Share

PRIA JELEK ITU TERNYATA SULTAN
PRIA JELEK ITU TERNYATA SULTAN
Author: Situ Lutpiah

BAB 1- PRIA JELEK ITU TERNYATA SULTAN

"Semua orang tahu wajahmu. Bagaimana kau bisa mencari tahu tentang tindak korupsi yang terjadi, di desa Rengganis, Nak? Lagi pula Mama khawatir padamu ..."

"Ma, percayalah pada Adnan. Adnan akan buktikan kecurangan yang terjadi di pabrik dengan hati-hati."

_____

"Aduh nikah kok sama orang miskin, udah miskin tambah miskin deh."

"Mending kalau ganteng, loh ini mukanya sudah burik malah di tambal sama tompel."

"Puspa, kok kamu mau aja sih, di jodohin ibumu sama pria modelan kaya gini?"

"Mas, kalau sudah nikah rajin-rajin mandinya, sekalian gosok itu dakinya, biar ga berkerak, mas sudah berapa hari itu ga mandi, sampai item banget kaya gitu!'

"Halah di mandiin juga bentuknya nga bakalan berubah. Lagian Si Ranti nemu nih g e m b e l ini di mana sih? bisa-bisanya dia jodohin anak perempuannya sama orang ini" ujar Uwa Rosid saudara dari ibu.

Mereka menatap jijik Bang Adnan yang sekarang telah menjadi suamiku. Namun, bang Adnan tetap bersikap tenang, seolah itu adalah sebuah nyanyi di telinganya.

"Cukup, Wa! Jangan hina suamiku lagi," ucapku. Namun, langsung di hadiahkan tepukan tangan oleh para tamu.

Saat ini, kami baru saja melangsungkan acara pernikahan sederhana, yang di saksikan oleh tetangga dan saudara dekat saja.

Namanya Adnan. Pria ber-penampilan sederhana dengan rambut gaya cepmek, kulit hitam serta di pipi kiri terdapat sebuah tompel, yang lumayan cukup besar.

Kami menikah karena di jodohkan. Entah apa alasan ibu menjodohkanku dengan pria ini.

Prok! Prok! Prok!

"Puspa mata kamu rabun, Ya. Suami burik nga jelas asal usulnya kaya gitu, pake segala di belain," umpat Bi Ningsih dengan mulut pedasnya.

Bi Ningsih adalah istri dari Uwa Rosid. Jelas mereka begitu marah dan semakin membenciku, karena mereka telah gagal menjodohkanku, dengan seorang juragan kaya raya yang umurnya sudah kakek-kakek, istrinya pun sudah banyak.

'Parah memang manusia dua ini'

Mending aku nikah sama Bang Adnan. Ya walaupun tampangnya kaya gitu, tapi dia masih muda dan bujangan.

"Mau dia burik, miskin harta atau apapun itu. Sekarang ia adalah suamiku bi, yang wajib aku bela, karena aku sudah menjadi istrinya."

"Puspa, kamu pasti nyesel sudah milih dia, dari pada Jurangan Nasir!"ucap Uwa Rosid.

"Gak lah Wa, aku malah lebih nyesel, kalo nikah sama aki-aki, pilihan Uwa," balasku.

Wajah Uwa Rosid dan Bi Ningsih langsung merah, tangan mereka mengepal dengan kuat.

"Bisa apa sih suamimu ini. Kerjaannya ga jelas, bibit bobot ga jelas juga, sudah untung aku tawarin kamu ke jurang Nasir! Eh malah nolak, malah milih nikah sama pria yang model gemb3l, "ucap bi Ningsih angkuh.

"Bodoh banget emang si Puspa, lebih milih hidup menderita dengan si buruk rupa, dari pada hidup bergelimang harta," timpal Bu Dewi yang memang pro pada Bi Ningsih.

"Bergelimang harta belum tentu bahagia. Bagi saya asalkan hidup itu yang penting tidak minta makan, dan minta-minta uang sama orang lain!"

"Apa kamu bilang?" herdik Bi Ningsih yang merasa tersinggung.

Orang-orang langsung mengkerutkan keningnya, atas tanggapan Bi Ning.

"Kenapa Bi? Bibi tersinggung ya? Bi saran saya dari pada aki-aki itu nganggur, mending si Wulan aja yang di jodohin sama dia, nantikan Bibi bakalan terjamin makan-nya, bahkan kalian bisa hidup makmur,"ucapku tanpa dosa.

"Dasar ponakan l a k n a t. Siapa yang meminta makan pada kalian?" tuding Bi Ningsih.

"Wah ngaku sendiri! padahal aku tidak menuduh Bibi selalu minta makanan padaku loh," ucapku santai.

Semua tetangga yang hadir terlihat terkejut, mendengar ucapanku, mereka tak menyangka bahwa Bibi dan Uwa, yang ternyata sering meminta makan bahkan uang pada kami.

"Benaran itu bu Ning?"tanya Bu Dewi.

Para tamu undangan pun terus menatap wajah Uwa dan Bibi. Wajah mereka begitu merah entah karena malu atau marah.

"Jangan percaya! mana mungkin kami meminta minta pada mereka, merekkan keluarga miskin, justru mereka lah yang sering meminta makan pada kami," ujar Uwa memutar balikan fakta.

Pria paruh baya itu menatap tajam wajahku.

"Jangan fitnah saudaramu sendiri, Pus!" ucap Bu Dewi.

"Kami lebih percaya bu Ning, dari pada ucapan kamu!"

"Aduh, berisik banget sih, suara SETAN!" ucapku sambung menutup daun telinga.

"Siapa yang kamu sebut setan?"sengit Bu Dewi.

"Gak tahu, yang jelas suara itu berasal dari mulut orang yang dari tadi nyinyir mulu."

***

"Pasti tubuh suaminya si Puspa, bakalan nga jauh beda sama mukanya," ucap Bi Ningsih.

"Benar paling tubuhnya penuh dengan borok dan kutil," timpal Bu Siti.

"Biarin, asal ga peyot aja kaya muka ibu,"ucapku berani.

Wajah mereka langsung memerah, aku hanya tersenyum.

"PUSPA DI ADA LAWAN."

"Sabar ya, Dek."

Semua orang langsung tertawa mengejek, saat Mas Adnan memanggilku dengan sebutan dedek.

"Abang, Adek. Cihh! Ga pantes banget tahu!"

Aku menghela nafas berat, rasanya muak terus meladenin orang-orang seperti ini.

"Bang, kita masuk ajalah! Jangan dengerin mulut c o m b e r a n mereka," ucapku.

Mereka semakin bersungut-sungut, Menghina dan mengejekku. Namun, tak ku gubris lagi.

Aku berlalu meninggalkan mereka, dan menarik tangan Bang Andan.

Namun pria itu malah menatapku, dengan binar kekaguman di matanya.

Aduh aku kok jadi salah tingkah di tatap kaya gitu. Padahal wajahnya tidak tampan tapi mampu membuatku dag-dig-dug seer.

"Kamu jangan dengerin omongan mereka," ucapku sambil meneliti wajahnya.

Andai tak terhalang dengan kulit yang hitam, dan bertompel di wajahnya. Dia pasti sangat tampan.

Dengan wajah oval, alis tebal, bibirnya sedikit tebal. Namun, terlihat seksi dengan bola mata biru yang tampak indah sera tubuh tegap di sertai otot-otot di lenganya.

Hanya saja kekurangannya memiliki kulit hitam dan bertompel.

"Iya."

Sejauh ini aku mengenal Mas Adnan. Orangnya begitu pendiam dan irit dalam berbicara.

"Neng kamar kalian di depan, kamar yang ini sempit kalo buat dua orang." ujar Ibu Ranti~lbu Puspa.

Wanita itu tersenyum bahagia melihat kedua pengantin baru itu.

"Iya, Bu."

Kami berjalan ke kamar yang di tunjukan oleh ibu. Di sana rasa canggung langsung menghampiri perasaanku, dua orang asing yang terikat oleh pernikahan berada di dalam satu kamar.

"Emm ... Aku mau ganti baju dulu," ucapku semoga saja pria itu peka.

Aku, dan Bang Adnan sudah sepakat jika di hadapan orang lain. Panggilan kami akan berubah menjadi Adek atau Abang.

Tapi jika sedang berdua saja. Aku rasa kami akan memanggil dengan aku dan kamu, karena tak mau membuat Ibu curiga.

"Ya, ganti baju aja." jawabnya santai.

"Maksudnya kamu bisa keluar dulu, tidak."

"Tidak!" Aku langsung membulatkan mataku.

"Maksudnya kamu ganti baju aja. Saya mau mandi, jadi ga perlu keluar."

Aku menghela napas lega mendengarnya. Setelah itu Bang Adnan masuk ke dalam kamar mandi yang berada di kamar ini.

Kamar ini memang luas dari kamarku yang dulu, di dalam sini juga sudah komplit dengan kamar mandinya.

Dulu ini adalah kamar Ibu dan almarhum Bapak. Namun, karena aku sudah menikah maka ibu menyuruhku untuk pindah kesini.

Sambil melepaskan asesoris yang berada di kepalaku. Aku terus memikirkan bagaimana nasib pernikahanku yang tidak ada cinta di antara kami.

' Apa aku harus mulai belajar mencintai Bang Adnan yang sekarang sudah menjadi suamiku. Sepertinya itu akan sulit bagiku, mengingat wajah yang ahh ... Puspa walaupun bagaimana pun dia adalah suamimu.

Lamunanku buyar, saat bang Adnan keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk kecilnya di pinggang.

"Arggggggggg!"

Aku berteriak, bukan karena melihat hantu. Tapi, melihat pria yang baru saja keluar dari kamar mandi itu, tubuh berkulit belang seperti Zebra.

'Kenapa ibu menjodohkanku dengan siluman Zebra. Kulit wajahnya hitam, tetapi tubuhnya putih dan berotot. Semoga la tak meminta haknya,' batinku bergidik ngeri saat membayangkannya.

"Puspa! Ada apa Nak? Pus, kamu baik-baik saja?" teriak Ranti ibu Puspa khawatir.

"Tidak ada apa-apa, Bu." Lirihku.

Aku lemas dan hanya bisa pasrah menerima pernikahan ini.

'Kenapa Ibu menghukum anakmu dengan cara seperti ini? Ibu bilang tidak apa-apa jelek asal hatinya baik. Tapi, gak belang kaya gini juga,' batinku.

"Kaget ya melihatku?"tanyanya.

"E-engak."

"Masa? Biasanya orang yang melihatku, akan menganggapku sebagai siluman kuda lumping," ucapnya sambil tersenyum.

Aku begitu gugup tapi juga takut saat ini.

"Saya mengantuk, mau tidur dulu." ucapku.

Aku memilih untuk tidur saja dari pada terus membayangkan hal yang tidak-tidak.

Kuharap dia tak melakukan apapun padaku.

Aku langsung merebahkan diri di atas kasur, lalu menutup seluruh tubuh dengan selimut tebal. Namun, kepalaku terus mengingat bentuk tubuh Bang Adnan yang sekarang sah menjadi suamiku.

Seperti ada yang aneh dengan dirinya. Mengingat wajah dan tubuhnya benar-benar tak singkron begitu berbeda antara muka yang hitam, tetapi kulit tubuhnya yang putih dengan otot-otot yang begitu sempurna.

'Apa benar dia siluman kuda lumping?' batinku.

____

"Ciee .... Ada pengantin barunya si buruk rupa nih!"

"Mana suami jelekmu? Panggil dong. Aku penasaran seburuk apasih wajah suamimu itu," seru Wulan~Anak dari Uwa Rosid dan Bi Ningsih.

"Eh, Puspa! Itu rambut pagi-pagi sudah basah memang semalam habis belah duren?" tanya Bi Ningsih.

