Rasanya tak bisa konsen kerja hari ini. Gara-gara pil yang berada dalam genggaman. Apa yang mesti kulakukan sekarang untuk mencari tahu?
Belum terbukti milik Mas Huda saja hatiku terasa nyeri. Bagaimana nanti jika benar-benar kutemukan bukti jelas? Apa yang bisa kulakukan?Ah, tidak! Aku tidak akan kuat hidup menghadapi ini. Lebih baik kubunuh saja keduanya, terutama pelakor itu.Astagfirullah.... Aku mendesah panjang, memberi ruang agar hilang sesak di dada. Dan pikiran kotor yang mendera.Pantas saja sudah sebulan ini, Mas Huda menghindari. Minggu biasa kami melakukan sampai minimal tiga kali, tapi sebulan ke belakang Mas Huda hanya memberi nafkah batin sekali dalam seminggu. Bahkan minggu terakhir dia sama sekali tak menyentuh. Kupikir karena kematian ayah mertua.Apa karena dia sudah lelah setelah memuaskan perempuan lain? Kalau minggu terakhir mereka bertemu, berarti perempuan itu ada di desa.Tapi siapa? Apa perlu aku ke desa untuk menyelidikinya?"Naira!" Suara Rena membuyarkan lamunan ku."Ya?""Ditunggu Bos tuh! Ngelamun lo," ucap perempuan berusia 25 tahun itu sembari menaikkan sebelah bibirnya."Oyah." Aku segera menyimpan pil KB dalam genggaman.Rena kembali bersuara. "Lo KB lagi, Nai?""Ah, nggak. Eh, maksudku iya." Aku harus menyembunyikan ini dari Rena atau siapa pun juga. Pasti akan sangat malu jika benar suami selingkuh dan orang lain tahu.Aku akan terhina dengan tuduhan tidak bisa memuaskan dan membahagiakan suami. Oh, tidak! Lalu dicap wanita bodoh yang bisa diperdaya laki-laki.Benar-benar memalukan._____________Tok-tok-tok.... Kuketuk pelan pintu ruangan Bos."Ah, ya. Nai. Masuklah." Pria tampan yang tengah sibuk dengan berkas di tangan itu memintaku masuk. Ia hanya melirik sekilas."Iya, Pak. Em Bos." Aku pun masuk dan meletakkan laporan mingguan di atas meja.Seperti biasa, aku akan berdiri seperti patung hingga Bosku selesai memeriksanya. Setelah tak ada kekurangan atau cacat laporan maka aku akan bebas tugas dan bersantai di akhir pekan."Okay, mari kita periksa." Bos mendesah panjang. Ia tampak lelah, dengan senyum yang dipaksa untukku itu Bos masih terlihat berwibawa.Ah, beruntung sekali kamu, Wi. Bisa menikah dengan Anggara. Kalau saja dulu tak ada kesalahpahaman dan kami tak putus, pasti sekarang aku yang menikah dengannya.Awalnya memang memalukan bekerja jadi bawahan mantan. Tapi untungnya Anggara adalah pria baik sejak dulu. Bahkan ketika tahu sekretaris barunya kala itu adalah aku. Coba saja dia jahat dan dendam padaku yang menganggapku sebagai pengkhianat, pasti aku akan dipecat bahkan di hari pertama bekerja.Dan selama setahun kami kerja bersama, semua berjalan baik-baik saja. Tak ada cinta lokasi atau pun CLBK yang meruntuhkan rumah tangga masing-masing kami. Yah, bisa dibilang kami adalah tipe orang yang setia. Lima tahun pacaran, Anggara tak pernah berselingkuh. Begitu pun aku. Hingga petaka datang dan merusak hubungan kami.Lalu sekarang .... Aku dikhianati Mas Huda. Mungkinkah karena doa-doa Anggara yang merasa terdzolimi olehku? Duh, kenapa aku jadi mikir ke mana-mana."Sudah cukup sih, Nai. Tapi ...." Bos membenarkan letak kacamata. Serius menatap deretan angka dan kata-kata dalam berkas tersebut. Ia sedikit pun tak memandangku."Ya, Pak. E Bos.""Em ... tapi, kamu gak bisa pulang awal hari ini, Nay.""Hah? Memnagnya kenapa, Pak? Bukannya sudah saya selesaikan laporan mingguannya?""Iya, bener, tapi ... kamu udah cuti seminggu. Dan tugas kamu numpuk sekarang. Kebetulan aku juga sibuk, gak sempet jelasin detail banyak data ke pegawai lain."Duh, perasaanku sangat tak enak. Sampai aku menggigit bibir bawah. Bagaimana ini, padahal aku mau pulang cepat dan langsung ke kantor Mas Huda buat cari tahu."Nai!""Ah, ya Pak!""Ini jurnalnya. Selesaikan, oke!" Pria itu menyerahkan setumpuk berkas padaku. Duh, bisa jam 10 malam baru selesai ini."Siap Pak!" jawabku