Share

Crazy Idea

“Tidak salah banyak perusahaan yang bekerja sama dengan Anda.”

Brian yang mendengar pujian tersebut tersenyum puas. Sebenarnya sudah sering sekali dia mendengar kalimat senada, tapi tetap saja hatinya tak pernah biasa.

Memiliki perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang komunikasi jelas tidak segampang yang dilihat orang. Banyak kerja keras dan juga usaha, naik turun bukan hal baru bagi mereka.

Brian memulai semuanya dari titik nol. Memulai dari hal kecil sampai bisa merengkuh banyak negara agar ikut bekerja sama dalam lingkarannya. Bahkan menyeleksi orang-orang yang bernaung dalam atap yang sama, bersinergi untuk mengembangkan perusahan tersebut sampai berhasil di titik ini.

“Saya harap kerja sama ini bisa berjalan dengan lancar,” timpal Brian, mengalami salah satu perwakilan dari Hong Kong.

Mereka sudah melalui meeting yang cukup panjang, saling memahami visi misi satu sama lain untuk mendapatkan kesamaan. Setelah mendapatkan penilaian yang cukup, pihak masing-masing mulai menimang keuntungan yang didapatkan masing-masing hingga terciptalah sebuah kesepakatan kerja sama.

Lyra yang sejak tadi berdiri di belakang Brian hanya memandang semuanya dengan datar. Meski begitu, otaknya tetap berkerja keras. Sang atasan yang tak lain adalah Brian sering meminta ulasan singkat setelah meeting tersebut. Lyra seakan tidak memiliki waktu untuk bersantai, kecuali malam hari saat tertidur.

“Lyra, setelah ini saya tidak ada jadwal, kan?” tanya Brian, memandang sang asisten yang sigap mengecek notesnya.

“Tidak ada, Pak.”

“Bagus,” Brian berdecak puas. Dia segera mengirim pesan pada sang sopir. “Kita pergi setelah ini,” katanya, kembali memasukkan ponsel ke dalam saku jas.

Lyra yang mendengarnya mengerutkan kening dalam, membenarkan letak kaca mata besarnya yang hampir merosot. “Kita mau ke mana, Pak?” tanyanya yang tidak bisa diam

Brian tidak langsung menjawab. Dia memilih berjalan keluar yang langsung diikuti oleh Lyra. Mereka tidak beriringan, karena Lyra selalu menjaga jarak dan berjalan di belakang, memberi jarak dengan sang atasan. Brian sendiri tidak peduli dengan hal tersebut. Dia lebih mementingkan sopir yang mungkin sudah berada di luar.

“Masuk, kita perlu menikmati keberhasilan tadi,” kata Brian yang mengagetkan Lyra.

Lyra menatapnya dengan aneh. Seakan Brian sedang mabuk dan tidak sadar dengan ucapannya barusan. Pasalnya sejak dulu, Lyra sangat tahu sang atasan tidak pernah mau berlama-lama dengannya kecuali urusan pekerjaan.

“Maaf?” Lyra merasa pendengarannya yang bermasalah. “Kita mau ke mana, Pak? Sepertinya tidak ada lagi meeting.”

Brian memutar bola mata malas. “Jangan banyak tanya,” katanya dan segera masuk di kursi belakang. Sangat malas untuk membuang waktu dengan mendebat sang asisten.

Lyra menurut. Dia segera membuka pintu samping kemudi, duduk di dekat sopir seperti biasanya.

Selama perjalanan, Lyra menyibukkan diri dengan membuka email dan mencatat sesuatu yang penting. Ini dilakukannya karena Lyra yakin setelahnya dia tidak akan bisa begadang. Otaknya sudah keruh dengan kantuk yang perlahan datang. Namun rupanya Brian pun tidak membiarkannya bebas begitu saja. Sekarang Lyra harus menahan diri agar tidak kembali bertanya tujuan mereka.

Padahal otaknya sudah banyak berharap istirahat. Apalagi tubuhnya juga lelah, meronta meminta ranjang.

Hingga setengah jam kemudian, mobil berhenti di parkiran klub yang cukup terkenal. Klub yang biasanya didatangi kalangan atas seperti Brian ini.

Lyra menatap sang atasan dengan tatapan aneh. “Pak?”

“Turun!” perintah Brian yang sudah turun lebih dulu.

Lyra lagi-lagi menurut. Dia segera mensejajarkan langkahnya, dengan gerakan tak terkira mencekal lengan pria itu secara spontan. Namun, hanya berlangsung beberapa detik, Lyra langsung melepaskannya, seakan sadar sudah melakukan hal lancang. “Maaf,” sesalnya dengan kepala menunduk berkali-kali.

Brian pun juga sempat terkejut. Tidak menyangka dengan sentuhan kecil begitu saja membuat sesuatu seakan meledak dalam perutnya. Dia kembali menatap Lyra yang sedikit tidak tenang, tidak seperti biasanya.

“Pak, saya izin pulang saja, ya.” Lyra memandang sekitaran dengan cemas, ketara sekali dia langsung tidak suka dengan situasi saat ini. Apalagi semakin malam, semakin banyak orang-orang yang berdatangan.

