"Kak"
Seorang pegawai toko pakaian grosir wanita memanggil wanita tiga puluh satu tahun bernama Laurent yang sedang menekan angka di kalkulator dengan jemari tangan kanannya. Sedangan tangan kirinya membuka lembar demi lembar nota rekapan transaksi pembeli.
"Hm"
Respon yang menyimpulkan bahwa Laurent tak bisa diganggu. Pegawai itupun mengurungkan bertanya kepasa boss nya.
Telfon disebelah Laurent bersering. Ia mengambil gagang telfon dan menahan dengan lengannya seraya menempelkan ke telinga.
"Ya halo"
"....."
"Seri 10052. Bentar gue tanya" Laurent menatap sekitar. Empat pegawainya sedang sibuk melayani pembeli. Ia lalu mengetik sesuatu di laptop dan menekan kode 10052.
"Halo, ada nih. Tapi tinggal 3. 1 seri semua. Gue nggak mau lu ambil pisah-pisah"
"...."
"Iya. Cash. Ogah gue lu ngebon. Nanti Lani gue suruh ke tempat lu"
"...."
"Hmmmmm! Awas lu. Ada duit ada barang"
Ketus Laurent sambil menutup telfon.
"Lani!"
Panggil Laurent. Lani berlari menghampiri boss nya.
"Kamu bawa 10052, 3 seri ke tempat si Johan. Kamu terima dulu duitnya. Hitung, baru kasih barangnya"
"Iya kak. Siap"
Lani menuju ke sudut ruangan dan mencari pakaian dengan kode tersebut. Sedangan Laurent menyiapkan nota nya.
Laurent.
Wanita tiga puluh satu tahun yang merantau dari manado ke jakarta sejak usia sembilan belas tahun. Jalan hidupnya miris. Hingga ia bisa berjuang dan bertahan hingga menjadi boss dari dua toko pakaian wanita di tempat grosir terbesar se asia tenggara.
Laurent tak ada sanak saudara. Ia benar-benar berusaha dengan dirinya sendiri dan otak analisa yang baik. Tak ada yang tau kalau Laurent adalah seorang mantan Wanita BOOKING ORDER atau BO para pria pengusaha atau biasa kita sebut om-om kesepian, sugar daddy, pria hidung belang atau apalah.
Hidupnya hancur sebelum ia menjadi sukses dengan usaha toko pakaian dan wanita BO. Perlu diingat. Laurent yang cerdas, sejak dulu tak membuka identitas dirinya kepada setiap pelanggan yang memakai jasanya. Ia bermain apik dengan banyak cara supaya para lelaki itu tak meminta ia menunjukan wajahnya.
Uang yang ia dapatkan pun dijadikan modal untuk membuka usahanya. Ia telah pensiun satu tahun lalu untuk menjajaki dirinya di dunia prostitusi tersebut.
Tujuan lain datang saat ia merasa sudah cukup mapan dengan usahanya.
Ia ingin mencari kembarannya. LAURA. Yang terpisah sejak mereka usia sepuluh tahun.
Keluarga mereka menjadi korban perampokan dan pembunuhan saat masih tinggal di sana. Laura dan Laurent bersembunyi di dalam gudang kecil di dekat dapur saat hal menyeramkan itu terjadi. Rumah mereka pun di bakar para perampok. Mereka berdua berusaha keluar dari Api dengan cara berlari bersama dan saling merangkul.
Sejak saat itu, kehidupan miris mulai terjadi.
***
"Lo nggak pingin balik ke manado rent?"
Asap rokok mengebul dari bibir wanita sepantaran dirinya saat mereka makan siang di tempat makan kaki lima yang ada disekitar pusat grosir.
"Nggak. Ngapain"
Jawab Laurent sambil meneteskan liquid rasa leci di alat penghisap rokok elektrik miliknya.
"Nggak kangen keluarga?"
Lanjut Cita.
"Keluarga gue udah mati. Udah lah, nggak usah bawa-bawa keluarga. Bikin mood gue drop"
Laurent lalu menghisap dan menghembuskan asap tebal dari mulutnya. Beberapa pria menatapnya. Laurent hanya melirik sinis tak perduli.
"Nanti malam jadi rent. Gue minta tolong banget ke elo,"
Cita mematikan puntung rokoknya. Laurent mengangguk.
"Orangnya si udah di hotel. Stay disana dua minggu. Tapi dia pingin ngobrol dulu sama lo. Acara besarnya besok malam. But please, jangan kasar sama ni orang, dia bukan sembarang laki-laki rent"
Cita berbisik sedikit. Mencondongkan tubuhnya kedepan Laurent.
"Lo tau, ini orang udah bisa di sejajarkan sama sultan dubai tau nggak lo"
"Really?"
Respon Laurent justru terkekeh sinis. Ia akan selalu sama menganggap bahwa pria yang bisa atau mau membooking seorang wanita bayaran itu justru pria rendahan yang tak ada harga diri.
"Yaudah. Kalau gitu suruh jemput gue aja. Atau gue samperin dimana kalau dia nggak mau di hotel"
Laurent kembali menghisap dan menghembuskan asap tebal dari mulutnya.
"Gue kabarin lo deh nanti. Lo ke toko lagi kan? Gue coba hubungin ajudannya"
"Oke"
Laurent lalu membayar makan siang mereka dan bersiap beranjak. Rambut panjang warna coklat gelap ia kuncir kuda, memperlihatkan leher jenjang putih mulusnya.
***
Langkah kaki dengan sepatu hak tujuh sentimeternya mengantarkannya pada sebuah parkiran basemen sebuah hotel bintang lima. Wajah dingin dan angkuhnya tampak dari pantulan kaca besar yang ia lewati.
Kali ini ia tak akan memakai topeng. Karena pria yang memakai jasanya hanya meminta dirinya sebagai teman kencan untuk suatu acara penting.
"Laurent?"
Tanya pria tinggi kekar dengan setelan serba hitam. Laurent mengangguk.
"Silahkan, boss saya sudah menunggu didalam mobil"
Andreas mengantarkan Laurent menuju ke mobil sedan mewah warna hitam yang dibalik kemudinya sudah ada Pras yang duduk.
Pras, pria itu yang akan memakai jasa Laurent.
Laureny sudah duduk di kursi penumpang. Ia lalu menatap Pras yang sedang menatapnya lekat dengan mata elang yang tajam.
"To the poitn. Apa yang harus saya lakukan."
Ucap Laurent dingin.
Pras diam. Ia kemudian menginjak pedal gas dan mengarahkan mobil ke luar hotel. Sebelumnya ia sudah memberi tahu andreas kalau jangan mengawalnya.
Lima belas menit perjalanan tak ada suara. Hingga akhirnya Pras yang memulainya.
"Your name is?"
"I'm Laurent. And your are,"
"Kamu nggak tau saya"
Sarkas Pras.
"I know. Pria rendahan yang mau menyewa wanita seperti saya kan"
Pras menoleh. Ia mengetatkan rahangnya keras.
Tampa menjawab. Pras justru membawa ngebut mobil yang ia kendarai ke suatu tempat sejuk di daerah pegunungan.
Laurent tampak terkejut. Namun ia memilih diam.
Pras tak banyak berkata. Hanya sesekali melirik ke arah wanita yang tampak angkuh dalam kepalsuan. Senyum tipis di bibir Pras pun tampak.
***
Mereka sampai di lokasi tak butuh waktu lama. Hawa dingin terasa. Pras berjalan keluar dari mobil dan duduk diatas kap sambil bersedekap. Disusul Laurent.
"Nggak bisa make a deal di tempat lain. Harus banget bawa saya jauh kesini?"
Laurent tak tahan untuk tak bertanta. Pras hanya menoleh dan terkekeh sinis.
"Kamu mau minta bayaran berapa?"
Laurent itu menatap Pras sambil terkekeh dengan asap rokok elektrik aroma leci mengebul tebal diudara.
"Kalo cuma sekedar untuk temenin anda gala dinner sama pengusaha-pengusaha, saya nggak pasang tarif. Tapi kalau anda mau service lebih, diatas sepuluh"
Jawabnya santai. Mereka bersandar didepan kap mobil.
"Sebutin."
Panjut pria itu dengan deep voice nya.
"Yang mana. Paket biasa apa paket lengkap"
Wanita itu melirik. Lelaki itu beranjak dan berdiri menghadap wanita itu dengan kedua tangan ia masukan kedalam saku celananya.
"Full service? How about that?"
Senyum smirk muncul diwajah lelaki itu.
"Ok. Dua puluh keatas. Dibayar dimuka."
Jawab Laurent yang ikut berdiri berhadapan. Tak takut atau mundur. Justru ia semakin maju.
"Tapi saya maunya-"
Bibir pria itu mendekat ke telinga wanita tersebut lalu berbisik,
"Keluarin didalem. Kamu Minum obat kan?"
Lalu ia memundurkan wajahnya dan menatap lekat ke wanita dihadapannya.
"Obat? Nggak perlu. One night stand? Deal"
Tangan wanita itu terulur.
Namun raut wajah lelaki dihadapannya berubah.
"Semua wanita sama saja. Rela jual badan demi uang."
Laurent tersebut terkejut dan tersinggung. Ia berdiri dan menunjuk Pras sambil berbicara.
"Hati-hati mulut anda kalau bicara ya. Tidak semua wanita seperti saya yang menjual diri untuk alasan yang tak perlu saya jelaskan ke anda. Take it or leave it!"
Wanita itu emosi. Direndahkan, ia sudah biasa. Seorang wanita bookingan pria hidung belang. Namun jika semua perempuan dianggap sama. Ia akan marah sejadi-jadinya.
Pras itu menatap lekat ke Laurent. Air mukanya berubah tajam dan marah.
"Saya mau tau dulu alasan kamu kenapa bekerja seperti ini, sebelum saya lanjut booking kamu,"
"Ck. Apa penting nya alasan saya!"
Laurent berbicara dengan kepala sedikit terangkat.
"Karena dari mata kamu saya bisa lihat kamu terpaksa jalanin ini."
GLEK.
Wanita itu tak bisa menjawab apa-apa lagi. Ia hanya diam dan terus berdiri menatap lelaki dihadapannya.
'Sialan'
Maki Laurent dalam hati.
To be continue,
PRAS“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex