Naima semakin bingung mendengar pertanyaan Gala. Bagaimana bisa lelaki itu menuduh dirinya tidak perawan sementara Gala-lah pria pertama di dalam hidupnya.
"Jaga kata-kata kamu, Mas! Kamu adalah pria pertama yang menyentuhku, bagaimana kamu bisa menuduhku seperti itu?" Jelas Naima tidak terima tuduhan Gala begitu saja.Gala mendengus serta menyeringai miring."Aku berkata sesuai bukti, Nai. Lihat! Tidak ada setetes pun noda darah di seprai putih ini. Kamu masih mau menyangkal?""Demi Tuhan, Mas. Aku belum pernah melakukannya dengan siapa pun. Kamu adalah yang pertama. Tolong percaya padaku."Gala menggeleng dengan kuat. "Tidak, Nai. Sorry. Aku tidak percaya karena buktinya tidak sesuai dengan perkataanmu. Siapa pria itu? Apakah orang tuamu tahu? Kalau iya, aku akan menuntut kalian semua, Nai. Ini penipuan namanya, aku tidak terima."Dengan langkah tergesa, Gala memungut pakaiannya dari lantai, lalu mengenakannya dengan cepat."Mas, tunggu. Kamu mau ke mana?" cegah Naima. Mengabaikan rasa sakit di inti tubuhnya, ia dengan cepat menahan tangan Gala yang hendak berjalan menuju pintu."Mau ke luar. Aku mau bertanya pada mama."Naima panik, ia takut membayangkan reaksi kecewa ibu mertuanya itu. Tanpa sadar, Naima menjatuhkan dirinya ke lantai tanpa melepaskan tangan Gala."Tidak, Mas. Tolong, jangan beritahu mamamu.""Kalau begitu katakan padaku, siapa lelaki itu?"Air mata Naima meluncur tak terkendali, ia tidak tahu bagaimana cara meyakinkan Gala bahwa dirinya benar-benar belum pernah tersentuh oleh pria mana pun. "Demi Tuhan, Mas. Kamu adalah yang pertama. Aku tidak tahu kenapa tidak berdarah, tetapi sampai detik ini aku masih merasakan sakitnya. Rasa sakit yang teramat sakit, Mas. Bagaimana mungkin aku akan sesakit ini jika bukan pertama kali. Kamu tadi juga sempat kesulitan 'kan, Mas? Kamu sendiri yang bilang milikku sangat sempit. Itu adalah bukti bahwa aku masih suci, Mas."Naima berharap dengan penjelasan panjang yang ia berikan Gala akan mengerti. Namun, Naima salah. Jangankan mengerti, Gala justru semakin emosi. Tanpa memedulikan jerit kesakitan Naima, jari-jarinya yang kuat sudah menjambak rambut wanita itu dengan kuat."Heh! Kamu pikir aku laki-laki bodoh? Tadi kamu pasti merapatkan kaki makanya aku merasa milikmu sempit. Dasar penipu! Kau pikir bisa membodohiku dengan trik itu? Cih!"Gala mendorong Naima hingga jatuh telentang. "Mulai hari ini kamu bukan istriku lagi. Kita bercerai!"Naima kembali bangkit dengan cepat, meraih tangan Gala untuk menahannya agar tidak pergi. "Jangan, Mas. Please, jangan ceraikan aku. Sumpah demi Tuhan, aku juga tidak tahu kenapa bisa begini. Tapi kita bisa cari tahu penyebabnya, Mas. Kita tanya dokter atau ....""Tidak perlu. Apa pun penyebabnya, bagiku kamu sudah tak suci lagi, Nai. Julukan untuk kamu selama ini salah. Kamu bukan perawan tua, tapi perempuan kotor yang tak laku! Akui saja itu."Usai meluapkan kekesalannya, Gala pergi meninggalkan Naima yang masih tersedu, duduk bersimpuh di lantai. Perkataan Gala begitu kuat menghantam hatinya, tapi Naima tidak berdaya. Ia hanya bisa menangis, meratapi kemalangan yang terus menerpa diri.Setelah cukup lama menguras air mata, Naima kembali menguatkan dirinya. Ya. Dia tidak boleh lemah begitu saja hanya karena masalah ini. Dirinya tidak bersalah, ia juga tidak pernah menipu siapa pun. Perihal Gala adalah lelaki pertama merupakan fakta yang tidak akan pernah terbantah.'Tegakkan kepalamu, Nai. Kamu tidak bersalah. Sekarang bukan saatnya menangis, tetapi kamu harus mencari tahu penjelasan medis yang akurat. Jika perlu periksakan dirimu ke dokter,' ucap Naima di dalam hati, menyemangati dirinya sendiri.Dengan kaki yang gemetar menahan sakit, Naima bangkit menuju ranjang, lalu meraih ponselnya di atas nakas. Ia pun segera berselancar di dunia maya, mencari informasi tentang keperawanan.'Selaput dara pada setiap wanita bentuknya berbeda-beda, ada yang tebal, tipis, kaku, dan elastis. Hal ini menyebabkan tidak semua wanita pula yang berdarah saat pertama kali berhubungan intim. Selaput dara yang elastis bahkan tetap bisa utuh setelah berhubungan badan.' Demikian informasi yang Naima dapat dari salah satu website kesehatan ternama yang ia temukan di laman pencarian.Hal senada juga ia temukan di website-website kesehatan lainnya. Bahkan ada artikel yang menuliskan ada wanita yang tidak memiliki selaput dara ini sejak dilahirkan.'Hanya dokter kandungan yang bisa memastikan wanita itu perawan atau tidak. Bentuk robekan selaput dara yang diakibatkan oleh aktivitas hubungan seksual dan berbeda dengan sobekan yang diakibatkan oleh aktivitas non-seksual. Begitu juga sobekan hymen di selaput dara itu akan sangat berbeda antara yang baru saja terjadi dengan yang sudah lama terjadi. Jadi, jangan ragu untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan jika terjadi keraguan dalam hal ini.' Demikian tambahan informasi yang Naima dapat dari hasil wawancara seorang obgyn terkenal di negara ini.'Seandainya saja Mas Gala mau mencari informasi ini terlebih dahulu. Dia tidak akan marah-marah begini padaku.'Naima meletakkan ponselnya kembali di atas nakas setelah memastikan meng-capture semua informasi yang tadi ia baca. Besok ia akan perlihatkan semua informasi itu pada Gala agar lelaki itu tidak salah paham lagi.Tubuhnya lelah, tetapi hatinya lebih lelah lagi. Meski begitu Naima tetap beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia kembali berbaring. Jam di dinding masih menunjukkan pukul tiga lewat, jadi masih ada waktu beberapa jam untuk memulihkan diri. Naima masih berpikiran positif, ia yakin besok segalanya akan baik-baik saja, tidak akan ada masalah dengan pernikahannya.Satu jam, dua jam, tanpa sadar empat jam berlalu. Naima tersentak dari tidurnya karena suara pintu yang digedor dengan sangat kuat dari luar."Hei, Naima. Bangun! Kamu pikir di sini hotel, maka seenaknya bisa bangun siang?""Cepat bangun, Naima? Istri macam apa kamu bisa-bisanya membiarkan suami tidur di luar? Di malam pengantin pula!"Omelan demi omelan terus mencecar pendengaran Naima yang masih didera kantuk. Meski masih pusing, tetapi ia bisa mengenali pemilik suara yang mengomeli dirinya dari luar. Yang pertama adalah suara Maya, ibu mertuanya, sedangkan yang terakhir adalah suara Madina, istri Gilang, saudara tertua Gala."Bangun kamu, Naima!" Kembali terdengar bentakan dari luar.Menahan rasa sakit yang mendera bagian inti tubuhnya, Naima beranjak dari ranjang lalu membuka pintu. Wajah garang Maya yang disertai tangan di pinggang menyambut Naima saat pintu itu terbuka."Astaga ... lihatlah menantu bungsu di keluarga ini. Di saat semua penghuni rumah sudah sibuk beraktivitas, dia masih enak-enakan tidur di kasur empuk. Enak bener hidup kamu." Madina yang berdiri di belakang Maya menyindir sinis dengan mulut pedasnya."Maaf, Ma, Mbak. Semalam aku baru tidur pukul tiga, jadi nggak sengaja kesiangan." Naima bukan ingin membela diri, ia hanya ingin sedikit dimaklumi sebagai pengantin baru. Jangankan untuk beraktivitas, sekadar untuk berdiri saja dia masih sangat kesakitan. Seperti sekarang ini, Naima berpegangan di pintu agar tidak tumbang karena bagian inti tubuhnya masih sangat sakit saat kakinya dirapatkan."Eh, yang pernah malam pertama itu bukan cuma kamu, ya. Aku juga, Maisya juga. Tapi kami nggak ada tuh cerita tidur kebablasan sampai siang. Kami bahkan bangun lebih pagi, biar bisa bantuin Mama beres-beres rumah."Maya mengangguk puas. "Sudah jangan manja kamu. Cuci muka sana, habis itu tolong isi bak mandi. Pompa air lagi rusak, jadi kamu harus bantu nimba di sumur belakang.""Buruan, nggak pake bengong, ya. Isiin bak di kamar mandi aku dulu, aku buru-buru harus segera ke kantor."Usai memberi instruksi itu Maya dan Madina berlalu meninggalkan Naima yang masih tertegun di ambang pintu. Naima berulang kali mencongkel telinganya memastikan dirinya tidak salah dengar. Namun, suara Maya dan Madina terus terngiang."Macam orang habis diperawani aja kamu, sok-sok kesakitan. Nggak usah banyak drama deh, aku tau kamu cuma pura-pura." Gala muncul dari ruang tengah. Naima bahkan tidak tahu kalau suaminya itu tidur di sana setelah kejadian semalam."Aku nggak pura-pura, Mas. Ini beneran sakit. Jangankan untuk kerja, berjalan aja aku kesulitan.""Alaaaah, banyak alasan. Berdarah aja nggak, sakit dari mana? Jangan banyak omong kamu! Jangan harap aku akan belain kamu di rumah ini. Kamu itu penipu, nggak layak dikasih hati. Kalau aja nggak mikirin nama baik keluarga, kamu udah aku cerai hari ini juga.""Mas ....""Kamu denger 'kan apa yang Mama bilang tadi? Buruan sana, bantuin nimba air, kalau nggak mau aku kasih tau semua orang di rumah ini."Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari
"Aku paling benci dengan orang yang menggunakan kekerasan, apalagi jika itu dilakukan di perusahaan ku!" Sena menatap tajam pada Gala yang wajahnya seketika memucat. Bagaimana Gala tak akan pucat jika dirinya tertangkap basah oleh sang direktur perusahaan tempat ia mencari nafkah. Gala jadi khawatir dengan apa yang Sena pikirkan tentang dirinya. Susah payah dia membangun citra positif sebagai karyawan baik selama ini, bisa hancur jika Sena sampai berpikir dirinya adalah pria bar-bar yang melakukan kekerasan pada perempuan."I-ini ti-tidak seperti yang Bapak pikirkan kok, Pak," jawab Gala dengan suara terbata. "Saya hanya sedang berusaha untuk ... mendisiplinkan istri saya." Sena menatap Naima, beberapa saat mengernyitkan kening karena merasa mengenali Naima. 'Oh, iya. Dia karyawan toko Mama yang waktu itu,' gumam Sena di dalam hati. Jawaban Gala membuat Sena ingin segera menarik diri, tetapi ia kembali teringat pada momen di saat mobilnya menyenggol Naima waktu itu. Bagaimana lusuh
"Mas Gala!"Gala yang sedang terlena dengan permainan lidah itu pun spontan melepaskan pagutannya. Raut wajahnya berubah saat melihat Naima berdiri hanya terpaut beberapa langkah darinya."Ngapain kamu di sini?" sergah Gala penuh amarah."Siapa wanita ini, Sayang?" tanya Sandra sambil bergelayut manja di lengan Gala."Bukan siapa-siapa. Kamu tunggu di mobil, ya, biar aku bicara dulu dengannya." Suara Gala terdengar sangat lembut di telinga Naima. Naima menggigit bibir, hatinya perih melihat perbedaan sikap Gala terhadap wanita yang Naima yakini merupakan pacar sang suami. Tanpa sadar Naima keterusan memandangi Sandra yang berjalan menjauh, sehingga ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Gala menarik tangannya, menyeret Naima menjauh."Cepat katakan ... kenapa kamu sampai berada di sini?" tanya Gala dengan mata membesar."Aku ada urusan pekerjaan di sini. Mumpung masih jam makan siang, aku mau mengajak kamu makan bareng, eh ... nggak tahunya kamu udah kenyang makan yang lain," sindir Nai
Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak
"Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam
Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan