Share

BAB 3 - PRIA JELEK ITU TERNYATA SULTAN

"Bang~" panggilku.

Bang Adnan menoleh, tubuhnya menegang saat melihatku. Lalu segera memasukan ponselnya ke dalam saku celana.

"Ini! Kira-kira siapa yang memberikan perhiasan indah ini, Bang? Katanya ini sebagai hadiah pernikahan kita?" tanyaku.

"A-bang gak tahu," jawabnya, aku menghela nafas panjang.

"Puspa, itu apa?"tanya Ibu saat datang keluar dari dapur.

"Perhiasan,"jawabku.

"Kamu dapat dari mana?"tanya Ibu dengan wajah terkejutnya.

"Tidak tahu. Tadi ada orang aneh yang tiba-tiba datang terus ngasih ini sebagai hadiah pernikahan kami katanya," jelasku.

"Pus, Ibu takut kalau orang itu pencuri. Sebaiknya kamu buang saja, Ibu gak mau kalau kita kena masalah," perintah Ibu.

"Jangan! "sentak Bang Adnan. 

Aku dan ibu langsung menatap curiga padanya.

"Kenapa, Bang? Benar kata lbu mungkin pria tadi itu memang pencuri," jelasku.

"Bukan. Dia bukan pencuri," jawabnya.

"Dari mana kamu tahu, Bang?"tanyaku sambil mengkerut kening.

"Perhiasan itu memang untukmu," jawabnya membuat kami terkejut.

"Hah?"

Dari mana dia tahu bahwa ini untukku? Siapa dia sebenarnya?

Saat aku ingin bertanya lagi. Bang Adnan malah pergi melangkah keluar rumah.

Aku menghela napas berat.

'Dih ga jelas banget punya suami. Nasib-nasib' batinku

_____

Hari sudah malam. Aku segera menutup warungku dengan di bantu oleh Bang Adnan.

Menurutku pria ini begitu senang. saat Aku atau Ibu di mintai bantuannya. 

"Emm, Bang. Maaf kalau aku belum bisa melayanimu selayaknya seorang istri," ujarku, sungguh aku benar-benar merasa berdosa padanya. 

Aku belum siap untuk bisa memberikan haknya sekarang.

"Tidak apa-apa. Aku mengerti," lirihnya.

"Kamu sama sekali tidak marah padaku?"tanyaku.

"Tidak, sudah jangan terlalu di pikirkan. Aku tidak apa-apa. Aku juga tidak akan memaksamu untuk melakukan hal itu sekarang yang terpenting pernikahan kita langgeng," ujarnya menatap mataku dalam.

"Sementara itu aku akan berusaha untuk membuatmu jatuh cinta. Maka setelah itu kamu bisa memberikannya,"sambungnya dengan senyum terbit di bibirnya.

Jantungku berdegub dengan kencang. Kenapa setiap bersamanya hati ini selalu menghangat.

 Aku benar-benar tidak tahu,dengan perasaan apa yang tengahku alami saat ini.

Apa aku telah jatuh cinta padanya? Aku menggeleng keras, dan mengalihkan perhatian hal lain.

Aku mengambil ponselku yang berada di atas meja yang ada di samping ranjang.

Saat iseng membuka aplikasi berlogo warna hijau. Lalu melihat status story teman sekontakku.

[Hati-hati jaman sekarang banyak orang yang nekat melakukan persugihan. Masa jualan warung kecil saja, bisa beli perhiasan harga jutaan. Pasti itu belinya pake duit haram dari hasil ngepet mereka ]" Itu status story Wulan.

Deg. Apa maksudnya? Perhiasan apa status ini di tujukan padaku?

Aku begitu geram. Jika benar status ini di tunjukan padaku, lihat saja besok akan Aku balas mereka.

[Siapa yang kau maksud? Aku yang penjual warung kecil yang bisa membeli perhiasan dari hasil persugihan?] komentarku mengirim pada statusnya.

[Ya, siapa lagi kalau bukan kamu.] balasan Wulan semakin membuat aku semakin panas.

[Jangan asal berbicara! Aku tidak pernah melakukan hal musyrik itu.]

[Halah maling mana ada yang mau ngaku! Sekarang aku tahu, alasan kenapa kamu mau menikah dengan si buruk rupa itu. Suamimu itu sebenarnya bukan manusia, dia itu siluman ba-bi ngepet 'kan?] balasan Wulan membuat amarahku naik sampai ke ubun-ubun.

'Beraninya dia berkata seperti itu! Suamiku bukan siluman ba-bi nge-pet. Tapi, dia siluman kuda lumping,' batinku

Dugh! Aku membenturkan kepalaku keras pada tembok.

'Puspa sadar! Suamimu manusia, bukan silum*n apapun," kekehku.

Sudahlah aku biarkan saja. Toh semua itu gak benar.

Drtttttt....

Drttttttt....

'Nih kuntilanak merah benar-benar ngajak ribut,' batinku saat Wulan mengirimkan banyak sekali pesan.

[Pantas saja wajah suamimu hitam, dan tompel di pipinya itu. Pasti tanda lahir bagi setiap silum*n b*bi.]

[Cihh! Demi gaya hidupmu yang selangit. Kamu rela melakukan persugihan.]

[Cari uang itu yang halal, bisa membeli perhiasan dari hasil nge-pet aja bangga]

Saat Aku membuka pesannya lagi. Ah, wanita ini kalau tidak di ladeni semakin menjadi-jadi. Aku harus memberikannya pelajaran.

[Oke, kalau kamu menganggapku melakukan persugihan. Besok siap-siap saja kamu akan 'ku jadikan tumbalnya] ancamku.

Setelah centang dua biru. Wulan langsung offline. 

Aku terbahak-bahak menertawakannya. Apa dia benar-benar percaya ancamanku?

_____

"Bu-ibu tahu tidak. Di kampung kita ternyata ada orang yang melakukan persugihan loh" ujar Bi Ning.

'Mulai lagi,"batinku.

Semua wajah Ibu-ibu itu menjadi penasaran. 

"Memang siapa, Bu Ning?"tanya mereka.

"Itu orangnya yang lagi jaga warung!" tunjuk Bi Ning padaku.

"Hah! Masa sih?"

"Ih ibu-ibu sudah di kasih tahu, malah gak percaya."

"Emang benar, Puspa. Kamu melakukan persugihan?"tanya mereka.

"Kok gak nyangka saya. Kamu itu masih muda, masih bisa cari duit yang halal."

"Musyrik itu namanya, Pus. Gak bakalan berkah itu uangnya."

"Ah, Dia mana tahu dosa, Bu. Nikah aja sama siluman b*bi ngep*tnya. Makanya muka suaminya hitem," ujar Bi Ning.

Semua orang langsung melonggo mendengar ucapan yang keluar dari mulut wanita baruh baya itu.

Aku mengepalkan tanganku. tubuhku panas saat ada orang yang berani menghina pria yang menjadi suamiku. 

"Suamiku bukan silum*n ba-bi!" tekanku.

"Terus silum-an apa dong? Mony3t .. Hahahaaa ..." ejek Bu Ningsih.

"Berhenti berbicara omong kosong, Bi!" bentakku

Aku sudah tahan menahan emosiku. Aku maju lalu dengan berani menampar pipi kanannya.

Plakkkk...

"Beraninya kamu!

Bi Ningsih memegang pipinya kesakitan.

"Kenapa aku harus takut? Sedangkan bibi saja berani memfitnahku tanpa bukti!" ujarku.

Wajah Bi Ningsih begitu memerah, wanita itu tampak tengah menahan emosinya.

"Kalau kamu tidak melakukan pesugihan, lalu dari mana kamu mendapatkan uang untuk membeli set perhiasan itu?"tanyanya.

"Bibi tahu sendiri, bahkan mereka juga tahu ada orang yang datang memberikan perhiasan itu. Dia bilang apa? Itu hadiah pernikahanku bukan? Jadi Aku tidak membelinya."

"Tapi ..."

"Tapi apa? Kalau memang aku melakukan pesugihan, pasti yang akan menjadi tumbal pertama yaitu Bibi. Tapi, nyatanya Bibi masih hidupkan?" ujarku memotong ucapannya.

