"Maaf, Anda ditangkap karena menjadi otak pembunuhan Ibu Naira. Namun, nyasar ke suaminya, Pak Huda." Polisi itu dengan santainya mengalungkan borgol ke tangan Rindi.Mata wanita berusia 35 tahun itu membulat sempurna. "Pak, apa-apaan ini? Saya kan pelapor, kenapa ditangkap?"Sementara Rindi kebingungan, Dana tersenyum sinis. Puas melihat Rindi sekarang."Kenapa saya, Pak? Pasti kalian salah paham. Jangan dengarkan dia, Pak! Dia penjahat, kenapa diercaya?!" teriak Rindi tak terima."Bukan Bapak Dana yang melaporkan Ibu Rindi. Tapi dua lelaki yang merasa dirugikan oleh Ibu." Polisi itu menjawab."Siapa?!" Mata Rindi melotot."Bapak Huda dan ...." Ucapan polisi menggantung."Apa?! Huda?!" Rindi kaget bukan main. Dipikir meski diam Huda tak akan melakukan ini. Namun ternyata dia salah.Gila! Huda benar-benar gila! Bagaimana bisa dia yang mengatakan hanya mencintainya, malah melaporkan ke polisi. Pasti ada yang salah! Kenapa bukan Naira saja yang disalahkan? Bukankah harusnya wanita itu y
"Nai, aku ingin kita kembali seperti dulu. Sebelum putusan cerai keluar. Aku janji akan memperbaiki semuanya. Aku gak akan selingkuh lagi dan lebih perhatian ke kamu."Mantan suamiku mengucap memelas.____________"Argh! Sial!" Huda membanting map yang berisi berkas perceraian di tangan."Naira pasti terus dikompori oleh Anggara. Laki-laki bajingan itu memang pandai cari kesempatan. Sudah kuduga selama ini dia belum bisa move on dari Naira." Tangan Huda terkepal menahan gejolak emosi dalam dada. Ia merasa perlu ada seseorang yang bisa disalahkan agar emosinya bisa mereda. Dengan begitu pula ada target pelampiasan "Nggak, Nai! Sebelum aku membatalkan perceraian kita, aku tidak akan berhenti. Kamu harus bisa melihat dari sudutku sebagai seorang lelaki normal. Aku hanya khilaf dan bisa memperbaiki semuanya!" Mata elang itu memicing menyimpan kebencian dan tekad yang kuat sekaligus.Napas Huda naik turun karena emosi. Dia bangkit, berjalan ke arah kulkas untuk mengambil air yang bisa me
Dari kejauhan, Anggara menyipitkan mata. Menajamkan pandangannya ke arah wanita yang telah sah menjadi istrinya dan seorang pria yang membuatnya marah. Mantan Naira. Meski suara Huda tidak begitu jelas, ia bisa mendengar samar –samar pria itu telah membicarakan tentangnya. “Apa yang pria itu fitnahkan?” tanya Anggara penasaran. Ia sangat ingin mendekat dan mendengarnya dengan jelas apa yang mereka bicarakan sebenarnya. Tak ingin Naira terpengaruh dan membuat hubungannya yang baru saja berhasil kembali rusak karena fitnah dan tuduhan tak jelas terhadap Anggara. Namun, lagi –lagi … langkahnya tertahan karena ingat ucapan Naira, bahwa cukup dia saja yang menghdadapi Huda –mantannya. Lagi pula, Anggara sendiri juga ingin menunjukkan ke pada Naira, dia percaya sepenuhnya ke pada wanita yang sangat dicintainya itu. Bahwa Naira adalah perempuan yang setia, meski yang menggodanya seorang pangeran sekali pun. Apalagi lelaki yang kini berdiri di depan istrinya itu adalah mantan brengsek yang
Huda telah kembali membawa seseorang bersamanya. Orang –orang masih tak mengerti apa maksud pria itu datang dengan membawa perempuan? Begitu juga Naira. Apa iya mantannya yang tukang selingkuh itu akan membalas memanas –manasinya dengan membawa istri baru yang seksi, bahkan tidak mengenakan kerudung seperti Naira.Memikirkan itu saja, Naira mau muntah. Walau bidadari dari surga yang Huda bawa, semua itu tidak akan membuatnya cemburu sama sekali dan membuat cintanya ke pada Anggara yang sudah kembali menggunung akan goyah. Level ke duanya terlalu jauh disandingkan apalagi untuk dibanding –bandingkan.Jika semua orang yang melihat wanita bersama Huda dengan tatapan bingung, berbeda dengan Anggara. Pria itu benar –benar terkejut melihatnya. Wanita berpenampilan genit itu sungguh bukan seseorang yang asing di matanya. Lelaki tampan itu bahkan tak bisa lupa bagaimana pertemuannya dengan perempuan bernama Sherly itu. Wajah CEO itu pias seketika.“Kenalin ini Sherly.” Huda mengenalkannya per
Saat melihat kea rah layar, rupanya nomor baru. Itu kenapa Anggara memilih untuk mengabaikannya saja. Namun, belum lagi ia sempat mematikan layar ponsel, sebuah notif pesan muncul di layar.[Mas, ini Sherly, kamu kenapa pura –pura tak mengenaliku? Sudah setahun tak bertemu, dan kamu masih tetap tampan.]Pesan itu membuat Anggara membeku. Wanita itu datang rupanya memang dengan tujuan yang ia sejak awal ia cemaskan. Naira merasa ada yang salah. Anggara yang berjalan bersamanya dan akan bergabung dengan tamu –tamu di dalam sana, tidak ada di sampingnya. Padahal, dia masih butuh pria itu untuk menguatkannya saat nanti ada pandangan sinis diarahkan ke padanya, atau cemoohan yang orang lain alamatkan karena kesalahannya tadi. “Mas!” panggil Naira ke pada sang suami yang mematung menatap layar ponsel. Dahi wanita itu mengerut, ada apa sampai pria mantan bosnya itu begitu seirus melihat apa yang terlihat di layar. Mungkinkah ini soal pekerjaan? Atau ada masalah datang yang membuat pria it
“Kamu?” Mata Naira melebar. Terkejut melihat siapa yang ada di depannya.“Iya, iya. Sorry! Aku terpaksa melakukan ini!” Rena terpaksa minta maaf, telah membuat Naira jantungan, meski ia merasa ini bukan sebuah kesalahan.“Ada apa, sih, Ren? Kamu ngagetin aja!” protes Naira pada sosok yang berada di depannya. Perempuan itu menghela napas panjang karena kelelahan dibawa berjalan terlalu jauh.“Heuh. Ini soal perempuan yang dibawa si Huda tadi. Kamu pasti tidak ingat kan?”“Ya?” Naira tak mengerti.“Saat itu kamu baru masuk kerja di kantor ini dan belum tahu kalau ternyata bos kita adalah Bapak Anggara, yang ternyata belakangan aku tahu adalah mantan pacar kamu,” cerocos Rena. Yang masih juga syok saat tahu seperti apa masa lalu sahabatnya dengan si Bos tampan itu. "Siapa?" tanya Naira tak sabar karena dia benar-benar tak ingat. Mungkin karena saat itu ia tak memiliki perasaan apa pun pada Anggara selain malu, dan sibuk menyelamatkan harga diri. Bagaimana tidak, pria yang dulu dia camp
Sinta ke sana ke mari mencari sahabatnya yang tengah mengadakan pesta. "Ck. Ke mana perginya anak itu? Tamu datang jauh-jauh dianggurin gini?"Wanita yang kariernya melejit setelah perceraian itu terus berjalan melewati orang -orang ramai memenuhi ruangan mewah milik keluarga Anggara. Tepatnya milik Anggara sendiri, karena pria itu sebelumnya sempat tinggal sendiri. Dan baru saja setelah akan menikah dengan Naira, memboyong ibunya untuk tinggal bersama dan menyongsong hari pernikahan Anggara dan perempuan pujaan hatinya -Naira.Mata Sinta melebar, kala ia menangkap sosok wanita di luar dan hanya terlihat separuh tubuhnya terbalut pakaian pengantin. "Kenapa dia sendirian di sana?" Penasaran, langkah Sinta pun tertuntun mendekati Naira. Ia ingin tahu apa yang menyebabkan wanita itu meninggalkan orang -orang saat acara penting begini? Perempuan itu berniat mengagetkan, tapi ternyata saat Naira berbalik ....."Astaghfirullah ....?" Mata Sinta membelalak, saat dugaannya benar. Itu adalah
Anggara menjadi gelisah dan ragu untuk menyampaikan apa yang Sherly bicarakan kepadanya. Dirinya saja langsung syok, apalagi Naira jika diberitahu. Untuk yang itu, Anggara benar-benar khawatir Naira akan pingsan ketika tahu fakta yang terjadi antara mereka. "Kenapa gak ngomong, Mas? Kamu takut?" tanya Naira keras yang mulai tidak sabar dengan diamnya Anggara.'Ya! Ya, aku takut, Nai. Aku takut kehilanganmu,' seru batin Anggara yang terluka. Dia sendiri tak mengerti kenapa harus terjebak kejadian rumit dengan perempuan binal itu. "Kita bicarakan ini nanti di kamar saja, ya." Anggara mendekati Naira. Mencoba melembutkan hati gadis itu.Meskipun Anggara belum tahu pasti apa yang Huda sampaikan ke Naira, tapi mengingat kemunculan pria itu bersama Sherly saja, Anggara sedikitnya sudah menduga kalau ini berkaitan dengan pengakuan sekaligus ancaman Sherly."Aku mau di sini, Mas. Sekarang!" tandas Naira. Tegas! Ia tak mau pergi sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. Sebuah jawaban past