Share

Crazy Boss

Lyra menatap Brian dengan wajah basahnya, bibirnya bergetar. Namun, dia masih berusaha berdiri, meski kakinya terasa seperti jelly.

“Pulang.” Hanya itu yang mampu diucapkannya. Dia tidak mau semakin lama di sini.

Brian yang sejak tadi memandangnya, akhirnya mengangguk. Dia mengulurkan tangan, bermaksud mambantu wanita itu. Namun alih-alih menyambut uluran tersebut, Lyra malah melewati sang atasan dengan langkah tertatih. Dia memeluk dirinya sendiri. Bukan saja karena udara malam yang menusuk kulitnya, tapi bayangan kejadian tadi cukup membuat bekas ketakutan tak mau juga hilang.

Sebuah mobil berhenti di depan mereka. Lyra masuk lebih dulu ke kursi depan, mendudukkan diri di sana. Dia memejamkan mata, agar tidak ada pertanyaan yang diberikan Brian.

Sementara Brian masih belum berhenti dengan rasa penasarannya. Keadaan Lyra lengkap dengan tatapan kesedihan itu berhasil menarik rasa empatinya yang sempat hilang. Dia melihat sisi lain dari sang asisten.

Di dalam mobil pun, Brian tidak bisa bertanya. Wanita itu entah benar-benar tertidur atau hanya berpura-pura. Namun, deru napasnya sangat teratur. Saat ditanya sang sopir, Brian sampai bingung harus membawa wanita itu ke mana. Karena sejak Lyra bekerja padanya, tidak sekalipun Brian menanyai rumah wanita itu. Apalagi latar belakangnya, Brian mungkin tidak tahu berasal dari planet mana wanita itu.  Ya, perlu diingat, dia sangat menghindari berdekatan dengan Lyra kecuali masalah pekerjaan.

“Langsung ke apartemen,” kata Brian setelah berdebat dengan pikirannya sendiri. Akhirnya pilihannya jatuh pada apartemennya. Di sana mungkin dia bisa membawa Lyra yang tertidur dengan aman, tanpa perlu mendapatkan rentetan pertanyaan dari keluarganya. Meski dari sini, jarak apartemen lebih jauh ketimbang mansion keluarga.

Hingga masalah berikutnya, Brian harus rela menggendong Lyra dari mobil menuju unit apartemennya. Badan wanita itu terasa enteng dalam gendongannya, malah sangat ringan. Namun, bukan itu masalahnya. Masalahnya ada pada Brian dan miliknya yang malah menegang. Melihat wanita itu tertidur dengan pulas, wajah polos seakan kucing jinak yang menggemaskan. Bila dilihat dari sedekat ini, Lyra tidak begitu jelek juga. Ada aura kecantikan yang sejak dulu tersembunyi, terhalangi oleh dandanan dan penampilan nerd-nya. Brian menggeleng, dengan hati-hati membawa Lyra ke dalam.

Brian menempatkan Lyra di kamar lain yang kosong. Beruntung kamar tersebut selalu rapi dan bersih, jadi dia pun tidak perlu membersihkannya lagi. Setelah merebahkan tubuh itu dengan hati-hati, Brian tak langsung pergi. Dia malah duduk di tepi kasur, memandang wajah itu dengan lamat.

“Sebenarnya kamu kenapa?” tanya Brian pelan. Tidak akan ada jawaban. Seorang yang ditanya, cukup lelap dalam tidurnya. Dia sangat penasaran pada wanita itu. Seperti bawang, berlapis dan mengandung rahasia. Itulah Lyra saat ini.

Lelah dengan pikirannya sendiri, Brian memutuskan pergi dari sana. Dia juga harus beristirahat, mengingat masih ada hari panjang yang menunggunya.

Keesokkan harinya, Lyra terbangun. Dia membuka mata perlahan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam netranya. Setelah kedua matanya terbiasa, dia beralih menatap sekitar. Keningnya berkerut samar. Bertanya-tanya di mana sebenarnya dia saat ini.

Lyra mengubah posisinya jadi duduk. Masih dengan konsentrasi yang sama, dia menebak keberadaannya. Belum berhasil mendapatkan jawaban, dia mendengar suara pintu yang terbuka disusul langkah kaki yang berhasil mengalihkan perhatiannya.

Lyra menoleh ke arah pintu, tatapan bingungnya berubah membulat melihat siapa yang melangkah menghampirinya.

“Pak?” katanya dengan suara serak khas bangun tidur.

Brian yang tadinya melangkah santai, langsung berhenti begitu saja. Mendengar suara serak dari wanita itu malah membuat sesuatu di bawah sana terasa sesak. Dia mengumpat dalam hati. Memaki miliknya yang seakan tidak punya harga diri. Dia bisa jatuh pamor bila bernfsu pada asisten nerdnya. Tidak, Brian merapalkan kalimat penolakan berkali-kali. Tidak ada yang menarik dari Lyra.

