Naira tak boleh bercerai hanya dengan alasan curiga tanpa bukti.
Kakak lelakinya pasti akan sangat sedih jika melihatnya bercerai. Sudah banyak pengorbanan pria itu, sampai dia bisa kuliah, dan bertemu pria bertanggung jawab seperti Huda.Ah setidaknya itu yang Danu pikirkan.Pria bernama Huda itu juga yang menyembuhkan lukanya setelah putus dengan Anggara, mantan yang pergi begitu saja hanya karena salah paham. Pria yang tak mau mendengar penjelasannya lagi. Dan pria yang langsung menikahi wanita lain hanya berselang sebulan mereka putus.Hari itu Naira hampir mati karena patah hati. Tapi keberadaan Huda seolah embun yang menyejukkannya. Dia datang menawarkan cinta. Hingga tak perlu waktu lama keduanya menikah. Meski, Naira yang mencampakkan Anggara, tetap saja dia yang membencinya. Pria dengan harga diri tinggi. Bukannya berusaha menenangkan dan membujuk, serta memperbaiki keadaan, malah menikah dengan wanita lain demi membalas sakit hatinya pada Naira.____________Baru juga masuk ruangan, Rena heboh. Menarik lengan Naira ke sudut ruangan menjauhi pegawai lain. Perempuan single itu seolah punya berita besar yang ingin dia sampaikan."Ada apa, sih. Ren?""Nai. Lo tau gak, istri bos kita yang katanya teman lo itu.""Ya?" Naira bingung kenapa Rena menyebut-nyebut istri bos."Dia sudah menikah lagi," bisiknya antusias."Apa?!" Mata Naira melotot tak percaya. "Jadi?""Ya, Pak Bos sekarang duda Nay. Deuh, aku jadi geer beberapa kali diperhatikan di kantor. Jangan-jangan ... dia naksir sama aku." Rena bicara menye-menye, sampai Naira bisa menangkap raut wajahnya yang memerah."Ck. Dasar lo!" Naira mendecak.Naira hanya tak habis pikir bagaimana bisa pasangan sebaik dan sesempurna mereka bisa bercerai?'Itu artinya entah berapa lama Anggara single. Deuh, jadi was-was kalau gini. Aku harus jaga jarak agar hubunganku dengan Mas Huda tetap baik-baik saja. Aku takut sikap manisnya akan membuat cinta di dalam sini kembali hidup. Naudzubillah.'Baru juga memikirkan Anggara, CEO yang tampak dingin tapi juga sikapnya selalu hangat itu datang, membuat semua pegawai menyapanya."Pagi, Pak" ucap mereka."Ya! Lanjutkan." Anggara membalas dengan senyum manis, dan merupakan senyum maut bagi perempuan single seperti Rena.Naira sampai geleng-geleng melihatnya."Nai, kamu gak masuk?" tanya Anggara yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya.Naira yang sedang fokus pada tingkah konyol rekannya terhenyak kala disapa sang Bos."Ah, ya, Pak. Siap." Naira jadi gugup tak menentu. Aneh, harusnya ia tak perlu tahu masalah pribadi Anggara agar tak mengisi hatinya.Ia lalu berjalan mengekor si Bos, duduk di ruangan pertama sebelum pintu kedua yang menghubungkannya dengan Anggara.___________Siang hari usai isoma, Naira tak membuang waktu dan segera kembali duduk di ruangan. Ia sempatkan membuka ponsel sebelum jam kerja dimulai.Bibirnya menyunggingkan senyum manis kala netra mendapati pesan dari sang suami.[Sayang, kita makan malam di luar malam ini?]Cepat Naira membalas.[Mau banget, Mas.😍] balasnya.Namun, belum juga hatinya lama berbunga, panggilan datang dari Sinta."Ya, Sin. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Nai. Aku kirim surel. Buruan, deh. Buka!""Oh ya."Ia pun membuka email yang sahabatnya kirim, sambil masih melakukan panggilan."Udah?" tanya Sinta."Ya!""Aku aneh banget liatnya. Itu siapa sih. Bawain makan siang suamimu. Apa dia kakaknya, tapi kok gak wajar cipika-cipiki gitu.""Apa-apaan ni? Duh. Serius. Masa ini ibu sih? Wajahnya gak jelas, Sin," protes Naira."Duh. Kalo kurang jelas. Mending besok kamu ke sini deh. Izin sama bosmu. Habis makan siang mereka keluar lagi. Entah ke mana. Besok bisa jadi gitu lagi." Sinta terdengar sangat kesal."Oya, Sin makasih." Naira mengucap lemah. Panggilan pun diputus. Kenapa mereka selalu tampak mesra. Seperti tak wajar hubungan ibu dan anak."Aku benar-benar harus mencari tahu, siapa sebenarnya ibu." Mata Naira menyipit. Dia urung memeriksa CCTV lantaran sang mertua sudah menjelaskan. Dan Huda tidur bersamanya semalam. Tatapan itu