Share

Licik

Pagi ini, Hani sengaja tak keluar kamar. Rasanya malas harus bertemu laki-laki itu. Ia baru keluar, saat mobil Aiman terdengar meninggalkan halaman.

Hani melirik meja makan, sudah ada sarapan lagi yang disiapkan Aiman untuknya, kali ini, sandwich isi telur dan sayuran. Secarik kertas terselip lagi di bawah piring. 

Penasaran, ia tarik sedikit kertas itu yang hanya ada satu kata di atasnya. MAAF. 

Ia kembalikan lagi kertas itu ke posisi semula, tanpa menyentuh sarapan yang disediakan Aiman. Malah merebus mie instant untuk sarapan. 

Saat sedang menikmati mie buatannya, ponselnya berdering. Nama Aiman terpampang di sana. Hani pastikan lelaki itu baru saja sampai di kantor. 

Deringan pertama, ia cuek. Dibiarkannya benda pipih itu menjerit-jerit. Hingga deringan kelima baru diangkatnya dengan malas. 

"Hallo," sapanya malas. 

"Kamu baru bangun, Han?" tanya Aiman langsung. 

"Ada apa?" tanya Hani malas berbasa-basi. 

"Itu Mas buatkan sarapan lagi di meja."

"Langsung saja, Mas. Ada apa?"

Terdengar embusan napas kasar di seberang. 

"Lusa, ibu mau datang Han."

"Lalu?"

"Ya, terus kamu harus pindah kamar lagi. Rumah kita hanya ada dua kamar. Nanti ibu mau tidur di mana? Lagipula apa kata ibu kalau tahu kita pisah kamar." Suara Aiman meninggi. 

"Ya, biarin saja ibu kamu tahu. Malah lebih bagus, kan. Sekalian saja bilang kita mau...."

"Han! Kamu mau bikin ibuku jantungan?" Suara Aiman semakin meninggi. 

Klik. Hani mematikan sambungan telepon. Bahkan dinonaktifkan sekalian. Ia mendengkus kasar. Aiman selalu saja seperti itu. Egois. 

Ia selalu ingin terlihat sempurna sebagai seorang suami, tanpa memikirkan perasaannya. Itu membuatnya semakin yakin untuk lepas dari laki-laki itu. 

Di tempat lain, Aiman terlihat mengumpat, karena Hani mematikan sambungan teleponnya sepihak. Bahkan nomornya langsung tidak aktif saat dihubungi lagi. 

Dia terus berpikir bagaimana caranya, agar Hani mau bersikap manis lagi seperti dulu. Bagaimana cara meluluhkan lagi hatinya dalam waktu singkat, sedangkan lusa ibunya akan menginap di rumahnya. 

Seperti kemarin, hari ini pun Aiman tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Otaknya terasa semrawut memikirkan Hani. Apalagi nomornya tetap tidak aktif sampai sore. 

Aiman harus cari cara yang lebih halus. Agar Hani mau pindah kamar lagi. Bagaimanapun ibunya tidak boleh tahu kalau pernikahannya selama ini hanya pura-pura. Ia tidak mau wanita yang sangat dihormatinya itu kecewa. Terlebih kesehatan ibunya tidak boleh diabaikan. 

Sore hari saat sampai rumah, Aiman masih berpikir cara terbaik membujuk Hani. 

Dilihatnya meja makan. Seperti kemarin sarapan yang ia siapkan masih saja utuh. Bahkan surat permintaan maafnya masih di posisi semula. Fix, Hani benar-benar marah. 

Aiman harus mencari cara agar wanita itu tetap mau berpura-pura di depan ibunya. Kalau cara halus tidak bisa, maka cara licik pun akan dilakukannya. 

Ya, cara licik saja. Aiman membuka pintu kamar yang ditempati Hani. Ia kemas lagi barang-barang yang kemarin Hani bawa ke sana, untuk diangkut lagi ke kamarnya. 

Semua Aiman bereskan. Buru-buru dibawanya lagi ke kamarnya. Ditatanya lagi seperti setahun kemarin. Seolah barang-barang Hani tak pernah berpindah tempat. 

Lelaki itu tersenyum setelah menatanya lagi. Hani tidak akan berkutik, apalagi kunci kamar sebelah sudah ia sembunyikan di tempat aman.

***

Hani tercengung di depan loker tempat menyimpan tas dan jaketnya, sebelum pulang. Ia malas sekali untuk kembali ke rumah Aiman. Ia malas bertemu lelaki itu. 

"Kenapa?" tanya Vino, rekan kerjanya saat melihat Hani melamun, padahal rekan yang lain begitu semangat di jam pulang. 

Sebenarnya Vino bukan sekedar rekan kerja. Karena dulu mereka sempat dekat bahkan pemuda itu sudah akan melamarnya. Saat tiba-tiba takdir berkata Tania harus berpulang dan Hani harus menggantikan kakaknya itu menikahi Aiman. 

