Home / Romansa / PLAYER / 7 Barisan Gagal Move On

Share

7 Barisan Gagal Move On

Author: Ans18
last update Huling Na-update: 2024-08-06 17:21:12

Arla mendongak, kemudian menghela napas lelah. “Ya lagi makan lah. Pake nanya.” Dengan nada sinis, Arla menjawab pertanyaan lelaki itu.

“Galak banget sih, Yang.” Lelaki itu hampir mengusapi puncak kepala Arla lagi sebelum Arla memiringkan kepalanya, berusaha memberi jarak lebih jauh.

Ervin masih menahan diri. Sejak tadi ia hanya memperhatikan interaksi keduanya. Kalau ia boleh jujur, harga dirinya lagi-lagi terluka. Setelah Arla menolak dijemput, sekarang ada lelaki lain yang terang-terangan menunjukkan Public Displays of Affection (PDA) di hadapannya.

Apa lelaki itu tidak punya mata? Arla sedang bersama dirinya. Berani-beraninya laki-laki itu mendekati Arla. Arla adalah targetnya!

“Hei, Arla kayaknya nggak suka kamu sentuh!”

Lelaki itu tidak menjawab, hanya menunjukkan seringainya kepada Ervin.

“Than, please! Aku ke sini sama … pacarku. Hargai pacarku dong.”

Untung saja Ervin sedang tidak mengunyah sesuatu, karena bisa dipastikan ia akan tersedak setelah mendengar ucapan Arla.

“Kamu udah panya pacar?”

“Ya … seperti yang kamu lihat. Please, Than. Pergi dari sini.”

Lelaki itu seperti masih ingin menyuarakan protesnya saat Ervin kembali memberinya peringatan. “Saya bisa minta kamu diusir dari tempat ini kalau kamu masih mengganggu makan malam kami.”

Lelaki itu terpaksa undur diri dengan wajah kesalnya. Namun lelaki itu tidak benar-benar pergi. Ia hanya menjauh, duduk di meja yang berjarak tiga meja dari mereka.

Ervin lagi-lagi menahan diri untuk tidak menanyakan kepada Arla tentang siapa laki-laki itu. Arla pasti akan menjelaskannya sendiri kalau merasa perlu. Apalagi Arla tadi berani mengakuinya sebagai pacar. Pasti Arla akan meminta maaf setelah ini.

“Vin, sorry banget ya, Vin.”

See? Tebakannya tepat.

“Sorry kenapa, La? Kamu nggak salah kok. Kan dia yang ganggu makan malam kita.”

“Tapi tadi aku pinjem kamu buat ngelindungin aku. Sorry aku bilang kalo kamu pacarku. Cewekmu pasti ngamuk kalo denger.”

“Kalo aku punya cewek, nggak mungkin aku makan malamnya sama kamu, La.”

Arla hampir saja kelepasan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Ervin free. Status itu yang penting untuknya. Ia tidak pernah mau menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki kekasih, tunangan, apalagi istri.

"Tapi aku beneran minta maaf banget, takutnya kamu ngerasa nggak nyaman kuakui begitu di depan umum."

"Nggak apa-apa kok, pake aja namaku kalau kamu butuh." Ervin tersenyum lebar. Tidak masalah Arla mengakuinya sebavai pacar, selama itu tidak dilakukannya di depan wanita-wanita lain yang masuk sebagai kandidatnya.

"Kamu nggak nanya siapa dia?" Arla cukup bingung dengan segala sikap Ervin malam itu. Ia benar-benar berbeda dengan laki-laki yang pernah dikenalnya selama ini.

"Kamu bakal ngejelasin kalau kamu merasa perlu. Iya kan?"

"Hmm. Just someone ... yang nggak bisa move on."

Ervin terkekeh dibuatnya. "Memang move on itu urusan paling susah di dunia ini. Harusnya kita kasihan sama dia, bukannya malah kita usir pergi."

Arla mendelik kesal mendengar pendapat Ervin. "Kadang yang nggak bisa move on itu berubah jadi super duper nyebelin, dan aku nggak suka direcokin sama orang yang nggak bisa move on."

Di sini Arla sedang menekankan sesuatu. Ia sengaja menyusun kalimat yang menyiratkan ketidaksukaannya terhadap barisan gagal move on.

Tujuannya satu, kalau suatu hari nanti ia benar bisa menjalin hubungan dengan Ervin dan akhirnya hubungan mereka berakhir, Arla tidak mau dikejar-kejar lagi oleh seseorang yang belum bisa move on.

Sebenarnya hal ini juga selalu ia sampaikan kepada lelaki yang sedang dekat dengannya atau yang jadi pacar-pacarnya terdahulu. Tapi tetap saja ia kecolongan. Sekali dua kali pasti ada mantan pacarnya yang muncul lagi di kehidupannya dan mengganggunya.