dipenuhi kekesalan, merasa dipermainkan. Baru juga tadi malam suaminya membuatnya senang kini bikin curiga lagi.Bersambung...Dahi Naira berkerut-kerut memperhatikan video dalam surel yang dikirim Sinta."Hem. Kalau ini, pasti ibu." Naira menyentak tangannya ke atas meja. "Kenapa juga ibu pakai bajuku? Apa Mas Huda tidak membelikannya pakaian?"Dua mata wanita yang menjadi sekretaris itu menatap tanpa berkedip. Sampai pada adegan cipika-cipiki yang terlihat sangat aneh. Mata Naira memicing, curiga."Ampun. Ini malu-maluin banget, asli!" tangan Naira terkepal tanpa sadar ia meremas map yang harus diberikan pada sang Bos hingga robek. "Apa-apaan Mas Huda! Norak, malu-maluin banget," dengkusnya kasar."Nai." Suara bass seorang pria terdengar sangat dekat. Tanpa ia tahu, Anggara berdiri di belakangnya dengan membungkukkan badan. Ia penasaran kenapa sekretarisnya itu merobek laporan yang susah-susah dibuatnya.Naira tersentak kaget, sampai berjingkat dan jatuh dari kursi. Untung saja tubuhnya ditangkap Anggara hingga tak membentur lantai.Mata wanita itu melebar sempurna kala sadar, Anggara yang memeganginya.Nam
Naira menajamkan pendengaran. Suara itu seperti ada di depannya tapi juga seperti berasal dari kamar sebelahnya. Tapi, untuk apa ibunya bermain-main di sana, sedang dia punya kamar sendiri. Dan kamar itu lama kosong, pasti berdebu.Ia pun meraih gagang pintu. Mata Naira terbelalak kala berhasil membuka pintu kamar sang mertua."Kosong?!" Dahi perempuan ayu itu berkerut dengan dada naik turun. Tersengal lantaran emosi dan rasa penasraan yang sudah di ubun-ubun. Jelas-jelas dia mendengar suara dari kamar ibu mertuanya. Kenapa bisa tak ada siapa pun? Ia beranikan diri melangkah masuk meski dengan kaki gemetar. Bisa jadi mertua dan suaminya sedang bersembunyi di lemari. Atau di kamar mandi."Ada apa, Nai?" Suara Rindi terdengar di belakang Naira dan membuatnya berbalik seketika. "Ib-ibu?" Naira tergagap. Napasnya masih juga tak beraturan. Ia merasa dipermainkan oleh prasangka dan kenyataan yang ditemukan. Rindi tampak segar dan seksi. Pemandangan itu membuat Naira tak suka. "Kenapa w
Huda masuk ke kamar ibunya yang hanya mengenakan lingerie. Wanita itu sudah seperti jalang yang tersenyum pada pelanggannya. Seksi dan menggairahkan. Itulah kesan yang tampak pertama."Senyum itu menjijikkan, Bu!" makinya kala menangkap senyum penuh gairah di bibir Rindi. Belum lagi saat ingat sprai acak-acakan di kamar tamu. Entah, se-hot apa mereka berbuat. Belum lagi suara ibunya yang seperti orang kesetanan.Apa tidak ada wanita lain? Kenapa harus ibunya sendiri? 'Atau jangan-jangan dia bukan ibunya? Aku harus mencari tahu.'Tangan Naira menekan mouse hingga gerakan dalam layar tak lagi stabil.Mata perempuan yang kini mengenakan gamis berwarna ungu motif bunga dengan kerudung senada itu berkaca, lantaran terasa panas dan perih. Tatapannya memburam karena embun yang menutupi pandangan. Kini semua air mata seolah tengah berjejalan dan antri ingin ke luar.Rasa sakit berlipat-lipat Naira rasa dari yang sebelumnya. Jika tadinya hanya sebatas dugaan, sekarang dia melihat sendiri suami
Huda memperhatikan Rindi dari atas hingga bawah. Rambutnya yang acak-acakan. Baju yang tak rapi seperti tengah ditarik berkali-kali. Tak salah lagi wanita itu pasti habis bertarung dengan Naira. Dan sebuah botol obat kecil yang digenggam di tangan kiri yang membuat mata Huda menyipit. Jantung pria itu terpompa lebih cepat. Dia yang kelelahan membawa mobil seperti pembalap, berlari dan mendobrak pintu rumah agar tak terjadi apa-apa pada Naira. Kini harus disuguhkan dengan pemandangan mengerikan. "Kamu apakan istriku, Rin?" Mata Huda membeliak. Ia tak sabar dapat pengakuan dari wanita selingkuhannya. Untuk tahu apa yang terjadi pada Naira."Ma-maf, Da." Rindi mengucap gemetar seolah takut pria yang dicintai akan marah padanya.Kata maaf itu seperti sebuah pisau yang menyayat hati Huda. Benar yang ditakutkan, Rindi akan menyakiti Naira pada akhirnya. Itu kenapa dia mencari istri wanita kota yang jauh dari Rindi. Wanita yang bisa melakukan apa pun ketika kesenangannya dihalangi."Aku,