Wajah Bibi bak kepiting rebus. Wanuta paruh baya itu menghentakkan kakinya lalu pergi.

_____

"Lu jangan kesini! Kalau lu kesini rencana gue bisa hancur," ucap Bang Adnan pada seseorang yang tengah berbicara di ponselnya.

"Please ... Lu jangan menggacaukan semuanya,"pinta Bang Adnan.

"Bang ..."panggilku.

Banga Adnan tampak gugup.

"Rencana? Apa maksudmu rencana?"tanyaku.

"Oh i-tu saudara Abang rencana mau kesini,"jawabnya gugup.

'Saudaranya? Apa dia juga mirip sepertinya yang seperti berasal dari alam silum@n kuda lumping, atau dari jenis lainnya. Ah, gak tahu? 

"Kamu punya saudara?"tanyaku.

"Kamu dua bersaudara,"jawabnya.

"Kapan datangnya, Bang?"tanyaku. Aku jadi penasaran dengan wajah saudara suamiku itu.

 Apa bentukannya sama?

"Hari ini katanya, sebenarnya dia sudah mau hampir sampai."

Tin! 

Suara klakson mobil terdengar dari arah depan rumahku.

Aku berjalan kearah depan untuk melihat siapa yang datang.

Siapa yang bertamu, memakai mobil pula?

"I-ini siapa?"tanyaku pada Bang Adnan yang mengekor di belakangku.

"Irpan, saudara Abang."jawabnya. 

Mataku membulat, kenapa mereka berbeda yang satu seperti pangeran istana, dan yang satu pangeran kuda lumping.

Pria yang baru saja turun dari mobil, terlihat menahan tawanya saat melihat wajah Bang Adnan. Apakah ada yang aneh?

"Lu ngapain pake beginian?"Tanya Irpan, lalu mencomot tompel di pipi Bang Adnan.

Plukk!

Astaga Itu tompel- tompelan. Aku terkejut bukan main.

"Ini wajah ngapain sih di item-itemin?"tanya Irpan lagi, kali ini pria itu ingin mengusap wajah Bang Adnan dengan sapu tangan miliknya.

Namun dengan sigap Bang Adnan menghidar. 

"Gue udah bilang. Lu kesini cuma mau ngancurin rencana gue?" ucap Bang Adnan, apa maksudnya. Namun, saudaranya itu malah tertawa, dan mengalihkan perhatiannya padaku.

"Eh, kakak ipar. Kenalkan Irpan, Adik Bang Adnan." ucapnya mengulurkan tangan padaku.

"Puspa,"ucapku membalas uluran tangannya.

"Dek, boleh saudara abang tinggal beberapa hari di sini?"tanya Bang Adnan.

"Gak masalah, asalkan dia kuat saja."jawabku.

"Maksudnya kuat apaan, Mbak?"tanya Irpan.

"Kuat kalau setiap hari harus panas telinga di sini,"jawabku.

Tak lama dari itu, Wulan datang dengan membawa kresek hitam. Wanita itu membuka isi kulkasku lalu tanpa permisi memasukan semuanya ke dalam kantong itu.

"Hey pencuri!" teriakku.

 Wulan langsung menoleh menatap wajahku tak suka.

"Apa maksudmu?"tanyanya.

"Kau pencuri,"tudingku.

"Aku bukan pencuri. Aku hanya mengambil hak keluargaku di sini," ujarnya dengan berkacak pinggang.

"Kau bukan pencuri tapi perampok. Setiap hari ngambil barang sembako warungku, dan sekarang mencuri isi kulkasku." ucapku

Aku mendekati Wulan, lalu merampas kembali kresek hitam di tangannya.

"Puspa, Itukan memang hak kami. Setiap isi kulkas kami kosong, maka kami akan mengambil isi kulkasmu. Toh memang selalu begitukan? Apa gunanya kami punya saudara yang memiliki warung sembako. Tapi, pelit berbagi bahan sembakonya pada saudara sendiri." ujar Wulan dengan santainya. 

Lalu kembali berusaha mengambil kresek hitam ini.

Namun, aku langsung menepis tangannya.