Brian makin mengerutkan keningnya. Merasa bingung dengan ucapan wanita itu yang terlalu cepat. Namun, dia masih cukup jelas menangkap maksudnya. “Kenapa?”

Lyra tampak ragu. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan pada sang atasan. Meski dia adalah wanita dewasa, tidak sekalipun dia memasuki tempat itu. Baginya, pekerjaan sudah cukup menjajah banyak waktu. Apalagi di dalam sana, Lyra yakin bukan hanya tempat orang berpesta minuman, tapi juga wanita. Memikirkannya saja, dia sudah bergidik.

Brian yang sudah habis kesabaran, berdecak keras. “Sudah jangan banyak alasan. Kita masuk dan berpesta di sana!” katanya dengan suara dingin.

Setelahnya belum ada perdebatan lagi, Lyra kembali mengikuti dalam diam. Tidak bisa menolak, tidak bisa berasalan pergi. Sepertinya dia memang harus bertahan beberapa jam di dalam sana.

Seperti yang sudah diperkirakan, di dalam sana lautan manusia memadati ruangan yang cukup besar. Musik berdentum dengan sangat keras. Beberapa orang di dance floor berjoget, menggoyangkan tubuh dengan lihai. Tampak sangat bebas dan liar. Beberapa lagi, di tempat yang cukup remang, beberapa pasangan berbuat hal yang sangat intim.

Lyra sampai berkali-keli membuang wajah, enggan mendapatkan tontonan tersebut. Sampai mereka tiba di sebuah sudut ruangan dengan dua sofa panjang yang melingkar. Sepertinya tempat itu sudah menjadi hak paten sang atasan. Karena sejak tadi tidak ada yang berani menempati sofa panjang tersebut.

Baru saja duduk, seorang wanita berpakaian seksi menghampiri mereka. Tanpa aba-aba segera mendudukkan diri di pangkuan Brian. Kedua tangannya mengalung, mendekatkan wajahnya dengan tatapan sensual.

“Mau bersenang-senang?” tanya wanita itu, tepat di depan bibir Brian

Brian menyeringai, menyambut dengan tangan terbuka. Tanpa membuang waktu, dia segera meraih tengkuk wanita yang entah siapa namanya. Ini nikmat yang tidak boleh dilewatkan. Mereka terus berciuman dengan panas, saling melumat dan menyecap rasa masing-masing. Bunyi decapan dua bibir tersebut masih bisa terdengar oleh Lyra.

Lyra yang duduk di sofa yang sama, meski cukup menjaga jarak jelas melihat tontonan tersebut secara langsung. Dia sampai membelalakkan mata, tak percaya sang atasan melakukan hal mesum tepat di depannya.

Ini pertama kalinya. Karena sejak dulu, Brian selalu menyewa ruangan sendiri untuk menuntaskan hasratnya. Dia tidak pernah melakukannya di tempat terbuka. Namun, melihat ekspresi Lyra dari ekor matanya membuat Brian merasa tertantang. Dia tersenyum di sela ciumannya, sebuah ide gila muncul di kepalanya. Tujuannya hanya satu; ingin melihat reaksi sang asisten yang biasanya selalu kaku, tanpa ekspresi.

Brian dengan nakal mengusap sepanjang paha wanita dalam ciumannya. Semakin ke atas, elusannya makin pelan dan mengundang gairah. Membuat wanita itu makin ganas mencium, sesekali mengigit bibirnya. Brian membiarkan saja, padahal ekor matanya tak pernah lepas menatap Lyra yang terus terpaku.

Apalagi saat wanita tersebut mendesah diselingi pekikan kencang, wajah Lyra makin memerah. Brian memang sengaja memasukkan jarinya, menyentuh titik terbasah di dalam sana dan memainkannya dengan pelan, sesekali gerakan acak yang membuat wanita itu menggelinjang keenakan.

“Shhh … faster, babyyy!” desah wanita itu, makin menggerakkan bokongnya, mengejar jari Brian di dalamnya.

Lyra merasa udaranya menipis. Bukan dirinya yang dicumbu, tapi tubuhnya yang merasa panas. Ini tidak bisa dibiarkan. Dia tidak boleh terlalu lama melihat pemandangan tersebut. Apalagi dia merasakan sesuatu yang basah di pangkal pahanya. Dengan terburu-buru, Lyra segera berdiri. Dia harus menghindar.

Namun, Brian seakan tak membiarkannya mudah. Pria itu menghentikan cumbuannya dengan sang wanita, dan beralih menatap Lyra. “Kamu mau ke mana?” tanyanya dengan suara keras.

Lyra tampak linglung, menatap segala arah hanya untuk mengulur waktu sementara otaknya bekerja keras mencari alasan. “Saya ke toilet dulu, Pak,” pamitnya terburu. Tanpa mendengar jawaban sang atasan, Lyra ngacir dari sana. Sudah tidak tahan bersikap biasa saja.

Sementara Brian tersenyum puas. Sedikit menangkap gelagat sang asisten yang tidak pernah dilihatnya sejak dulu. Setelahnya dia kembali bercumbu, sembari menunggu Lyra datang lagi.

To Be Continued ... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status