Share

PURA-PURA BAHAGIA
PURA-PURA BAHAGIA
Penulis: Rosemala

Lelah

Part 1

"Sudah Mas, segera urus perceraian kita secepatnya. Aku sudah lelah. Aku atau kamu yang yang akan menggugat?" kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Hani. Wajahnya sudah memerah dengan mata basah. Beban di dada yang setahun bersemayam rasanya ingin meledak. 

Aiman menatap tak percaya. Keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. 

"Han." Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 

"Aku lelah berpura-pura terus. Lepaskan saja aku agar kamu tidak harus pusing mengurusi perempuan tidak bisa diatur sepertiku."

Aiman masih mematung. 

"Lelaki seperti kamu hanya pantas hidup dalam masa lalu. Hiduplah dalam kenangan selamanya."

Hening. 

"Dan satu lagi ... aku tidak suka dibandingkan dengan wanita manapun walaupun dengan kakakku sendiri. Apalagi dibandingkan dengan orang yang sudah tidak ada di dunia."

Aiman masih terperangah bahkan saat Hani berjalan kasar menuju kamar mereka. Wanita itu segera memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar. 

Lelaki itu segera menyusul ke kamar. Lalu menghentikan gerakan tangan Hani. 

"Kamu mau apa, Han?" tanyanya panik. 

"Sejak hari ini sampai ketuk palu perceraian, aku akan tidur di kamar sebelah," jawabnya sambil menepis tangan Aiman. 

"Kenapa harus begini, Han? Aku...." Aiman kikuk, ia tidak menyangka Hani akan semarah ini. Aiman menyesali perkataannya tadi. 

Hani terus memasukkan semua barangnya yang tidak begitu banyak hingga tasnya penuh berjejal.

"Han, aku mohon, jangan seperti ini. Mana ada suami istri tidur di kamar terpisah.... "

"Apa kamu bilang? Suami? Istri? Aku bahkan tidak pernah merasa sebagai istri di rumah ini," sanggahnya sinis seraya mengangkat tas besarnya. 

Wajah Aiman pucat, ia terpaku sesaat, sebelum menahan tas besar itu agar Hani tidak keluar. 

"Han, ini bisa dibicarakan lagi bukan?" Wajah Aiman memelas. 

"Kenapa kamu begitu panik, Mas? Aku hanya pindah ke kamar sebelah. Kamu jangan takut, aku masih bisa berpura-pura bahagia sampai ketok palu itu," ujarnya masih sinis lalu melangkah menuju pintu. 

Tangan Hani meluruh sebelum meraih handel pintu, ia menaruh tas besar itu di lantai. 

Wajah Aiman berbinar, secercah harapan hadir di sana. Hani tidak jadi pindah kamar. Dia hanya mengerjaiku. Itu pikirnya. Tapi wajahnya kembali mengeruh, saat tangan Hani membuka dompet dan mengeluarkan benda kecil pipih yang pernah diberikannya pada perempuan itu, sehari setelah pernikahan mereka. 

"Ini ATM kamu, aku kembalikan, Mas," katanya seraya menyimpan benda itu di atas meja dekat pintu. 

"Aku tidak mau terikat lagi denganmu. Hubungan kita hanya sebatas di atas kertas, sampai saat itu tiba." Setelah mengatakan itu Hani keluar kamar dengan menyeret tasnya. Meninggalkan Aiman yang masih terpaku dengan hati bagai teremas-remas. 

Aiman berlari keluar kamar, setelah kesadarannya kembali. Ia menghadang wanita yang masih sah istrinya itu, di depan pintu kamar yang dituju Hani. 

"Han, apa kata orang tua kita nanti kalau tahu kita pisah kamar? Tolong pikirkan lagi, ibuku bisa datang sewaktu-waktu ke sini. Kamu bisa bayangkan betapa marahnya dia."

"Kamu jangan khawatir, tidak akan ada yang tahu. Aku sudah bilang, masih bisa pura-pura bahagia seperti yang kamu mau." Hani menyingkirkan tubuh Aiman yang berdiri di depan pintu. Lalu masuk, dan segera menutup pintunya dengan cepat. 

Bahu Aiman meluruh, matanya menatap kosong pintu yang sudah tertutup rapat itu. Menyembunyikan Hani di dalamnya. Kenapa hatinya sesakit ini, padahal Hani hanya pindah kamar. Bagaimana kalau Hani benar-benar pergi dari hidupnya. Apa ia sanggup melepasnya? 

Ternyata sesakit ini diabaikan. Apa kabar Hani yang selama setahun ini tak pernah dianggap ada olehnya. Hani tak lebih pajangan yang hanya dipamerkan di depan keluarga besar dan siapapun dengan wajah pura-pura bahagia. Selebihnya wanita itu seperti kasat mata yang tidak terlihat di mata Aiman.

Di balik pintu, Hani pun jatuh meluruh di lantai dengan punggung bersandar di pintu. Bendungan yang sedari tadi coba ditahannya di balik kata tegar, jebol sudah. Air matanya berderai menganak sungai, meluapkan gejolak yang sudah lama bersemayam. Tidak menyangka ia akan menyerah secepat ini untuk merebut hati Aiman. Perjuangan panjangnya selama setahun menjadi sia-sia. 

Namun, Hani tidak menyesal, karena ia sudah menunaikan tugasnya sebagai anak juga adik dengan memenuhi kemauan mereka menggantikan posisi kakaknya menikah dengan Aiman. 

Hanya satu yang ia sesalkan, ia gagal merebut hati Aiman. 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Zubaidah Zubaidah
baru bab awal aja sdh bikin aku jatuh hati ke novel inih hadirin.........
goodnovel comment avatar
Sapar Khan
menyimakkkk
goodnovel comment avatar
Tati Marliah
kereeen ......Lanjuut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status