Share

BAB 2 - PRIA JELEK ITU TERNYATA SULTAN

"Wahhh ... Wahhhh. Jadi ini suaminya si Puspa!" teriak Wulan dari kejauhan.

'Ngapain lagi nih anak kesini?' tanyaku dalam hati.

"Heran, kok si Puspa mau-maunya di perawanin sama si buruk rupa." ucap Wulan.

"Beneran semalam belah duren, Pus?" tanya lbu-ibu tetangga rumahku.

"Gimana rasanya? Kuat berapa ronde tuh suami jelekmu."

Wajahku langsung merona, mengingat apa yang terjadi tadi semalam.

'Tapi, ini Ibu-ibu beneran nanya kaya gitu?'

Aku menghela napas dalam, lalu menatap satu-persatu wajah mereka.

"Kalian nanya? Kalian bertanya-tanya bagaimana rasanya? Itu tanya saja pada rumput-rumput yang bergoyang."

Ujarku menirukan slogan Arif cepmek yang tangah viral itu, sambil menunjuk rumput yang ada di halaman rumahku.

Heran aku sama Ibu-ibu di kampung ini. Kapan bisa berhenti julid dengan kehidupan orang lain?

 Bukan orang lain tapi keluargaku. Setiap hari mereka berbelanja hanya untuk bergibah, kuping-ku selalu panas mendengar nyinyiran, dan julidan para tetangga yang selalu mengomentari kehidupan pribadiku.

"Halah bilang saja, si buruk rupa itu payah?"ejek Wulan, membuat semua orang menertawakanku dan Bang Adnan.

Aku yang tak terima atas hinaan sepupuku ingin langsung membalasnya. Namun, di hentikan oleh Bang Adnan.

"Biarkan saja, Dek."

"Nyesel gak, Pus? Sudah menikah dengan lelaki g e m b e l itu?" tanya Wulan.

"Makanya cari suami itu yang benar. Ini juga ibunya sudah gak waras, sudah mau saya jodohkan sama Jurangan Nasir. Eh, besoknya main di jodohkan saja anaknya, sama orang asing." herdik Bi Ningsih.

"Sengaja mau bikin anaknya sensara. Masa ada seorang Ibu yang menjodohkan anaknya sama p e n g e m i s pasar," ujar Ibu-ibu lain.

"Padahal, Bu. Kalau si Puspa mau di nikahin sama Jurangan Nasir. Dia bakalan di bikinin rumah gedong, uang bulanan gepokan. Lah ini malah milih nikah sama p e m u l u n g." 

'Ya Allah. Banyak sekali sebutan panggilan suamiku. Tadi g e m b e l, 

P3ng3mis, sekarang p e m u l u n g, sungguh dahsyat sekali mulut wanita'

"Kalau begitu. Silahkan jodohkan saja putri Bibi, pada Jurangan Nasir!" tunjuk-ku pada Wulan.

Seketika wajah kedua orang itu memerah, dan menatapku tajam.

Aku balas menatap berani wajah Bi Ningsih. Orang seperti saudara Ibumu ini, mana mungkin dia senang jika aku dan Ibu bahagia. 

Mereka ingin menjodohkanku, agar bisa memperalatku untuk memeras harta Jurangan Nasir. Aku tahu rencana mereka ingin membuatku menderita demi keuntungan mereka sendiri. Mereka benar-benar licik.

"Huh! Memang anakku tidak laku apa? Wulan, putriku itu tidak perlu di jodohkan dengan siapapun. Sudah banyak pria yang sekarang mengejar-ngejar dia, bukan seperti kamu. Kalau tidak di jodohkan mana l*ku-laku kamu sampai perawan tua." ujar Bi Ningsih bangga.

Cihhhh! Padahal para lelaki itu mengejar Wulan karena sekedar menginginkan tubuhnya. 

Saat SMA dulu aku sering mendengar bahwa setiap mantan pacarnya, pernah melakukan hubungan intim pada Wulan. Wanita itu begitu terkenal di kalangan lelaki. Makanya sekarang para lelaki itu ingin mendapatkannya hanya untuk bisa mencicipi tubuh Wulan.

'Kasihan Bibi tak tahu tentang kebusukan anaknya,' batinku.

"Benar, Bu. Nih coba lihat calon suamiku! Beda jauh banget bukan dengan suaminya si Puspa itu. Sudah tampan, berkulit putih bersih, dengan tubuh gagah. Dia juga sudah mapan dan kaya raya, bukan pria gemb-el yang tak jelas asal usulnya." ujarnya, sambil menujukan foto di dalam ponselnya pada semua orang.

Saat Bang Adnan ikut melihatnya. Pria itu malah tertawa terbahak-bahak, aku bingung apa ada yang lucu dengan foto itu.

Kulihat tidak ada. Pria ini sungguh aneh, kenapa malah tertawa saat melihat foto pria tampan berjas yang ada di dalam ponsel Wulan.

"Hei! berani ge-landang-an sepertimu menertawakan pacarku!" seru Wulan.

"Kayanya ga waras itu suaminya, Puspa." herdik Ibu-ibu lain.

"Aduh kumplit banget sih penderitaan, Puspa."

'Bang! Kenapa kamu memalukan diri sendiri?'batinku.

****

"Puspa, sebaiknya kamu bawa suamimu itu ke rumah sakit jiwa."

"Ya Allah, benar-benar tega Bu Ranti ini. Menjodohkan anaknya sama lelaki rupanya seperti itu, sudah mukanya a-ncur, miskin, o-taknya juga geser." nyinyir mereka.

"Ibu-ibu di sini itu mau belanja atau mau bergosip ria? Kalau mau ghibah cari tempat yang lain bukan di sini!"tegurku.

"Belagu banget sih kamu, Puspa!"

"Lagian gimana mau belanja? Melihat wajah suamimu membuat kami jijik, dan malas berbelanja di sini."

Mendengar itu Bang Adnan yang di sampingku langsung berdiri, dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Aku hanya menatap punggung belakangnya dengan tatapan iba. Kenapa hatiku marasa sakit saat suamiku terhina seperti itu, aku memang tidak mencintai. Tapi, pria itu adalah suamiku pakaianku. Aku harus menjaga martabatnya.

"Nah begitu dong! Kami juga jadi nyaman berbelanja tanpa harus melihat wajah jel-ek suamimu."

"Kalo bisa jangan sampai dia berani keluar rumah."

"Nanti kamu bisa malu sendiri, kalau orang-orang tahu dia suamimu, Puspa."

"Emang semua orang sudah tahu, Bu. Kalau suami Puspa itu ya si buruk rupa." Ejek Bibi.

Bibi dan Wulan sama sekali tak beranjak pergi. Mereka masih betah di sini untuk menghina, dan mengejek-ku. Padahal kedua wanita ini sama sekali tak ada berbelanja.

"Sudah cukup! Jika kalian mau berbelanja silahkan, kalo tidak pergi saja ke tempat lain." kesalku.

"Dih! Gak usah ngambek gitu, demi belain suami gem-belnya."ujar Bibi Ningsih.

"Mau dia seburuk apapun. Dia tetap suamiku yang wajib aku bela, Bi."

"Ya, sudah nih pesanan saya. Cepetan bungkusin," ucap Ibu-ibu itu.

Mereka menyerahkan selembar kertas belanjaanya padaku. Aku langsung menerima, dan membungkus pesanan mereka dengan cepat.

"Ini pesanannya," ujarku sambil menyerahkan plastik hitam satu-persatu pesanan mereka.

"Besok kalau kami mau belanja, bilang sama suamimu jangan keluar." 

"Apalagi sampai berjaga di warung. Kamu harus melarangnya karena kami mual dan jijik melihat wajahnya."

"Makanya kamu nurut sama Bibi. jangan sama Ibu kamu nanti kaya gini nih. Kamu jadi nyesel sendirikan?" tanya Bibi penuh percaya diri.

"Kalau sudah belanjanya, silahkan pergi!" usirku. Aku benar-benar tak tahan mendengar ocehan mereka.

Segera wajah mereka nampak kesal.

"Maaf, apakah ini benar rumahnya Bu Ranti?" tanya pria berjas, membuat semua wajah ibu-ibu bertanya-tanya.

"Benar, Pak."jawabku.

"Siapa pria itu?" bisik Ibu-ibu.

"Paling orang depkolektor yang mau nagih hutang." Bibi tertawa mengejek.

 Aku tak mengubris mereka. Kualihkan wajahku lagi pada pria tadi.

"Apakah benar anda yang bernama Pupsari?"tanyanya lagi.

"Benar, Pak. Saya Puspasari, ada apa ya?" tanyaku, darimana pria ini tahu namaku. 

