Dahi Naira berkerut-kerut memperhatikan video dalam surel yang dikirim Sinta.
"Hem. Kalau ini, pasti ibu." Naira menyentak tangannya ke atas meja. "Kenapa juga ibu pakai bajuku? Apa Mas Huda tidak membelikannya pakaian?"Dua mata wanita yang menjadi sekretaris itu menatap tanpa berkedip. Sampai pada adegan cipika-cipiki yang terlihat sangat aneh. Mata Naira memicing, curiga."Ampun. Ini malu-maluin banget, asli!" tangan Naira terkepal tanpa sadar ia meremas map yang harus diberikan pada sang Bos hingga robek. "Apa-apaan Mas Huda! Norak, malu-maluin banget," dengkusnya kasar."Nai." Suara bass seorang pria terdengar sangat dekat. Tanpa ia tahu, Anggara berdiri di belakangnya dengan membungkukkan badan. Ia penasaran kenapa sekretarisnya itu merobek laporan yang susah-susah dibuatnya.Naira tersentak kaget, sampai berjingkat dan jatuh dari kursi. Untung saja tubuhnya ditangkap Anggara hingga tak membentur lantai.Mata wanita itu melebar sempurna kala sadar, Anggara yang memeganginya.Namun, Naira yang merasa risih bereaksi lebih. Ia menjatuhkan diri sendiri ke lantai dan mengaduh kesakitan. "Au!"Anggara yang sempat menatap sinis pada layar laptop kini menarik senyum simpul. Geli melihat kelakuan Naira."Butuh bantuan?" tanya Bos sambil mengulurkan tangan."Nggak, Pak. Makasih." Naira menggeleng sambil tersenyum, lebih tepat meringis menahan sakit.Anggara tergelak sebentar. Namun, ia cepat menguasai diri dengan berdehem. "Ehm. Ehm."Naira cepat bangkit dan berdiri dengan kepala menunduk. Merasa bahwa Anggara ingin memperlihatkan kewibaan sebagai seorang atasan."Nai ...." Ucapan Anggara menggantung dengan ekspresi seolah tengah marah padanya.Naira yang sadar cepat mencari-cari sesuatu, apa gerangan yang membuat bosnya itu marah? Dia celingukan ke kanan kiri, hingga mendapati kertas-kartas yang baru diprint lecek dan sobek bertengger manis di atas meja"Oh?!" Mata dan mulut Naira membulat sempurna karena terkejut. Diambilnya barang tersebut dengan ekspresi kalut, lalu mengangkatnya di depan si Bos.Begitu ia kembali sadar bahwa Bosnya masih menatap dengan bergeming. Naira segera menyembunyikan di belakang tubuhnya.Anggara menyilang tangan di dada. Lalu menautkan dua alisn ke arahnya."Em, em. Ma-maaf, Pak." Wanita itu begitu menyesal. Dia pasti kena omel sekarang. Apalagi salinannya entah tersimpan di mana, dan gak lama lagi waktu bertemu utusan dua pemegang saham terbesar perusahaan."Kamu ...." Dua mata elang itu kini menyorot pada sekretarisnya yang tengah menunduk.Naira menggigit bibir bawah pasrah. Dengan menggenggam kertas lebih erat."Apa suamimu berselingkuh, Nai?" Suara bass itu terdengar menekan.Naira sontak mendongak. 'Pak Bos apa-apaan? Kenapa pria itu malah membahas hal pribadi?' Ia menatap bingung sekarang. Bukan lagi rasa takut seperti sebelumnya. Ia lalu ingat, bahwa tadi tengah memutar video dari Shinta.Begitu berbalik, ia mendapati video masih bergerak di komputer. Naira buru-buru menggerakkan mouse dan mematikan video tersebut."Sudah berapa lama?" tanya Anggara sementara Shinta masih sibuk mengoperasikan komputer.Setelah selesai ia segera kembali menatap sang bos. Lalu memperlihatkan berkas di tangannya."Saya akan segera mengurus dan menyelesaikan ini. Maaf," ucap Naira datar tanpa menjawab pertanyaan si Bos. Lalu cepat duduk. Menyalakan komputer dan memulai mencari data tersimpan.Anggara mendesah berat. Ia kecewa Naira tak merespon kepeduliannya.Begitu mulai sibuk kembali, dia bisa melihat dengan ekor mata Anggara berjalan menjauh. Masuk ke dalam ruangannya dengan wajah yang terlihat kesal.Naira celingukan. Memastikan pria itu benar-benar hilang