesalahan putranya tercinta? Tenang, Nai. Jangan mudah percaya."Gini, jadi itu pil KB yang ibu beli bulan lalu di bidan, Nay. Lalu ibu taruh tas. Nah, pas kalian ngajak ke kota. Jadinya buru-buru dan kebawa. Nah tadi malam itu pas beberes, nemu itu terus pagi mau ibu buang saja ke tempat sampah di dapur." Ibu menjelaskan pelan-pelan.Kalau dipikir masuk akal juga. Walau agak ragu sebenarnya. Kenapa bisa sekebetulan itu. Mana aku tadi lihat siluet bayangan orang bercumbu di kamar Ibu. Kini otakku bekerja keras mensinkronkan antara jawaban Ibu dan keadaan yang terjadi.Atau jangan-jangan ....Kutatap pada Mas Huda lalu Ibu. Segera kutepis pikiran gila ini. Mereka bukan binatang! Tidak mungkin menjalain hubungan terlarang antara ibu dan anak."Jadi bukan punya Ibu?" Turun juga emosiku. Sekarang selain pil KB malah aku curiga bayangan di kamar Ibu. Duh, apa karena kadung curiga jadi aku mencurigai hal lain yang tak perlu."Makanya, Nai. Lain kali jangan sembarangan bicara. Tuduhanmu itu keterlaluan. Ngapain juga aku pakai Pil KB? Pake bilang aku selingkuh. Pikir juga donk perasaanku," dengkus Mas Huda."Iya, Mas. Maaf!" Kuperlihatkan sikap menyesal."Lain kali, pikir sebelum bicara. Kamu pikir aku sebejat itu!" ketusnya lagi, sembari melangkah ke arah tangga. Lalu kaki-kakinya melewati anak-anak tangga satu demi satu.Hem. Dia pasti ngambek. Ya, jelas saja. Jika aku di posisi yang dituduh pasti sangat kesal."Sudah biarkan. Apa kamu sudah makan? Ibu sudah masakin kamu tadi," tanya Ibu kemudian.Aku mengangguk. Tapi tak ku cerita kan bagaimana aku makan bertiga dengan mantan yang jadi bosku dan satu pegawai lain. Bisa-bisa malah aku yang disangka affair dan cari-cari alasan."Oya, apa Ibu sakit? Tadi aku dengar Ibu mual pas telepon.""Oh, itu. Ibu hanya masuk angin saja, Nai. Mungkin karena kecapean menempuh perjalanan semalam."Aku pun pamit ke atas menyusul suamiku. Lelaki itu sudah tampak pulas di atas ranjang. Menunggungiku. Aku hanya menghela. Sikapku memang keterlaluan.Setelah membersihkan diri, kurebahkan tubuh di atas ranjang. Tiba-tiba membayangkan, sikap manis Anggara saat menyiapkan makan untukku dan Rena tadi, aku jadi penasaran bagaimana keadaan istrinya? Wanita itu sudah lebih tiga bulan tak tampak di kantor. Mereka pasti sangat bahagia. Apalagi, suaminya semanis Anggara yang tidak ngambekan dan kadang sikapnya sangat dingin.Baru akan memejamkan mata, mataku belebar sempurna. Sebuah tangan kekar melingkar di perut. Rasa hangat menjalar di pipi dan tubuh."Maafkan, Mas. Sayang. Kamu pasti suka curiga dan uring-uringan karena kita lama tak melakukannya." Suara lembut Mas Huda membuatku melayang."Ya," sahutku singkat."Ayo kita lakukan.""Apa?"Selanjutnya tak ada lagi kata-kata. Mas Huda kembali hangat seperti dulu. Memberiku pujian, kehangatan dan kebahagiaan dalam waktu yang sama. Maaf, Mas. Aku terlalu bodoh, curiga tanpa bukti jelas.💔💔💔Next pisah POV biar ga bingung🙏Flashback .... (POV author)Sore hari, Rindi berlari kala pintu rumah diketuk. Saat pintu terbuka, matanya melebar senang dengan senyum merekah sempurna."Kamu sudah datang, Da," sambutnya lembut.Huda mengangguk, lalu segera menutup pintu dan merengkuh wanita yang biasa dipanggil ibu di depan orang lain. Wanita yang dia sukai sejak remaja, kala ayah angkatnya membawanya masuk dalam rumah mereka.Huda yang kala itu memiliki nafsu menggebu harus menahannya setiap hari. "Sudah hentikan." Rindi mendorong tubuh kekar yang sempat menempel dan memberinya ciuman."Kenapa?" Huda keheranan. Tak biasanya wanita itu menolak."Pil KB-ku hilang. Aku curiga Naira yang menemukannya." Wanita itu mengutarakan kekhwatiarannya."Kok bisa? Apa sudah dicari?" Huda tampak terkejut."Sudah. Aku sudah ngubek dapur. Sampai semua yang berantakan kubereskan. Jorok banget istrimu ya, dapur manusia begitu bentuknya." Rindi tersenyum kecut. Kesal."Hem. Mau bagaimana lagi. Dia kan kerja. Makanya aku perlu kamu ad
Naira tak boleh bercerai hanya dengan alasan curiga tanpa bukti. Kakak lelakinya pasti akan sangat sedih jika melihatnya bercerai. Sudah banyak pengorbanan pria itu, sampai dia bisa kuliah, dan bertemu pria bertanggung jawab seperti Huda.Ah setidaknya itu yang Danu pikirkan. Pria bernama Huda itu juga yang menyembuhkan lukanya setelah putus dengan Anggara, mantan yang pergi begitu saja hanya karena salah paham. Pria yang tak mau mendengar penjelasannya lagi. Dan pria yang langsung menikahi wanita lain hanya berselang sebulan mereka putus.Hari itu Naira hampir mati karena patah hati. Tapi keberadaan Huda seolah embun yang menyejukkannya. Dia datang menawarkan cinta. Hingga tak perlu waktu lama keduanya menikah. Meski, Naira yang mencampakkan Anggara, tetap saja dia yang membencinya. Pria dengan harga diri tinggi. Bukannya berusaha menenangkan dan membujuk, serta memperbaiki keadaan, malah menikah dengan wanita lain demi membalas sakit hatinya pada Naira. ____________Baru juga mas
Dahi Naira berkerut-kerut memperhatikan video dalam surel yang dikirim Sinta."Hem. Kalau ini, pasti ibu." Naira menyentak tangannya ke atas meja. "Kenapa juga ibu pakai bajuku? Apa Mas Huda tidak membelikannya pakaian?"Dua mata wanita yang menjadi sekretaris itu menatap tanpa berkedip. Sampai pada adegan cipika-cipiki yang terlihat sangat aneh. Mata Naira memicing, curiga."Ampun. Ini malu-maluin banget, asli!" tangan Naira terkepal tanpa sadar ia meremas map yang harus diberikan pada sang Bos hingga robek. "Apa-apaan Mas Huda! Norak, malu-maluin banget," dengkusnya kasar."Nai." Suara bass seorang pria terdengar sangat dekat. Tanpa ia tahu, Anggara berdiri di belakangnya dengan membungkukkan badan. Ia penasaran kenapa sekretarisnya itu merobek laporan yang susah-susah dibuatnya.Naira tersentak kaget, sampai berjingkat dan jatuh dari kursi. Untung saja tubuhnya ditangkap Anggara hingga tak membentur lantai.Mata wanita itu melebar sempurna kala sadar, Anggara yang memeganginya.Nam
Naira menajamkan pendengaran. Suara itu seperti ada di depannya tapi juga seperti berasal dari kamar sebelahnya. Tapi, untuk apa ibunya bermain-main di sana, sedang dia punya kamar sendiri. Dan kamar itu lama kosong, pasti berdebu.Ia pun meraih gagang pintu. Mata Naira terbelalak kala berhasil membuka pintu kamar sang mertua."Kosong?!" Dahi perempuan ayu itu berkerut dengan dada naik turun. Tersengal lantaran emosi dan rasa penasraan yang sudah di ubun-ubun. Jelas-jelas dia mendengar suara dari kamar ibu mertuanya. Kenapa bisa tak ada siapa pun? Ia beranikan diri melangkah masuk meski dengan kaki gemetar. Bisa jadi mertua dan suaminya sedang bersembunyi di lemari. Atau di kamar mandi."Ada apa, Nai?" Suara Rindi terdengar di belakang Naira dan membuatnya berbalik seketika. "Ib-ibu?" Naira tergagap. Napasnya masih juga tak beraturan. Ia merasa dipermainkan oleh prasangka dan kenyataan yang ditemukan. Rindi tampak segar dan seksi. Pemandangan itu membuat Naira tak suka. "Kenapa w