"Ini ada kiriman dari atasan saya untuk anda."ujarnya lalu menyerahkan sekotak beludru merah.

Penasaran aku perlahan membuka isinya. Aku dan para Ibu-ibu begitu terkejut saat melihat satu set perhiasan cantik di dalamnya.

"Maaf, sepertinya anda salah orang." ujarku sambil mengembalikannya lagi.

Aku kekeh berusaha untuk menolak hadiahnya. Namun, pria itu memaksa aku untuk menerimnya. 

"Benar, ini adalah hadiah pernikahan anda yang di berikan oleh atasan saya. Jadi mohon di terima,"ujarnya dan melangkah pergi dengan kotak merah yang masih di tangan ini.

Aku melonggo, tak percaya ada orang yang mengirimkan hadiah pernikahan seperti ini.

Siapa sebenarnya pria tadi? Pakaian juga rapi seperti orang kantoran. Aneh sekali aku harus menyelidikinya.

______

"Siapa pria itu, Puspa?"

"Kok bisa dia ngasih set perhiasan mahal itu."

'Mulai deh kepo lagi.' 

"Coba sini aku lihat," ujar Wulan, wanita itu langsung mengambil paksa kotak perhiasan dari tanganku.

Aku hanya menghela napas panjang. Saat melihatnya begitu norak mencoba, dan memamerkan perhiasan yang bukan miliknya.

"Bagus ga, Bu?"tanya Wulan pada Ibunya.

"Cocok banget itu mah di kamu, Nak."balas Bi Ning semangat.

"Harusnya perhiasan ini itu buat aku ya, Bu. Soalnya bakal ga cocok kalo si Puspa yang memakainya,"ucap Wulan.

Aku langsung menatap horor pada wanita itu.

"Maaf, pria tadi ngasihnya sama aku bukan sama kamu. Kalau kamu mau beli aja sendiri," ucapku lalu mengambil perhiasan kembali.

"Heh! Berikan padaku. Kamu itu tidak pantas memilikinya!" kekeh Wulan.

"Puspa, cepat berikan perhiasan itu pada putriku!"sentak Bibi tak tahu malu.

"Kalian gak malu, mengambil barang yang bukan milik kalian? "tanyaku.

Wajah Wulan dan Bi Ningsih memerah. Mereka tak sadar bahwa sedari tadi mereka terus di perhatikan oleh para ibu-ibu.

"Bu Ning, jadi selama ini--" 

"Tidak! Saya hanya memberitahunya saja," sangkal Bibi.

"Lagian dulu, Puspa bilang ga suka sama perhiasan. Ya daripada gak ke pake lebih baik untukku,"timpal Wulan.

'Kapan aku pernah bilang begitu?' tanya batinku.

"Oh begitu, saya kira memang Bi Ning dan Wula, ini suka meminta barang yang bukan hak kalian," cibir Ibu-ibu lainnya.

Huh, memang mereka suka meminta barangku dengan mengklaim bahwa barang itu tak cocok untukku.

Dulu saat Aku dan Wulan kecil. Kami sering bermain bersama, waktu itu aku mambawa banyak sekali mainan. Namun, semua di ambil oleh Wulan dan Bibi. Mereka membawa semua mainan itu ke rumahnya.

Pernah juga saat Ibu dan Bapak membelikanku gaun pesta yang indah. Saat aku menunjukkan pada Wulan. la langsung menangis, lalu Bibi merebut, dan mengambil gaun pestaku untuk Wulan. 

Saat itu ada anak tetangga kami yang berulang tahun. Namun, aku di ejek oleh teman-temannya-ku saat tak memakai gaun pesta kesana.

Sementara Wulan di puji oleh teman-temannya. Karena memakai gaun pestaku yang indah.

Sebaiknya aku masuk ke dalam rumahku, kurasa sudah habis tenagaku hari ini meladeni mereka.

Kulangkahkan kaki ini masuk ke dalam rumah.

Kulihat Bang Adnan seperti tengah menelpon seseorang. Tapi, perhatikanku teralih pada ponselnya dengan logo apel yang bekas gigitan orang.

'Melihat penampilannya. Aku merasa mana mungkin ia mampu membeli barang semahal itu. Aku pasti salah lihat.'

Aku menggeleng kepalaku cepat. Aku kembali melihatnya. Namun, ponsel itu tetap sama.

'Siapa sebenarnya dia?'tanya batinku.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status