Kejadian sebelumnya. Sore hari ....Naira seperti hilang akal. Rasanya bodoh dan jijik saja jika akan bertemu Huda. Jangankan bertemu dan minta penjelasan, membayangkan wajahnya saja sudah membuat Naira emosi sampe ke ubun-ubun.Tiba-tiba saja dia ingat kematian bapak mertua yang ganjil. Apa pasangan selingkuh itu yang membunuhnya? "Keparat!" Tangan Naira terkepal. Gigi-gigi halusnya bahkan gemerutuk lantaran rahang juga mengeras menahan emosi.Dia terdiam agak lama, berpikir dan menyusun rencana. Jangan sampai ia pun jadi korban. Siapa yang akan tahu jika Rindi sebenarnya menyimpan kebencian dan menunggu waktu tepat untuk menyingkirkannya seperti almarhum.Naira menatap ke arah pintu. Takut jika tiba-tiba Rindi menyerang. Ia bangkit dan mengunci pintu tersebut.Lalu kembali duduk dengan merapatkan dua tangan di atas meja. Berkali-kali ia menatap ke arah pintu dengan takut-takut tapi juga sangat marah. Sebisa mungkin, Naira menekan emosi dalam dada. "Bukan waktu tepat untuk menangis
Mata Anggara menyipit, kala melihat keringat sebiji jagung jatuh dari kening dan pelipis Naira. Lelaki itu menginjak pedal gas lebih dalam, hingga tak berapa lama melihat POM bensin. Ia segera memutar setir mobil berbelok ke tempat tersebut.Aneh menurutnya. Kenapa begitu keluar pagar rumah kondisi Naira langsung berubah drastis? Adakah sesuatu yang bekerja dalam tubuhnya? Seperti racun atau sejenisnya.Begitu mobil menepi dan berhenti di area parkir, Anggara yang diliputi cemas menelepon seseorang. Lelaki itu mengetuk-ngetukkan tangan ke benda berbentuk bundar di depannya. Tak sabar sang teman yang berprofesi sebagai dokter mengangkat telepon darinya."Hallo, Pram. Assalamualaikum," ucapnya begitu panggilan tersambung."Ya, Ga! Waalaikumsalam. Tumben nih, lo malam-malam gini nelepon. Ada apaan emangnya?" sahut lelaki yang dipanggil Pram."Iya, nih. Gue perlu tau sesuatu.""Ya?""Jadi gue lagi bareng pegawai." Anggara mulai bercerita."Cewek apa cowok?" "Ah tuh ga pentinglah!" Angga
Sesampainya di rumah sakit, Anggara segera turun, membuka pintu mobil di mana Naira duduk. Tanpa berpikir apa pun, pria itu memegang tangan wanita tersebut untuk membantunya keluar.Namun, Anggara terpaku dengan dua alis terangkat kala Naira enggan bangkit mengikutinya."Hem?" "Em, sebaiknya saya berjalan sendiri, Bos." Naira menarik tangannya yang terasa lemas."Oh. Oke." Anggara sontak mengangkat dua tangan yang sempat menempel di lengan pegawainya tersebut. Ia sadar wanita itu tampak tak nyaman atas perlakuannya. Mungkin karena semua orang termasuk Naira sudah tahu statusnya sekarang, jadi mereka berpikir hal lain. Misal, modus. Bukan lagi tulus membantu yang memang sedang kesulitan."Tubuhmu masih sangat lemas. Tunggu di sini!" Anggara pergi ke dalam, berusaha mencari tenaga medis. Setidaknya akan ada tandu, ranjang dorong, atau kursi roda.Naira memandangi punggung pria kekar yang menjauhinya. Tubuh atletis yang dulu membuatnya dimabuk cinta dan dipenuhi semangat hidup. Ia san
"Huda tunggu! Kamu mau ke mana?" tanya Rindi yang tampak kuyu.Namun, meski begitu, Huda sama sekali tak kasihan padanya. Sudah terlalu sering ia meminta wanita itu untuk tidak bersikap dan mengambil keputusan gegabah. Tapi nyatanya semua itu tak diindahkan. Untung saja dia punya teman yang ITE hingga bisa melacak keberadaan istrinya yang hilang. Dan lebih beruntung lagi, Naira tak menon aktifkan ponselnya, hingga syarat lokasi bis dicapai."Apa lagi? Sebaiknya kamu diam saja, oke!" ucap Huda yang bersiap pergi.Kali ini Huda akan memilih diam. Dia sudah bisa merasakan kebencian berlebih yang Rindi tujukan untuk Naira. Padahal mereka dulu bersepakat, dengan siapa pun Huda menikah, Rindu tak boleh cemburu berlebih apalagi menyakitinya. "Apa kamu tau sesuatu tentang Naira?" tanya Rindi yang penasaran dengan memegang lengan Huda. "Kamu tak perlu tau. Diamlah jika ingin kita tetap bersama." Ucapan Huda menekan dan dingin. Ia lalu menepis tangan wanita itu, sebelum akhirnya bergega