dari pandangan. Hingga bebas mendengkus, lantaran terlalu ikut campur urusan pribadinya."Kenapa dia begitu ikut campur dengan urusanku? Ini memalukan, seolah aku mendapat pria tak baik setelah putus dengannya," racau Naira yang tak menahami sikap Anggara.Dia yang mulai mengetik sesuatu, tiba-tiba menelengkan kepala. Berpikir agak lama."Apa dia sedang mengejekku?" Wanita itu tak bisa konsen pada pekerjaannya sekarang.Naira mendesah, berusaha fokus pada pekerjaan yang harus selesai. Mengingat ucapan Anggara, dia mulai kesal. Kesal pada Huda yang bersikap begitu berlebihan dengan sang ibu. Bahkan Anggara saja mengira mereka selingkuh.Tiba-tiba, terbersit rasa cemburu di hati. Lebih jika dipikir, Rindi terlihat sangat muda dan menarik."Apa iya, Mas Huda benar-benar anak kandungnya? Kenapa aku jadi tak tenang gini?"_________________Naira pulang lebih cepat dari biasa. Ingin memberi waktu berdua dengan mertua dan mengenal lebih jauh, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan termasuk kebenaran hubungan ibu dan anak antara Huda dan Rindi. Selain itu ia juga ingin mempersiapkan waktu lebih banyak, karena malam ini Huda akan mengajaknya keluar makan malam berdua.Mereka rasanya sudah lama tidak menghabiskan waktu santai di luar rumah. Mengingat masa-masa indah dulu. Mungkin dengan begitu bisa meredam prasangka dan cemburunya.Wanita itu mengerutkan kening kala melihat mobil Huda terparkir di garasi. "Apa dia sudah pulang?"Saat di depan pintu, Naira membuka kunci. Lagi-lagi tak bisa. Pasti Karena pasti sang suami lupa lagi mencabut kunci, atau mungkin karena mereka di rumah saja jadi dikunci manual. Setelah mengetuk dan tak ada jawaban, akhirnya ia berjalan ke pintu belakang, sang ibu mertua pasti sedang di dapur. Dan sang suami mungkin di lantai atas.Saat berada di belakang, dan mengetuk berkali-kali, tak ada jawaban. Berarti sang mertua tak ada di sana.Naira mendesah lelah. Namun, matanya melebar kala menarik handel pintu. Ternyata terbuka. "Ouh, tak dikunci." Wanita dengan setelan kerja itu menghela napas lega.Ia pun masuk ke dalam. Benar saja mertua tak ada di dapur. Lalu berjalan ke ruang tengah menapaki keramik-keramik yang berjajar rapi di lantai. Ruang tengah kosong. Mungkin sang ibu sedang sibuk di balkon atau di kamar."Biarlah, aku mau ganti baju dulu," gumamnya yang akan naik ke lantai atas.Namun, baru menapaki dua anak tangga, kakinya berhenti kala mendengar suara cekikikan dari kamar ibunya. Disertai suara aneh seperti orang merintih kesakitan.Dada Naira berpacu kencang. Ia pun segera memutar arah dan melangkah ke sana. Naira harus tahu apa yang terjadi? Pikirannya tak karuan. Mengingat Huda berada di rumah, suaminyankah yang tengah bersenang-senang dengan ibunya?Tanpa basa-basi ia menarik gagang pintu kamar mertua yang ternyata juga tak dikunci. Mata Naira membelalak sempurna melihat apa yang ada di kamar tersebut.BersambungNaira menajamkan pendengaran. Suara itu seperti ada di depannya tapi juga seperti berasal dari kamar sebelahnya. Tapi, untuk apa ibunya bermain-main di sana, sedang dia punya kamar sendiri. Dan kamar itu lama kosong, pasti berdebu.Ia pun meraih gagang pintu. Mata Naira terbelalak kala berhasil membuka pintu kamar sang mertua."Kosong?!" Dahi perempuan ayu itu berkerut dengan dada naik turun. Tersengal lantaran emosi dan rasa penasraan yang sudah di ubun-ubun. Jelas-jelas dia mendengar suara dari kamar ibu mertuanya. Kenapa bisa tak ada siapa pun? Ia beranikan diri melangkah masuk meski dengan kaki gemetar. Bisa jadi mertua dan suaminya sedang bersembunyi di lemari. Atau di kamar mandi."Ada apa, Nai?" Suara Rindi terdengar di belakang Naira dan membuatnya berbalik seketika. "Ib-ibu?" Naira tergagap. Napasnya masih juga tak beraturan. Ia merasa dipermainkan oleh prasangka dan kenyataan yang ditemukan. Rindi tampak segar dan seksi. Pemandangan itu membuat Naira tak suka. "Kenapa w
Huda masuk ke kamar ibunya yang hanya mengenakan lingerie. Wanita itu sudah seperti jalang yang tersenyum pada pelanggannya. Seksi dan menggairahkan. Itulah kesan yang tampak pertama."Senyum itu menjijikkan, Bu!" makinya kala menangkap senyum penuh gairah di bibir Rindi. Belum lagi saat ingat sprai acak-acakan di kamar tamu. Entah, se-hot apa mereka berbuat. Belum lagi suara ibunya yang seperti orang kesetanan.Apa tidak ada wanita lain? Kenapa harus ibunya sendiri? 'Atau jangan-jangan dia bukan ibunya? Aku harus mencari tahu.'Tangan Naira menekan mouse hingga gerakan dalam layar tak lagi stabil.Mata perempuan yang kini mengenakan gamis berwarna ungu motif bunga dengan kerudung senada itu berkaca, lantaran terasa panas dan perih. Tatapannya memburam karena embun yang menutupi pandangan. Kini semua air mata seolah tengah berjejalan dan antri ingin ke luar.Rasa sakit berlipat-lipat Naira rasa dari yang sebelumnya. Jika tadinya hanya sebatas dugaan, sekarang dia melihat sendiri suami
Huda memperhatikan Rindi dari atas hingga bawah. Rambutnya yang acak-acakan. Baju yang tak rapi seperti tengah ditarik berkali-kali. Tak salah lagi wanita itu pasti habis bertarung dengan Naira. Dan sebuah botol obat kecil yang digenggam di tangan kiri yang membuat mata Huda menyipit. Jantung pria itu terpompa lebih cepat. Dia yang kelelahan membawa mobil seperti pembalap, berlari dan mendobrak pintu rumah agar tak terjadi apa-apa pada Naira. Kini harus disuguhkan dengan pemandangan mengerikan. "Kamu apakan istriku, Rin?" Mata Huda membeliak. Ia tak sabar dapat pengakuan dari wanita selingkuhannya. Untuk tahu apa yang terjadi pada Naira."Ma-maf, Da." Rindi mengucap gemetar seolah takut pria yang dicintai akan marah padanya.Kata maaf itu seperti sebuah pisau yang menyayat hati Huda. Benar yang ditakutkan, Rindi akan menyakiti Naira pada akhirnya. Itu kenapa dia mencari istri wanita kota yang jauh dari Rindi. Wanita yang bisa melakukan apa pun ketika kesenangannya dihalangi."Aku,
Kejadian sebelumnya. Sore hari ....Naira seperti hilang akal. Rasanya bodoh dan jijik saja jika akan bertemu Huda. Jangankan bertemu dan minta penjelasan, membayangkan wajahnya saja sudah membuat Naira emosi sampe ke ubun-ubun.Tiba-tiba saja dia ingat kematian bapak mertua yang ganjil. Apa pasangan selingkuh itu yang membunuhnya? "Keparat!" Tangan Naira terkepal. Gigi-gigi halusnya bahkan gemerutuk lantaran rahang juga mengeras menahan emosi.Dia terdiam agak lama, berpikir dan menyusun rencana. Jangan sampai ia pun jadi korban. Siapa yang akan tahu jika Rindi sebenarnya menyimpan kebencian dan menunggu waktu tepat untuk menyingkirkannya seperti almarhum.Naira menatap ke arah pintu. Takut jika tiba-tiba Rindi menyerang. Ia bangkit dan mengunci pintu tersebut.Lalu kembali duduk dengan merapatkan dua tangan di atas meja. Berkali-kali ia menatap ke arah pintu dengan takut-takut tapi juga sangat marah. Sebisa mungkin, Naira menekan emosi dalam dada. "Bukan waktu tepat untuk menangis
Mata Anggara menyipit, kala melihat keringat sebiji jagung jatuh dari kening dan pelipis Naira. Lelaki itu menginjak pedal gas lebih dalam, hingga tak berapa lama melihat POM bensin. Ia segera memutar setir mobil berbelok ke tempat tersebut.Aneh menurutnya. Kenapa begitu keluar pagar rumah kondisi Naira langsung berubah drastis? Adakah sesuatu yang bekerja dalam tubuhnya? Seperti racun atau sejenisnya.Begitu mobil menepi dan berhenti di area parkir, Anggara yang diliputi cemas menelepon seseorang. Lelaki itu mengetuk-ngetukkan tangan ke benda berbentuk bundar di depannya. Tak sabar sang teman yang berprofesi sebagai dokter mengangkat telepon darinya."Hallo, Pram. Assalamualaikum," ucapnya begitu panggilan tersambung."Ya, Ga! Waalaikumsalam. Tumben nih, lo malam-malam gini nelepon. Ada apaan emangnya?" sahut lelaki yang dipanggil Pram."Iya, nih. Gue perlu tau sesuatu.""Ya?""Jadi gue lagi bareng pegawai." Anggara mulai bercerita."Cewek apa cowok?" "Ah tuh ga pentinglah!" Angga
Sesampainya di rumah sakit, Anggara segera turun, membuka pintu mobil di mana Naira duduk. Tanpa berpikir apa pun, pria itu memegang tangan wanita tersebut untuk membantunya keluar.Namun, Anggara terpaku dengan dua alis terangkat kala Naira enggan bangkit mengikutinya."Hem?" "Em, sebaiknya saya berjalan sendiri, Bos." Naira menarik tangannya yang terasa lemas."Oh. Oke." Anggara sontak mengangkat dua tangan yang sempat menempel di lengan pegawainya tersebut. Ia sadar wanita itu tampak tak nyaman atas perlakuannya. Mungkin karena semua orang termasuk Naira sudah tahu statusnya sekarang, jadi mereka berpikir hal lain. Misal, modus. Bukan lagi tulus membantu yang memang sedang kesulitan."Tubuhmu masih sangat lemas. Tunggu di sini!" Anggara pergi ke dalam, berusaha mencari tenaga medis. Setidaknya akan ada tandu, ranjang dorong, atau kursi roda.Naira memandangi punggung pria kekar yang menjauhinya. Tubuh atletis yang dulu membuatnya dimabuk cinta dan dipenuhi semangat hidup. Ia san
"Huda tunggu! Kamu mau ke mana?" tanya Rindi yang tampak kuyu.Namun, meski begitu, Huda sama sekali tak kasihan padanya. Sudah terlalu sering ia meminta wanita itu untuk tidak bersikap dan mengambil keputusan gegabah. Tapi nyatanya semua itu tak diindahkan. Untung saja dia punya teman yang ITE hingga bisa melacak keberadaan istrinya yang hilang. Dan lebih beruntung lagi, Naira tak menon aktifkan ponselnya, hingga syarat lokasi bis dicapai."Apa lagi? Sebaiknya kamu diam saja, oke!" ucap Huda yang bersiap pergi.Kali ini Huda akan memilih diam. Dia sudah bisa merasakan kebencian berlebih yang Rindi tujukan untuk Naira. Padahal mereka dulu bersepakat, dengan siapa pun Huda menikah, Rindu tak boleh cemburu berlebih apalagi menyakitinya. "Apa kamu tau sesuatu tentang Naira?" tanya Rindi yang penasaran dengan memegang lengan Huda. "Kamu tak perlu tau. Diamlah jika ingin kita tetap bersama." Ucapan Huda menekan dan dingin. Ia lalu menepis tangan wanita itu, sebelum akhirnya bergega
Rindi menatap ke jendela luar dengan mata penuh kebencian. Dari sorot yang tak fokus pada tujuan itu, tampak satu dua orang lalu lalang mengenakan pakaian keamanan. Menjaga kompleks mereka tinggal dari pencurian dan sejenisnya. Meski begitu, tetap saja tak ada kemanan di hatinya. Naira sudah merenggut perhatian dan cinta Huda darinya. Angka pada jam dinding sudah menunjukkan 02.10, tapi rasa kantuk belum juga datang. "Sial, insomniaku sampai kambuh gara-gara ini!" dengkusnya kesal sambil menghempas tirai jendela yang dipegang.Ia menyesal kenapa tak dari dulu saja menyingkirkan suaminya yang tua bangka dan hidup bahagia di kota. Dengan begitu ia tak perlu meihat pernikahan Huda dengan wanita lain. Matanya beralih pada benda di nakas, kala benda berbentuk pipih itu berdering. "Huda?" gumamnya heran. "Apa dia sudah menemukan Naira dan menasehatiku agar berbagi tempat dengan nyaman dengan perempuan jalang itu? Enak saja. Tidak bisa! Merekalah yang harusnya bercerai."Rindi pun mengk