Huda masuk ke kamar ibunya yang hanya mengenakan lingerie. Wanita itu sudah seperti jalang yang tersenyum pada pelanggannya. Seksi dan menggairahkan. Itulah kesan yang tampak pertama."Senyum itu menjijikkan, Bu!" makinya kala menangkap senyum penuh gairah di bibir Rindi. Belum lagi saat ingat sprai acak-acakan di kamar tamu. Entah, se-hot apa mereka berbuat. Belum lagi suara ibunya yang seperti orang kesetanan.Apa tidak ada wanita lain? Kenapa harus ibunya sendiri? 'Atau jangan-jangan dia bukan ibunya? Aku harus mencari tahu.'Tangan Naira menekan mouse hingga gerakan dalam layar tak lagi stabil.Mata perempuan yang kini mengenakan gamis berwarna ungu motif bunga dengan kerudung senada itu berkaca, lantaran terasa panas dan perih. Tatapannya memburam karena embun yang menutupi pandangan. Kini semua air mata seolah tengah berjejalan dan antri ingin ke luar.Rasa sakit berlipat-lipat Naira rasa dari yang sebelumnya. Jika tadinya hanya sebatas dugaan, sekarang dia melihat sendiri suami
Huda memperhatikan Rindi dari atas hingga bawah. Rambutnya yang acak-acakan. Baju yang tak rapi seperti tengah ditarik berkali-kali. Tak salah lagi wanita itu pasti habis bertarung dengan Naira. Dan sebuah botol obat kecil yang digenggam di tangan kiri yang membuat mata Huda menyipit. Jantung pria itu terpompa lebih cepat. Dia yang kelelahan membawa mobil seperti pembalap, berlari dan mendobrak pintu rumah agar tak terjadi apa-apa pada Naira. Kini harus disuguhkan dengan pemandangan mengerikan. "Kamu apakan istriku, Rin?" Mata Huda membeliak. Ia tak sabar dapat pengakuan dari wanita selingkuhannya. Untuk tahu apa yang terjadi pada Naira."Ma-maf, Da." Rindi mengucap gemetar seolah takut pria yang dicintai akan marah padanya.Kata maaf itu seperti sebuah pisau yang menyayat hati Huda. Benar yang ditakutkan, Rindi akan menyakiti Naira pada akhirnya. Itu kenapa dia mencari istri wanita kota yang jauh dari Rindi. Wanita yang bisa melakukan apa pun ketika kesenangannya dihalangi."Aku,
Kejadian sebelumnya. Sore hari ....Naira seperti hilang akal. Rasanya bodoh dan jijik saja jika akan bertemu Huda. Jangankan bertemu dan minta penjelasan, membayangkan wajahnya saja sudah membuat Naira emosi sampe ke ubun-ubun.Tiba-tiba saja dia ingat kematian bapak mertua yang ganjil. Apa pasangan selingkuh itu yang membunuhnya? "Keparat!" Tangan Naira terkepal. Gigi-gigi halusnya bahkan gemerutuk lantaran rahang juga mengeras menahan emosi.Dia terdiam agak lama, berpikir dan menyusun rencana. Jangan sampai ia pun jadi korban. Siapa yang akan tahu jika Rindi sebenarnya menyimpan kebencian dan menunggu waktu tepat untuk menyingkirkannya seperti almarhum.Naira menatap ke arah pintu. Takut jika tiba-tiba Rindi menyerang. Ia bangkit dan mengunci pintu tersebut.Lalu kembali duduk dengan merapatkan dua tangan di atas meja. Berkali-kali ia menatap ke arah pintu dengan takut-takut tapi juga sangat marah. Sebisa mungkin, Naira menekan emosi dalam dada. "Bukan waktu tepat untuk menangis
Mata Anggara menyipit, kala melihat keringat sebiji jagung jatuh dari kening dan pelipis Naira. Lelaki itu menginjak pedal gas lebih dalam, hingga tak berapa lama melihat POM bensin. Ia segera memutar setir mobil berbelok ke tempat tersebut.Aneh menurutnya. Kenapa begitu keluar pagar rumah kondisi Naira langsung berubah drastis? Adakah sesuatu yang bekerja dalam tubuhnya? Seperti racun atau sejenisnya.Begitu mobil menepi dan berhenti di area parkir, Anggara yang diliputi cemas menelepon seseorang. Lelaki itu mengetuk-ngetukkan tangan ke benda berbentuk bundar di depannya. Tak sabar sang teman yang berprofesi sebagai dokter mengangkat telepon darinya."Hallo, Pram. Assalamualaikum," ucapnya begitu panggilan tersambung."Ya, Ga! Waalaikumsalam. Tumben nih, lo malam-malam gini nelepon. Ada apaan emangnya?" sahut lelaki yang dipanggil Pram."Iya, nih. Gue perlu tau sesuatu.""Ya?""Jadi gue lagi bareng pegawai." Anggara mulai bercerita."Cewek apa cowok?" "Ah tuh ga pentinglah!" Angga