Share

2. Petaka Malam Pertama

Satu bulan kemudian.

Senyum tak henti-hentinya mengembang, menghiasai wajah Naima yang cantik. Bagaimana tidak, akhirnya ia bisa melepas predikat perawan tua di usia tiga puluh tiga tahun karena saat ini dirinya sudah dipersunting oleh Gala Diandra, seorang pria berparas tampan yang usianya terpaut lima tahun lebih muda.

Naima sungguh tak menyangka, di saat dirinya mulai putus asa karena tak jua memiliki pacar, keluarga Gala justru datang untuk melamarnya.

Gala yang sudah ia kenal cukup lama bersikap sangat manis hari itu. Menurut pengakuan Gala, selama ini selalu meledek Naima setiap bertemu adalah karena dirinya menyukai Naima. Namun, sikap dingin dan acuh Naima membuatnya ragu untuk mengungkapkan isi hati.

"Untung saja ibu kita saling kenal, Nai. Makanya aku jadi lebih mudah mendapatkan informasi tentang kamu. Aku harap kamu bersedia memberiku kesempatan untuk menyayangi kamu," ucap Gala di hari lamaran itu.

Sikap Gala yang manis, membuat Naima seketika jatuh cinta pada pria berbadan tegap dan juga memiliki senyum yang sangat menawan.

"Tapi ... usiaku lebih tua lima tahun," jawab Naima. Ia khawatir, Gala dan keluarganya belum tahu hal itu mengingat postur tubuhnya yang cukup mungil dibandingkan saudara-saudaranya yang tinggi semampai.

"Usia hanya angka, Nai. Di mataku kamu nggak kalah cantik dari gadis-gadis dua puluhan tahun di luar sana. Dikatain anak SMA juga masih bisa, kok!" sahut Gala masih dengan senyum menawan yang membuat Naima semakin terpesona.

Naima melambung bahagia. Ya, siapa yang tidak akan bahagia mendapat pujian dari pria setampan Gala. Ia bahkan bisa melihat tatapan iri dari Ayara dan Dayana—kakak dan adiknya— yang sudah duluan menikah. 'Mungkin ini adalah buah kesabaranku selama ini. Tuhan memberiku jodoh yang jauh lebih baik dari suami Yara dan Yana,' gumam Naima di dalam hati.

Keyakinan yang terpancar di mata Gala membuat Naima tak berpikir panjang lagi dalam membuat keputusan. Dengan wajah tersipu malu, Naima mengangguk, menerima lamaran Gala dan keluarganya.

Satu bulan setelah prosesi lamaran itu, sekarang di sinilah dia berada. Di rumah Gala, tepatnya di kamar pengantin yang berhiaskan ornamen berwarna putih berpadu silver. Sederhana, tapi elegan. Putih adalah warna kesukaan Naima. Naima senang sekali karena Gala mempersiapkan kamar yang indah itu sebagai tempat malam pertama mereka nanti.

Naima masih memandang takjub ke seluruh isi kamar. Senyumnya semakin melebar saat melihat taburan kelopak bunga mawar membentuk hati di tengah-tengah ranjang, dengan inisial nama Naima dan Gala di kiri dan kanannya.

"Kamu pasti lelah. Istirahatlah," kata Gala seraya melepaskan jas yang tadi ia kenakan saat resepsi. Tubuh tegap itu sekarang hanya ditutupi kaos oblong ketat yang membungkus otot-ototnya dengan sempurna.

"Mas mau ke mana?" tanya Naima yang heran melihat Gala berjalan menuju pintu.

"Teman-temanku masih banyak di luar, ada yang dari luar kota juga, jadi aku mau temui mereka dulu. Kamu kalau ngantuk tidur aja duluan."

Gala melanjutkan langkahnya tanpa menunggu tanggapan Naima. Lelaki bertubuh tegap itu menghilang di balik pintu yang kembali tertutup, meninggalkan Naima yang terpaku di tempatnya berdiri dengan tatapan bingung.

'Bukankah malam ini malam pertama kami? Kenapa Mas Gala terkesan tidak peduli?' batin Naima sendu.

'Tadi Gala 'kan sudah bilang kalau dia mau berbincang dulu dengan teman-temannya. Kamu nggak usah parno, Nai!' sanggah sisi hatinya yang didominasi oleh logika.

Hati dan pikiran Naima beradu pendapat. Naima memilih untuk mengabaikan hatinya yang beperan, memilih untuk mengikuti nasihat pikirannya yang lebih rasional.

"Mending aku mandi aja. Biar badan seger, pikiran juga ikut seger."

Naima masuk ke kamar mandi, keluar sekitar dua puluh menit kemudian dengan penampilan yang jauh lebih segar. Rasa kecewa sempat merambat di hatinya ketika mendapati kamar itu kosong tanpa ada Gala yang menunggunya.

'Mas Gala masih sama teman-temannya, ya? Udah mau tengah malam kok belum kembali juga?'

Naima mulai gelisah. Keinginan untuk menelepon Gala muncul saat ia melihat ponsel yang terletak di atas nakas. Namun, ia juga ragu. Bagaimana kalau Gala marah? Dari yang Naima baca di artikel-artikel, sebagian besar pria tidak suka ditelepon saat sedang bersama teman-temannya.

'Jangan cari perkara, Nai. Tadi Gala 'kan sudah suruh kamu tidur duluan kalau ngantuk.' Logikanya kembali mengingatkan.

Naima menghela napas panjang. Setelah berpakaian, ia lanjut membersihkan sisa-sisa makeup riasan pengantin yang ternyata masih menempel di beberapa bagian wajah. Sabun muka memang tidak cukup untuk membersihkan makeup berat. Butuh pembersihan tingkat lanjut menggunakan produk skincare lainnya agar sisa makeup tidak menyumbat pori-pori wajah yang berpotensi memicu tumbuhnya jerawat.

Setelah wajahnya benar-benar bersih, Naima duduk bersandar di kepala ranjang, berharap Gala segera kembali. Sebagai istri yang baik, Naima sudah mempersiapkan diri untuk memberi pelayanan terbaik untuk suaminya itu.

Namun, tunggu punya tunggu, satu jam berlalu, masih belum ada tanda-tanda Gala akan kembali. Sementara rasa kantuk mendera Naima dengan hebatnya. Posisinya yang tadi bersandar, kini sudah berbaring penuh. Tak sanggup lagi melawan rasa kantuknya, Naima akhirnya pun terlelap.

Tidak jelas berapa lama ia terlelap, tidur Naima akhirnya terusik saat merasa dingin di area pahanya yang—seingatnya—terbungkus celana piyama. Naima membuka mata, sedikit kaget saat melihat bayangan seseorang di dekatnya.

"Mas Gala?" panggil Naima saat mengenali sosok pria yang sedang membelai kakinya yang jenjang. Meski lampu kamar sudah dimatikan, tetapi lewat pencahayaan lampu tidur yang temaram, Naima tetap bisa mengenali sosok pria yang sedang mencumbunya itu.

"Hmm ... kamu wangi, Nai," gumam Gala tanpa menghentikan aksinya. Tangannya semakin aktif setelah tahu Naima terjaga.

Naima mulai terbuai, tapi ... hidungnya menangkap aroma tertentu.

"Bau apa ini. Kok ... seperti bau alkohol?" Naima spontan mengelak ketika bibir Gala berusaha meraih bibirnya. Tanpa sadar ia mendorong tubuh Gala menjauh. "Kamu habis minum, Mas?"

Hidung Naima cukup sensitif dengan aroma, meski ia belum pernah mencium aroma alkohol, tetapi informasi yang ia baca di artikel-artikel sudah cukup membuatnya memiliki pengetahuan dasar akan hal itu.

"Sedikit. Cuma bir aja, kok," jawab Gala santai. Ia kembali melanjutkan aksinya yang tertunda.

Dari area paha, kini Gala menindih tubuh Naima, langsung melabuhkan ciuman di bibir sang istri yang baru ia nikahi beberapa jam yang lalu. Naima tak suka karena Gala beraroma alkohol, tetapi ia juga tak mampu menolak ciuman Gala yang memabukkan. Itu merupakan ciuman bibir pertama Naima. Gala adalah pria pertama yang menciumnya, dan pastinya juga menjadi pria pertama yang akan merasakan tubuhnya.

Alih-alih protes, hal selanjutnya yang bisa Naima lakukan hanyalah mendesah saat Gala mencumbu titik-titik sensitif di tubuhnya.

"Tubuh kamu bagus, Nai. Nggak terlihat sama sekali kalau kamu sudah tiga puluh tahun lebih. Aku suka."

Naima yakin wajahnya sudah memerah saat ini. Di bawah tatapan nanar mata Gala yang memindai tubuhnya yang polos, Naima benar-benar merasa malu.

"Jangan diliatin gitu dong, Mas. Aku malu," ucap Naima sambil menggigit bibir.

"Sama suami sendiri kok malu? Ini baru aku liatin, lho. Gimana kalau aku giniin?"

"Aaah ...." Desahan itu spontan meluncur dari mulut Naima ketika jari Gala membelai inti tubuhnya yang lembab. Seprai putih yang mereka tiduri pun menjadi sasaran remasan tangan Naima ketika jari Gala bergerak keluar masuk di celah sempit miliknya.

"Kamu sempit, Nai," ujar Gala yang susah payah mengendalikan hasratnya yang mulai memburu. Jarinya saja sulit menembus celah itu, bagaimana dengan miliknya yang berukuran lebih dari lima kali lipat?

Tak tahan dengan desahan Naima yang sangat menggoda, Gala pun memposisikan dirinya di depan kedua kaki Naima yang terbuka, bersiap untuk penyatuan mereka.

Lenguh kesakitan Naima mengudara saat Gala menembus liang cinta miliknya setelah beberapa kali gagal. Air mata merembes dari sudut matanya menahan rasa sakit akibat penyatuan mereka.

Namun, Gala yang sedang berada di puncak gairah sama sekali tidak memedulikan semua itu karena ia sibuk mengejar gelombang rasa yang terus menerpa. Ia justru semakin bersemangat memompa miliknya, bergerak dengan irama tertentu menuju puncak kenikmatan yang telah terbayang di pelupuk mata. Dan ... momen yang dinanti pun tiba. Setelah beberapa hentakan dalam, tubuhnya menegang diiringi lenguhan panjang.

Untuk beberapa saat Gala terkulai di atas tubuh Naima, sementara Naima mengusap air mata yang merembes di sudut mata. Tubuhnya terasa remuk. Gala benar-benar tak memberi jeda sedikit pun untuk Naima menyesuaikan diri, padahal ia belum sepenuhnya siap saat Gala memasukinya tadi.

"Mau ngapain, Mas?" Sambil meringis menahan perih di inti tubuhnya, Naima bertanya. Ia heran karena Gala dengan gerakan sangat cepat tiba-tiba turun dari tempat tidur.

"Menyalakan lampu," jawab Gala cepat.

Kening Naima semakin berkerut. "Untuk apa?"

"Untuk melihat jejak perjuanganku," sahut Gala sambil berjalan ke arah ranjang, lalu membuka kedua kaki Naima lebar-lebar.

"Mas!" pekik Naima kaget. Bagian inti tubuhnya yang sakit, semakin perih karena Gala melebarkan kedua kakinya begitu saja.

"Lho! Mana? Kok nggak ada?" tanya Gala dengan wajah tegang. Ia memiringkan pinggul Naima ke kiri dan ke kanan, bahkan mengintip ke dalam kewanitaan Naima. Hal itu tentu saja membuat Naima risih dan juga malu.

"Kamu ngapain sih? Apanya yang nggak ada?" Naima balik bertanya karena heran, tak mengerti maksud pertanyaan Gala.

"Darah perawan kamu-lah? Kok kamu tidak berdarah? Kamu sudah tak perawan, ya? Siapa yang sudah mendahuluiku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status