'Hadeh Ibu dan anak ini, pagi-pagi sudah berkokok.

"Gak jijik apa sama mukanya? Terus itu tubuh suamimu gak korengan 'kan?" tanyanya lagi.

Aku sengaja membasahi rambut hari ini. Karena tak mau Ibu curiga jika pernikahan kami memang tidak baik.

"Bu, emang suami si Puspa kaya gimana sih?" tanya Wulan.

"Namanya Adnan, wajahnya jelek, kulit hitem dakian, tambah di pipinya ada tompel segede gajah mada."jelas Bi Ningsih.

"Ieuhh! Mau gitu kamu di perawanin sama tuh cowok, Pus. Kalau jadi aku gak akan sudi! Lebih baikku racuni dia," ucap Wulan dengan wajah mengerigidik jijik.

"Ya pasti mau. Puspa memang gak beda jauh jeleknya sama suaminya," ucap Bi Ningsih di sahut tawa oleh anaknya.

Aku memutar bola mata malas. Membuka warung sembako sepagi ini, bukanya dapat pelanggan eh malah dapat hinaan.

Mereka memang selalu rutin datang sepagi ini. Karena tak mau sampai ada orang lain tahu, bahwa mereka selalu mengambil barang sembako di warungku.

"Pus, Bibi mau ambil itu minyak 2 liter, beras 5 liter, sama telur sekilo," pinta Bi Ningsih.

Aku langsung membungkus apa yang di pinta Bibi.

"Uangnya dulu," ucapku saat aku akan menyerahkannya.

"Apa-apaan sih kamu! sama saudara sendiri harus bayar!" sewot Bi Ningsih

"Ya haruslah! Aku jualan ini pake modal, pake uang bukan pake daun. Jadi harus di bayar biar uangnya muter," ucapku.

"Halah, cuma jualan warung sembako kecil kaya gini aja gayanya selangit." bela Wulan untuk Ibunya.

"Wajarlah! Daripada kalian udah minta, gayanya songong banget. Dasar ga tahu diri!"

"Apa kamu bilang!" sewot Wulan, tubuhnya sampai maju ke depan.

"Jangan berbelit-belit, cepat sinikan belanja bibi," pinta Bi Ningsih ngotot.

"Puspa, ada siapa di depan?"tanya Ranti yang keluar karena mendengar kegaduhan di warung rumahnya.

"Eh Ranti! Ajarin sopan santun tuh anakmu, sama orang tua kok kurang ajar banget."

"Memangnya Puspa kurang ajar bagaimana, Ning?" tanya Ibuku.

"Dia gak mau ngasih itu belanjaanku. Eh, malah nyuruh aku bayar. Aku ini Bibinya, masa sama saudara sendiri harus bayar."ujar Bi Ningsih dengan percaya diri.

"Ya memang harus bayarkan, Ning?" tanya balik ibuku.

"Kamu ini sama saja sama anak mu. Sama-sama gak punya o t a k, wong sama saudara sendiri perhitungan."kesal Bi Ningsih.

"Dasar keluarga pelit bin medit," seru Wulan.

Gadis ini, mulutnya memang sebelas dua belas dengan ibunya. Sama-sama pedes tingkat dewa.

"Kasih ajalah, Pus. Mungkin mereka gak ada uang makannya gak sanggup bayar," ujar Ibuku melirik Bi Ning lalu pergi begitu saja.

Aku hanya tersenyum melihat wajah memerah kedua wanita itu. ibu memang bisa sekali, membalas mulut Bi Ning dengan cara yang elegan.

"Nihhh! Aku kasih, masih butuhkan?"ujarku santai.

Tangan Wulan langsung merebut plastik hitam yang tadi ku pegang.

"Ayo, Bu. Kita pulang!" ajak Wulan dengan wajah misuh-misuh.

Aku tersenyum puas.

"Makanya kalo masih butuh sembako gratisan jangan suka menghina orang. Susah sendirikan kalo kalian gak bisa makan!" tekanku.

"Dasar sombong kamu, Puspa. Lihat saja!"

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status