"Suamimu lagi?" tanya Vino lagi. Hani hanya menghembus napas kasar. Seberat apapun bebannya, seburuk apapun Aiman, sebenarnya ia tidak mau menceritakan perihal rumah tangganya pada siapapun. 

Namun, Vino seakan tahu setiap masalah yang dihadapinya. 

"Kalau kamu sudah tidak kuat, lepaskan saja. Ingat, ada seseorang yang masih siap menerimamu apa adanya," suara Vino terdengar meyakinkan.

Hani mengerjap lalu tersenyum satir. 

"Aku duluan, ya," pamitnya, tanpa ingin menanggapi perkataan Vino. 

Hani pulang dengan pikiran berkecamuk. Bimbang. Antara bertahan dengan Aiman demi orang tua juga mertuanya. Atau melepaskan semua dan mulai hidup baru dengan seseorang yang masih mengharapkannya? Namun, dengan resiko kesehatan ibu mertua juga kekecewaan orang tuanya?

Dimasukinya rumah Aiman, yang setahun ini menjadi tempatnya bernaung, dengan malas. Ingin rasanya cepat keluar dari rumah ini, dan tidak perlu bertemu lagi dengan lelaki egois itu. 

Kamar tentu saja jadi tujuan pertamanya. Langsung rebahan akan sangat nyaman sepertinya. 

Namun, Hani heran, pintu kamarnya tidak bisa dibuka. Padahal tadi ia meninggalkan kunci tergantung di sana. Beberapa kali coba dibuka, tetap terkunci. 

Pikirannya langsung buruk. Pasti ini kerjaan Aiman. Siapa lagi? 

Dilangkahkan kakinya dengan kasar menuju pintu kamar lelaki itu. 

"Mas Ai...." teriaknya di depan pintu kamar Aiman. Rasa kesalnya tak tertahan. Di gedornya juga pintu dengan keras. 

Pintu terbuka, Aiman muncul dengan hanya mengenakan celana pendek, tanpa penutup badan bagian atas. Hani membuang muka. 

"Mana kunci?" pintanya langsung sambil menengadahkan tangan. 

"Kunci apa?" jawab Aiman pura-pura. 

"Sudah jangan pura-pura, mana kunci!" hardik Hani lagi kesal. Aiman menatap Hani sebentar, kemudian masuk, tak lama kembali, menyerahkan sebuah kunci ke telapak tangan Hani. 

Wanita itu berpaling dengan angkuh, kemudian berlalu dengan kasar dari hadapan Aiman. 

Iaa segera membuka pintu dan langsung masuk ke kamarnya. Namun, Hani mematung seraya mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Ada yang aneh. Barang-barangnya tak nampak di sana. Segera dia menuju lemari, membukanya dengan cepat. 

Dadanya langsung bergemuruh saat ia hanya mendapati lemari kosong. Tak selembar pun baju-bajunya di sana. 

Ditutupnya kasar pintu lemari. Kemudian berjalan dengan sangat marah menuju kamar Aiman. Lelaki itu sungguh lancang. Tanpa seizinnya ia berani menyentuh barang-barangnya. 

Hani langsung masuk menerobos kamar Aiman tanpa bicara atau mengetuk pintu dulu seperti tadi. Kekesalannya sudah di ubun-ubun. Apalagi saat masuk, dan mendapati lelaki itu sedang duduk santai di tempat tidur sambil memangku laptop, tanpa perasaan bersalah sedikitpun. 

Kalau bukan bergelar suami, pastilah lelaki itu sudah ditantangnya untuk berkelahi. Sayangnya, ia masih punya etika dan ingat dosa. 

"Kenapa?" tanya Aiman dengan wajah tanpa dosanya. 

Dada Hani sudah turun naik dengan cepat, tanda gemuruh di dalamnya sudah sangat dahsyat. 

"Masih tanya kenapa!" hardiknya keras. 

Aiman mendengkus. "Begitukah caramu bicara dengan suami?"

"Suami!" Hani balas mendengkus, tangannya mengepal. 

"Ah, sudahlah. Malas berurusan dengan lelaki sepertimu. Di mana bajuku?" 

Aiman menatap Hani. "Nyari baju ya di lemari. Begitu aja kok, repot. Pake teriak segala," ucapnya lagi pelan seperti bergumam, matanya  menatap laptop yang bahkan menurut ekor mata Hani tidak menyala sama sekali. 

Hani menatap Aiman dengan marah. Namun, hanya ditanggapi dengan santai oleh lelaki itu. 

"Aarghhh...." akhirnya hanya suara itu yang keluar dari mulut wanita itu seraya menarik rambutnya sendiri dengan frustasi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
nawi wina
kenapa aku bayangin si Aiman itu Satrianya Yuri, ya? wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status