"Berbagi, ya berbagi. Tapi, jangan semuanya di ambil, sadar diri dong! Memang kau punya hak apa dengan isi kulkasku? Aku yang membeli semua ini dengan uangku, tanpa ada sepeserpun uang dari keluargamu." ujarku.

Jujur, Aku lebih baik tak memiliki saudara macam mereka. Namanya saudara tapi seperti ini hanya bisanya jadi benalu. Setiap hari selalu saja bikin darah tinggi.

"Wulan, Ibu suruh kamu ambil bahan makanan, bukan malah ngobrol sama si Puspa."ucap Bi Ningsih yang main masuk saja ke dalam rumah.

Lalu dengan lancangnya wanura paruh baya itu mengulik-ngulik isi kulkasku.

"Kok tidak ada apa-apa? Ibu kamu belum belanja Puspa?"tanya Bibi padaku.

"Bu, Aku sudah mengambil, dan memasukkan semuanya kedalam kresek itu. Tapi, dia merampasnya."adu Wulan sengit.

"Eh Puspa! Kenapa kamu marampasnya? Sinikan!"seru Bi Ningsih tanpa rasa malu.

"Merampas? Kata merampas itu hanya untuk orang yang mengambil milik orang lain,"balasku.

"Eh kamu gak usah ngajarin Bibi!Kamu itu masih anak kemarin. Sedangkan Bibi ini lebih tua, dan lebih tahu segalanya daripada kamu. Jadi apa yang di miliki kamu dan ibumu itu juga ada hak milik kami sebagai saudaramu." ucapnya yang membuatku ingin tertawa.

"What? Apa otak kalian sudah konslet? Sejak kapan harta saudara milik bersama saudara lain?"

"Sesama saudara itu harus saling membantu. Jangan pelit-pelit lah kamu sama kami."

"Yaudah nih!"ucapku, lalu menyerahkan satu bungkus sosis pada tangan Wulan.

"Hey apa ini!"seru mereka tak terima.

"Ya katanya saling bantu? Aku bisa bantunya segitu, lagian minyak beras kalian sudah ambilkan tadi pagi."ucapku.

"Kami gak mau ini. Sinikan kresek hitam itu!" Bi Ningsih dan Wulan langsung menyerangku.

Mereka menarik kencang kresek hitam di tanganku.

"Zaman sekarang hebat, ya. Mencuri di rumah orang dengan terang-terangan,"tiba-tiba Irpan ikut nimbrung dalam perkelahian sengit.

 Pria itu tiba-tiba muncul di samping kiriku dan Bang Adnan di samping kananku.

'Kulihat tompelnya sudah di pasang kembali. Halah nih laki masih nyamar aja,' batinku tanpa sadar aku menepuk jidat ini.

"K-kamu siapa?"tanya Wulan.

 Bola matanya langsung berbinar-binar menatap wajah tampan Irpan.

"Perkenalkan saya adik dari pria bernama Adnan."jawabnya.

Kedua wanita itu saling berpandangan. 

"Kami tak percaya. Mana mungkin si buruk rupa ini punya adik tampan seperti kamu?"tanya mereka.

Irpan mengkerutkan keninganya, ia tampak kebingungan. "Pria buruk rupa? Siapa?"tanyanya.

"Itu! Pria buruk rupa suami dari Puspa,"jawabnya.

"Kalian belum tahu seberapa tampanya Kakakku ini. Kalau kalian tahu mungkin mata kalian tak akan bisa berkedip,"ucap Irpan lebay.

Dan itu membuat kedua ibu dan anak itu tertawa berbahak-bahak.

"Apa katamu dia tampan? Mana mungkin, Kakakmu itu jelas si buruk rupa yang tak akan bisa menjadi pangeran tampan seperti di dongeng-dongeng." 

"Ya sudah kalau tak percaya, suatu saat nanti jangan sampai kalian malu dan menyesal," ucap Irpan.

Aku terdiam mencerna perkataan adik iparku. Coba nantiku cium Bang Adnan. Siapa tahu dia berubah jadi pangeran. Tapi, bukan pangeran jadi-jadian.

 Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status