Share

5. Pertemuan Kembali

"Kau tidak mengingatku? Kita bertemu di Tanpad setahun yang lalu" Jelas Yestin Yale dengan gugup dan malu.

"Oh" Dia, Isabella Tantran mengangguk "Halo" Katanya dengan tenang, dan tidak ada reaksi lain.

Lalu itu saja.

Tidak ada komentar tambahan dan tidak ada pertanyaan lanjutan, membuat mulut Yestin Yale terkatup rapat dan tubuhnya berdiri kaku. Perjuangannya yang sangat lama hanya untuk mendapat tanggapan yang begitu dingin.

Melihat punggungnya yang menjauh sekali lagi tanpa nostalgia.

Bagi Isabella Tantran, mungkin, dia hanya pejalan kaki dalam hidupnya. Seseorang yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Yang tidak ia pedulikan dan lupakan begitu saja.

Dia tahu dia mengenalnya, hanya saja dia tidak antusias dengan kehadirannya.

Yestin Yale sempat berfikir jikalau Isabella Tantran hanya bermain 'susah didapat' dengannya. Jika saja dia memang bermain susah di dapat, maka dia ingin meneriakkan 'kamu berhasil'

Ketika mereka bertemu lagi, Yestin Yale selalu berada di posisi yang mulai  menyapa dan Isabella Tantran hanya mengangguk singkat sebagai balasan, membuat Yestin Yale benar-benar tidak tahan lagi.

"Halo" Sapa Yestin Yale dan akan di balas dengan anggukan.

"Cuaca yaang dingin" Komentar Yestin Yale dan akan dibalas Isabella dengan senyum sopan.

"Bagaimana kabarmu hari ini?" Tanya Yestin Yale.

"Baik" Jawab Isabella.

"Apa yang kau lakukan?" Masih mencoba bercapak-cakap dengan Isabella.

"Kerja" Masih menjawab singkat dan dingin.

Terkadang dia sengaja datang lebih awal dan menunggu Isabella seolah-olah mereka bertemu karena kebetulan.

Atau bahkan menunggunya pulang hanya untuk menukar sapa dengan senyum sopannya.

Dia kecewa karena harapan yang terlalu banyak dan perjuangan yang terlalu panjang.

Yestin Yale berfikir jika Isabella tidak ingin menjadi pacarnya, mungkin dia menerima untuk menjadi istrinya, jadi dia dengan impulsif menyiapkan proposal romantis.

Dia mengundangnya makan malam di restoran mewah, dengan lilin, anggur dan musik. Dia berlutut dan melamarnya dengan cincin belian yang ia desain sendiri.

Tapi Isabella Tantran sekali menolaknya. Menolak dengan alasan klasik 'Perbedaan budaya dan kepercayaan'

Yestin Yale selalu berada dalam posisi menolak dan membuang, dan tidak ada yang berani berpaling darinya lebih dahulu.

Dan Isabella Tantran satu-satunya pengecualian, dia menolaknya. Menolaknya dua kali.

Dia berdiri di sana menatap persiapan lamarannya, dan di tinggalkan sendirian.

Rasa syok di belakang kepalanya sangat tidak menyenangkan dan asing. Membuatnya menggigit keras geraham posteriornya sehingga sifat jahatnya yang telah dia tahan lama mulai mendidih. 

Dia bergumam dingin, bertekad membalas penghinaan dan kemarahan yang dia terima dari seorang Isabella Tantran.

Ketika Isabella Tantran menolak lamaran dia masih bisa membohongi dirinya. Menemukan berbagai alasan untuk menghipnotis dirinya bahwa Isabella Tantran melakukan semuanya untuk menarik perhatiannya.

Tapi ketika dia ditinggalkan sendirian sekali lagi, di kamar yang sepi itu, Yestin Yale mulai meragukan diri sendiri.

Apakah dia tidak cukup menarik?

Tidak cukup kaya?

Tidak memuaskannya?

Tidak cukup tampan?

Atau keterampilannya tidak cukup menyenangkan dan memuaskannya?

Dalam sekejap mata, langkah kaki Yestin Yale mencapai tempat Isabella Tantran bersantai, dia menundukkan kepala untuk melihat bulu mata panjangnya yang bergetar dan matanya yang terbuka perlahan.

"Sudah selesai?" Tanya Isabella Tantran setelah duduk, ketika dia mengangkat kepalanya, dia membeku.

Wajah menawan Yestin Yale yang seperti patung Yunani tepat berada di depan wajahnya, sehingga dia bahkan bisa merasakan panas nafasnya.

Dia juga bisa mencium aromanya, aroma yang bercampur antara parfum familiar dan bau tubuh seorang lelaki yang sensual, berbahaya dan panas.

Isabella Tantran pikir Yestin Yale akan menciumnya seperti biasa, tapi tangan besar lelaki itu menyingkirkan rambutnya, sehingga lehernya yang jenjang terlihat dan kemudian dia membungkuk dan mengigit leher Isabella dengan keras.

"Ah!" Isabella Tantran mengerang kesakitan sekaligus terkejut. 

Dia sedikit memiringkan lehernya untuk menjauhkan lehernya dari serangan mendadak Yestin Yale, tapi Yestin Yale buru-buru memegang tekuknya di sisi yang lain, dan tangannya yang lain melilit pinggangnya sehingga ia terjebak dalam pelukan yang kuat.

Tubuh Isabella Tantran menggigil, mungkin karena intuisinya yang menyiratkan sesuatu yang tidak beres.

"Jangan..." Bisiknya dan mencoba mendorong tubuh besar Yestin Yale yang mengelilinginya.

Yestin Yale melepaskan giginya, tapi tidak meninggalkan tekuk Isabella Tantran, dia tidak tahu bagaimana menghadapi Isabella Tantran, dia merasa bersalah dan takut menatap matanya.

Dan Dia butuh sesuatu untuk melampiaskan hatinya yang resah, cemas, gugup dan gelisah. Dia tahu dia harus mengutamakan rasionalitasnya, tapi melihat ekspresi acuh tak acuh Isabella, dia merasa semakin senewen.

Isabella Tantran membiarkan Yestin Yale melakukan apa yang disukanya, seolah menyerahkan dirinya dengan kepercayaan. 

Tapi yang ada di mata Yestin Yale, tindakannya malah tampak memperlihatkan sikapnya yang tidak peduli dengan apapun yang dilakukannya sama sekali.

Tidak peduli dengan suasana hatinya dan tidak peduli dengan seluruh tubuhnya yang meminta 'Tanya aku! Bujuk aku! aku tidak baik-baik saja'

Yestin Yale pikir dia telah terbiasa dengan ketidakpedulian Isabella, tapi dia tahu hatinya selalu merasa kesakitan oleh reaksinya itu.

"Apa kau tidak akan bertanya?" Tanya Yestin Yale mengeluh. Dia ingin dia membujuknya sehingga dia menatap mata cokelat tuanya yang tenang, cukup lama dengan keras kepala.

"Bukankah sudah jelas kau sedang dalam suasana hati yang buruk setelah berbicara dengan kakekmu seperti sebelum-sebelumnya?" Isabella Tantran balas bertanya.

Yestin Yale mengatupkan bibirnya dengan erat, tinjunya perlahan terkepal dan setiap tarikan nafasnya terasa berat dan menyiksa, sebab dia sama sekali tidak menemukan sesuatu yang dia coba cari di mata Isabella. Bahkan jika mata itu hanya menampilkan sedikit kepedulian dia akan sangat bersuka cita.

Dia segera melepaskan Isabella Tantran, berdiri, berbalik, melangkah dengan berat dan sedikit menurunkan matanya, mencoba menyembunyikan matanya yang perlahan memerah karena kekecewaan dan kesedihan. Dia terpukul, hatinya terasa kecut dan dia putus asa.

Dia bukan tipe yang akan mudah bersedih, tapi dia memiliki keinginan untuk menangis.

Tapi dia seorang pria! Dia malu.

Pria tidak menumpahkan air mata, tapi darah.

Dia berusaha berjalan menjauh dari sumber sakit itu, dia takut akan lebih berkecil hati, tapi semakin dia melangkah semakin sesak dadanya karena dia masih berharap telinga akan dapat mendengar derap langkah kaki yang mengejar dari belakanganya. Sayang sekali tak ada suara apapun yang mengikutinya, yang membuat hatinya perlahan terasa bingung.

Langkah kakinya melambat, ragu-ragu sejenak, berjuang diantara menoleh kebelakang atau menunggu kedatangannya dengan langkah kecil, tapi harga diri terakhirnya, yang mungkin masih tersisa, menghentikannya.

Isabella Tantran tidak akan pernah mengejarnya, karena mungkin dia masih membencinya dan tidak memaafkannya dalam hidup ini. 

Tapi dia masih saja mengharapkannya.

Di hadapan Isabella, dia selalu lebih rendah diri. Dia sering berharap padanya, terus berharap, hari demi hari, tapi pada akhirnya yang ia terima hanya kekecewaan demi kekecewaan dari harapan itu, yang dia pikir telah menjadikannya mati rasa.

Tapi dia menyadari kekecewaan yang telah bertumpuk tidak menjadikan hatinya mati rasa, melainkan membuatnya lebih berharap dan sangat sensitif bahkan untuk hal yang paling sepele.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status