“Sudah bangun?” tanyanya dengan nada suara yang berusaha datar.

Lyra mengangguk. Dia kembali menatap kamar ini dan sang atasan bergantian. “Ini apartemen Bapak?”

Brian mengangguk. Kali ini dia sudah berdiri menjulang di hadapan wanita itu. Tampak sangat berkuasa dan gagah bersamaan. “Saya membawa kamu kemari karena tidak tahu di mana tempat tinggalmu. Apalagi tadi malam, kamu tertidur dengan sangat lelap,” sindir Brian, yang membuat Lyra menunduk dengan rasa bersalahnya.

“Maaf, Pak,” katanya dengan suara sangat pelan

Brian mendengus. Tiba-tiba dia teringat dengan keadaan Lyra tadi malam. Rasa penasarannya belum juga hilang sejak semalam, bahkan tidurnya pun kurang nyenyak karena masalah ini. Padahal sebelumnya dia tidak merasa peduli pada urusan orang. Namun, kali ini dia malah penasaran pada wanita yang harusnya dia hindari.

“Tadi malam kenapa kamu meninggalkan saya dan malah duduk seperti gelandangan di tepi jalan?” Akhirnya Brian memutuskan bertanya.

Lyra mendongak, menatap Brian dengan perasaan gamang di kedua netranya. “Maaf.” Hanya itu yang mampu diucapkan.

Brian makin mendengus keras. Dia menunduk, mengunci tatapan Lyra yang masih mendongak ke arahnya. “Saya tidak butuh kata maaf. Saya hanya ingin sebuah penjelasan dari pertanyaan tadi.” Brian kembali membenarkan posisinya, berdiri tegak dan membiarkan Lyra bernapas. Karena sejak tadi, Brian paham sang asisten menahan napas dengan kedekatan mereka. Brian pun memaki dirinya. Tidak sadar telah berbuat hal gila seperti tadi. “Jadi, jelaskan sekarang.”

Lyra meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia lebih baik disuruh lembur dengan tumpukan berkas ketimbang diinterogasi tentang malam itu. Lyra mengerang dalam hati, mencari alibi ternyata tidak semudah bayangannya.

“Saya hanya kurang suka dengan suasana di sana,” alibinya yang tidak sepenuhnya berbohong. Dia memang tidak menyukai suasana di dalam sana, kan?

Brian memicing, belum mudah percaya dengan alasan Lyra yang terlalu sederhana. Padahal otaknya semalaman berkerja keras mencari alasan yang sangat rumit. “Kamu tidak berbohong?”

Lyra buru-buru menggeleng kuat. “Tidak.”

Brian berdecak. “Memangnya kenapa dengan suasananya? Kamu belum pernah ke sana sebelumnya, atau ...”

Brian menggantungkan ucapannya. Dia menatap Lyra dengan intens. “Atau karena kamu tergoda melihat kegiatan saya tadi malam?” lanjutnya, ada kedutan geli di sudut matanya.

Lyra membuka mulutnya lebar-lebar. Dia tidak percaya Brian akan kembali mengungkit kejadian panas yang dilihatnya. Dia buru-buru memberikan gelengan. “Tidak, Pak,” sangkalnya cepat. Mana berani dia jujur pada atasan mesumnya.

“Benarkah?” tanya Brian, yang jelas tidak percaya dengan jawaban Lyra. Apalagi melihat wanita itu yang duduk dengan gelisah. Tebakannya pasti benar, dalam hati  dia merasa puas. Kekesalannya tadi malam menguap begitu saja. Mengusili Lyra ternyata mampu menaikkan moodnya.

“Bagus jika kamu tidak terpengaruh dengan tingkah saya tadi malam,” Brian mengatakannya dengan santai, masih mengamati Lyra yang menarik napas lega. Brian tersenyum miring, “Karena ke depannya, kamu akan sering melihat yang lebih dari itu.”

“Hah?” Lyra sampai melongo mendengar kalimat barusan. “Maksud Bapak?”

Brian memberikan smirk-nya. “Saya merasa semakin bergairah melakukan hal intim di depan kamu.”

'Gila!' maki Lyra yanga hanya mampu terucap dalam hati.

Jangan sampai matanya semakin ternoda dengan perilaku bejat sang atasan. Cukup sekali dan Lyra sudah kepanasan sendiri. Jika sampai terjadi kedua kalinya bahkan berkali-kali, Lyra tidak bisa membayangkan akan seperti apa dirinya nanti. Atasannya seakan sengaja ingin membunuhnya perlahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status