Share

Dark Night

Lyra meraup wajahnya yang tampak pucat. Sapuan make up tipis sudah memudar bahkan hilang, meninggalkan sisa wajahnya yang polos. Lipstik nude kesayangannya bahkan ikut menghilang. Maklum, semua produk yang digunakannya hanya make up murahan. Meski gajinya lumayan tinggi sebagai seorang asisten, Lyra tetap tidak bisa bertindak boros. Apalagi masih banyak hutang yang harus segera dilunasinya.

Lyra menatap pantulan wajahnya di cermin. Menatap wajah basahnya dengan jejak air yang masih menetes.

“Sialan!” rutuknya berkali-kali. Ini karena ulah atasannya. Lyra merasa meriang membayangkan kejadian Brian dengan wanitanya tadi.

Ada sesuatu yang asing, mendebarkan dalam hatinya. Melihat secara langsung adegan panas tersebut membuatnya merasa panas dan basah bersamaan. Meski dia selalu menampilkan wajah datar, tetap saja Lyra tidak bisa menampik keras perasaan asing tersebut. Rasa lumrah yang muncul seiring dengan kedewasaannya. Ada rasa penasaran yang juga ikut menyapanya mala mini. Bertanya-tanya seperti apa rasanya dicumbu sebegitu panasnya. Lyra buru-buru menggelengkan kepala, menolak pemikirannya yang semakin melantur. Dia tidak boleh memikirkan hal tersebut, apalagi menjadikan Brian sebagai fantasinya. Ini sungguh lancang.

Setelah lama di dalam toilet, Lyra memutuskan segera keluar. Dia menyusuri lorong yang temaram, beberapa orang yang dilewatinya tampak berjalan sempoyongan. Bahkan di beberapa sudut, banyak pasangan bercumbu dengan sangat panas. Mereka seakan melupakan sekitar. Lyra bergidik, melihat adegan dewasa di setiap matanya memandang. Dia makin mempercepat langkahnya, berusaha segera tiba di tempat sebelumnya.

Namun Saat akan berbelok, seseorang malah mencekal tangannya. Menghimpit tubuh kurus Lyra ke tembok.

Lyra memekik, berusaha mendorong tubuh jangkung pria di depannya. Entah siapa pria itu, wajahnya sangat asing. Tapi aroma alkohol yang menyeruak membuat satu pemahaman Lyra bekerja; pria itu sedang mabuk. Alarm bahaya seakan otomatis berbunyi kencang di otaknya. Ini bahaya, dan dia harus segera lepas dari kukungan badan yang sejak tadi berusaha menghimpitnya, mencari cela untuk menyentuhnya di beberapa bagian tubuh.

“Lepas!” Lyra mencegah tangan-tangan nakal yang berusaha menjamah tubuhnya. Dia menggeleng, menolak saat pria itu ingin menciumnya. Pria dengan mata terpejam itu seakan tak gentar, makin menyudutkan badannya, meneka area bawahnya agar bergesekan dengan milik Lyra. Erangan panjang terdengar, pria itu berusaha mencuri ciuman yang sulit didapatkan.

“Come on, Baby!” desaknya tak sabar. Dia berusaha meraih tangan Lyra untuk ditahannya, tapi Lyra pun bertindak dengan cepat untuk menghindar.

Lyra seakan tak kehabisan akal. Dengan sekuat tenaga dia menginjak kaki pria itu dan menendang tepat di pangkal pahanya dengan tak kalah keras.

Pria itu mengerang. Tubuhnya secara otomatis bergerak mundur, tangannya memegang miliknya yang berdenyut kesakitan. “Fuck!” umpatnya. Matanya yang sejak tadi terpejam, kini terbuka lebar. Dia menatap Lyra dengan tajam, seakan menaruh dendam telah membuatnya kesakitan.

Lyra yang tadi sempat terkejut dengan keberaniannya, cepat tersadar. Dia segera memanfaatkan waktu untuk pergi. Lyra berlari kencang, ke sembarang arah agar bisa menghindarinya dari pria mabuk tadi. Dia bahkan tidak menoleh ke belakang sedikit pun. Perasaan takutnya sangat besar, apalagi melihat tatapan terakhir pria asing tersebut. Seperti preadtor yang mengejar mangsanya. Di sini, Lyra lah mangsa tersebut.

Lyra terus berlari, menabrak bebera orang sampai mendapatkan umpatan kesal. Dia tetap tak peduli. Bahkan Lyra lupa ke tempat Brian yang mungkin menuggunya dengan marah. Lyra hanya fokus menyelamatkan diri hingga dia tiba di area parkiran. Napasnya ngos-ngosan dengan dada yang naik turun.

Lyra berjalan pelan sampai ke seberang jalan. Tiba di bawah lampu, tubuhnya merosot. Dia memeluk tubuhnya sendiri yang bergetar hebat. Tidak bisa dipungkiri, Lyra sangat ketakutan di dalam tadi. Nyawanya seakan terancam bila makin lama di tempat terkutut tersebut. Tidak hentinya dia memaki sang atasan yang secara tidak langsung menjadi alasan kejadian ini.

Kejadian tadi seakan membangkitkan kenangan-kenangan buruk yang berusaha dilupakannya. Lyra benci keadaan ini. Dia menunduk dalam, meredam tangisnya yang mulai terdengar. Tidak peduli dengan orang-orang yang mungkin akan menatapnya aneh, Lyra hanya butuh sedikit waktu untuk melegakan perasaannya yang berantakan.

***

Sementara di dal asana, Brian sudah tidak berselera pada wanita di pangkuannya. Dia mengusir wanita itu dengan kasar. Padahal mereka belum memulai apa pun, hanya cumbuan panas. Meski kesal karena belum pada permainan inti, wanita itu tetap pergi. Dia tidak mau mendapatkan kemarahan Brian yang sudah berwajah merah. Sejak tadi Brian menunggu Lyra yang belum juga datang. Semakin lama menunggu, semakin besar rasa kesalnya.

Brian mendengus. Dia memilih beranjak, berjalan pelan menuju toilet. Sepertinya dia harus memastikan keberadaan wanita itu yang mungkin tertidur di dalam sana. Ingin sekali dia memaki Lyra yang membuat perasaannya berubah kesal.

Namun sampai di sana, tidak ada tanda-tanda keberadaan wanita itu. Brian makin kesal. Dia mengumpat dalam hati, menduga wanita itu kabur dan meninggalkannya.

“Sialan!” umpatnya keras. Dengan langkah lebar, Brian kembali ke tempatnya. Dia meneguk minuman yang sudah dipesannya tadi. Berbotol-botol, tapi kesadarannya masih kuat. Brian tidak tampak mabuk sedikit pun.

Merasa kebosanan menerjangnya, Brian memutuskan pergi dari sana. Dia melewati beberapa wanita yang berusaha menggoda dan menahannya di sana. Namun, Brian bersikap acuh. Entah kenapa pikirannya malah terpusat pada sang asisten. Mungkin dia terlalu kesal karena ditinggalkan.

Tiba di parkiran, Brian menghubungi sang sopir yang berada tidak jauh dari sana. Saat menunggu itulah, dia menangkap bayangan seseorang wanita di seberang jalan. Brian memusatkan pandangannya, berusaha melihat dengan jelas bayangan yang terasa tak asing dalam ingatannya.

Shit, wanita itu!” umpatnya keras saat mengenali warna pakaian yang dikenakan wanita itu.

Brian melangkah lebar, penuh emosi menghampiri wanita yang tak lain adalah Lyra. Setelah sampai di sana, Brian tak membuang waktu lagi. Tidak butuh waktu lama hingga kini dirinya berdiri menjulang di depan wanita yang terus terduduk tersebut. Dia mengamati Lyra yang belum juga menyadari keberadaannya. Di dalam dia kelimpungan, sementara di sini wanita itu malah tenang saja dengan posisinya.

“Sialan! Saya mencari kamu dan ternyata kamu malah di sini, hah!” bentaknya tanpa berusaha bertanya lebih dulu. Dia seakan meluapkan semua amarah dan kesalnya.

Lyra yang mendengar bentakan tersebut, mendongak. Dia menatap Brian dengan tatapan sayunya. Wajahnya sembab dengan air mata, sudah lama rasanya dia menangis. Sampai tenggorokannya terasa sakit.

“Pak?” Bibir Lyra bergetar saat mengucapkannya.

Brian terpaku. Melihat penampilan wanita itu yang berantakan, lengkap dengan sisa air mata yang mengalir di pipinya. Wajahnya polos, tapi entah kenapa kepolosan itu tampak sangat baru di matanya. Ekspresi baru yang baru dilihatnya. Malam ini Brian seakan mendapatkan banyak kejutan. Dia sudah melihat beberapa ekspresi sang asisten selain berwajah datar.

“Lyra?” panggil Brian yang entah kenapa merasa kasihan dengan kondisi wanita itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status