"I know. Annoying, right?" Ervin menahan senyumnya.

Ia pun demikian. Beberapa mantan pacarnya masih berusaha mengejarnya meskipun mereka putus dalam keadaan baik-baik dan dengan kesepakatan untuk tidak saling mengganggu.

"Banget."

"Ya udah lupain aja. Ini baru sampe appetizer, La. Sayang kalo habis ini kamu nggak bisa nikmatin rasa makanannya gara-gara orang tadi. Si Than itu."

Ervin sengaja menyebut dengan panggilan yang tadi dilayangkan Arla untuk laki-laki yang dari jauh masih sering melirik ke arah mereka itu.

Tidak tahan lagi, Arla menyemburkan tawa akibat Ervin yang menyebut 'Si Than' jadi terdengar seperti 'Se Than.'

"Namanya Nathan, Vin. Kasihan ah anak orang dipanggil Se Than."

"Oh, ya ... kan aku cuma denger kamu manggil dia Than Than aja dari tadi."

Obrolan mereka tidak pernah berhenti terlalu lama. Selalu ada saja yang bisa mereka obrolkan. Sampai Ervin keceplosan bercerita tentang pekerjaannya sebagai Direktur Pemasaran sebuah perusahaan retail.

"Gitu ngakunya marketing."

Ervin terdiam. What the ...! Sejak kapan pembicaraannya bisa disetir seorang wanita?

"Ya ... nggak salah dong, kan marketing."

"Iya, iya. Apalagi yang kamu sembunyiin?" selidik Arla.

"Tanya aja, aku pasti jawab kok."

Arla masih memikirkan pertanyaan apa yang bisa ia lemparkan ke Ervin. Pertanyaan yang jelas tidak membuat Ervin ilfeel, tapi juga mampu membuat lelaki itu menceritakan hal yang disembunyikan.

"Permisi."

Seorang pramusaji tiba-tiba muncul di samping Arla sambil membawa nampan berisi segelas wine. "Dari Mas yang di sana, Mbak," ucap pramusaji itu sambil menunjuk ke arah Nathan duduk.

Nathan tampak menyeringai, berusaha menggoda Arla dari kejauhan.

"Tolong kembalikan ke orangnya, Mbak. Saya nggak minum wine," tolak Arla halus.

Meski serba salah, akhirnya pramusaji itu mengalah dan mengangkat kembali nampannya.

"Kamu mau wine, La? Aku bisa pesenin." Ervin menatap garang pada Nathan yang lagi-lagi mengganggu acaranya. Segelas wine? Apa Nathan pikir segelas wine bisa membuat Arla menoleh lagi padanya sementara ada seorang Ervin Adhinata Candra di hadapan Arla?

"Aku nggak minum wine, Vin."

"Jadi kamu nolak karena kamu memang nggak minum wine? Kalo dia mesenin jus jeruk, kamu bakal terima?"

"Ya nggak lah." Arla tergelak melihat betapa cute-nya Ervin saat sedang menutupi rasa cemburunya. Oh, ralat, mungkin sekadar rasa tidak suka karena sejak tadi Nathan mengganggu mereka.

"Aku menghargai partnerku, Vin. Aku cuma akan nerima apa pun yang diberikan partnerku, bukan orang lain."

***

"Please, La. Aku anter ya. Udah malem. Mana mungkin aku ngebiarin kamu pulang naik taksi." Ervin masih saja belum berhasil merayu Arla untuk yang satu ini.

"Kamu tinggal catat nomor taksiku, Vin. Aku janji begitu sampe langsung ngasih tau kamu."

"Waaah. Ini bener-bener bukan caraku nge-treat cewek, La."

"Ya anggep aja aku memang beda."

"Tetep aja—"

"Kuanter ya, Yang."

"Shit!" Kali ini Ervin benar-benar mengumpat dengan kehadiran Nathan yang masih terus saja mengganggu ditambah dengan memanggil Arla 'Yang'.

"Kenapa sih dari tadi ganggu orang terus." Ervin maju selangkah dan memosisikan diri di antara Arla dan Nathan.

"Arla makan malam sama aku, jadi aku yang nganter Arla pulang!" tegas Ervin sambil menggenggam tangan Arla dan berjalan menuju mobilnya meskipun Arla belum memberikan persetujuan. Masa bodoh!

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • PLAYER   200 Extra Part 2 ( Je T'aime Chaque Jour Davantage)

    "Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat

  • PLAYER   199 Extra Part 1 (Bagaimana Kalau Jiwa Player Mendarah Daging?)

    “Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang

  • PLAYER   198 Ancel Adhiputra Candra

    “Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge

  • PLAYER   197 Tinggal di Rumah Mertua

    Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut

  • PLAYER   196 Kita ke Rumah Sakit!

    “Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r

  • PLAYER   195 Bargain

    “Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status