tanpa membantah. Segera kuambil map-map itu dan beranjak pergi. Mau bagaimana lagi, aku kan harus ke desa menemani Mas Huda. Masa iya mertua meninggal tetap kerja?Namun, langkahku tertahan kala Anggara memanggil namaku."Nai!""Ya Pak?" Aku berbalik, menatap pria yang ternyata juga menatapku."Bagaimana mertuamu? Kalau memang perlu waktu lebih untuk cuti harusnya kamu bilang saja. Aku akan memberikannya."Hei, ada apa dengan tatapan itu. Kenapa ia memiliki mata yang teduh seperti dulu?"Ah, nggak Pak. Terimakasih." Aku segera berbalik dan keluar. Takut tergoda. Selama ini kami tak pernah bicara masalah pribadi.Lagian itu Bos, sok-sokan perhatian. Lucu juga dia ini, katanya mau ngasih cuti lebih, tapi ngasih kerjaaan numpuk begini. Benar -benar kentara kalau cuma baaa basi. Melihatnya saja sudah buat aku oleng. Heuh.Setelah meletakkan map-map ke atas meja. Akhirnya kuputuskan menelepon Sinta. Temanku yang kebetulan kerja satu kantor dengan Mas Huda. Setidaknya aku harus punya informan di sana."Hallo, Sin. Assalamualaikum.""Ya, Nai. Waalaikumsalam.""@#$%--&5""Waduh?""Iya, tenang deh. Tar gue isi full segala kuota dan biaya alat tempurnya.""Ya, oke. Nai. Apa sih yang nggak buat kamu.""Hem. Bagus." Aku tersenyum licik.Jangan kamu pikir, karena aku sibuk gak bisa awasin kamu Mas. Aku punya mata-mata di mana-mana.Oke, semangat Naira! Kita selesaikan pekerjaan ini dan menangkap basah Mas Huda. Yah, meski aku sangat berharap ini hanya salah paham saja.Baru akan mengerjakan beberapa file, ponselku berdering. Ternyata Ibu. Langsung saja kuangkat, Ibu yang baik hati itu menanyakan kabar ku.Namun, baru bicara sebentar. Terdengar suara aneh di ujung telepon."Huek.""Bu?! Apa Ibu sakit?"Next."Bagaimana kalau terbukti bayi dalam kandungan Sherly adalah anakmu?"Anggara tercenung, hanya sesaat. Kemudian menatap Naira lekat-lekat."Kalau itu memang anakku, aku akan bertanggung jawab penuh atas hidup anak itu. Tapi, tidak akan ada siapa pun yang bisa memaksaku untuk menikahi Sherly. Dan...."Anggara tidak melanjutkkan kalimatnya, dia berdiri dan duduk satu sofa dengan Naira. Keseriusannya membuat jantung Naira berdebar-debar cepat. Jari-jemari Naira digenggam erat Anggara."Dan, kalau memang itu anakku, aku berharap kebesaran hatimu untuk mau tetap menerimaku sebagai suamimu, dan meminta kebaikan hatimu untuk anak yang tidka berdosa itu."Anggara menahan napas, menunggu apa reaksi dan jawaban Naira. Ditengah perasaan khawatirnya, Naira justru mengulurkan tangan dan membelai lembut pipi Anggara."Aku memang memiliki keraguanku padamu sampai tadi sebelum masuk ke ruanganmu ini. Tapi, kemudian aku tahu, bahwa suamiku berkata benar."Kernyitan di kening Anggara melekuk-lekuk dala
Huda menunggu dengan gelisah kedatangan Sherly. Perasaannya tidak enak. Suara kemarahan Sherly ditelepon, membuat pikiran Huda menjadi kalut. Dia merasa kalau situasinya berantakan."Brengsek kamu, Huda!"Sebuah hentakan di meja, menyadarkan Huda dari lamunannya. Sherly sudah datang, dengan setumpuk kekesallannya, hingga melempar tasnya ke atas meja, sebelum kemudian duduk. Dirogohnya isi tas dengan kalap, lalu mengeluarkan sebungkus rokok. Namun, saat melihat rokok itu, dia kemudian teringat bagaimana Anggara membentaknya kasar. Akhirya, Sherly meremas bungkus rokok beserta isi-isinya.Huda yang melihat itu, semakin penasaran sekaligus was-was. Dia merasa kalau yang akan dihadapinya bukan hanya tentang kekesalan si Sherly juga, tapi tentang rencana penghancuran pernikahan Anggara dan Naira."Gimana? Gimana tadi di sana? Si kunyuk Anggara itu, tidak bisa berkutik, 'kan? Dia mau menuruti maumu, 'kan?" Huda memajukan tubuhnya, menggeser kursinya, agar lebih dekat dengan Sherly.Sherly y
Pintu ruang kerja Anggara ditutup Sherly dari luar dengan bantingan yang amat sangat keras. Itu membuat sekretaris Anggara tersentak dan menatap Sherly dengan melongo. Dalam hati ada si sekretaris, ada kekaguman dengan kekuatan Sherly membanting pintu daun jati yang cukup tebal itu.Sherly tak langsung melangkah. Dia tetap berdiri di depan pintu yang tertutup, dengan napas naik turun yang tidak teratur. Satu dua kali, dia menyisir rambutnya dari depan ke belakang dengan kasar, hingga membuat si sekreatris khawatir rambut itu akan jebol dari akar kepala.Setelah dia bisa menguasai diri, Sherly melangkah menjauhi ruang kerja, menuju lift. Ekspresi wajahnya menyiratkan sesuatu yang buruk. Dia tidak menyapa apalagi menoleh ke meja sekreatris, melainkan menghubungi Huda.Di depan lift, barulah telepon Sherly diterima Huda."Brengsek kamu Huda! Ternyata deskripsimu tentang perempuan itu, salah! Sekarang, aku yang terjebak. Kalau ngomong itu yang bener!" cerocos Sherly tanpa menekan tombol a
"Tidak, Nai." Cepat-cepat Anggara menanggapi. Khawatir istrinya akan salah tanggap."Aku tidak menyimpan foto-foto itu. Dia yang menunjukkan kepadaku tadi, sebagai bukti," lanjut Anggara."Foto apa?" Kali ini Naira menoleh ke Sherly. "Aku bisa lihat?""Gak perlu dilihat, Nai," cegah Anggara dengan suara lembut."Aku tetap mau melihatnya, Mas.""Aku tidak izinkan.""Kenapa?""Itu hanya akan membuatmu semakin berprasangka buruk terhadapku, sedangkan aku sendiri, tidak meyakini kalau foto itu mewakili apa yang sudah kuperbuat kepadanya," jelas Anggara."Kalau begitu, biarkan aku melihatnya dan menilainya sendiri."Anggara menatap ke dalam mata Naira yang memiliki keteguhan. "Aku tidak mau kamu terluka lebih banyak lagi, Nai.""Aku sudah terluka, Mas. Banyak atau sedikit, aku tetap terluka."Naira kembali menatap serius Sherly. Tangannya terulur dan meminta bukti foto itu."Biar aku melihat foto itu juga."Sherly tersenyum senang. Dengan gerakan gemulai, Sherly menyerahkan ponselnya."Ak
Naira melotot tak terima. Bagaimana bisa ada perempuan tak tahu malu seperti itu. Tanpa ragu, wanita bergerak maju mendekati Sherly dan menjambak rambutnya hingga kepalanya tertarik ke belakang. "Au! Jalang! Lepaskan! Aku bisa melaporkanmu ke polisi!" ancam Sherly sambil berteriak kesakitan."Kamu pikir aku takut, hah?!" Naira melotot di depan wajah Sherly. Dulu mungkin dia tak bisa melawan fisik Rindi yang merebut Huda, tapi tidak sekarang. Anggara di sini untuknya, dia bukan tukang selingkuh seperti suami pertamanya.Anggara panik, ia tak mau kejadian ini heboh dan menarik perhatian yang lain. Rasanya kesabaran Anggara sudah sampai di batasnya. Ia tak mau diam saja. Naira bisa merasakan bagaimana tangan suaminya yang merangkul pinggangnya terasa mengetat, yang artinya Anggara sedang berada pada kemarahannya yang masih ditahan.Naira tentunya tidak ingin martabat suaminya buruk di mata banyak karyawannya. Itu tidak baik karena juga bisa mempengaruhi nama baik perusahaan. Naira harus
Di luar ruang kerja Anggara, Naira dan seorang sekretaris, duduk gelisah di tempatnya masing-masing. Si sekretaris, beberapa kali mencuri pandang ke arah Naira dan juga ke pintu ruang kerja bosnya. Ingin sekali dirinya mendekati Naira, lalu mencoba menenangkan.Namun, ia sadar kalau itu pasti tidak akan bisa mengubah perasaan kalut seorang istri yang mengetahui suaminya berdua-duaan dengan wanita lain.Naira sendiri, sebenarnya tidak keberatan dengan kesendiriannya di sofa. Itu membuatnya leluasa berpikir antara tetap di kantor atau pulang, dan antara masuk menerobos ke ruang kerja Anggara atau sabar menunggu sampai tamu wanita bernama Sherly itu keluar.Sebenarnya Naira sangat ingin masuk, dan melabrak wanita itu serta Anggara bersamaan. Rasa kesal, marah, akibat merasa pernikahan ini tidak adil, adalah yang membuat Naira ingin meluapkan pada keduanya sekaligus. Seandai kata Anggara jujur sejak awal, sebelum menikah, atau Sherly datang menemuinya sebelum menikah, pastinya hidup Naira